Kehalalan dan Keharaman Taklid

Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad

Allah Ta'aala berfirman:  “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui” (QS Al-Anbiya [21]:7).  Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang ahli di bidangnya. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaklid kepada kaum alim yang mujtahid.

 

Senada dengan ayat di atas, firman Allah Subahaanahuwata'aala dalam surah At Taubah:122: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang). Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”.

 

Dalam kitab Tafsir al-Jarmi Li Ahkamil Qur’an jilid 8/293-294 diterangkan bahwa  Allah melarang manusia pergi berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama. Sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara halal dan haram, dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah subhaanahuuwata'aala.   

 

Ijmak ulama bahwa para sahabat Nabi sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan. Tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk memberikan fatwa. Ibnu Khaldun berkata, “Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua: Ada yang termasuk mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti, yakni peminta fatwa yang bertaklid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat.

 

Rasulallah shallahu'alaihiwasallam pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama ke satu daerah yang penduduknya masih belum mengerti Islam secara detail. Penduduk wilayah ini hanya memahami secara global ajaran pokok Islam. Maka, para penduduk didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat utusan Rasulallah tersebut. Mereka mengikuti fatwa sahabat, baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, muamalah maupun perkara-perkara halal dan haram.

Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalahan yang tidak ditemukan dalilnya dari Al-Quran dan hadis. Maka, terhadap perkara itu, mereka melakukan ijtihad, kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.

 

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11:385 pada bab Taklid dan Istifta’ menyatakan, “Orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaklid. Ia berkata, ‘Kami berdalil terhadap yang demikian itu, dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijmak sahabat. Para sahabat selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam, dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajat ijtihad. Ijmak tersebut telah diketahui secara mutawatir, baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa’”.

 

Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata, Yang dimaksud Ijmak adalah keadaan orang-orang awam di masa sahabat dan tabi‘insebelum munculnya orang-orang yang menyimpang. Kaum awam ini, selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid. Lalu mereka mengikuti fatwa para sahabat hal hukum-hukum agama.

 

Para ulama di kalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijmak dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak.

 

Di zaman sahabat, mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Muaz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Adapun, para sahabat nabi yang bertaklid kepada mazhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.

 

Pada zaman tabi‘in, daerah ijtihad bertambah luas. Kaum muslimin pada zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat Rasulallah Saw. Ijtihad di masa tabi‘in dapat digolongkan kepada dua mazhab utama yaitu mazhab  Ahlu al-Ra’yi di Irak dan mazhab  Ahlul-Hadis.

 

Di antara tokoh-tokoh mazhab Ahlu al-Raýi di Irak, Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Said bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Adapun, tokoh-tokoh mazhab Ahlul-Hadis di Hijaz adalah; Said bin al-Musayyab al-Makhzumi; Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar.

Diantara tokoh-tokoh kedua mazhab ini, sering juga terjadi diskusi dan perdebatan. Akan tetapi, kaum awam dan kalangan pelajar tidak lah ikut campur dalam hal silang pendapat itu. Perdebatan yang terjadi diantara para mujtahidin, tidaklah menjadi beban tanggung jawab kaum awam atau kalangan pelajar. 

 

Syekh Abdullah Darras berkata, “Dalil logika untuk masalah ini adalah, orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu masalah fiqih maka ada dua kemungkinan caranya bersikap: Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali dan ini tentu menyalahi ijmak. Kedua, dia melakukan ibadah dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taklid.

 

Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajiban- nya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan hukum”.

 

Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil, baik itu dari Al-Quran, hadis maupun dalil aqli. Kaum awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini, kecuali bertaklid kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil. Maka berkatalah ulama para ulama ushul:

“Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah untuk orang mujtahid karena Al-Quran sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat di dalamnya. Begitu juga Al-Quran  itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang yang mujtahid.”

 

Dalam hal ini As-Syatibi berkata, Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang- orang awam adalah seperti dalil-dalil syar‘i bagi para mujtahid. Alasannya, karena bagi kaum awam yang taklid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja. Mereka tidak mampu mengambil pengertian darinya.

Maka, masalah meneliti dalil dan melakukan istinbath bukanlah urusan kaum awam. Mereka memang tidak diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Quran  Allah subhaanahuwata'aala  berfirman: ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’ (QS Al-Anbiya [21]:7).

Orang yang taklid bukanlah orang yang alim. Oleh karena itu, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan demikian, kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara.

 

Syaikh Khajandi dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haram -nya bertaklid kepada salah seorang dari imam-imam mazhab, mendompleng nama Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan Ibnul Qayumal-Jauziyah. Tanpa ragu, sang Syaikh menyebarluaskan kutipan yang ia yakini berasal dari ketiga imam ini.

Padahal, menurut penelitian Syaikh DR. Said Ramdhan al-Buthi, ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah demikian adanya.

 

Berikut ini, kami sampaikan kutipan-kutipan Syaikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut diatas. Dikutipkan juga sanggahan Syaikh Said Ramdhan al-Buthi terhadap ucapan Syaikh  Khajandi.    

