Peran Bangsa Arab ,Alawiyin, di Nusantara

Peran Kaum Alawiyin di Nusantara  

Pemusnahan peran bangsa Arab, khususnya kaum sayid Alawiyin, dalam penyebaran Islam di Indonesia, merupakan agenda utama pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan berbagai cara, pemerintah kolonial Belanda menghilangkan peran kaum Alawiyin (julukan keturunan Nabi shalllahu'alaihi wasallam yang berasal dari Hadramaut/Yaman selatan) membumikan Islam di Nusantara.

 

Anehnya, beberapa sejarawan Indonesia ikut terpengaruh dengan isu tersebut dengan tulisannya yang terdapat dalam buku-buku sejarah, yang beredar dikalangan umum maupun pelajar. Mereka ini menyatakan, Islam yang datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang Gujarat atau dari Negara Cina, bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah. Pendapat mereka ini, bertentangan dengan pendapat para sejarawan, baik yang ditulis oleh penulis Barat maupun penulis Timur.

 

Mayoritas sejarawan, mengatakan bahwa para pedagang Arablah, khususnya kaum Alawiyin dari Hadramaut, yang menyebarkan agama Islam di kepulauan Hindia Timur (Indonesia). Teori ini, dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Hollander. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XV11 dan XV111). Teori Arab, yang di kemukakan oleh Niemann dan de Hollander (Azyumardi Azr.a, loc cit, hal.27),keduanya mengatakan bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadramaut (Yaman Selatan).

 

Teori Gujarat ini, sejak tahun 1958 sudah mendapat koreksi dan kritik dari HAMKA, yang melahirkan teori baru yakni teori Makkah. Koreksi tersebut, di kuatkan dalam sanggahannya dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di Medan tahun 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 berasal dari Gujarat.

 

Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab, sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.

Hal itu, sesuai pula dengan pendapat Keijzer, yang memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan budaya penduduk muslim di kedua wilayah, yang berpegang kepada mazhab imam Syafi’i.

 

Kini, banyak sudah dilakukan penelitian intensif oleh beberapa sejarawan Indonesia. Hasil penelitian itu, menyatakan adanya para pedagang Arab di Sumatera Utara atau lebih tepatnya di Aceh, sebelum lahirnya Islam. Penelitian ini, menamakannya sebagai ‘Wajah Arab di Indonesia’. Bangsa Arab mempunyai pengaruh kuat dalam kebudayaan Indonesia yang memantul juga dalam sastra dan bahasanya.

 

Sebelum penjajahan Belanda memasukkan huruf latin, sebagian besar bahasa di Indonesia menggunakan bahasa Arab. Kata-kata bahasa Arab hingga kini banyak yang diterima sebagai resmi Indonesia. Sudah tentu. pengaruh Arab itu terutama dalam bidang kebudayaan terlihat makin kuat sesudah masuknya Islam keseluruh kepulauan ini.

 

Kedatangan para syarif Hadramaut ke India, dan dari sana ke Asia Tenggara, merupakan sebab dari ketidak fahaman sebagian sejarawan, khususnya sejarawan Eropa. Kesalahan mereka adalah, mereka menganggap para dai yang datang ke Asia Tenggara adalah dari India. Dalam kitab Hadhir al-Alam al-Islami, karya Amir Syakib Arsalan disebutkan, bahwa (sebagian) para sejarawan Eropa menerangkan secara serampangan. Satu ketika sejarawan Eropa mengatakan, para dai ini berasal Gujarat dan pada kesempatan lain mengatakan, para dai ini adalah orang-orang Parsi. Jadi, dalam masalah ini mereka (sejarawan Eropa) hanya berputar-putar dan tidak lepas dari kebodohan.

 

Seorang penulis sejarah penduduk pulau Jawa yang bernama Haji Ali bin Khairuddin, di dalam bukunya Keterangan-Keterangan Kedatengan Bongso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadhramaut hal.113 mengatakan, kedatangan orang-orang Arab di kepulauan ini (Indonesia) terjadi pada akhir abad ke-7 H.

 

Mereka datang dari India, terdiri dari sembilan orang yang oleh penduduk Jawa disebut Walisongo yakni Sembilan Waliyullah. Mereka adalah bersaudara, yaitu: Sayid Jamaluddin Agung, Sayid Qamaruddin, Sayid Tsana’uddin, Sayid Majdud- din, Sayid Muhyiddin, Sayid Zainul Alam, Sayid Nurul Alam, Sayid Alawi dan Sayid Fadhl Sunan Lembayung.

 

Mereka semua ini adalah, putra-putra dari Ahmad bin Abdullah bin Abdulmalik bin Alawi bin Muhamad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhamad bin Alawi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Al-Bashiri bin Muhamad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam Ali bin Abi Thalib k.w. dan Fathimah Az-Zahra r.a. binti Muhamad Rasulallah Saw. Mereka semua adalah dzurriyatun-Nabi (keturunan Nabi Saw).

 

Datuk ketiga sembilan orang waliyullah tersebut adalah, Sayid Abdul Malik bin Alawi, lahir dikota Qasam, sebuah kota di Hadramaut/Yaman Selatan, sekitar thn 574 H. Beliau meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama rombongan para Sayid dari kaum Alawiyin.

 

Di India, beliau bermukim di kota  Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, di antaranya ialah, Sayid Amir Khan Abdullah bin Sayid Abdul Malik ,lahir dikota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan dia lahir disebuah desa dekat Nashr Abad. Dia anak kedua dari Sayid Abdul Malik. Sayid Amir Khan ini, mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’adzdzam Syah Maulana Ahmad.

 

Maulana Ahmad Syah Muadzdam ini, mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari anak lelaki itu, meninggalkan India berangkat mengembara. Ada dari mereka ini, yang kenegeri Cina, Kamboja, Siam (thailand) dan ada pula yang pergi kenegeri Anam dari Mongolia Dalam (negeri Mongolia, termasuk wilayah Cina). Di antara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah, Sayid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayid Ahmad. Di Kamboja Sayid Jamaluddin ini, nikah dengan anak perempuan salah seorang Raja dinegeri itu (menurut versi lain yang nikah dengan anak Raja Kamboja ialah putra Jamalud- din Al-Akbar, yaitu Ibrahim Asmoro).

 

Dari istrinya ini, dia mempunyai dua anak lelaki yang bernama Sayid Ibrahim Al-Ghazi dan Sayid Jalal Al-Mu’adzdzam Maulana Zahid Alhakim Abdul Malik. Sayid Al-Ghazi seorang pejuang besar yang berhasil mengislamkan beberapa daerah di Cina, Melayu dan Sumatera. Sedangkan saudaranya, Sayid Jalal, tidak diketahui riwayat hidupnya dan tidak pernah ada berita tentang nasibnya.

 

Maulana Sayid Al-Ghazi ini meninggalkan India pergi ke Siam, kemudian bersama ayahnya ,Sayid Jamaluddin, ia mendarat di Aceh (Sumatera Utara). Disana, ia menggantikan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan agama Islam. Adapun ayahnya ,Sayid Jamaluddin, bersama beberapa orang saudara sepupu- nya berangkat naik perahu menuju pulau Jawa. Mereka mendarat dikawasan pesisir Semarang, kemudian melalui jalan darat tibalah di Pajajaran. Di sinilah, Sayid Jamaluddin bertempat tinggal.

 

Hal ini, terjadi pada masa akhir kekuasaan raja-raja di Pajajaran, yakni beberapa tahun sebelum kekuasaan Raja Jawa di Pajajaran berpindah ketangan Majapahit. Sayid Jamaluddin lalu berangkat ke Jawa Timur, dan tibalah di Surabaya. Pada waktu itu, Surabaya merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduk, dikelilingi hutan-hutan dan sungai-sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel, di sinilah Sayid Jamaluddin bertempat tinggal.

 

Satu setengah tahun kemudian, Sayid Jamaluddin ini bersama lima belas pengikutnya dan beberapa pembantu–yang semuanya terdiri dari kaum muslimin yang baru saja memeluk agama Islam–berangkat kepulau Sulawesi di Makassar (Ujung Pandang). Dia tinggal ditanah Bugis, dan tidak lama kemudian dia wafat dikota Wajo.

 

Sedangkan tentang anak lelakinya ,Sayid Al-Ghazi Maulana Ibrahim Alhakim, masih selalu pulang pergi dari Aceh ke Kamboja. Di Kamboja, ia nikah dengan wanita Cina, yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki, yang bernama Maulana Ishak dan Maulana Rahmatullah. Atas didikan ayah mereka ,baik dalam hal agama maupun amal penerapannya, kedua-duanya menjadi Imam dan Alim (luas pengetahuan agamanya). Maulana Ishak kemudian berangkat seorang diri ke Malaka (Tanah Melayu), lalu tinggal di Riau dan menyebar luaskan agama Islam dikalangan penduduk.

 

Sayid Maulana Ishak ini, cukup lama tinggal di Pulau Pinang. Sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli tasawuf di sana, ia mengajarkan Tarekat Syathariyah, suatu tarikat yang dihayati oleh para orang tuanya pada masa itu, dan yang mereka ambil dari ajaran-ajaran datuknya, yang diberikan kepada para ulama Islam di India. Kemudian, Maulana Ishak  pindah ke Banyuwangi dengan tujuan untk berdakwah di sini. Di Banyuwangi, dia memperoleh sambutan kehormatan dari penduduk, sehingga Raja Blambangan ,Menakjinggo, mengundangnya datang di istananya.

