Tajsim (penjasmanian) dan Tasybih (penyerupaan)Allah dengan makhlukNya

Tajsim (penjasmanian) dan Tasybih (penyerupaan) Allah Subhaanahuuwata'aala dengan makhlukNya

Golongan wahabi-salafi melarang siapa pun yang setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat (kalimat perumpamaan atau kalimat samar) atau yang berkaitan dengan shifat, berarti ia telah melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Quran.. Bila ada kata-kata di Al-Quran dan hadis wajah Allah, tangan Allah dan sebagainya, harus diartikan juga sebagai wajah dan tangan Allah secara sesungguhnya, hanya kita tidak boleh membayangkan-Nya atau bertanya tentangnya..

 

Pemahaman seperti ini, sama dengan pandangan kelompok mujassimah. Bagi kaum Mujassimah, ayat-ayat Ilahi yang mutasyabihat dalam menerangkan keadaan diri-Nya, haruslah diartikan sebagaimana adanya. Tidak ada takwil untuk sejumlah ayat seperti: “Sesungguh nya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy…. sampai akhir ayat (QS Al-A’raf [7] 54); “.. kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah .“ (QS Albaqarah [2]:115);  “…Mereka melupakan Allah maka Allah pun melupakan  mereka” (QS At-Taubah [9]:67) dan ayat yang semakna antara lain, QS As-Shaad [38] : 75 ; QS Qaaf [50] :16 ; QS Al-Baqarah [2] :186, dll.

 

Dengan metode tafsir seperti itu, kaum Mujassimah berkonsekuensi menolak bahwa Allah Subhaanahuuwata'aala sudah qidam/berada sebelum Dia ciptakan semua makhluk-Nya.  Seandainya ada golongan yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di Arsy dalam arti sesungguhnya, kita bakal bertanya, di manakah Allah jallaajalaaluh bersemayam sebelum arsy, langit, tempat, ruang, arah, atas, bawah dan sebagainya, diciptakan?

Begitu pula, kita akan bertanya dimanakah Allah sesudah diciptakannya semua makhluk? Kaum Mujassimah mengatakan, pada sepertiga malam Allah berada dilangit pertama bukan di atas arsy. Padahal orang semua tahu bahwa waktu itu bergilir setiap saat. Jika di Indonesia tengah malam maka di Amerika adalah siang hari. Kita akan bertanya apakah Allah subhaanahuuwata'aala  berada di langit pertama setiap saat?

 

Telah diketahui, bahwa sifat Allah tetap tidak berubah. Sifat Allah tidak sama dengan makhluk. Orang yang mengatakan Tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah, yaitu sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah Subhaanahuu wata'aala . Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk di nisbahkan kepada Allah, itu ada lima; 

Wahdaniyah/Esa, Allah tidak terpisah-pisah yakni ada tuhan  dilangit, di Arsy, di sorga, ada tuhan di baitullah dan sebagainya.

Qidam, Ada sebelum semua mahluk ada (Allah Ada sebelum tempat dan arah ada);

Baqo/Kekal, Allah kekal, adapun langit dan alam semesta  akan hancur;

Mukhalafatu lil hawaditsi, berbeda dgn mahluk (Allah beda dengan mahluk, adapun yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/mahluk);

Qiyamuhu binafsihi, tidak memerlukan apapun (Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb.nya).

 

Kaum Mujassimah mengatakan “Allah punya tangan tetapi beda dengan tangan Mahluk”. Mereka ini mengatakan akan menerima secara zhahir dan yang zhahir itu berbeda dengan zhahirnya mahluk. Kita ingin bertanya, makna zhahir mana yang mereka katakan “menerima secara zhahir?”

 

Seorang pelajar di kota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra–yang suka mengesampingkan dan menyalahkan para ulama lain yang tidak sefaham dengannya–mendatangi seorang ulama yang berpendapat bahwa boleh melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat mutasyabihat. Umpama  ayat, yadullah fauqa aidiihim (tangan Allah diatas tangan mereka), tajri bi a’yunina ([kapal] itu berlayar dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan takwil berpendapat, kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan (bukan berarti tangan Allah Swt. secara hakiki), sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.           

