Amalan-Amalan Bulan Sya’ban & Rajab

Keterangan mengenai bulan(nishfu) Sya'ban dan Rajab

Di dalam Islam, dikenal adanya hari-hari, bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah Ta'aala umpamanya hari Jum’at, bulan Ramadhan, bulan Haji dan lain sebagainya. Allah Ta'aala akan lebih meluaskan Rahmat dan Karunia-Nya melebihi daripada hari-hari atau bulan-bulan biasa. Karenanya, siapa yang beramal saleh pada waktu-waktu tersebut lebih besar harapannya Allah Taáala akan mengampunkan dosanya, diterima amal salehnya dan doanya dikabulkan oleh-Nya.

 

Bulan Sya‘ban adalah termasuk bulan suci atau mulia dan cukup dikenal di kalangan kaum Muslim. Mengapa? Karena banyak riwayat hadis yang mengemukakan kemuliaan bulan tersebut. Nama Sya’ban adalah salah satu nama bulan dari 12 bulan Arab lainnya, yaitu satu bulan sebelum bulan Ramadhan. Adapun yang dimaksud nishfu (pertengahan) Sya’ban yaitu tanggal 15 bulan Sya’ban. Malam nishfu Sya’ban, yaitu mulai waktu maghrib pada tanggal 14 Sya’ban.

Bulan Sya’ban merupakan bulan yang sangat penting dalam kehidupan Muslim khususnya di Indonesia. Karena selain menjadi bulan yang dekat dengan Ramadhan dan sebagai bulan persiapan untuk menghadapi puasa di bulan Ramadhan. Ada beberapa hal yang sering diperingati secara rutin setiap bulan Sya’ban, yaitu malam nishfu Sya’ban.

 

Banyak hadis yang dipandang mu’tamad oleh para ulama pakar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan malam nishfu Sya’ban, di antaranya:

*Hadis  dari Aisyah r.a. 

مَا رَأيْتُ رَسُوْل الله .صَ. : إسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍِ قَطُّ, إلاَّ شَهْرَ رَمَضَانَ وَمَا رَأيْتَهُ فِىْ شَهْرٍ كْثَـَرَمِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ       

"Tidak terlihat olehku Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-berpuasa satu bulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan dan tidak satu bulan yang hari-harinya lebih banyak di puasakan Nabi daripada bulan Sya’ban”. (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).

 

Riwayat dari Usamah bin Zaid r.a.;

قُلْتُ : يَا رَسُوْلُ اللهِ لَمْ أرَاكَ تَصُومُ مِنْ شَهِْرمِنَ الشُّهُورِمَا تَصُومُ شَعْبَان؟ قَالَ ذَالِكَ شَهْرُْ يَغْفَلُ النَّاسُ عَنْه , بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وَهُوَ شَهْـرٌ تُرْفَعُ بِهِ الأعْمَال اِلَى رَبِّ العَالَمِيْنَ فَأحِبُّ اَنْ يُرْفَع عَمَلِى وَأنَا صَائِمٌ     

“Saya berkata, ‘Ya Rasulallah, kelihatannya tidak satu bulan pun yang lebih banyak anda puasakan dari Sya’ban’. Ujar Nabi, ‘Bulan itu sering dilupakan orang, karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah (bulan Sya’ban) di angkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya ingin (senang) amalan saya dibawa naik selagi saya dalam berpuasa’”. (HR Abu Daud dan Nasa’i no. 2359  disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan).

 

*Hadis dari Ummu Salamah r.a., katanya, “Belum pernah aku melihat Nabi shalllahu'alaihiwasallam berpuasa dua bulan berturut-turut terkecuali di bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi dengan sanad Hasan).

*Abu Dawud mengemukakan hadis dari Abdullah bin Abi Qais dari Aisyah r.a. sebagai berikut, “Bulan yang paling disukai Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ialah berpuasa di bulan Sya’ban. Kemudian, beliau menyambung puasanya hingga Ramadhan.” (Sunan Abu Daud, cet.Dar al-Fikr : Beirut jld.2 hal. 323 ).

 

*Hadis dari Imran Ibnu Hushain r.a., “Nabi shalllahu'alaihiwasallam pernah bersabda pada seorang lelaki, ‘Apakah engkau pernah berpuasa sebagian dari bulan Sya’ban ini?’ Jawab lelaki itu, ‘Tidak’. Sabda Nabi shalllahu'alaihi wa sallam, ‘Jika engkau telah menyelesaikan bulan Ramadhan, puasalah dua hari sebagai puasa pengganti bulan Sya’ban.’"(HR. Bukhari dan Muslim). Masih banyak lagi hadis mengenai bulan Sya’ban. 

 

Sejumlah peristiwa penting dalam bulan Sya'ban:

Dalam kitab Ma Dza fi Sya’ban, karya Sayid Muhamad bin Alawi Al-Maliki menyebutkan tiga peristiwa penting yang berimbas pada kehidupan beragama seorang Muslim.

1). Peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya’ban. Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an ketika menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 144 dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan, bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.

 

Peralihan kiblat ini, merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Bahkan diceritakan, Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam setiap hari berdiri menengadah kelangit menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu. Maka turunlah wahyu, 

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ 

Artinya, “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.(QS Al-Baqarah ayat 144)”

 

2). Penyerahan keseluruhan Amal kepada Allah Ta'aala. Pada bulan ini semua amal kita diserahkan kepada Allah Ta'aala. Sayid Muhamad bin Alawi Al-Maliki mengutip sebuah hadis riwayat An-Nasa’i, yang meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid r.a dan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam.

“Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban? Kemudian Rasulullah shalllahu'alaihi wa sallam menjawab, Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal di serahkan kepada Allah Ta'aala. Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa (HR. An-Nasa’i no.2359. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan).”

 

Penyerahan amal yang dimaksud dalam hal ini, adalah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh. Walaupun ,menurut Sayid Muhamad Alawi, ada beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah Ta'aala selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam dan setiap pekan. Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah Ta'aala tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu.

 

3). Pada bulan Sya’ban juga diturunkan ayat anjuran untuk bershalawat kepada Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, yaitu Surah Al-Ahzab ayat 56.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi-shalllahu'alaihi wa sallam-dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” Wallahu'alam

 

Nishfu Sya'ban

Sebagian golongan Muslimin menganggapnya sebagai amalan bid'ah? Setiap bid’ah menurut mereka adalah sesat dan tempatnya di neraka. Silahkan ikuti makalah berikut ini;

 

*Mengenai nishfu Sya’ban yang diriwayatkan imam Tirmidzi di dalam An-Nawadir dan oleh Thabarani serta Ibnu Syahin dengan sanad Hasan (baik), berasal dari Aisyah r.a. yang menuturkan, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah menerangkan;

 هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ الله ُ المُسْتَغْفِرِيْنَ , وَ يَرْحَمُ المُسَتَرْحِمِيْنَ وَ يُؤَخِّرُ أهْلَ الحِقدِ عَلَى حِقْدِهِم 

'Pada malam nishfu Sya’ban ini, Allah mengampuni orang-orang yang mohon ampunan dan merahmati mereka yang mohon rahmat serta menangguhkan (akibat) kedengkian orang-orang yang dengki’.

