Adab/cara berzikir dan membakar dupa/menyan

Sekelumit mengenai adab berzikir yang disebutkan oleh Syaikh Ali Al-Marsyafi dalam kitabnya Manhajus Shalih, antara lain sebagai berikut: “Kita sebaiknya selalu dalam keadaan bersih, mandi dan berwudu, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis). Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai zikir yang dibaca itu. Tempat zikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi. Berzikir dengan ikhlas karena Allah  Subhaanahuuwata'aala...”.

 

Yang dimaksud Syaikh Ali Al Marsyafi ditaburi minyak wangi pada tempat zikir agar tempat zikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini, dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum. Umpama minyak wangi atau sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya), menyan Arab kalau di bakar asapnya berbau wangi. Bau-bauan wangi ini lebih menyegarkan, mengkhusyukkan, menyenangkan pribadi orang atau para hadirin  di majlis zikir ini. Bau harum ini lebih diperlukan bila berada di ruangan yang penuh para hadirin.  

 

Ada lagi ceritera khurafat (tahayul) yang aneh dan diada-adakan oleh sebagian golongan Pengingkar. Mereka berkata, pembakaran dupa/gahru dan sebagai- nya didalam dimajlis zikir untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain! Ucapan jahil ini tidak berdalil dari nash, tapi dari benak pikiran mereka sendiri!!

 

Perhatikan hadis dan perilaku/fatwa para ulama berikut ini:

**Hadis dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-bersabda, “Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR. Muslim, Nasa’i dan Abu Dawud). Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan [Nasa’i no. 5152]: “Ada kalanya Ibnu Umar r.a. membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata, ‘Beginilah Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam- mengasapi dirinya.’

 

**Imam Nawawi mensyarahi hadis terakhir diatas sebagai berikut: ”Yang di maksud Istijmar (dalam hadis tsb.) ialah memakai wewangian dan berbukhur (dupa,pen.) dengannya. Lafaz Istijmar itu di ambil dari kalimat Al-Majmar yang bermakna Al-bukhur "dupa". Adapun Uluwah itu menurut Al-Ashmu'i dan Abu Ubaid dan seluruh pakar bahasa arab bermakna kayu dupa (kayu gahru) yang di buat dupa. Selanjutnya Imam Nawawi mengatakan, ‘Dan sangat disunnahkan memakai wewangian (termasuk istijmar) bagi lelaki  pada hari jumat dan hari raya dan saat menghadiri perkumpulan kaum muslimin, majlis zikir juga majlis ilmu.’” (Syarh Nawawi ala Muslim  15/10).

 

**Membakar dupa saat majlis dzikir atau majlis pengajian itu sudah di contohkan oleh Imam Malik r.a, seperti yang dijelaskan dalam biografi Imam Malik yang di tulis di bagian belakang kitab Tanwirul Hawalik Syarah Muwattho' Malik, Imam Suyuti Juz 3 no 166 disebutkan;
قال مطرف كان مالك إذا أتاه الناسخرجت اليهم الجارية فتقول لهم يقول لكم الشيخ تريدون الحديث أو المسائل؟ فإن قالوا المسائل خرج اليهم وافتاهم وان قالوا الحديث قال لهم اجلسوا ودخل مغتسله فاغتسل وتطيب ولبس ثيابا جددا وتعمم ووضع على رأسه الطويلة وتلقى له المنصة فيخرج اليهم وعليه الخشوع ويوضع عود فلا يزال يتبخر حتى يفرغ من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم
"Mutrif berkata, Apabila orang orang mendatangi kediaman Imam Malik, maka mereka di sambut oleh pelayan wanita beliau yang masih kecil lalu berkata kepada mereka, 'Imam Malik bertanya apakah kalian mau bertanya tentang hadis atau masalah keagamaan?' Jika mereka berkata, masalah ke agamaan, maka Imam Malik keluar dari kamarnya dan berfatwa.
Jika mereka berkata, masalah Hadis, maka beliau mempersilahkan mereka untuk duduk. Kemudian beliau masuk kamar mandi, lalu mandi, memakai minyak wangi, memakai pakaian yang bagus dan memakai sorban. Dan beliau memakai selendang panjang di atas kepalanya, kemudian di hadapan beliau di letakkan (serupa) meja datar, dan setelah itu beliau keluar menemui mereka dengan khusyu' lalu di bakarlah dupa hingga selesai dari menyampaikan hadis Rasulallah Saw."

 

**Dalam kitab Bulghat ath-Thullab halaman 53-54; 
مسئلة ج اخراق البخور عند ذكر الله و نحوه كقراءة القرأن و مجلس العلم له اصل فى السنة من حيث ان النبى صلى الله عليه و سلم يحب الريح الطيب الحسن و يحب الطيب و يستعملها كثيرا

Membakar dupa atau kemenyan ketika berdzikir pada Allah dan sebagainya seperti membaca Al-Qur’an atau di majlis-majlis ilmu, mempunyai dasar dalil dari al-Hadis yaitu di lihat dari sudut pandang bahwa sesungguhnya Nabi Muhamad shalllahu 'alaihi wasallam menyukai bau wangi dan menyukai minyak wangi dan beliau pun sering memakainya. 

 

** Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 5, halaman 160;
قال بعض أصحابنا ويستحب أن يبخر عند الميت من حين يموت لانه ربما ظهر منه شئ فيغلبه رائحة البخور
“Sahabat-sahabat kita (dari Imam Syafi’i) berkata, Sesungguhnya disunnahkan membakar dupa di dekat mayyit karena terkadang ada sesuatu yang muncul maka bau kemenyan tersebut bisa mengalahkan/menghalanginya.

 

Kalau kita pergi negara Arab Saudi ,sentral lokasi mazhab wahabi/salafi, disana di sekitar Raudhah (antara rumah dan mimbar Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam) dan disekitar mimbar Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam pada waktu-waktu tertentu selalu di asapi kayu gahru yang wangi. Para jamaah di- masjid ini bisa menghirup bau wanginya bila kebetulan hadir pada waktu tersebut. Begitu juga, toko-toko minyak wangi di Arab Saudi banyak menjual dupa dan gahru ini. Tidak ada satupun ulama dari kaum Wahabi-Salafi yang melarangnya.

Alangkah baiknya, bila golongan pengingkar ini berani melarang dan mengatakan pada para ulama Arab Saudi, yang serumpun dengan golongan pengingkar, bahwa menjual dan membakar dupa/gahru di Mekah, Madinah itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan!

 

Silahkan ikuti kajian berikutnya.