Baca surah Al-Fatihah bagi makmum

Bacaan surah Al-Fatihah bagi makmum

Golongan Pengingkar yang membid’ahkan bacaan Al-Fatihah bagi makmum berdalil hadis ibnu Ukaimah dari Abu Hurairah r.a, yang mengatakan, “Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam melakukan shalat dengan kami, dimana bacaan (al-Fatihah dan surahnya) dijaharkan. Selesai shalat, beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda, ‘Apakah ada salah seorang dari kamu yang membaca (Al-Quran) bersama-sama aku’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ‘Ingat lah, aku mengatakan,  aku tidak pantas menentang Al-Quran (ma li unazi’u Al-Qurana)’. Abu Hurairah mengatakan, ‘orang-orang pun berhenti membaca (Al-Quran) jika imam menjaharkan bacaan. Mereka membaca (al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan) dalam dirinya jika imam tidak menjaharkan bacaannya (yakni  shalat dhuhr dan asr) ”. 

 

Jawaban;

Hadis Ibnu Ukaimah diatas, lemah/dhoif (lihat penjelasannya dalam kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III karya Syeikh Hasan bin Ali, jordania). Hadis dhoif tidak bisa dibuat dalil untuk suatu hukum. Begitu pula dalam hadis tersebut tidak ada isyarat yang melarang makmum membaca al-Fatihah dibelakang imam. Jadi hadis itu bersifat umum yang ditakhsish (dikhususkan atau dikecualikan sebagian kandungannya).

 

Syeikh al-Albani ,imam kelompok salafi-wahabi, dalam kitab  Shifatu Shalatihi (Sifat Shalat Nabi Muhamad ) hal.99 mengatakan, ‘kalimat dalam hadis ‘orang-orang pun berhenti membaca.. ..’, hanya perkataan Abu Hurairah saja!

 

Jawaban;

Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya kata-kata–mudrajah (tambahan)- dari Az-Zuhri. Hal itu, telah diterangkan oleh para imam hadis, antara lain Imam Bukhori (Juz Al-Qira’at Khalfa Al-Imam hal. 29-30).

 

Golongan Pengingkar berdalil lagi dengan kalimat hadis dalam Sahih Muslim (I:304), “dan apabila dia (imam) membaca maka perhatikanlah’, Imam itu dijadikan untuk di-ikuti, apabila ia bertakbir, bertakbirlah…sampai akhir hadis.”

 

Jawaban;

Riwayat hadis ini tidak kuat. Imam Nawawi (Al-Majmu’ III:386) mengatakan, ‘menurut Imam Baihaqi, lafaz tersebut tidak ada dari Nabi shallallâhu‘alaihi wasallam’. Abu Daud dalam Sunannya; ‘lafaz itu tidak terjaga/terpelihara’ (laisat bi mahfudhah).

 

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), mengenai hadis–siapa yang mempunyai imam, bacaan imam menjadi bacaan baginya–berkata, “Akan tetapi, hadis tersebut menurut para Hafidh–penghafal hadis–merupakan hadis lemah/dhoif. Semua thariq (jalan) dan ilat-nya telah di ambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan lainnya”.

Begitu pula, diantara yang melemahkan dan menolak hadis tersebut, Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at hal.9. Ia mengatakan, ‘Kabar ini, tidak tsabit (kuat) menurut para pakar ,baik menurut penduduk (ulama) Hijaz mau pun penduduk (ulama) Irak dan lainnya, karena hadis tersebut mursal dan munqathi’ “. 

 

Diantara bukti kelemahan dan kebatilan hadis diatas:

Jika benar bacaan imam itu mewakili bacaan (rukun shalat surah Al-Fatihah) makmum, mengapa zikir-zikir selain al-Fatihah seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya tidak dibatalkan hukum membacanya dari makmum, bahkan hukumnya bacaan-bacaan ini adalah sunnah?

Seandainya hadis tersebut sahih–dan itu tidak mungkin–, tidak tercantum didalam hadis itu bahwa bacaan imam mencakup semua bacaan makmum. Karenanya, hadis tersebut bersifat umum. Kalimat ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis yang mudhaf (disandarkan) jadi mencakup apa saja yang dibaca oleh imam tidak hanya terbatas kepada bacaan al-Fatihah saja.

 

**Ubadah bin Shamit meriwayatkan, “Kami pernah melakukan shalat bersama Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam pada shalat shubuh. Beliau, merasa berat untuk membaca (Al-Quran/al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai shalat) beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ‘Sesungguhnya, aku melihat kamu sekalian (mengetahui kamu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (al-Fatihah), karena tidak ada shalat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya.’” {{HR. Imam Ahmad [V:316]; Imam Bukhori dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam [membaca Alfatihah, dibelakang Imam]; Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar [1:215]; Abu Dawud [1:217-218]; Imam Turmudzi [II:117]; Ibnu Khuzaimah dalam sahih-nya [III:36]; Ibnu Hibban dalam sahih-nya [V:86]; Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah [III:82] dan Sunan-nya [II:164] begitu pula dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [III:8] dengan periwayatan dan penjelasan yang luas; Ad-Daraquthni [I:318]; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak [I:238], hadis tersebut sahih dan tsabit (kuat); Menurut Al-Khathabi ,seperti disebutkan Imam Nawawi dalam Syarh Muhazzab [III:366], ‘Isnad hadis tersebut jayid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’; Ibnu Hajar dalam Al-Fath [II:242], menyifatinya sebagai hadis tsabit [kuat]}}.