 

Ulama tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat mutasyabihat, langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelaku takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Quran. Ulama yang membolehkan takwil dengan tenang memberi komentar, “Kalau  saya tidak boleh takwil, maka anda akan buta di akhirat.”

Ulama tunanetra itu bertanya, “Mengapa anda mengatakan demikian?” Ulama yang membolehkan takwil mejawab, “Bukankah Allah jallaajalaaluh berfirman, ‘Barang-siapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar. (QS. Al-Isra [17]:72). Kalau saya tidak dibolehkan takwil, buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata, tentunya nasib anda akan sangat menyedihkan di akhirat, karena di dunia ini anda buta (tunanetra). Karenanya, bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat di atas diartikan degan buta hati dan bukan arti sesungguhnya yaitu buta mata. Ulama tunanetra itu akhirnya terdiam, tidak memberi tanggapan apa-apa.”

 

Dalam kutipan berikut, ditunjukkan bahwa kaum Wahabi-Salafi cenderung sefaham dengan kaum Mujassimah. Mereka menyakini serta mempercayai makna zhahir hadis-hadis berikut secara hakiki, hanya manusia tidak boleh membayangkan Tuhannya:

 

Berkata Wahab bin Munabbih waktu ditanya oleh Jaad bin Dirham tentang Asma wa Shifat: 'Celaka engkau wahai Jaâd karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Jaâd, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa Dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kami pun tidak akan mengatakannya. Bertakwalah engkau kepada Allah!' (Aqidatus Salaf As-habul Hadis, hal.190) 

 

Abdullah Ibnu Ahmad rahimahullah meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Beliau berkata, “Rasulallah shallahu'alaihiwasallam telah bersabda, ’Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya’. Perawi berkata; ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?’ Rasulallah shallahu'alaihiwasallam menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Kita tidak kehilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan’“.(Kitab as-Sunnah, hal.54). 

 

Abdullah bin Ahmad berkata, “Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Said bin Jubair yang berkata, Sesungguhnya mereka berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?’ Saya berkata kepada Said bin Jubair, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya.”(Kitab as-Sunnah, hal. 76). 

 

Abdullah bin Ahmad berkata, “Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi Ithaq yang berkata, ‘Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya ke batu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.’” (Kitab as-Sunnah, hal. 76). 

 

Mari kita baca lagi riwayat lainnya dibawah ini yang menetapkan keyakinan kaum Wahabi-Salafi bahwa Allah mempunyai jari, dan diantara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Beberapa hadis berikut difahami kaum Wahabi-Salafi secara tekstual-literal:

 

Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-Tauhid dengan bersanad dari Anas bin Malik r.a yang berkata: Rasulallah shallahu'alaihiwasallam telah bersabda, “Manakala Tuhannya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingkingnya itu, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung “  Humaid bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu akan menyampaikan hadis ini’? Dia menjawab, ‘Anas menyampaikan hadis ini kepada kami dari Rasulallah, lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan hadis ini?’  (Kitab at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal.65). Bagi kaum Wahabi-Salafi, hadis ini menunjukkan bahwa Allah  mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, di antara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemudian, mereka mengatakan bahwa jari kelingking itu mempunyai sendi..! 

 

Abdullah juga berkata, dengan bersanad dari Abu Hurairah, dari Rasulallah shallahu'alaihiwasallam yang bersabda, ”Sesungguhnya kekasaran kulit orang kafir panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa.” (Kitab at-Tauhid, hal.190). Dari hadis ini kaum Mujasiimah ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua tangan, juga kedua tangan Tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jika tidak, maka tidak mungkin kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang. 

 

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, “Rasulallah shallahu'alaihiwasallam telah bersabda, “Orang-orang kafir dilemparkan kedalam neraka. Lalu, neraka berkata, ‘Apakah masih ada tambahan lagi?, maka Allah pun meletakkan kaki-Nya kedalam neraka, sehingga neraka berkata, ‘Cukup, cukup’.” (Kitab at-Tauhid, hal.184). 

 

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulallah shallallahu 'alaihiwasallam yang bersabda; “Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah meletakkan kaki-Nya kedalamnya. Lalu, neraka pun berkata, ‘Cukup cukup.’ Ketika itulah neraka menjadi penuh”. (Kitab at-Tauhid, hal.184). Dari riwayat ini kaum Wahabi memahami bahwa Allah Subhaanahuwata'aala. mempunyai kaki. 

 

Ada riwayat lebih jauh lagi, dengan menetapkan keyakinan kaum ini bahwa Allah Swt. mempunyai nafas. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka’ab yang berkata, “Janganlah kamu melaknat angin, karena sesungguhnya angin berasal dari nafas Tuhan.” (Kitab as-Sunnah, hal.190). 

Kaum Wahabi-Salafi juga menetapkan bahkan menyerupakan suara Allah dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, “Jika Allah berkata-kata menyampaikan wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang hening.” (Kitab as-Sunnah, hal.71).

 

Kaum Mujassimah ini juga meyakini bahwa Allah subhaanahuuwata'aala duduk dan mempunyai bobot. Karena itu, terdengar suara derit kursi ketika Allah sedang duduk di atasnya. Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat. Jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari suara derit? Dasar argumen kaum Mujassimah ini didasarkan pada keterangan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadis dengan bersanad dari Umar r.a. yang berkata, “Jika Allah duduk di atas kursi, akan terdengar suara derit tidak ubahnya seperti suara deritnya koper besi.” (Kitab as-Sunnah, hal.79).

 

Beliau juga mengatakan, dengan bersanad kepada Abdullah Ibnu Khalifah, “Seorang wanita telah datang kepada Nabi shallallahu'alaihiwasallam lalu berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.’ Nabi shallallahu'alaihiwasallam bersabda, ‘Maha Agung Allah.’ Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam kembali bersabda, ‘Sungguh luas kursi-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai suara tidak ubahnya seperti suara derit pelana tatkala dinaiki’“.(Kitab as-Sunnah, hal. 81)  

 

Ada juga keterangan bahwa Allah subhaanahuuwata'aala dapat dilihat, mempunyai tangan yang dingin dan sebagainya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata: Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda, “Aku melihat Tuhanku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. Lalu Tuhanku berkata, ‘Ya Muhamad.’ Aku menjawab, ‘Aku datang memenuhi seruan-Mu.’ Tuhanku berkata lagi, ‘Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar’? Aku menjawab, ‘Aku tidak tahu, wahai Tuhanku.’ Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam melanjutkan sabdanya, ‘Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya di antara dua pundak-ku, sehingga aku dapat merasakan dinginnya tangan-Nya di antara kedua tetek-ku, maka akupun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat’”. (Kitab at-Tauhid, hal.217). 

 

Keyakinan Mujassimah kaum Wahabi-Salafi juga di   dasarkan sebuah riwayat yang lebih aneh lagi. Abdullah bin Ahmad juga berkata: “Sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khatab r.a mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas r.a, Abdullah bin Umar bertanya, ‘Apakah Muhamad telah melihat Tuhannya?’ Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban,  ‘Benar’. Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulallah shallallahu 'alaihiwasallam melihat Tuhannya?.

Abdullah bin Abbas mengirim surat jawaban, ‘Rasulallah shallallahu'alaihi wasallam melihat Tuhannya di sebuah taman yang hijau, dengan permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang laki-laki, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.’” (Kitab at-Tauhid, hal.194). 

 

Lebih aneh lagi, riwayat hadis yang diragukan kebenarannya, tapi dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah. Riwayat itu menyebutkan, Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam melihat Allah subhaanahuuwata'aala berupa seorang pemuda Amrad (yang belum tumbuh jenggot dan kumisnya). Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahabisme dengan jelas menyatakan sahih marfu. (kitab Bayan Talbis Al-Jahmiyyah jilid 7 hal. 290). Hadis ini, sudah jelas tidak bisa diterima kebenarannya. Di samping bertentangan dengan Al-Quran dan jelas sekali menunjukkan bahwa Allah adalah seorang mahluk. Na’udzubillah.