 

*Hadis riwayat Muaz bin Jabal r.a., Nabi shalllahu'alaihiwasallam bersabda;

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ عَن ِالنَّبِيِّ (ص) قَالَ: يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban. Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyakhin (orang yang belum damai dengan saudara- nya)”. (HR Thabrani dalam Al-Kabir no 16639 dan Al-Ausat, berkata Al-Haitsami [Majma’ Al Zawaid 3/395] para perawinya tsiqat [dapat dipercaya], Daruquthni dalam Al-Nuzul 68, Ibnu Majah no 1380, Ibnu Hibban dalam sahihnya no 5757, Ibnu Abi Syaibah no 150, Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no 6352, dan Al Bazzar dalam Al Musnad 2389 dan disahihkan Al-Bani ,ulama kaum salafisme, dalam Sahihul Jami’ no.1819).

 

*Al-Mundziri dalam At-Targhib setelah menyebutkan hadis ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At-Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al-Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadis dengan lafazh yang sama dari hadis Abu Musa Al-Asy’ari. Al-Bazzar dan Al-Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.”

 

*Syeikh Al-Bani (ulama salafisme) ini, dalam Silsilah al-Ahadis al-Shahihah, No. 1144 juga mensahihkan hadis, “Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nishfu Sya’ban. Dia ampuni semua hamba-hamba-Nya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuhan (orang yang saling membenci).”   

 

*Hadis dari Aisyah r.a:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ النَّبِيَّ (ص) ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ أَطْلُبُهُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قَدْ قُلْتُ وَمَا بِي ذَلِكَ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ   

Aisyah berkata, “Pada suatu malam saya kehilangan Nabi-shalllahu'alaihi wa sallam- pada malam itu saya keluar mencarinya, ternyata beliau ada di Baqi’ seraya menengadahkan kepalanya ke langit, beliau bersabda, ‘Apakah kamu takut Allah dan Rasulnya mengabaikan kamu?’ Aisyah berkata, ‘Saya tidak memiliki ketakutan itu, saya mengira engkau mengunjungi diantara istri-istri engkau.’ Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda, ‘Sesungguhnya (rahmat) Allah turun ke langit yang paling bawah pada malam Nishfu Sya’ban dan Ia mengampuni dosa-dosa yang melebihi dari jumlah bulu kambing milik suku Kalb.’” (HR Turmudzi no 670 dan Ibnu Majah no 1379).

 

*Hadis dari imam Ali k.w. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Malam nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah dengan shalat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun kelangit dunia pada malam itu, Allah berfirman, ‘Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rezeki akan Aku beri dia rezeki, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing’”. (HR. Ibnu Majah dengan sanad lemah).

 

Ingat sekali lagi, ijmak Ulama bahwa hadis lemah dapat digunakan untuk fadhail amal (keutamaan amal). Walaupun, sebagian hadis-hadis tersebut lemah, namun melihat dari hadis-hadis lain yang menunjukkan keutamaan bulan dan nishfu Sya’ban, dapat diambil kesimpulan semuanya ini mempunyai keutamaan atau keistimewaan tertentu. Terkabulnya doa, amal saleh pada bulan dan malam tersebut lebih besar harapannya dan pada bulan itulah di angkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin.

 

*Dalam kitab Hasyiyah Al-jamal disebutkan,

قَوْلُهُ: (تُعْرَضُ اْلأَعْمَالُ) أَيْ تُعْرَضُ عَلَى اللهِ تَعَالَى وَكَذَا تُعْرَضُ فِي لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَفِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَاْلأَوَّلُ عَرْضٌ إجْمَالِيٌّ بِاعْتِبَارِ اْلأُسْبُوْعِ، وَالثَّانِي بِاعْتِبَارِالسَّنَةِ

“(Amalan-amalan yang diperlihatkan). Amalan-amalan yang diperlihatkan kepada Allah Ta'aala, begitu juga amalan pada malam Nishfu Sya’ban dan Lailatul Qadar. Yang pertama (Senin-Kamis) merupakan laporan amalan mingguan. Yang kedua dan ketiga (Nishfu Sya’ban dan Lailatul Qadar) merupakan laporan amalan tahunan”. (Hasyiyah al-Jamal, VIII/323)

 

*Setiap pekan, amalan seseorang diangkat yaitu pada hari Senin dan Kamis, sebagaimana disebutkan dalam hadis;

تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ اتْرُكُوا – أَوِ ارْكُوا – هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئَا

Amalan manusia dihadapkan pada setiap pekannya dua kali yaitu pada hari Senin dan hari Kamis. Setiap hamba yang beriman akan diampuni kecuali hamba yang punya permusuhan dengan sesama. Lalu dikatakan, ‘Tinggalkan mereka sampai keduanya berdamai’.” (HR. Muslim no. 2565)

*Hadis dari Ala bin Harits bahwa Aisyah r.a. berkata,

عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ اللهِ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ      قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْيَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ (ص) قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ: أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ

:وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ                        

أَعْلَمُ قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُلِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيُؤَخِّرُأَهْلَ الْحِقْدِ 

“Suatu malam Rasulallah bangun untuk shalat, beliau lama bersujud, sehingga aku menyangka bahwa beliau-shalllahu'alaihiwasallam-telah diambil (wafat). Waktu aku melihat itu, maka aku bangun dan aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Ketika mengangkat kepala dari sujud dan usai shalat beliau-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda, ‘Hai Aisyah apakah kau kira Nabimu berkhianat kepadamu?’ Aku menjawab, ‘Tidak ya Rasulallah, aku hanya berpikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulallah telah wafat), karena engkau bersujud begitu lama’.

Beliau-shalllahu'alaihiwasallam-bertanya, ‘Tahukah engkau, malam apa sekrng ini?’. Tidak, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, jawabku’. ‘Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hamba-Nya pada malam ini. Dia memaafkan mereka yang memohon ampunan, memberi kasih sayang, mereka yang memohon kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki‘“ (HR. Baihaqi dalam kitab Syuab Al Iman no 3675 dan berkata, hadis ini mursal [ada rawi yang tidak sambung ke sahabat], yang baik).

 

Letak ke-mursal-an hadis tersebut karena Al ‘Ala’ bin Al Harits adalah seorang Tabi'in yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah r.a. Al-Baihaqi menyebut- kan ‘Ala’ memperoleh hadis ini dari gurunya, Makhul. Imam Ahmad menilai Al ‘Ala’ sebagai orang yang sahih hadisnya. Abu Hatim berkata: Tidak ada murid Makhul yang lebih terpercaya dari pada Al ‘Ala’. Ibnu Hajar menyebut Al ‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fikih, tetapi ia dituduh pengikut Qada-riyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadis). 

 

Para Imam mazhab, seperti Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadis Mursal sebagai hadis yang dapat diterima (hadis makbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya Sahabat atau Tabi'in yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih sahih dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab- kitab Ulumul Hadis.

 

*Dalam kitab Faid Al-Qadir, Imam Syafi’i berkata,   

قَالَ الشَّافِعِى بَلَغَنَا أنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِى خَمْسِ لَيَالٍ أوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبَ وَلَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَلَيْلَتَىِ اْلعِيْدِ وَلَيْلَةِ الْجُمْعَةِ

“Imam Syafi’i berkata, “Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan dalam lima malam, yaitu awal malam bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, dua malam hari raya (Idul fithri dan adha) dan malam Jumat”. (Faid al-Qadír, VI/ 50).