 

Blambangan terletak dikawasan pesisir utara Banyuwangi. Maulana Ishak ini nikah dengan putri Menakjinggo, yang konon putrinya sudah memeluk agama Islam, dan ayahnya pun telah memeluk Islam, tetapi ia menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi serangan orang-orang Budha (Hindu). Dari perkawinannya ini, Maulana Ishak dikarunia seorang anak lelaki, yang diberi nama Sayid Muhamad Ainul Yakin. Sayid Muhamad oleh orang-orang Jawa, disebut dengan nama Pangeran Prabu, sedangkan penduduk Banyuwangi menamainya Raden Paku. Dialah Sunan Giri yang mendirikan zawiyah (pondok khusus bagi para penganut aliran tasawuf) dan dialah datuk (kakek) Sunan Perapen.

 

Adapun Maulana Rahmatullah bin Ibrahim Alhakim yang dijuluki dengan nama Zainal Akbar Jamaluddin Alhusain, disebut juga dengan nama Sunan Ampel  ,lahir dikota Champa, sebuah kota dinegeri Kamboja. Atas perintah ayahnya ,Maulana Ibrahim, dia datang kekepulauan Hindia Timur (Indonesia) pada tahun 751 H.

Ia tiba di Jawa dan bermukim di Surabaya dan mempunyai hubungan baik dengan raja Prabu Wijaya V yang beragama Hindu Brahmana. Prabu Wijaya berhubungan intim dengan budak perempuan berkebangsaan India, yang pada akhirnya budak ini hamil. Karena Prabu takut diketahui istrinya, budak ini di bawa ke Palembang dan meminta kepada saudaranya ,Raden Damar, di Palembang agar sudi mengakui bahwa budak itu hamil dari Raden Damar ini.

 

Anak yang lahir dari budak ini, diberi nama Raden Joyowisnu. Anak ini, setelah dewasa ia pergi ke Jawa dan berhubungan baik dengan Imam Rahmatullah (Sunan Ampel) dan sekaligus menjadi muridnya. Pada akhirnya, Raden Joyowisnu ini memeluk agama Islam, dan oleh Sunan Ampel diganti namanya dengan Abdul Fattah (dikenal dengan Raden Patah). Dia mengetahui, ayahnya itu lah yang mengusir ibunya, yang sedang hamil ke Palembang.

 

Raden Fattah melancarkan balas dendam untuk memerangi ayahnya sendiri yang masih beragama Hindu Brahmana. Gurunya ,Sunan Ampel, telah mencegahnya dengan keras untuk memerangi kerajaan ayahnya dan menasihati -nya, bahwa agama Islam adalah agama akal yang mengutamakan kebijaksana- an, bukan agama perang atau agama kekerasan.

Akan tetapi, Abdul Fattah tetap melaksanakan peperangan dengan kerajaan ayahnya, sehingga ia dijauhi oleh gurunya karena tidak mentaati petunjuk dan nasihatnya.

 

Dua tahun kemudian, Sunan Ampel menyaksikan sendiri ketabahan dan ke- mantapan Abdul Fattah dalam membela dan menegakkan agama Islam, barulah ia dibiarkan mendekatinya kembali.

Raden Abdul Fattah mendirikan kesultanan Islam pertama, terpisah dari kerajaan Majapahit, di Demak dekat Kudus, tidak jauh dari Semarang. Panji dan bendera kesultanan Demak pada masa itu berwarna dasar hitam dan bertuliskan kalimat: “La ilaha illallah Muhamad Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, Radhina billahi Rabban wa bil Islami dinan wa bi Muhamadin Nabiyan”.

 

Melihat kenyataan tersebut, ayah Raden Fattah sangat gusar. Sebagai Raja Majapahit, ia mengeluarkan keputusan untuk memerangi melawan kaum Muslimin. Bertahun-tahun Raden Abdul Fattah berkecimpung dalam peperangan melawan kerajaan Majapahit, sehingga ayahnya raja Prabu Wijaya bersama pasukannya meninggalkan istananya menuju pulau Bali. Di Bali ini, dia mendirikan kerajaan Hindu yang baru bertempat di sebuah kota bernama Kelungkung. Sejak dahulu sampai detik ini, sebagian besar penduduknya beragama Hindu.

 

Adapun, anak lelaki Sunan Ampel yang bernama Maulana Ibrahim Al-Ghazi, oleh kaum muslimin Jawa disebut dengan nama Sunan Bonang selalu menyertai Raden Abdul Fattah dalam peperangan. Setelah Maulana Ibrahim ini wafat, ia di makamkan di Bonang. Namun, oleh orang-orang Madura kuburannya di bongkar dan kerangka jenazahnya diangkut ke Madura untuk dimakamkan di pulau itu.

 

Baru saja perahu yang mengangkutnya sampai kepesisir (pantai Tuban), tiba-tiba pecah. Jenazahnya, dibawa kedarat dan dimakamkan kembali di Tuban, disebuah tempat terkenal dengan nama Istanah. Ia wafat tidak meninggalkan keturunan karena selama hidupnya tetap membujang, tidak pernah nikah sama sekali. Ia seorang yang gemar ber’uzlah, menjauhkan diri di tempat-tempat terpencil.

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya

 

Maak jouw eigen website met JouwWeb