 

Para ulama Salaf bersepakat, barang siapa yang menyifati Allah secara hakiki dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir. Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al-Muhaddis as-Salaf ath-Thahawi (227–321 H) dalam kitab akidahnya yang terkenal: al-Aqidah at-Thahawiyah.

 

Semua riwayat hadis diatas, jelas menunjukkan tajsim atau tasybih Allah kepada makhluk-Nya. Orang yang mempercayai hadis-hadis itu, sudah pasti akan membayangkan Tuhannya–walau pun kaum mujassimah ini berkata tidak membayangkanNya–tentang bentuk jari kelingking Allah subhaanahuu wata'aala, kaki-Nya, wajah-Nya, berat-Nya, rambut-Nya dan lain sebagainya.

 

Umpama saja riwayat-riwayat diatas ini sahih, maka makna yang berkaitan dengan sifat Allah Subhaanahuuwata'aala tersebut, harus ditakwil yang sesuai dengan ke Mahasucian dan ke Mahaagungan-Nya. Atau tidak diartikan secara hakiki/ sebenarnya.

 

Marilah kita lihat diskusi mengenai seputar sifat-sifat Allah antara seorang mazhab sunnah (lebih mudahnya kita juluki si A) dengan salah seorang tokoh Wahabi/Salafi (kita juluki si B). Si A mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tersebut dalam hadis-hadis di atas ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan kesalahan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat. 

 

Si A (mazhab sunnah) bertanya pada si B (Wahabi): “Jika memang Allah subhaanahuuwata'aala mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkan-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.”   

 

Si B (mazhab Wahabi) menjawab: “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya (bentuk Allah), namun dia tidak di perkenan- kan memberitahukannya!!”  

Si A bertanya lagi: “Apa bedanya antara anda meletakkan sebuah berhala dihadapan anda dan kemudian anda menyembah nya dengan anda hanya membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?” 

 

Si B menjawab: “Ini adalah perkataan kelompok sesat semoga Allah memburukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seperti ini (mempunyai dua tangan, kaki dan lain-lain). Sehingga dengan demikian, mereka itu menyembah Tuhan yang tidak ada.” 

 

Si A ini berkata lagi: “Sesungguhnya Allah yang Maha benar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal, tidak dapat dicapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya di mana dan bagaimana, serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang telah menciptakan di mana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak dapat anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang dapat anda bayangkan adalah mahluk. Kami telah belajar dari para ulama keturunan Nabi shallallahu'alaihiwasallam. Mereka berkata, ‘Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meskipun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu mahluk seperti kamu.’ Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidakmampuan mengenal-Nya.”

 

Si B berkata dengan penuh emosi, “Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup! “ Demikianlah diskusi singkat ini.  

 

Kaum Wahabi-Salafi berusaha memberikan pembenaran terhadap hadis-hadis mengenai penjasmanian/tajsim dan tasybih/penyerupaan tersebut dengan alasan: “Tanpa bentuk (bi la kaif)”?! Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair, “Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya, namun mereka takut akan kecaman manusia maka oleh karena itu mereka pun menyembunyikannya dengan mengatakan tanpa bentuk (bi la kaif)”.

 

Seorang mazhab sunnah pernah berdiskusi dengan salah seorang dosennya di kampus tentang seputar masalah duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika si dosen terdesak dia mengemukakan alasan: “Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, ‘Arti duduk (al-istiwa) diketahui, tapi bentuk (al-kaif) duduknya tidak diketahui, dan pertanyaan tentangnya adalah bid‘ah.”

Si murid berkata kepadanya; “Anda tidak menambahkan apa-apa kecuali kesamaran, dan anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini.” Dosen ini berkata, “Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius.”  Si murid yang bermazhab sunnah tersebut mengatkan, “Jika arti duduk diketahui, tentu bentuknya pun diketahui juga. Sebaliknya, jika bentuk tidak diketahui, duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang duduk adalah pengetahuan tentang bentuk itu sendiri. Akal tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena kedua- nya adalah satu.