 

Hadis  Ubadah ini, bersifat khusus mengenai bacaan surah al-Fatihah bagi makmum (pada shalat jahar), sehingga hadis itu mengkhususkan atau mengecualikan keterangan yang umum tersebut. Demikianlah, yang di tetapkan  dan diakui dalam ilmu Ushul (Fiqi). 

 

**Imam Turmudzi mengomentari hadis diatas, ’Berkenaan dengan bab itu terdapat pula riwayat (yang serupa hadis itu) dari Abu Hurairah, Siti Aisyah, Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullah bin Amr (r.a)’. Imam Turmudzi mengatakan, “Mengamalkan hadis tersebut berarti mengikuti pendapat kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi shallallâhu‘alaihi wasallam mau pun Tabi’in. Begitu pula yang diamalkan oleh Imam Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ibnu Al-Mubarak, Ahmad dan Ishak. Mereka semua berpendapat (mengenai wajibnya) membaca (al-Fatihah) di belakang imam.”

 

**Hadis dari Anas bin Malik r.a, “Bahwa Rasulallah shallallâhu‘alaihi wasallam melakukan shalat dengan para sahabatnya. Seusai shalat beliau shallallâhu‘alaihiwasallam menghadap kepada mereka, sambil bersabda, ‘Apakah kalian membaca (Al-Quran) dalam shalat kalian di belakang imam, padahal imam (sedang) membaca? Mereka diam. Rasulallah shallallâhu‘alaihi wasallam mengucapkan itu tiga kali. Kemudian, ada yang berkata, ‘Sesungguh-nya, kami melakukannya (membaca Al-Quran)’. Beliau shallallâhu‘alaihi wasallam bersabda,

Maka janganlah kalian lakukan dan hendaklah salah seorang diantaramu (masing-masing kalian) membaca Fatihah Al-Kitab didalam dirinya (tidak dijaharkan)’.” (Ibnu Hibban dalam sahih-nya  [V:162]; Imam Daraquthni dalam As-Sunan [I:340], hadis ini sahih; Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:110] dari hadis Anas).

 

**Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Imam Thabarani dalam Al-Ausath dan perawinya tsiqat,.hadis yang dikemukakan oleh Yazid bin Syuraik, “Saya pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (Al-Quran) dibelakang imam. Dia menyuruhku untuk membaca (al-Fatihah). Saya bertanya, ‘Engkau bagai-mana’? Dia berkata, ‘Aku juga’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu dilakukan jika engkau menjahar (dalam shalat jahar)?’ Dia menjawab, ‘Jika aku menjahar (dalam shalat jahar) aku pun membacanya’” (HR. Al-Daraquthni dalam As-Sunan I:317 berkata, ‘Isnad ini sahih).’ Atsar-atsar sahih masalah itu banyak pula dari kalangan sahabat. (lihat pada juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas (tambahan khusus).

 

Disunnahkan pula bagi imam untuk diam sebentar setelah  membaca al-Fatihah dalam shalat jahar. Tidak lain hal ini, memberi kesempatan pada makmum untuk membaca al-Fatihah. Hal ini, didasarkan kepada dalil dari hadis Samurah yang mengatakan, ‘dua saktah (dua kali diam sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam’.

Akan tetapi, Imran bin Husin mengingkarinya. dan berkata, ‘Kami menghafal (mengingat) satu kali diam’. Kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay menulis (menjawab), ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah Saw)’.            

 

Said–putera Abu Arubah, salah seorang perawi hadis tersebut–mengatakan, ‘kami berkata kepada Qatadah, apakah yang dimaksud dengan dua kali diam (dua saktah) tersebut’? Ia berkata, ‘Pertama, jika dia masuk dalam shalat (sebelum membaca al-Fatihah) dan yang kedua jika dia telah selesai membaca (al-Fatihah). Selanjutnya dia berkata, ‘(Dan) apabila telah membaca Wa laadh dhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 no. 251] mengatakan hadis Samurah itu hasan; Imam Ahmad dalam Musnad-nya [V:7]; Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain. Hadis ini sahih. Ibn Hibban dalam Sahih-nya [V:112] dan pada hal. 113 mengatakan; ‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran bukan Samurah’).

 

**Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan, “Atas dasar dalil tersebut, jelaslah bahwa imam perlu diam sebentar dalam shalat jahar, supaya makmum berkesempatan membaca al-Fatihah. Hal itu, untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia membaca al-qur’an sedangkan imam membaca al-qur’an juga. Telah ditetapkan (lewat hadis sahih) bahwa makmum diperbolehkan membaca al-Fatihah dalam shalat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian). Hadis-hadis masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau di riwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Makhul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubbadah, ‘Sesungguhnya Nabi Muhamad Saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah dalam (shalat) fajar (shubuh)…sampai akhir hadis (lihat hadis Ubbadah’). Demikianlah Ibn Hajar Al-‘Asqalani.

 

Masih banyak riwayat tidak tercantum disini tentang kewajiban membaca surah Al-Fatihah  bagi makmum pada sholat jahar. Wallahua’lam.

Info: Menurut ijmak para ulama, membaca al-Fatihah gugur (kewajibannya) bagi makmum yang mendapatkan imam sedang rukuk.  Dalam kondisi seperti itu dia dianggap telah mendapatkan satu raka’at (telah membaca al-Fatihah) meskipun dia belum membaca al-Fatihah. 

Wallahu’alam.

Silahkan ikuti kajian berikutnya.

Maak jouw eigen website met JouwWeb