Bertawasul kepada Rasulallah setelah Wafatnya

Bertawasul kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam setelah Wafatnya

Abu Darda dalam sebuah riwayat menyebutkan, “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Dalam mimpi itu, Beliau-shalllahu'alaihi wasallam-bersabda kepada Bilal, ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak pedualianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’

Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu, Bilal mendatangi  pusara Nabi-shalllahu'alaihi wasallam-sambil menangis, lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul shalllahu'alaihi wasallam.

Selang beberapa lama, Hasan dan Husain (cucu Rasulallah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq, VII: 137, Usud al-Ghabah, karya Ibnu Hajar, I: 208, Tahdzibul Kamal, IV: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Ad-Dzahabi, I: 358).

 

Bilal r.a menganggap ungkapan Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam dalam mimpinya sebagai teguran dari beliaushalllahu'alaihi wasallam, padahal secara zhahir beliau shalllahu'alaihi wasallam telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi makam Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan mazhab Wahabi bahwa yang telah wafat itu sudah tiada, maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah tersebut!

 

Mari kita lihat riwayat lain, diperbolehkannya tawasul secara langsung kepada yang telah wafat:

** Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal bin Haris–salah seorang sahabat Nabi–datang ke pusara Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam dan mengatakan, ‘Wahai Rasulallah, moh mohonkan lah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul-shalllahu'alaihi wasallam-menemuinya didalam mimpi dan memberitah bahwa mereka akan diberi hujan (oleh Allah)”.(Fathul Bari, II:398; Sunan al- Kubra, III:351).

 

** Ad-Darami meriwayatkan, “Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah r.a. (ummul Mukminin). Aisyah mengatakan,‘Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan, kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, maka turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah unta-unta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat, Sunan ad-Darami, I: 56)

 

Hadis serupa, juga diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Said bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin Abdullah yang mengatakan sebagai berikut, “Ketika kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada istri Rasulallah-shalllahu 'alaihiwasallam-Aisyah r.a. Kepada mereka Aisyah berkata, ‘Datanglah ke pusara Nabi-shalllahu'alaihi wasallam-dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah r.a. itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”.(Sunan Ad-Darimi,I: 43).

 

**Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar (seorang bendahara Khalifah Umar), berkata, “Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi Saw. seraya berkata, ‘Ya Rasulallah mohon- kan (kepada Allah Taáala) hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa’. Kemudian di dalam tidur bermimpi datanglah seseorang dan berkata kepada- nya, ‘Datangilah Umar’”! Saif juga meriwayatkan hal ini dalam kitab ‘al-Futuh’; Sesungguhnya, lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Ibnu Hajar, Fathul Bari fi Syarh Shahih Bukhari, II: 577).                                                                                                                                                                                                                                                               

**Berkata Al-Hafizh Abu Abdillah Muhamad bin Musa an-Nu‘mani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah azh-Zhalam’. Sesungguhnya al-Hafizh Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan; "Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulallah-shalllahu'alaihi wasallam-. Kemudian, ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasulallah Saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di-atas kepalanya seraya berkata, ‘Wahai Rasulallah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu.

Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat, ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS An-Nisa [4]:64), dan aku telah menzalimi diriku sendiri.

Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur, ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampuni kamu’”.(Kitab Wafa al- Wafa karya as-Samhudi, II:1361).

 

Riwayat di atas menjelaskan, bertawasul kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam pasca wafat beliau shalllahu'alaihi wasallam. Perilaku dan ungkapan tawasul si Badui di pusara Rasul itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib k.w. dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya.

 

Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib k.w., “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali”. (Kitab Tarikh Baghdad karya Khatib Al-Baghdadi, XIV: 321). Dengan kandungan yang sama, hadis ini juga termaktub dalam Shahih at-Tirmidzi, II: 298.

 

Dalam Kitab ‘Mustadrak as-Shahihain’  karya al-Hakim an-Naisaburi, III: 124 di sebutkan bahwa Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam bersabda, “Ali bersama Al-Quran dan Al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari ke bangkitan”.

Dalam kitab yang sama (III: 126 dan 122), Al-Hakim meriwayatkan sabda Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam, “Aku (Rasulallah) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya”; “Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kewafatan) Aku”.

Jika tawasul terhadap orang yang telah wafat adalah syirik, bid‘ah–versi Wahabi–tidak mungkin sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim akan berdiam diri, yakni tidak melarangnya.

 

**Riwayat yang serupa diatas, Syaikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya ‘Al-Hikayatul Masyhurah’ mengemukakan kisah peristiwa yang di ceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut; Pada suatu hari ketika aku (Al-Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulallah-shalllahu'alaihi wasallam-, tiba-tiba datang lah seorang Arab Badui.

Di depan pusara beliau itu ia berkata, ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman, Sesungguhnya jika mereka ketika berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai Muhamad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64).

Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulallah, untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al- ‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulallah-shalllahu'alaihi wasallam-berkata kepadaku, ‘Hai ‘Utbah, susul lah segera orang Badui itu dan beritahukan kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’”.

 

Peristiwa di atas ini, dikemukakan pula antara lain oleh: Imam Nawawi dalam kitab Al-Idhah, bab 4 hal. 498; Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa [4]: 64;  Syaikh Abu Muhamad Ibnu Qadamah dalam kitabnya Al-Mughni jilid 3/556; Syaikh Abul Faraj Ibnu Qadamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid 3/495; Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan mazhab Hanbali) jilid 5/30; Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265).

 

** Hadis lain, tentang tawasul pada Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam di depan makam beliau shalllahu'alaihi wasallam yaitu yang diketengahkan oleh Al-Hafizh Abu Bakar Al-Baihaqi. Hadis itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu Qatadah dan Abu Bakar Al-Farisi dari Abu Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin Ali Adz-Dzihli, dari Yahya bin Yahya dari Abu Muawiyah, dari A’masy bin Abu Saleh dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:

“Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khatab r.a. terjadi musim kemarau amat gersang. Seorang datang ke pusara Rasulallah-shalllahu'alaihi wasallam- kemudian berkata, ‘Ya Rasulallah, mohonkanlah hujan kepada Allah bagi umat anda. Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya, orang itu mimpi  Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-dan berkata kepadanya, 'Datanglah kepad Umar dan sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya, ‘Engkau harus bijaksana ..bijaksana ’ !

Kemudian, orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah Umar. Ketika itu, Umar r.a. berkata, ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’”. Hadis ini isnadnya sahih.

 

Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah, I:91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18H. Ibnu Abi Syaibah juga mengetengahkan hadis itu dengan isnad sahih dari riwayat Abu Saleh As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya ‘Al-Futuh’ orang yang mimpi didatangi Rasulallah-shalllahu'alaihi wasallam-itu ialah sahabat Nabi-shalllahu'alaihi wasallam-yang bernama Bilal bin Al-Harits Al-Muzni.  Dalam kitab Fathul Bari, XI: 415 Ibnu Hajar mengatakan hadis tersebut isnadnya sahih.

                                                                                                                                   

** Dalam sebuah riwayat panjang terdapat kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam). Hal ini disebutkan oleh At-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif:

"Suatu saat, seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangan- nya. Tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi. Di tengah jalan, ia bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya.

Mendengar hal itu, lalu, Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya, ‘Ambillah bejana dan berwudulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat’. Setelah itu, berdoalah dengan kalimat;

‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhamad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhamad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku’, kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjak lah, aku akan mengiringimu’.

 

Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukn kepadanya. Selang beberapa saat, ia kembali mendatangi pintu rumah Usman (bin Affan). Usman pun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata, ‘Apakah gerangan hajatmu’?

Kemudian ia menyebutkan hajatnya, dan Usman pun segera memenuhinya. Ia (Usman) berkata kepadanya: ‘Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja’.

Ia (Usman bin Affan) pun kembali mengatakan, ‘Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)!’ Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata, ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu!’

 

Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicara kepadanya tentangku. Usman bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya’. Tetapi aku telah melihat Rasulallah-shalllahu'alaihi wasallam-di datangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan kekuatan penglihatannya, kemudian Nabi bersabda kepadanya ‘Bersabar lah!’ Lelaki itu menjawab: ‘Wahai Rasulallah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku’. Nabi bersabda, ‘Ambillah bejana dan berwudulah, kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah doa-doa ….’”

 

Al-Mundziri dalam At-Targhib,I: 44 dan Majmauz Zawaid, XI: 279, mengatakan hadis di atas sahih. Begitu pun Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan At-Thabarani di atas ini berasal dari Abu Jakfar yang nama aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi hadis yang dapat dipercaya. Abu Abdullah al-Maqdisi mengatakan, hadis itu shahih. Juga Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami membenarkan hadis itu.  

 

Hadis di atas, merupakan contoh yang cukup jelas tentang seorang yang diajari oleh Usman bin Hunaif agar urusannya dimudahkan oleh Allah Ta'aala dengan berdoa dan tawasul kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam. Usman bin Hunaif r.a. pernah menyaksikan sendiri peristiwa seorang buta yang mengeluh pada Rasulallah. Ketika itu Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam menyuruh seorang tuna netra untuk wudu  dan shalat dua rakaat. Setelah shalat, seorang buta itu berdoa pada AllahTa'aala sambil menyertakan nama Nabi shalllahu 'alaihi  wasallam dalam doanya itu.

 

Adapun, hadis yang terakhir di atas, Usman bin Hunaif atas prakarsanya sendiri mengamalkan cara berdoa yang diajarkan Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam pada orang buta tersebut. Peristiwa terakhir ini, terjadi setelah wafat Rasulallah pada zamannya khalifah ketiga. Usman bin Hunaif r.a. memahami ajaran Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam yang mengajarkan diperbolehkannya tawasul kepada beliau shalllahu'alaihi wasallam pada masa hidupnya, namun, ia juga terapkan setelah kewafatan Beliau shalllahu'alaihi wasallam.

 

Para imam ahli hadis yang mengetengahkan hadis tersebut dan para imam berikutnya yang mengutip hadis itu dalam berbagai kitab yang mereka tulis. Tidak ada seorangpun di antara mereka ini yang mengatakan bahwa tawasul depan pusara Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam itu perbuatan kufur, sesat atau syirik, kecuali kelompok Wahabi dan pengikutnya.

Riwayat-riwayat tadi menunjukkan sudah menjadi atsar sahabat, jika seorang sahabat memiliki hajat, mereka bertawasul kepada Rasulallah, kendati Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam yang secara lahir telah wafat.

Wallahua'lam

Silahkan baca kajian selanjutnya