  

Syaikh  Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Insyaf yang menyebutkan sebagai berikut:

 فَمَنْ أَخَذَ بِجَمِيعِ أقْوَالِ أَبِي حَنِيْفَة اَوْ جَمِيْعِ أقْـوَالِ  مَالِكٍ اَوْ جَمِيْعِ أقْـوَالِ الشَّافِعِىّ اَوْ جَمِيْعِ أَقْوَالِ أحْمَدَ اَوْ غَيـْرِهِمْ وَلَمْ يَعْـتَمِدْ عَلَى مَا جَاءَ فِى الْكِتَـابِ وَالسُّنَّةِ فَقَدْ خَالَفَ إِجْمَاعَ الأُمَّـةِ كُلِّهَا وَالتَّبَعَ غَيْـرَ سَبِـيْلِ  المُؤْمِنِـيْنَ                         

“Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah, atau semua ucapan Imam Malik, atau semua ucapan Imam Syafi’i, atau semua ucapan Imam Ahmad, atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Quran  dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijmak seluruh umat, dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukminin.”

 

Terhadap kutipan tersebut, Syaikh Said mengatakan, Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Insyaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan, apa yang di katakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syaikh Khajandi.

 

Dalam kitabnya Al-Insyaf dan Hujjatul Balighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata:

إِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ المَذَاهِبَ الأَرْبَعَةَ الْمُدَوَّنَةَ الْمُحَرَّرَةَ قَدِ اجْتَمَعَتِ الأُمَّةُ اَوْ مَنْ يُعْـتَدُّ بِهِ مِنْهَا عَلَى جَوَازِ تَقْلِيْدِهَا اِلَى يَوْمِنَا هَذَا

وَ فِي ذَلِكَ مِنَ الْمَصَالِحِ مَالاَ يَخْفَى لاَ سِيَّمَا فِى هَذِهِ الأَيَّامِ الَّتِى قَصُرَتْ فِيْـهَا مَالايَخْفَى لاَ سِيَّمَا فِى هَذِهِ الأَيَّامِ الَّتِى قَصُرَتْ        

فِيْـهَا الهِمَمُ جِدًّا وَأُشْرِبَتِ النُّـفُوْسُ الْهَوَى وَ اَعْجَبَ كُلُّ ذِى رَأْيٍ بِرَأْيِهِ  

“Ketahuilah! Sesungguhnya umat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaklid kepada empat mazhab yang telah dibukukan secara autentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat mazhab tersebut, terdapat maslahat yang jelas, terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang. Jiwa sudah di campuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri." 

 

Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi, yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat mazhab tersebut. Karenanya, Syaikh  Said Ramdhan menantang Syaikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.

 

Syaikh  Khajandi mengatakan, Izuddin bin Abdussalam mengharamkan orang berpegang pada mazhab  tertentu, dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Quran dan hadis atau berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain, tanpa menetapi salah seorang imam mazhab  secara terus menerus. Terhadap ucapan Syaikh  Khajandi ini, Syeikh. Said Ramdhan mengatakan, bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari salah satu imam mazhab  yang empat, yaitu pengikut mazhab Syafi’i.

 

Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qowa ‘idul Ahkam 11/ 135;

 وَيُثْتَـثْنَى مِنْ ذَلِكَ العَامَّةُ فَإِنَّ وَظِيْفَتَهُمْ التَّقْلِيْدُ  لِعَجْزِهِمْ عَنِ التَّوَصُّلِّ اِلَى مَعْرِفَةِ الأَحْكَام بِالإِجْتِهَادِ بِخِلاَفِ الْمُجْتَهِدِ فَإِنَّهُ قَادِرٌ عَلَى النَّظْر الْمُؤَدِّى إِلىَ الحُكْمِ. وَمَنْ قَلـَّدَ إِمَامًا مِنَ الأَئِمَّـةِ  ثُمَّ اَرَادَ غَيْرَهُ  فَهَلْ  لَهُ ذَلِكَ؟ فِيْهِ خِلاَفٌ, وَالْمُخْـتَارُ التَّفْصِيْلُفَإِنْ كَانَ الْمَذْهَبُ الَّذِى اَرَادَ الإِنْتِـقَالَ إِلَيْهِ مِمَّا يَنْقُـضُ فِيْهِ الْحُكْمَ فَلَيْسَ لَهُ الإِنْتِقَالُ إِلَى حُكْمٍ يُوْجِبُ نَقْضَهُ  فَإِنَّهُ لَمْ يَجِبْنَقْضُهُ إلَى لِبُطْـلاَنِهِ, فَإِنْ كَانَ   الاَخْذَانِ  مُتَـقَارِبَيْنِ جَازَالتَّقْلِيْدُ وَ الإِنْتِقَالُ لأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مِنْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ إِلَى أَنْ ظَهَرَتِ الْمَذَاهِبُ الأَرْبَعَـةُ يُقَلِّدُونَ مِنِ التَّفَقَ مِنَ العُلَمَاءِ مِنغَيْرِ نَكِيْرِ أَحَدٍ يُعْتَـبَرُ إِنْكَارُهُ وَلَوْ كَانَ  ذَلِكَ بَاطِلاًَْ لأَْ ِْنْكَرُوهُ  

“Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad, maka tugas mereka adalah taklid, karena mereka tidak mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid, yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang taklid kepada seorang imam (dalam satu mazhab), kemudian dia ingin taklid kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian?