 

Jika anda mengatakan si A duduk, ilmu anda tentang duduknya adalah tentang bentuk (kaifiyah) duduknya. Ketika anda mengatakan, duduk diketahui, ilmu anda tentang duduk itu adalah tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa anda mengetahui duduk, namun pada saat yang sama anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui bentuknya.” Kemudian si Dosen pun terdiam beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta izin untuk pergi.!!  

 

Nash-nash yang menyatakan sifat atau perbuatan Sang Pencipta tentunya harus dipahami dengan landasan dalil-dalil bahwa ruang, waktu, pikiran, dan kesadaran adalah makhluk Allah, sehingga harus dipahami bahwa Allah Swt. bukan makhluk, memahami makna “sifat atau perbuatan Allah” itu tentu dalam pengertian memahami sesuatu yang diluar batas ruang, waktu, dan kesadaran. Memahami ayat-ayat sifat itu sebagai bahasa majazi/kiasan adalah hal yang paling baik. Metode ini menghindari orang terjerumus ke dalam mujassimah.

 

Bukankah Allah Swt. sendiri telah berfirman: Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syura [42]:11); ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS  Al-An’am [6]:103);  “Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan” ( QS Ash-Shaffaat [37]: 159). Ayat-ayat inilah sebagai dalil yang kuat bahwa Allah subhaanahuuwata'aaala tidak bisa disamakan atau disifatkan secara hakiki seperti mahluk-Nya.

 

Lebih mudahnya kami beri contoh. Tatkala kita menyebutkan kata singa yaitu berupa kata tunggal, dengan serta merta terbayang di dalam benak kita seekor binatang buas yang hidup di hutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk tarkibi (susunan kata) yang tidak mengandung qarinah (petunjuk) yang memaling- kannya dari makna ifradi (tunggal). Seperti kalimat yang berbunyi, ‘Saya melihat seekor singa sedang memakan mangsanya di hutan’.

 

Kata Singa di sini maknanya adalah sama yaitu binatang buas. Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, ‘Saya melihat singa sedang menyetir mobil ’. Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada di dalam kalimat ini adalah arti kiasan, yaitu seorang laki-laki pemberani. Bukan berarti binatang buas. Inilah kebiasaan orang Arab di dalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata; ‘Dia menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari karena suara terompet perang yang dibunyikan’.  

 

Dari syair itu, kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah. Kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh dalam peperangan.  Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang merubah kalimat dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir perkataan.

 

Begitu juga susunan kata seperti, ‘Negeri ini berada di dalam genggaman tangan Raja’. Orang akan memahami yang dimaksud kalimat ini, ‘Negeri ini berada di bawah kekuasaan dan kehendak Raja’. Susunan kata ini tetap sesuai atau tetap diucapkan meskipun pada kenyataannya Raja tersebut buntung tangannya. Jadi kata ‘genggaman tangan’ dalam kalimat ini sebagai kata kiasan/majazi yang harus disesuaikan maknanya. 

 

Demikian juga halnya dengan ayat-ayat sifat Allah subhaanahuuwataáala (wajah-Nya, tangan-Nya, betis, turun, tertawa dan lain sebagainya) baik yang tertulis dalam Al-Quran maupun dalam hadis, walaupun zhahir teksnya tetap tertulis di dalam Al-Quran dan hadis, tetapi para sahabat dan ulama pakar menerangkan dan mensesuaikan maknanya dengan ke Maha Sucian dan keMaha Agungan-Nya atau diserahkan pe-makna-annya kepada Allah Subhaanahuuwata'aala, untuk menghindari orang terjerumus dalam mujassimah. Perhatikan uraian berikut sebagian tentang ayat dan hadis mutasyabihat yang ditakwil dari makna zahirnya teks.

 

Wallahua'lam.

Silahkan baca uraian berikutnya.