 

*Dalam kitab Nuzhah Majalis disebutkan,

قَالَ عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ مَا بَعْدَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَفْضَلُ مِنْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَهِىَ مِنَ اللَّيَالِى الَّتِى يُسْتَجَابُ فِيْهَا الدُّعَاءُ. قَالَ النَّوَوِى عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍمِنَ التَّابِعِيْنَ                                                                           

'Atho’ bin Yasar berkata, Tidak ada malam yang lebih utama setelah Lailatul Qadar dibandingkan dengan Nishfu Sya’ban. Ia merupakan salah satu malam yang mustajabah. Imam Nawawi berkata, Atho’ bin Yasar dari golongan Tabi’in' (Nuzhah al-Majalis, I/158)

 

*Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, disebutkan;

فَهَذِهِ اْلأَحَادِيثُ بِمَجْمُوهَا حُجَّةٌ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي فَضِيْلَةِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ 

“Hadis-hadis di atas secara keseluruhan merupakan dalil untuk membantah anggapan sebagian ulama yang berpendapat bahwa tidak ada satupun dalil kuat yang menjelaskan tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban. Allah Ta'aala yang lebih mengetahui” (Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi, II/277).

Wallahua'lam.

 

Pembacaan doa dan surah Yasin di malam nishfu Sya’ban

Berikut riwayat mengenai pembacaan doa dan surah Yasin pada malam Nishfu Sya’ban beserta macam-macam niatnya:

 

*Ibnu Thawus dalam kitab Iqbal menyebutkan riwayat Kumail bin Ziyad Nakha’i yang menyatakan, “Pada suatu hari, saya (Kumail) duduk di Masjid Basrah bersama maulana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib k.w., membicarakan nishfu Sya’ban. Ketika, beliau ditanya tentang firman Allah Ta'aala dalam surah Ad-Dukhan [44]:4:    فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أمْرٍ حَكِيْمٍ   

(Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah). Amirul Mukminin mengatakan bahwa ayat ini mengenai malam nishfu Sya’ban. Orang yang beribadah di malam itu, tidak tidur dan membaca doa Hadrat Khidr a.s. akan lebih besar harapan diterima doanya.

 

Ketika malam itu beliau pulang kerumahnya, saya menyusulnya. Melihat saya, Imam Ali bertanya, ‘Apakah keperluan anda kemari’? Jawab saya; ‘Saya kemari untuk mendapatkan doa Hadrat Khidr’. Beliau mempersilahkan saya duduk seraya berkata, ‘Ya, Kumail, apabila anda menghafal doa ini dan membacanya setiap malam Jum’at, cukuplah itu untuk melepaskan anda dari kejahatan, anda akan ditolong Allah Ta'aala, diberi rezeki dan doa ini makbul’. Ya, Kumail, lamanya persahabatan serta ke khidmatan anda, menyebabkan anda dikarunia nikmat dan kemuliaan untuk belajar’ ”.

 

*Para ulama berbeda mengenai tafsir surah ad-Dukhan, ‘Lailah Mubarakah’  (لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ). Sebagian Ulama mengatakan yang dimaksud adalah, malam nishfu Sya’ban dan para ulama lainnya mengatakan itu adalah malam Laitul Qadar.

 

*Dalam kitab Tafsir al-Qurtubi riwayat dari sahabat Ikrimah r.a. disebutkan:

       وَقَالَ عِكْرِيْمَةُ هِىَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يُبْرَمُ فِيْهَا أَمْرُ السَّنَةِ وَيُنْسَخُ اْلأَحْيَاءُ مِنَ اْلأَمْوَاتِ وَيُكْتَبُ الْحَاجُّ فَلاَ يُزَادُ فِيْهِمْ أَحَدٌ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْهُمْ أَحَدٌ وَرَوَى عُثْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةِ قَالَ قَالَ النَّبِىَ (ص) تُقْطَعُ اْلأَجَالُ مِنْ شَعْبَانَ إلَى شَعْبَانَ حَتَّى أَنَّ الرَّجُلَ لَيَنْكِحُ وَيُوْلَدُ لَهُ وَقَدْ خُرِجَ اسْمُهُ فِى الْمَوْتَى. وَقَالَ اْلقَاضِى أبُوْ بَكْرِ بْنِ الْعَرَبي وَجُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءُ عَلَى أنَّهَا لَيْلَةُ اْلقَدْرِ.

[Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud Lailah Al Mubarakah itu adalah malam Nishfu Sya’ban]. Ikrimah berkata, “Di malam nishfu itu, Allah menentukan semua urusan dalam setahun, menghapus nama-nama orang dari daftar calon orang yang akan wafat (dipanjangkan umurnya) dan mencatat nama-nama orang yang akan melaksanakan haji tanpa ditambah atau di kurangi.

Usman bin Mughirah meriwayatkan hadis bahwa Nabi-shalllahu'alaihiwa sallam-bersabda, “Ajal ditentukan dari satu Sya’ban ke bulan Sya’ban berikut- nya, hingga seseorang menikah dikaruniai anak dan namanya di keluarkan dari orang-orang yang akan wafat” (HR Ibnu Abi Dunya dan Al Dailami). Qadli Abu Bakar bin Al-Arabi dan jumhur ulama berkata, ‘bahwa malam tersebut adalah Lailatul Qadar.’” (Tafsir al-Qurtubi, XVI/85)

 

Disamping doa hadrat Khidr tersebut, ada doa malam nishfu Sya’ban yang masyhur/terkenal, diriwayatkan oleh Abu Syaibah di dalam Al-Mushannif  dan oleh Abu Dunya di dalam Ad-Dua, berasal dari Ibnu Mas’ud r.a. Ada pula, hadis dari Ibnu Umar yang mengatakan, Seorang hamba Allah yang memanjatkan doa-doa (doa nishfu Sya’ban) itu, Allah pasti meluaskan penghidupannya (rezekinya). Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan At-Thabarani meriwayatkan juga hadis tersebut dengan lafal tidak jauh berbeda.Juga beberapa sumber rujukan yang mengisnadkan sebagian isi doa nishfu dari Umar bin Khatab r.a.

 

Sebagian kalimat doa malam nishfur Sya’ban antara lain sebagai berikut:

“Ya Allah Tuhanku Pemilik nikmat, tiada ada yang bisa memberi nikmat atas-Mu. Ya Allah Pemilik kebesaran dan kemuliaan. Ya Allah Tuhanku Pemilik kekayaan dan Pemberi nikmat. Tidak ada yang patut disembah hanya Engkau. Engkaulah tempat bersandar. Engkaulah tempat berlindung dan pada Engkaulah tempat yang aman bagi orang-orang yang ketakutan.

 

Ya Allah Tuhanku, jika sekiranya Engkau telah menulis dalam buku besar-Mu bahwa adalah orang yang tidak bebahagia atau orang yang sangat terbatas mendapat nikmat-Mu, orang yang dijauhkan daripada-Mu atau orang yang di sempitkan dalam mendapat rezeki, maka aku memohon dengan karunia-Mu, semoga kiranya Engkau pindahkan aku kedalam golongan orang-orang yang berbahagia, mendapat keluasan rezeki serta diberi petunjuk kepada kebajikan.

 

Sesungguhnya Engkau telah berkata dalam kitab-Mu yang telah diturunkan kepada Rasul-Mu, dan perkataan-Mu adalah benar, yang berbunyi: Allah mengubah dan menetapkan apa-apa yang dikehendaki Nya dan pada-Nya sumber kitab. Ya Allah, dengan tajalli-Mu Yang Mahabesar pada malam Nisfu Sya’ban yang mulia ini, Engkau tetapkan dan Engkau ubah sesuatunya, maka aku memohon semoga kiranya aku dijauhkan dari bala bencana, baik yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui, Engkaulah Yang Mahamengetahui segala sesuatu yang tersembunyi. Dan aku selalu mengharap limpahan rahmat-Mu ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Bagi yang ingin mengetahui lafal doa ini, bisa baca pada kitab Majmu’ Syarif  yang banyak dijual pada toko-toko buku agama.

 

Adapun, pembacaan surah Yaasin pada malam Nishfu Sya’ban beserta macam macam niatnya, merupakan hasil ijtihad para ulama.

*Dalam kitab Asnal Mathalib, disebutkan;

وَأَمَّا قِرَاءَةُ سُوْرَةِ يس لَيْلَتَهَا بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالدُعَاءِ الْمَشْهُوْرِ فَمِنْ تَرْتِيْبِ بَعْضِ أهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ قِيْلَ هُوَ الْبُوْنِى وَلَا بَأْسَ بِمِثْلِ ذَلِكَ.

“Adapun pembacaan surah Yaasin pada malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib dan doa masyhur merupakan hasil ijtihad sebagian ulama, ia adalah Syeikh Al-Buni dan hal itu bukan suatu hal yang buruk”. (Asna al-Mathalib, 234).

 

*Dalam kitab Fathul Malik Al-Majid disebutkan,

وَمِنْ خَوَاصِ سُوْرَةِ يس كَمَا قَالَ بَعْضُهُمْ أنْ تَقْرَأَهَا لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ الأُوْلَى بِنِيَّةِ طُوْلِ اْلعُمْرِ وَالثَّانِيَةُ بِنيَّةِ  دَفْعِ الْبَلاَءِ وَالثَّالِثَةُ بِنِيَّةِ اْلإسْتِغْنَاءِ عَنِ النَّاسِ

“(Diantara keistimewaan surah Yaasin), sebagaimana sebagian dari mereka (para ulama) berkata, agar dibaca pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 3 kali. Yang pertama, dengan niat memohon panjang umur, kedua niat terhindar dari bencana dan ketiga niat agar tidak bergantung kepada orang lain”. (Fathu al- Malik al-Majíd, 19).

 

*Dalam kitab Talkhish Fatawa Ibnu Ziyad disebutkan,

حَدِيْثُ يس لِمَا(مَسْئَلَةٌ)حَدِيْثُ يس لِمَا قُرِئَتْ لَهُ لاَ أَصْلَ لَهُ وَلَمْ أَرَى مَنْ عَبَّرَ بِأَنَّهُ مَوْضُوْعٌ فَيَحْتَمِلُ أنَهُ لاَ أصْلَ لَهُ فِى الصِّحَّةِ وَالَّذِىْ أعْتَقِدُهُ جَوَازُ رِوَايَتِهِ بِصِيْغَةِ التَّمْرِيْضِ نَحْوُ بَلَغَنَا كَمَا يَفْعَلُهُ أصْحَابُ الشَّيْخِ اِسْمَعيِلَ اْلَجْبَرِتى .

“(Persoalan) Hadis yang berbunyi, “Surah Yasin dapat dibaca sesuai dengan niat tujuannya” merupakan hadis yang tidak ada dasarnya. Namun, saya tidak mengetahui/menemukan ulama yang mengatakannya sebagai hadis palsu. Bisa jadi yang dimaksud adalah hadis tersebut tidak sahih. Saya meyakini bahwa boleh meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi riwayat yang tidak tegas, seperti telah sampai pada kami yang dilakukan oleh para sahabat Syeikh Ismail Al-Jabrati (dari Yaman).” (Talkhísh Fatawa Ibnu Ziyad, 301)

 

Dengan banyaknya riwayat mengenai keutamaan bulan (malam nishfu) Sya’ban maka semua amalan saleh (shalat sunnah, sedekah, puasa dan membaca tiga kali surah Yasin dengan niatnya sekali, membaca doa yang di tulis para salaf) pada bulan Sya’ban dan khususnya pada malam nishfu Sya’ban itu mustahab untuk diamalkan bagi orang yang ingin mengamalkannya. Tidak ada seorang pun dari para Salaf yang menyesatkan, mengharamkannya amalan sunnah atau mubah, kecuali golongan wahabisme-salafisme dan pengikutnya.

 

Ibadah dan berdoa pada malam Nishfu Sya’ban meski bermacam-macam, tapi makna dan intinya sama yakni bermohon kepada Allah Ta'aala untuk kebaikan didunia dan akhirat. Ada yang shalat sunnah enam rakaat pada waktu antara maghrib dan Isya’. Banyak hadis yang tidak diragukan kebenarannya mensunnahkan shalat enam rakaat tersebut. Ada pula, yang mengisinya dengan bertawasul membaca surah Yasin (sebagaimana yang telah di kemukakan) pada malam nishfu sya’ban. Setiap selesai membaca Yasin di sambung dengan doa, hal ini diulangi sampai tiga kali. Ini semua, tidak lain merupakan tawasul kepada Allah Ta'aala dengan kitab suci-Nya, dengan firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya.

 

Para ulama sepakat kesahihan hadis Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tentang riwayat tiga orang yang tertutup di goa, kemudian berdoa kepada Allah Ta'aala dengan bertawasul kepada amal kebaikan yang pernah mereka perbuat, dan Allah Ta'aala mengabulkn doa mereka. Kalau bertawasul dengan amal kebaikan tersebut di bolehkan dan mustajab doanya, apalagi sebelum berdoa kepada Allah Ta'aala bertawasul dengan firman-Nya, surah Ya Sin dan surah lainnya dari al-Quran, insya Allah lebih besar lagi harapan doa kita di kabulkan oleh Allah Ta'aala.. Wallahua'lam

 

Dalil-dalild dari kelompok Pengingkar dan jawabnnya

Jika ditelaah dalil-dalil keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban, dalam kenyataannya banyak beredar hadis, baik yang dhaif maupun yang sahih atau hasan. Hadis-hadis ini, diakui pula kebenarannya oleh sebagian ulama kaum Wahabi-Salafi. Sayangnya, sebagian besar dari kelompok pengingkar, karena fanatiknya dengan faham mereka sendiri, tidak segan-segan dan berani menvonis bahwa amalan-amalan itu semuanya bid‘ah munkar yang harus di perangi.

 

Golongan ini dengan kasar sering menuduh sesat, bid‘ah bahkan syirik atas amalan-amalan: menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, Tawasul, Tabaruk, peringatan maulidin Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan sebagainya. Alasan yang sering kita dengar dari mereka; “Rasul-shalllahu'alaihiwasallam-tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para shahabatnya tidak ada satu pun di antara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi‘in dan tabi’ut-tabi‘in”.

Atau ucapan mereka: “Kita kaum muslimin di perintahkan untuk mengikuti Nabi Saw. yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, mengapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi-shalllahu'alaihi wa sallam-, para sahabat, para ulama salaf? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi adalah bid‘ah”.           

 

Kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan kaum  Pengingkar untuk menyerang kelompok lain. Mereka pun, sering dengan gegabah menuduh bid‘ah, sesat, haram, mungkar, syirik terhadap semua amalan nawafil atau mubah. Retorika mereka seperti ‘Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, para sahabat dan tabi‘in tidak pernah melakukan amalan...’, seakan-akan mereka itu pernah hidup pada zamannya Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam atau zamannya para sahabat beliau shalllahu'alaihiwasallam. Kesimpulan itu, kebanyakan tidak di dasarkan pada hasil telaah yang saksama. Tidak sedikit perkara yang sebenar- nya masuk dalam ikhtilaf fiqhiyah (masalah furu‘), mereka langsung tarik menjadi masalah ushul (pokok/tauhid) dengan tuduhan sesat dan syirik!

 

Golongan pengingkar membid’ahkan munkar/haram amal saleh pada bulan Sya'ban dan Rajab dengan mengutip beberapa hadis dan wejangan para ulama, berikut ini:

**Barangsiapa yang shalat seratus rakaat pada malam nishfu dari bulan Sya’ban, ia baca pada tiap-tiap rakaat sesudah al-Fatihah, Qulhu sepuluh kali, maka tidak seorang pun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu…sampai akhir hadis.

**Barangsiapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban al-Ikhlash seribu kali dalam seratus rakaat… ..sampai akhir hadis.

 

**Barangsiapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 rakaat, ia baca pada tiap-tiap rakaat al-Ikhlash 30 kali …sampai akhir hadis.

**Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-Shalat nishfu Sya’ban 14 rakaat, setelah selesai beliau membaca al-Fatihah 14 kali, al-Ikhlash 14 kali, ayat kursi satu kali...... sampai akhir hadis”.

 

Selanjutnya, kelompok Pengingkar ini, menyatakan:

Imam Ibnu Jauzi berkata, “Tentang hadis-hadis (di atas) ini, kami tidak ragu lagi tentang palsunya, semua rawi-rawinya pada tiga hadis di atas majhul (tidak diketahui keadaannya oleh ahli hadis). Dan hadis yang keempat juga maudhu (palsu) dan sanadnya gelap (tidak diketahui).

        

Imam Nawawi berkata, “Shalat rajab, shalat nishfu Sya’ban adalah dua Bid‘ah, Munkar lagi Jelek”.(As-Sunan wal Mubtada’at hal.144,145 karya Syekh Muhamad Abdussalam Al-Hudlori).

 

Ibnu Taimiyah berkata, “Shalat raghaib (shalat pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab), dan shalat pada awal malam bulan Rajab, dan shalat pada awal malam Mi’raj, dan shalat Al-Fiyah (seribu) malam nishfu Sya’ban, adalah Bid‘ah dengan kesepakatan pemuka-pemuka Agama (Islam). Adapun, hadis-hadis yang diriwayatkan (semuanya?) dusta dengan Ijmak Ahli Ilmu Hadis”. (Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 23 hal.131 s/d 135).  

    

Imam Fatani berkata, “Tentang shalat nishfu Sya’ban itu tidak ada satu pun kabar atau riwayat (yang sahih) melainkan riwayat yang dho’if atau palsu. Karena itu, janganlah kita tertipu dengan disebutnya (shalat nisfu Sy ‘ban itu) . Di kitab QUT dan Ihya dan yang selain keduanya”. (As-Sunan wal Mubta-da’at hal. 144- 145).

 

Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadis-hadis yang terdapat di Kitab Ihya mengatakan, “Hadis-hadis tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu adalah hadis yang Bathil. Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Ali, apabila datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malamnya dan puasalah pada waktu siangnya. Akan tetapi semua sanadnya dhaif.

 

Jawaban singkatnya:

Atas argumen kaum Pengingkar di atas, ada beberapa tanggapan:

Tidak adanya pengakuan atau kepercayaan para Imam di atas tentang hadis- hadis ,yang berkaitan dengan shalat pada malam nishfu Sya’ban yang ditentukan bilangan rakaatnya dan bacaan-bacaan tertentu di dalam shalat tersebut, bukan berarti amalan ini hukumnya haram. Untuk mengharamkan suatu amalan harus lah menggunakan dalil nash yang jelas, baik itu dari Al-Quran maupun Hadis, yang melarang atau mengharamkan amalan tersebut.

 

Para imam tersebut mengatakan, semua amalan yang telah dikemukakan dalam hadis tersebut itu bid’ah (rekyasa baru). Menurut para imam ini, Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam-tidak pernah mensunnahkan dan mengamalkannya. Akan tetapi, para imam itu tidak  mengharamkan atau mensesatkan amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban atau pada awal malam bulan Rajab. Karena, syari’at tidak melarang orang shalat sunnah mutlak (hanya niat saja, tanpa disebut nama shalatnya) dan berapa rakaat yang mereka kehendaki dengan bacaan apa pun dari Al-Quran.

 

Para Imam itu juga tidak mengingkari adanya hadis-hadis Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam yang diakui oleh para ulama pakar lainnya termasuk ulama dari golongan Pengingkar sendiri, mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban tersebut.

 

Kaum Pengingkar tampaknya mempunyai faham, hadis-hadis yang dhaif–walau pun dalam masalah kebaikan–tidak boleh untuk diamalkan. Dengan lain perkataan, bila amalan yang tercantum di dalam hadis dhaif itu diamalkan, otomatis menjadi haram atau bid‘ah sesat yang harus diperangi.

Paham di atas, telah menyalahi Ijmak (sepakat) Ulama yang mengatakan,

“Hadis yang dhaif itu boleh diamalkan bila berkaitan dengan Fadhail ‘Amal (amalan-amalan yang mulia/baik) [Fathul Muin:32])”.

 

Hadis dhaif adalah, hadis yang mempunyai asal/akar, tetapi belum memenuhi syarat-syarat hadis hasan atau sahih, misalnya karena ada di antara perawi dari hadis tersebut yang majhul (tidak dikenal) atau lemah hafalannya  Akan tetapi, bila banyak beredar hadis dha’if mengenai amalan yang sama dan diriwayatkan oleh berbagai perawi lainnya, dia meningkat menjadi hadis hasan (baik), begitu juga hadis hasan bila banyak diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda-beda dia akan meningkat menjadi hadis sahih.

 

Hanya dengan satu hadis saja–walau pun hadis ini lemah tetapi tidak bertentangan dengan hadis sahih–tentang keutamaan bulan Sya’ban dan Rajab, sudah cukup sebagai dalil untuk mengamalkan amalan-amalan saleh pada kesempatan emas tersebut. Apalagi, masih ada dalil yang tidak dha’if mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban itu. Dengan demikian, orang tidak bisa main pukul sama rata bahwa semua hadis mengenai kemuliaan bulan dan malam nishfu Sya’ban adalah munkar.

 

Mengapa justru kaum Wahabi-Salafi yang memutuskan,  semua amalan-amalan ibadah pada bulan dan nishfu Sya’ban adalah bid‘ah munkar serta melarang orang shalat sunnah mutlak, kumpulan untuk berdoa bersama dan amalan ibadah lainnya pada waktu yang mulia tersebut?

 

Berapa banyak riwayat yang menyebutkan amalan ibadah shalat sunnah atau bacaan-bacaan di dalam shalat yang diamalkan para sahabat, padahal  sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah shalllahu 'alaihi wa sallam atau tidak ada dalilnya dari beliau shalllahu'alaihiwasallam (silahkan rujuk pada bab bid’ah di site ini).

 

Begitu juga Sayidina Umar bin Khatab r.a. pernah mengatakan, ‘Bid‘ah yang nikmat’ pada shalat Tarawih. Tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengatakan bahwa kata-kata ‘Bid‘ah’ yang diucapkan oleh beliau r.a. itu haram, munkar yang harus di perangi.

 

Shalat sunnah Mutlak itu, boleh dilakukan kapan saja (kecuali ,menurut ilmu fiqih, lima waktu tertentu yang dilarang) dan berapa saja jumlah rakaat yang di kehendaki. Shalat sunnah itu, menurut ilmu Fiqih dibagi menjadi dua macam yaitu Mutlak dan Muqayad. Untuk sunnah Mutlak (shalat yang tidak ada nama- nya, cukup orang berniat shalat saja).

 

[Info: Hukum melakukan shalat sunnah mutlak pada malam Nishfu Sya’ban adalah mustahab (disunnahkan) karena Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam pernah melaksanakan shalat tersebut. Namun yang harus diperhatikan jika shalat tersebut diniati shalat nishfu sya’ban, maka menurut ulama hukumnya tidak boleh, karena tidak ada dalam syariat nama shalat nishfu sya’ban. Jadi macam-macam shalat sunah yang boleh dikerjakan pada malam Nishfu Sya’ban adalah; shalat sunah mutlak, shalat Hajat, shalat Tasbih, dan shalat apapun yang pernah diamalkan oleh Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam dan para sahabat].

 

Imam Nawawi–rahimahullah–sendiri berkata, “Seseorang yang melakukan shalat sunnah dan tidak menyebutkan berapa rakaat yang akan dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu rakaat lalu bersalam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu rakaat dan seterusnya.  Apabila, seseorang shalat sunnah dengan bilangan yang tidak diketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula, tanpa perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh golongan kami (mazhab Syafi’i) dan diuraikan pula oleh Imam Syafi’i di dalam Al-Imla”. (Dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahan, jilid 2 cet. kedua thn. 1977 hal. 11).  

 

Pada halaman 12 di kitab yang sama ditulis,  Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya, “Bahwa Abu Dzar r.a. melakukan shalat (sunnah mutlak) dengan rakaat yang banyak. Setelah salam, ia ditegur oleh Ahnaf bin Qais r.a. katanya, ‘Tahukah anda bilangan rakaat dalam shalat tadi, apakah genap atau ganjil?’ Ia (Abu Dzar) menjawab, ‘Jikalau saya tidak mengetahui berapa jumlah rakaatnya, maka cukuplah Allah mengetahuinya, sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam) bersabda–sampai disini Abu Dzar menangis–kemudian di lanjutkan pembicaraannya; Saya mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda, Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’” (Menurut al-Albani (ulama gol. wahabi) dalam kitabnya Tamamul Minnah jilid 1 hal.292 cet.pertama th.2001, terjemahan bahasa Indonesia, hadis ini ada dalam sahih al-Baihaqi dan di dalamnya tidak ada perawi yang diperselisihkan, begitu juga imam Ahmad telah meriwayatkan hadis ini).

 

Adapun, mengenai shalat sunnah Muqayad itu terbagi dua: Pertama, Yang di syariatkan sebagai shalat-shalat sunnah yang mengikuti shalat wajib/fardhu dan inilah yang disebut shalat Rawatib (misalnya shalat-shalat sunnah fajr, zuhur, asar, maghrib dan Isya). Kedua: Yang disyariatkan bukan sebagai shalat sunnah yang mengikuti shalat Fardhu/wajib (misalnya shalat tasbih, shalat Istisqa dan lain-lain).   

   

Abu Dzar r.a.–sahabat nabi shalllahu'alaihiwasallam yang terkenal–telah melakukan shalat sunnah Mutlak (yang hanya niat shalat saja), tanpa mengetahui berapa jumlah rakaat yang beliau kerjakan itu. Tidak ada para sahabat yang mengatakan bahwa amalan itu bid‘ah munkar, haram dan sebagai- nya! Abu Dzar r.a. juga menyebutkan suatu dalil umum yang membolehkan amalan shalat sunnah itu berapa pun jumlahnya, yaitu ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah ....sampai akhir hadis’.

 

Imam Nawawi sendiri telah mengatakan bahwa orang dibolehkan/sah shalat sunnah satu, dua, sampai ratusan rakaat dengan satu kali salam bila shalat sunnah itu tidak disebutkan berapa rakaat sebelumnya. Imam yang cukup terkenal ini pun tidak mengingkari kebolehan orang untuk shalat sunnah (Mutlak) terserah berapa rakaat yang dia kehendaki. Sangat aneh, jika kaum Wahabi berani membid‘ahkan, menyatakan munkar atau haram orang yang mengamalkan ibadah shalat sunnah Mutlak di malam yang mulia yaitu nishfu Sya’ban?  Wallahua'lam

 

Pengakuan Ibnu Taimiyah

Perhatikan beberapa riwayat berikut ini;

*Ibnu Taimiyah,ulama yang selalu dibanggakan oleh kaum wahabi-salafi, di- tanyai mengenai sholat malam nishfu sya’ban, dalam kitab Majmu’ al-Fatawa beliau menjawab;

إذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ حَسَنُ. وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

“Apabila seseorang shalat sunah malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf maka hukum- nya adalah baik. Adapun, kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang di tentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al-Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuatan bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.” Wallahua’lam. (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah, II/ 469).

 

*Tetapi, di kitab yang sama, pada halaman 132, Ibnu Taimiyah mengakui ada- nya hadis yang mengkhususkan untuk ibadah shalat malam Nishfu Sya’ban:

 وأما ليلة النصف - من شعبان - فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة ( فلا ينكر مثل هذا ) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات          

“(Berkenaan malam Nishfu Sya'ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaan dan kelebihannya dengan hadis-hadis dan atsar, di nukilkan dari golongan Salaf (para ulama dahulu) bahwa mereka menunaikan shalat khusus pada malamnya (nishfu sya'ban), shalatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil (maka jangan di-ingkari), manakala shalat secara jama’ah (pada malam nishfu sya'ban) adalah dibina atas hujah/dalil kaedah pada berkumpul- nya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat”.

 

*Dalam kitabnya Iqtidha' As-Shirat Al-Mustaqim pada hlm. 266, Ibnu Taimiyah mengatakan:

ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثارما يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعرغنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد - ابن حنبل من أئمة السلف - ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثارالسلفيَّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن                                                                

“(Malam Nishfu Sya'ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadis-hadis Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia dan ada di kalangan ulama As-Salaf yang mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan shalat khusus padanya dan berpuasa bulan Sya'ban telah disebutkan dalam hadis sahih.

 

Ada sebagian dikalangan ulama Salaf (orang yang terdahulu) dari ahli Madinah dan selain mereka dari kalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliaannya dan menyanggah hadis-hadis yang diriwayatkan padanya seperti hadis: 'Sesungguhnya Allah (Ta'aala) mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb'.

 

Akan tetapi, di sisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan ulama dari teman-teman kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban dan demikian itu adalah merujuk nash Ahmadbin Hanbal dari ulama Salaf–karena cukup banyak hadis yang meriwayatkan mengenai kemuliaan Nishfu Sya'ban. Begitu pula, kenyataan para ulama As-Salaf telah meriwayatkan kemuliaannya (Nishfu Sya'ban) dalam banyak kitab hadis Musnad  dan Sunan”.  Demikian lah Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha'.

 

*Dalam kitab  Faidh Al-Qadir disebutkan,

 قَالَ المَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ لَيْلَةُ نِصْفِ شَعْبَانَ رُوِىَ فِى فَضْلِهَا مِنَ اْلأَخْبَارِوَاْلأثَارِمَا يَقْتَضِى أنَّهَا مُفَضَّلَةٌ وَمِنَ السَّلَفِ تَنْبِيْه مَنْ خَصَّهَا بِالصَّلاَةِ فِيْهَا

“Ibnu Taimiyah berkata: Malam nishfu Sya’ban telah diriwayatkan keutamaan- nya dalam beberapa hadis dan pendapat para sahabat menunjukkan bahwa malam ini memiliki keutamaan tersendiri. Dari kalangan ulama Salaf melaksanakan shalat sunah secara khusus di malam tersebut”. (Faidh al-Qadír, II/302).

 

*Berikut pula pendapat Ibnu Taimiyah, yang dikutip oleh Sayid Muhamad bin Alwi Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza fi Sya’bān;

وَأَمَّا الصَّلَاةُ فِيهَا جَمَاعَةً فَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ فِي الِاجْتِمَاعِ عَلَى الطَّاعَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فَإِنَّهُ نَوْعَانِ أَحَدُهُمَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ إمَّا وَاجِبٌ وَإِمَّا مُسْتَحَبٌّ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ. وَصَلَاةِ الْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيحِ فَهَذَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ يَنْبَغِي الْمُحَافَظَةُ عَلَيْهَا وَالْمُدَاوَمَةُ. وَالثَّانِي مَا لَيْسَ بِسُنَّةِ رَاتِبَةٍ مِثْلَ الِاجْتِمَاعِ لِصَلَاةِ تَطَوُّعٍ مِثْلَ قِيَامِ اللَّيْلِ أَوْعَلَى قِرَاءَةِ قُرْآنٍ أَوْ ذِكْرِ اللَّهِ أَوْ دُعَاءٍ. فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ إذَا لَمْ يُتَّخَذْ عَادَةً رَاتِبَةً

Artinya, “Adapun shalat berjamaah pada malam tersebut, maka hal ini masuk dalam keumuman dalil yang menganjurkan berkumpul untuk ketaatan dan ibadah. Rinciannya dapat dibagi dua; pertama, shalat untuk rawatib (di- biasakan. Shalat jamaah seperti ini sangat dianjurkan dilakukan untuk shalat wajib atau pun sunah seperti shalat yang lima waktu, shalat Jumat, shalat hari raya, shalat gerhana, istisqa’, dan tarawih. Maka shalat-shalat ini sangat dianjurkan untuk di jaga dan dirutinkan. Kedua, tidak sunah untuk dibiasakan, seperti berkumpul untuk melakukan shalat sunah secara berjamaah seperti bangun malam (qiyamul lail), membaca Al-Quran, berzikir, dan berdoa secara berjamaah. Namun, hal ini tidak masalah jika tidak dijadikan sebagai kebiasaan (rutinitas)."

 

Kalau kita baca semua pendapat Ibnu Taimiyah diatas, beliau juga  memuji siapa yang menghidupkan amalan khusus pada malam Nishfu Sya'ban yaitu dengan menunaikan shalat sunnah mutlak pada waktu itu baik secara perseorangan mau pun secara berjama’ah sebagai hasan/baik. Adapun, amalan-amalan sholat yang ditentukan bilangan dan bacaan tertentu ,menurut Ibnu Taimiyah, tidak di anjurkan/disunnahkan oleh para ulama. Beliau tidak pula mengatakan, para ulama membid’ahkan mungkar atau mengharamkannya. 

 

Akan tetapi, sayangnya, golongan Wahabi-Salafi yang mengaku sebagai penerus Ibnu Taimiyah ini, telah mengharamkan dan membid‘ahkan mungkar amalan saleh dalam bulan dan nishfu Sya’ban ini! Mereka hanya menyebutkan kata-kata Ibnu Taimiyah yang sefaham dengan mereka, tetapi kata-kata Ibnu Taimiyah yang tidak sefaham, mereka kesampingkan!

 

*Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 hal.59, menulis bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah mengkhususkan beribadah pada malam Nishfu Sya’ban. Dari mereka berdua, orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya Al-Qasthalani berkata,perbedan pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk cara ibadah pada malam Nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara berjama’ah, yaitu pendapat Khalid bin Mi’dan, Lukman bin Amir dan disetujui oleh Ishak bin Rahawaih. Ada lagi, yg mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya.

 

Dengan demikian, menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan beribadah itu, telah disepakati pula oleh para ulama mazhab antara lain:

Ibnu Abidin Al-Hanafi dalam Hasyiah Raddul Mukhtar Juz 2 hal.25; Ibnu Najem al-Hanafi dalam Bahru ar-Raiq juz 2 hal. 56; Imam Dasuqi Al-Maliki dalam as-Syarh al-Kabir juz 1 hal.399; Imam Syafi’i dalam al-Umm juz 2 hal 264; Alkhatib Syirbini dalam Mughni Muhataj juz 1 hal.591. IbnuTaimiyah Al-Hanbali dalam kitab Majmu’ Fatawa juz 23 hal.132; Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Kitab Lathif al-Ma’arif hal.263 dan lain-lain. Dengan demikian, para ulama salaf dan khalaf telah mengakui adanya amalan-amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban.

 

Dari semua keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa mengkhususkan amalan berupa shalat mutlak pada malam nisfu Sya’ban tidaklah terlarang. Meskipun hadis-hadis yang menjelaskan keutamaannya ada yang dhaif, tapi tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah sehingga masing-masing hadis tersebut bisa menguatkan hadis dhaif lainnya untuk naik ke derajat hasan li ghairihi. Wallahu a’lam 

 

Kemuliaan bulan Rajab

Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsahan kemuliaan, keutaman bulan dan malam nishfu Sya’ban, pada dasar-nya memperkuat juga keabsahan kemuliaan dan keutamaan bulan Rajab.

Riwayat-riwayat mengenai kemuliaan dan amalan pada bulan Rajab antara lain sebagai berikut:

Keterangan  yang mu’tamad tentang bulan Rajab adalah, termasuk bulan- bulan yang dihormati dan dimuliakan. Al-Quran menyebutnya sebagai Asyhurul Hurum, yaitu, Dzulka’idah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

 

Dalam bulan tersebut, Allah Ta'aala melarang peperangan. Ini merupakan tradisi yang sudah ada jauh sebelum turunnya syariat Islam. Allah Ta'aala berfirman;   “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahui lah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS At-Taubah [9]: 36). Allah Ta'aala juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan janganlah melanggar kehormatan bulan- bulan  haram”.(QS.Al-Maidah [5]:2).

 

Empat bulan haram itu, di sebutkan juga dalam sabda Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam berikut ini, “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti pada hari penciptaan langit dan bumi, setahun terdapat dua belas bulan dan empat di antaranya adalah bulan haram dan tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Dzulka’dah,

Dzulhijjah, Muharam dan Rajab mudhar yang berada di antara jumadal Ula, Jumadad Tsani, dan Sya’ban”. (HR. Bukhari dan Muslim).       

    

**Imam al-Qurtubi di dalam tafsir-nya bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam sendiri pernah menegaskan, “Bulan Rajab itu adalah bulan Allah, yaitu bulan Ahlullah. Dan di katakan penduduk (Mukmin) Tanah Haram itu Ahlullah, karena Allah yang memelihara dan memberi kekuatan kepada mereka”. (al-Qurtubi, Jami’ Ahkam Al-Quran, VI: 326).

 

Dinamakan bulan-bulan haram karena diharamkannya berperang di bulan-  bulan itu kecuali musuh yang memulai. Hadis dari Anas bin Malik r.a. berkata; “Bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ‘Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.’  (‘ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami ke bulan Ramadan)’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 1: 259 hadis no 2346 dan Tabrani).

Hadis ini, disebutkan dalam banyak keterangan, umpama dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam Zawa’id al-Musnad (2346). Al-Bazzar di dalam Musnadnya–sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astar–(616); Ibnu As-Sunni di dalam Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658); Ath-Thabarani di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939), Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqi di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534), Kitab Fadha’il al-Awqat (14). Al-Khathib al-Baghdadi di dalam al-Muwadhdhih (II:473).      

 

**Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda; “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Imam Ath-Thabrani meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a., “Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-tidak menyempurnakan puasa sebulan setelah Ramadhan kecuali pada Rajab dan Sya’ban.” 

 

**Al-Syaukani dalam Nailul Authar, (dalam pembahasan puasa sunnah) sabda Nabi shalllahu 'alaihiwasallam, ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang’, itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga di sunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Ditulis juga oleh al-Syaukani dalam Nailul Authar bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan, tidak ada hadis yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga, bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab (walau pun ia dibantah oleh Asma binti Abu Bakar).

 

Abu Bakar al-Tarthusi juga mengatakan, puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat. Namun, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan di sunnah kan puasa di dalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadis-hadis yang umum (seperti yang tercantum diatas) itu cukup menjadi hujah atau landasan. Disamping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab!       

 

Puasa di bulan Rajab dibolehkan (mubah) berdasarkan hadis sahih. Sebagian Sahabat dan Salafus Saleh memakruhkan jika berpuasa Rajab sebulan penuh, sebagian lainnya tidak memakruhkannya.        

 

**Hadis sahih yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Sahih-nya,“Telah menceritakan pada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah menceritakan pada kami Usman bin Hakim Al-Anshari berkata, ‘Aku bertanya pada Said bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab’, Ia menjawab, Aku mendengar Ibnu Abbas berkata, ‘Adalah Nabi-shalllahu'alaihi wasallam- berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata, Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya’“.

 

**Al-albani (ulama salafi) sendiri dalam Al-Irwa mengatakan, “Hadis (di atas ini) di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Sahih-nya (VI:139) dan Ahmad (I:26). Saya (Albani) katakan, ‘Bahkan hadis ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI: 156, no.2547); Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (IV:906); dan dalam Syu’abul Iman (VIII:316, no. 3638).’”

 

Kendati demikian, ada pula hadis-hadis lain yang memakruhkan berpuasa di bulan Rajab jika berpuasa satu bulan penuh (Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (VIII:330, no. 3653). Ibnu Umar termasuk yang memakruhkan berpuasa di bulan Rajab walau pun, beliau dibantah oleh Asma binti Abu Bakar (HR. Ahmad dalam Al-Musnad I: 180, no. 176; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra III: 893).

 

Di riwayatkan bahwa Umar bin Khathab r.a. juga tidak menyukai puasa di bulan Rajab (namun kedudukan hadisnya diperbincangkan, karena ada Rijal yang tidak dikenal) (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath XVI:427 no. 7851). Akan tetapi, Imam Al-Haitsami mengomentari hadis ini: “Dalam sanadnya ada Hasan bin Jablah dan aku tidak menemukan orang yang menyebutkan tentang siapa dia ini, selebihnya Rijal-nya Tsiqat (bisa dipercaya).”(Majma’ Az-Zawa’id, III:191).

 

**Imam al-Baihaqi (Sunan al-Kubra, 1994, Maktabah Dar al-Baz: Makkah al- Mukarramah, juz.3 hlm. 319) meriwayatkan dari Imam Syafi’i: “Telah sampai kepada kami, bahwa Asy-Syafi’i mengatakan, ‘Sesungguhnya doa itu mustajab pada lima malam: malam juma’at, malam Idul Adha, malam Idul Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban’”.

 

Kesimpulan:

Berdasarkan keterangan tadi, jelaslah kepada kita bahwa bulan Sya’ban dan bulan Rajab mempunyai dalil-dalil yang tersendiri. Sumber-sumber hukum Islam dan keterangan baik para ulama Salaf mau pun Khalaf telah memberitahu bahwa terdapat hadis-hadis yang sahih, hasan, mursal, marfu’, maudhu’, dhaif, dhaif jiddan (amat lemah) tentang amalan-amalan seputar bulan Sya’ban dan Rajab. Begitu juga banyak hadis yang beredar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan bulan Rajab.

Karenanya, kita tidak bisa pukul sama rata bahwa semua hadis tentang amalan ibadah pada bulan Sya’ban dan Rajab itu palsu, dhaif ….dan tidak ada yang sahih atau hasan. Setiap isu dan dalil harus dipahami secara menyeluruh lagi mendalam, agar kita tidak tersesat dari landasan yang benar.

 

Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah Ta'aala yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk shalat sunnah mutlak, puasa atau berdoa kepada Allah Ta'aala, selama shalat sunnah Mutlak (yang hanya berniat shalat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang di makruhkan oleh agama (ump. seusai shalat Shubuh, seusai shalat Asar dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih).

 

Begitu juga, puasa sunnah (hanya berniat puasa saja) tidak boleh diamalkan pada hari-hari yang dilarang menurut ahli Fiqih. Firman Allah Ta'aala; ‘Berdoa-lah pada-Ku Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya “Dirikanlah shalat untuk mengingatKu”.

Dalam dua ayat ini, tidak dibatasi lafaz doa yang harus dibaca, begitu juga tidak dibatasi hanya shalat wajib saja. Adapun, mengenai puasa sunnah (yang hanya berniat puasa saja) banyak hadis yang meriwayatkannya.  Semua amalan ibadah karena Allah Ta'aala, selama tidak dilarang oleh syariat islam dan tidak menyalahi ijmak para pakar Islam, mustahab untuk diamalkan.

Bahkan, amalan-amalan yang dikerjakan pada zaman jahiliyah pun boleh kita amalkan kalau mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

Sebagai contoh, satu hadis saja yang diriwayatkan Al-Hakim dari Nubaisyah r.a.; "Seorang lelaki bertanya kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam, ‘Wahai Rasulallah, kami memberi persembahan (kepada berhala) di zaman jahiliyah, apa yang harus dilakukan di bulan Rajab ini’? Beliau-shalllahu'alaihiwasallam- menjawab, ‘Sembelihlah binatang ternak karena Allah di bulan apapun, lakukanlah kebaikan karena Allah dan berilah makanan’”. Imam Al-Hakim mengatakan, ‘Isnad hadis ini sahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sahih mereka berdua’. (Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ala Sahihain, 1990, Cetakan pertama, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah : Beirut, juz 4, hlm 263).

 

Imam Syaukani sendiri dalam Nailul Authar berkata, “Tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab begitu juga tidak ada hadis yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus”.

 

Dengan demikian, amalan ibadah puasa bulan Rajab serta amalan ibadah memperbanyak shalat sunnah atau berzikir adalah amalan mubah yang sudah pasti juga mendapat pahala dari AllahTa'aala. Semua amalan baik walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagai kebaikan, begitu juga amalan buruk walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagai keburukan (Al-Zalzalah [99]:7-8).

Begitu pula, menurut kaidah ulama, hadis yang dhaif boleh diamalkan bila mengandung Fadhail ‘Amal.

 

Orang yang tidak mau beramal pada bulan yang mulia itu juga tidak ada salahnya. Begitu juga orang yang ingin beramal pada bulan yang mulia itu akan mendapat pahala. Karena tidak ada satu amal yang baik (shalat, berzikir, berdoa dan lain-lain) karena Allah, yang tidak diberi pahala oleh Allah Ta'aala.

Wallahua’lam.

Semoga semua muslimin diberi taufik oleh Allah Ta'aala. Aamin.