 

Dalam hal ini, terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni: Jika mazhab  tempat dia hendak pindah itu termasuk mazhab yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum yang menolak tersebut, karena penolakan itu pastilah disebabkan kebatalannya.

Jika dua mazhab  itu berdekatan (keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taklid dan boleh pula berpindah-pindah. Hal ini, karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam mazhab, kaum muslimin senantiasa bertaklid kepada setiap ulama yang mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah di-ingkari oleh seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh), niscaya mereka akan mengingkarinya.”

 

Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam. Ia malah mewajibkan orang-orang awam untuk bertaklid. Bukan seperti Syaikh  Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma‘shum dan meninggalkan yang tidak ma‘shum. Dengan kata lain, dia mewajibkan semua orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Quran  maupun Hadis.

 

Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang taklid harus menetapi seorang imam tertentu. Akan tetapi, mengenai berpindah kepada imam mazhab selain mazhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian, beliau ini condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syaikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah mazhab. Syaikh Khajandi menyebarkan pandangan- nya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi.

 

Syaikh  Khajandi mengatakan, ibnul Qayim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdus-Salam, mengharamkan orang berpegang pada mazhab tertentu, dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Quran  dan Hadis  atau berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam mazhab  secara terus menerus.

Syaikh  Said Ramdhan Al-Buthi telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul-Qoyim berpendapat seperti yang tersebut diatas. Karena beliau (Ibnul Qoyyim) sendiri adalah pengikut salah satu pengikut dari imam mazhab  yang empat yakni mazhab Hanbali.

 

Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in jilid 111:168 sebagai berikut:

ذِكْرُ تَفْصِيْلِ الْقَوْلِ فِى التَّقْلِيْدِ وَ انْقِسَامُهُ إلَى مَا يَحْرُمُ فَهُوَ ثَلاَثَـةُ اَنْوَاعٍ اَحَدُهُمَا اَْلإِعْرَاضُ عَمَّا اَنْزَلَ اللهُ وَعَدَمُ الإِلْتفَاتِ إِلَيْهِ إِكْتِفَاءً  بِتَقْلِيْدِ  الآبَاءِ, اَلثَّانِى : تَقْلِيْدُ مَنْلاَ يَعْلَمُ الْمُقَلِّدُ اَنَّهُ اَهْلٌ لأَنْ يُؤْخَذَ بِقَوْلِهِ اَلثَّالِثُ اَلتَّـقْلِيْدُ بَعْدَ الحُجَّةِ وَ ظُهُورِ الدَّلِيْلِ عَلَى  خِلاَفِ قَوْلِ الْمُقَلَّدِ ثُمَّ أَطَالَ إبْنُالْقَيِّم فِى سَرْدِ وَ شَرْحِ اَضْرَارِ وَ مَسَاوِئِ التَّقـْلِيْدِ الْمُحَرَّمِ اَلَّذِى حَصَرَهُ فِى هَذِهِ الأَنْوَاعِ الثَّلاَثَةِ     

“Rincian pendapat tentang taklid dan pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni taklid yang haram terdiri dari tiga macam: a) Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taklid kepada nenek moyang.

b) Taklid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak.

 

c) Taklid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang ditaklid. Kemudian Ibnul Qayim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taklid yang di haramkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut. Kemudian, Ibnul Qayim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taklid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut”.

 

Dengan demikian, pembicaraan Ibnu Qayim yang panjang lebar tentang pengingkaran dan ketidak setujuannya terhadap taklid, hanyalah berkisar pada tiga macam taklid yang merupakan bagian dari bentuk taklid yang pertama, yakni taklid yang diharamkan.

 

Bahkan, pada bagian yang lain, Ibnul Qayim mengatakan sebagai berikut:

Allah Swt. hanya mencela orang-orang kafir yang taklid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula mendapat petunjuk. Allah tidak mencela orang-orang yang taklid kepada para ulama yang mendapat petunjuk, bahkan Allah memerintahkan mereka untuk bertanya kepada ahludz-zikir (QS An-Nahl [16]: 43) yakni para ulama.

 

Surah An-Nahl ini, merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui agar taklid kepada orang yang mengetahui, yakni para ulama. Jawaban terhadap pernyataan di atas adalah,  yang dicela oleh Allah Swt.  itu adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah Taáala  dan lebih memilih taklid kepada nenek moyang mereka. Taklid seperti ini, adalah taklid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam mazhab yang empat. Adapun, taklidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka taklid yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa.  Wallahua'lam.

Silahkan uraian uraian berikutnya.