Al-Quran Memerintahkan Bertawasul

Al-Quran Memerintahkan Bertawasul

Mayoritas ulama ahlussunah wal jama’ah menyatakan, tawasul, istighatsah dan tabaruk adalah hal yang legal. Tidak melanggar syariat.

 

Firman Allah Ta'aala dalam surah Ali-Imran[3]:49, “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): ‘Sesungguhnya aku (Nabi Isa 'alaihis salam) telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, Kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang wafat dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguh nya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman’ ”.

 

Ayat di atas menyebutkan, para pengikut Isa al-Masih bertawasul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka; termasuk menghidupkan  orang mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawasul kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent. Akan tetapi, mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Nabi Isa as. memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah/wajih) di sisi Allah. Praktik ini sama sekali tidak tergolong syirik.

 

Dalam surah Yusuf [12]:97, Allah Ta'aala berfirman, “Mereka berkata:Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguh- nya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)’ ”.

 

Jika kita teliti lebih saksama, dalam ayat ini, anak-anak nabi Ya’qub 'alaihis salaam tidak meminta pengampunan dari Ya’qub sendiri secara independent. Mereka, tetap melihat bahwa otoritas mutlak pengampunan hanya ada pada Allah Jallaajalaaluh. Namun, mereka menjadikan ayah mereka—yang tergolong sebagai kekasih Ilahi (nabi), memiliki kedudukan khusus di sisi Allah, sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa kepada Allah Ta'aala. Dan ternyata, nabi Ya’qub 'alaihissalaam pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik. Ya’qub 'alaihissalaam tidak memerintahkan anak-anaknya agar memohon langsung kepada Allah Ta'alaa. Bahkan, Nabi Ya’qub 'alahissalaam menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub berkata: ‘Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang' ”(QS Yusuf [12]: 98).

 

Dalam surah An-Nisa [4]: 64, Allah Swt. berfirman, “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhamad shalllahu'alaihi wasallam) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhamad shalllahu 'alaihiwasallam) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. “Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulallah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri”.(QS Al- Munafiqun [63]:5).

 

Ayat di atas, juga menegaskan bahwa Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, sebagai makhluk Allah, memiliki kedudukan (jah/maqam/wajih) sangat tinggi di sisi Allah, sehingga diberi otoritas oleh Allah Ta'aala untuk menjadi perantara (wasilah) dalam meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah Ta'aala. Seperti yang akan di uraikan selanjutnya, para sahabat Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam, kaum salaf saleh, menggunakan kesempatan emas tersebut untuk memohon ampun kepada Allah Ta'aala melalui perantara Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

 

Majoritas ahli tafsir, termasuk para ahli tafsir dari kaum Wahabi, setuju bahwa ayat An-Nisa [4]:64 itu diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan. Ayat ini, turun sebagai respon atas keinginan para sahabat untuk bertaubat kepada Allah Ta'aala.

Ditegaskan dalam ayat itu: Allah Ta'aala menolak untuk menerima permohonan ampun secara langsung. Allah Ta'aala memerintahkan sahabat untuk menyertakan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dalam permohonan ampun mereka.

Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam juga diminta untuk memohonkan ampun buat mereka. Permohonan ampun  Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ini, sebagai wasilah untuk memperoleh ampunan Allah Ta'aala atas kesalahan-kesalahan mereka. Hanya dengan jalan itu, mereka akan benar-benar mendapat pengampunan dari Allah Yang Maha Penyayang. Dengan demikian Rasulallah -shalllahu'alaihiwasallam bisa dijuluki sebagai Pengampun dosa secara kiasan atau majazi, sedangkan Allah Ta'aala sebagai Pengampun dosa yang hakiki/ sebenarnya.

 

Mengapa para sahabat tidak langsung memohon ampun pada Allah Ta'aala? Bila hal ini dilarang, tidak mungkin Allah Ta'aala memerintahkan pada hamba-Nya sesuatu yang tidak di-izinkan-Nya! Masih banyak lagi firman Allah Ta'aala yang senada, antara lain: QS Ali-Imran [3]:159;  QS An-Nisa [4]: 106, QS An-Nur [24]: 62;  QS Muhamad [47]: 19; dan QS Al-Mumtahanah [60]: 12..

 

Dalam surah An-Naml [27]:38-40, Allah Ta'aala berfirman, “Sulaiman berkata, 'Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri’. 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datangkan kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya’. Seseorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia Tuhanku' ".  

 

Firman Allah Ta'aala di atas menerangkan, Nabi Sulaiman 'alaihissalaam ingin mendatangkan singgasana Ratu Balqis dari tempat yang sangat jauh dalam tempo singkat. Hal ini merupakan kejadian yang luar biasa, sehingga Nabi Sulaiman 'alaihissalaam dengan pengetahuan yang cukup luas mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan kekuasaan Allah. Dan pada saat itu, Nabi Sulaiman 'alaihissalaam tidak minta tolong langsung pada Allah Ta'aala, malah beliau meminta tolong kepada makhluk Allah Ta'aala untuk memindahkan singgasana Ratu Balqis tersebut. Ayat ini juga sebagai dalil yang menunjukkan bahwa meminta tolong pada makhluk tidak menafikan ke tauhidan kita kepada Allah Ta'aala, baik itu dilakukan secara gaib maupun secara alami. Syirik adalah urusan hati.

 

Jika Nabi Sulaiman 'alaihissalaam meminta perkara gaib ini dari para pengikut- nya, dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan permintaan itu, tentu kita terlebih lagi boleh meminta kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu al-Kitab, yaitu Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dan Ahlu-Baitnya. Menurut para ahli tafsir, yang mendatangkan singgasana ratu Balqis itu jelas bukan Nabi Sulaiman 'alahis salaam, tetapi orang lain. Dalam ayat ini, jelas bahwa Nabi Sulaiman 'alaihis salaam bertanya kepada umatnya. Dan salah satu dari umatnya yang mempunyai ilmu, sanggup mendatangkan singgasana itu dengan sekejap mata.

Dengan demikian, seorang yang mempunyai ilmu ini bisa dijuluki juga sebagai ‘Penolong/Pemindah’ singgasana Ratu Balqis secara kiasan, sedangkan Penolong /Pemindah yang hakiki/sebenarnya, Allah Ta'aala. 

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya.