Dalil-dalil  hadis, menurut pandangan kaum mujassimah 

Selain riwayat-riwayat yang telah dikemukakan, golongan mujassimah menyebutkan hadis-hadis berikut yang mereka andalkan, dalam membuktikan bahwa Allah Subhaanahuwataáala berada di atas langit:

 

Nabi shallallahu'alaihiwasallam bersabda,

           أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً                                                     

“Tidaklah kalian mepercayai aku, padahal, aku ini kepercayaan yang berada di atas langit (Allah). Datang kepadaku kabar langit pagi dan sore.” (HR.Imam Bukhari [8/67/4351] dan Muslim [2/742/ 1064] dari riwayat Umarah bin al-Qa’qa’). Redaksi hadis ini, telah diselisihi oleh Said bin Masruq ats-Tsauri ,ayah Sufyan at-Tsauri.

 

Riwayat Said at-Tsauri, “Apakah Allah mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi, sedangkan kalian tidak mempercayai aku?” Dalam riwayat Said ini, tidak terdapat redaksi مَنْ فِى السَّمَاء  Hadis ini di riwayatkan Imam Bukhari dalam Sahih-nya [6/376/ 3344], Imam Muslim [2/741/1064].

Begitu pula yang diriwayatkan Imam an-Nasai dalam as-Sunan as-Shughra [5/87/2578], Abu Daud [4/243/4764], Imam Ahmad dalam Musnad-nya[ 3/67/ 73] dan masih banyak lainnya.

 

Dalam Sahih Bukhari dan Muslim terdapat banyak redaksi periwayatan hadis serupa diatas yang tersebar di beberapa tempat, akan tetapi tidak memuat kata, مَنْ فِى السَّمَاء .Karenanya, hadis itu selalu dikesampingkan (tidak pernah mereka gubris) oleh kelompok mujassimah.

Coba perhatikan lagi hadis di bawah ini tanpa memuat kata Man Fis Sama,

            فَمن يُطيعُ اللهَ إذا عصيْتُهُ، فَيَأْمَنُنِي على أهلِ الأرضِ ولا تَأْمَنُونِى؟   

“Siapakah yang mentaati Allah jika aku (Nabi Muhamad) menentangnya? Dia (Allah) mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi sedangkan kalian tidak mempercayaiku?!”

 

Setiap ayat/hadis yang menyebut kata  مَنْ فِى السَّمَاء maka yang dimaksud dalam bahasa orang-orang Arab (yang Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka) adalah, makna majazi/kiasan yang berarti keagungan, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material).

 

Seorang pujangga Arab klasik bersyair:

               علونا السماءَ مَجْدنا وجدودُنا*** و إِنَّا لنبغِي فوق ذلك مظهرا       

Kami menaiki langit, kejayaan dan moyang kami*** dan kami menginginkan kemenangan di atas itu. 

Jelas sekali, yang dimaksud menaiki langit bukan langit fisik di atas kita itu, akan tetapi maknanya kemuliaan dan keagungan. Demikianlah yang dimaksud dalam setiap nash dengan redaksi,  مَنْ فِى السَّمَاء (andai ia sahih tentunya). Hal demikian, mengharuskan kita mensucikan Allah subhaanahuwata'aala dari sifat-sifat hakiki pada makhluk-Nya umpama, bersemayam, bersentuhan dan bertempat di atas langit atau di atas bumi/bertempat pada makhluk-Nya.

 

Mengenai hadis yang menggunakan redaksi Allah berada di atas langit, imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid,  “Al-Kirmani berkata, ‘makna  zahirnya مَنْ فِى السَّمَاء jelas bukan yang di maksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat. Akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya, sebagai isyarat akan ketinggian Zat dan sifat-Nya. Dan seperti inilah, para ulama lainnya menjawab/menerangkan setiap kata didalam nash yang menyebut kata fauqiyah/atas dan semisalnya.’” 

 

Hadis lain yang diandalkan golongan mujassimah, “Orang-orang yang penyayang, disayangi oleh ar-Rahmaan. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya akan menyayaingimu yang ada di langit .” (HR. At-Turmudzi dan disahihkan oleh Al-Albani).

Hadis diatas ini dha’if dan munkar!  Ia telah diriwayatkan oleh Abu Daud [4/285] hadis no.4941 dan at-Turmudzi [4/324] hadis no.1924 dan lainnya, seperti al-Hakim. Dalam sanad hadis ini, terdapat seorang perawi bernama Abu Qabus. Ia tidak dikenal identitasnya, majhul! Tidak meriwayatkan hadis darinya, kecuali Malik bin Dinar. Ad-Dzahabi berkata, “Ia tidak dikenal, la yu’raf!”. Sementara Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib [12:223], Imam Bukhari dalam kitabnya Al-Kabir telah menyebutnya dalam daftar perawi lemah...

 

Ketika menerangkan hadis di atas, al-Mubarakfuri berkata, “Ada yang berkata, yang dimaksud (menyayangi yang ada dilangit....dalam hadis itu) adalah penghuni langit, yaitu para Malaikat. Mereka (para malaikat) itu memohonkan ampunan bagi kaum Mukminin. Allah berfirman, ‘(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhan-nya, dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.’ (QS. Ghafir [40];7)”.

 

Penafsiran terakhir ini, didukung oleh banyak hadis sahih antara lain, Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam bersabda: “Tidak akan di rahmati Allah, orang yang tidak merahmati/berbelas-kasih kepada manusia.” (HR. Bukhari, Kitab at-Tauhid, bab kedua, Qaulullah Tabaraka wa ta’ala, ‘Qulid’u Allah au ud’ur Rahman 13/358 hadis no. 7376. Lihat juga Fathu al Bari,28/130-131).

 

Begitu pula redaksi hadis, “Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam mencium al Hasan bin Ali dan saat itu al-Aqra bin Habis duduk di samping beliau. Lalu al-Aqra’ berkata, ‘Aku punya sepuluh putra, tetapi aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka’. Lalu, Rasulullah memandangnya kemudian bersabda: ‘Barangsiapa tidak merahmati, ia tidak akan dirahmati.’” (HR.Bukhari dalam Kitabul Adab,10/438 hadis no. 60131). 

 

Berdoa tangan menengadah keatas, apakah Allah berada diatas?

Selanjutnya kaum Mujassimah mengatakan, dalam beberapa hadis disunnahkan seorang yang berdoa mengangkat tangan dan menengadahkannya kearah atas. Kaum mujassimah berkata, ini bukti bahwa Allah Subhaanahuuwata'aala berada diatas!

Ini pemahaman yang salah. Para ulama Islam berikut ini–selain kelompok Mujassimah, Musyabihah–menerangkan arah atas  adalah kiblat berdoa, Ka’bah adalah kiblat Shalat:

 

  • Imam Abu Manshur Al-Maturidi (W. 333H) berkata, “Adapun mengangkat tangan ke arah langit saat berdoa, ia murni karena tuntutan ibadah (dalam syariat). Allah berhak memperhamba hamba-hamba-Nya dengan apa saja yang Dia kehendaki dan mengarahkan mereka ke arah mana saja yang dikehendaki-Nya.                                                                                                                    Jika ada orang yang menganggap bahwa diangkatnya pandangan ke arah langit karena Allah di arah itu berarti ia seperti orang yang menganggap Allah berada di arah bawah (perut) bumi karena ia meletakkan dahinya di saat sujud, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Atau seperti orang yang menganggap bahwa Allah itu berada di sisi barat atau timur karena ia menghadap Allah di saat shalat (kearah barat atau timur), atau Allah berada di sisi Makkah, karenanya, ia haji menuju kota Makah.”(Kitab at Tauhid:75-76)

 

  • Imam Ghazali berkata, “Adapun mengangkat tangan ketika memohon/ berdoa ke arah langit karena ia adalah kiblat doa. Di dalamnya juga terdapat isyarat bahwa Zat yang kita berdoa kepadanya adalah menyandang sifat Kemahaagungan dan Kemahaperkasaan dan sebagai peringatan bahwa menuju arah atas adalah sebagai sifat keagungan dan ketinggian. Karena sesungguhnya, Dia (Allah) diatas segala sesuatu dengan penguasaan dan penaklukan.” [Ihya Ulumid Din,1/107, Dar al Ma’rifah. Lebanon.]

 

  • Imam Sayid Muhamad al-Husaini az-Zabidi–pensyarah kitab al-Ihya’–menerangkan perkataan Imam Ghazali ini, “Adapun, mengangkat tangan ketika memohon/berdoa ke arah langit, itu dikarenakan ia adalah kiblat doa. (sebagaimana Ka’bah adalah kiblah Shalat). Ia (seorang mushalli) menghadap Allah dengan dada dan wajahnya. Sedangkan Zat yang kita tuju itu (Allah), Maha suci dari bertempat di Ka’bah atau di langit.”

 

  • An-Nasafi telah menyinggung masalah ini, ia berkata, “Dan mengangkat tangan dan wajah (ke arah atas) saat berdoa adalah murni ta’abud/arahan agama, persis seperti menghadap Ka’bah ketika shalat. Jadi langit adalah kiblat doa sedangkan Ka’bah adalah kiblat shalat. Di dalamnya terdapat isyarat bahwa Zat yang kita berdoa kepadanya adalah menyandang sifat Kemaha-agungan dan Kemaha-perkasaan dan sebagai peringatan menuju arah atas adalah sebagai sifat keagungan dan ketinggian. Oleh karena, Dia (Allah) di atas segala sesuatu dengan penguasaan dan penaklukan. (dan yang menunjukkan hal itu adalah) firman Allah Swt.,                                                                                            وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

‘Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.’ (QS.Al-An’am [6];18). Penyebutan status ubudiyah (kehambaan) ketika menyebutkan pihak yang Allah di atasnya, menguatkan asumsi penafsiran bahwa yang dimaksud adalah, penguasaan dan penaklukan. Dan penulis (Imam Ghazali) telah menyebutkan dengan panjang lebar dalam kitab al-Iqtishad, rahasia mengapa menghadap ke arah atas, dalam berdoa. [lihat Ithaf as Sadah al Muttaqin Bi Syarhi Ihya’i Ulumid Din,2/170. Dar al Kotob al Ilmiyah. Beirut-Lebanon].

 

Dalam kesempatan lain, beliau juga menegaskan: “Jika ada yang berkata, ‘Apabila Allah Zat Yang maha Hak itu tidak berada di lokasi/arah tertentu, lalu apa arti (gunanya) mengangkat tangan ke arah langit di saat berdoa?’ Maka jawabnya dari dua sisi–seperti disebutkan at-Thurthusyi [nama lengkapnya Abu Bakar Muhamad bin al Walid al Andalusi al Maliki (w.520H)]

Pertama, Ia murni sebagai penghambaan (sesuai perintah semata) seperti menghadap Ka’bah dalam shalat, menempelkan dahi ketika sujud, dengan tetap meyakini prinsip Kemahasucian Allah dari bertempat di Ka’bah atau di tempat Sujud. Maka langit itu sebagai kiblat doa.

-Kedua, Langit itu adalah tempat turunnya rizki, wahyu, rahmat dan keberkahan... [Ibid.5/244].

 

  • Imam an-Nawawi juga menegaskan hal itu dalam syarah  Sahih Muslim, “Sesungguhnya langit adalah kiblat untuk para pendoa sedangkan Ka’bah adalah kiblat untuk orang-orang yang shalat.”[Syarah Muslim,5/24]. Keterangan serupa, disampaikan pula oleh para ulama di antaranya, al Hafidz Ibnu Hajar dalam syarah Sahih Bukharinya.
  • Mulla Ali al-Qari berkata, “Langit adalah kiblat doa, dengan arti dia adalah tempat turunnya rahmat dan ia adalah sebab berbagai nikmat. Dan ia (doa itu) penyebab dicegahnya beragam bencana…. dan Syeikh Abu Mu’in an-Nasafi menyebutkan dalam kitab at-Tamhid-nya bahwa para muhaqiqin telah menegaskan, diangkatnya tangan saat berdoa adalah murni perintah agama.” [Syarah al Fiqhi al Akbar:199.]

 

  • Allamah al-Bayadhi al-Hanafi berkata, “Diangkatnya tangan di saat berdoa ke arah langit, bukan karena Allah Ta’ala berada di atas langit tertinggi. Akan tetapi, karena ia adalah kiblat doa, dari arah (arah atas) itulah kebaikan dinanti-nanti dan keberkahan diharap turun, sesuai dengan firman Allah,

                          وَ فِي السَّماءِ رِزْقُكُمْ وَ ما تُوعَدُونَ

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS.Adz Dzariyat [51];22).

 

Disamping adanya isyarat sifat Kemaha Agungan dan Keperkasaan yang Dia sandang, Dia berada diatas makhluk-Nya dengan penaklukan dan penguasaan.”[ Isyarat al Maram:198].

 

Kelompok Mujassimah berdalil lagi bahwa penghuni Jannah/Surga akan melihat Wajah Rabb-nya, kemudian menyebutkan riwayat, ‘kelak penduduk surga akan melihat Tuhan dengan mata telanjang, sebagaimana mereka dahulu di dunia melihat bulan yang tidak terhalang oleh awan’. Kata mereka, ini juga sebagai bukti bahwa Allah berada di atas sana!

Memang benar kebanyakan ulama Ahlusunnah menerima hadis tentang Ru’yah (dapat dilihatnya Allah kelak di akhirat), tetapi mereka menolak jika dikatakan bahwa Allah itu dilihat pada suatu tempat. Maha Suci Allah dari berada di sebuah sudut/tempat, dan Maha Suci Allah dari Kaifiyah!

 

  • Perhatikan keterangan para ulama, yang dirangkum oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqallani dalam Fathu al Bari-nya, ketika ia mensyarahi hadis yang dibawakan oleh kelompok Mujassimah tersebut. Al-Hafidz Ibnu Hajar dengan tegas mengatakan, “Prinsip dasar akidah bahwa Allah Maha Suci dari al-Jihah wa al kaifiyah, Maha Suci dari bertempat/berlokasi di sebuah arah/lokasi/tempat tertentu dan Maha Suci dari penetapan cara/bagaimana dilihatnya Allah Swt.! Lebih lengkap, baca keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari, 28/204/ Kitabut-Tauhid, Bab Qaulillah Ta’ala, Wajuhun yaumaidzin Nadzirah.

Diterimanya riwayat tentang dapat dilihatnya Wajah Allah di surga atau di alam akhirat, sama sekali tidak dengan serta merta membenarkan akidah kaum Mujassimah bahwa Allah berada di atas. Sebab para ulama telah berselisih pendapat tentang esensi dan hakikat melihat Allah yang dimaksud dalam hadis dan ayat tersebut!

 

Kelompok Mujassimah menyebutkan argumen lagi, sebuah riwayat, ‘Allah turun kelangit dunia setiap sepertiga malam yang terakhir’. Mereka berkata riwayat ini mutawatir. Ini jelas, menunjukkan bahwa Allah Ta'ala berada diatas!

 

Ketahuilah, hadis-hadis yang redaksinya menyebutkan bahwa Allah Ta'aala turun ke langit dunia, zhahir teks/redaksinya bukan yang dimaksud! Maha suci Allah dari pensifatan seperti itu! Pemaknaan yang benar tentang hadis-hadis Nuzul/turun ialah Malaikat pesuruh Allah Ta'aala yang turun untuk menyerukan kepada penghuni langit dunia di waktu sahur/menjelang shubuh. Pengertian ini, telah didukung oleh beberapa hadis sahih berikut ini:

 

  • Hadis riwayat Imam Nasa’i dalam as-Sunan al Kubra,6/124 dengan sanad shahih dan ia juga dimuat dalam Amalu al yaum wa al Lailah:30 hadis nomer.482 dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah, bahwa keduanya berkata, “Rasulallah Saw, bersabda,

إنَّ اللهَ عز و جل يُمْهِل حتَّى يمضِيَ شطر الليل الأَول ثم يأمر منادِيًا يُنادي يقول: هل مِنْ داعٍ فيستجاب له؟ هل مِنْ  مستغفِر  يُغْفَرُ  لهُ ؟ هل مِنْ سائلٍ يعطَى؟                                                              

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberi tangguh sampai berlalu pertengahan pertama malam, kemudian Dia memerintah penyeru (malaikat) agar menyerukan: ‘Adakah orang yang mau berdoa, lalu di-ijabahkan untuknya? Adakah orang yang memohon ampunan, lalu ia diampuni? Adakah orang yang meminta, lalu ia diberi?”

 

  • Hadis riwayat Usman bin Abil Ash ats-Tsaqafi, ia berkata, Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam bersabda,

 تُفتَحُ أبوابُ السماءِ نِصفَ الليلِ فينادي منادٍ: هل مِنْ  داعٍ  فيستجاب  له؟ هل مِنْ  سائلٍ فيُعطى ؟ هل مِنْ مكروبٍ فيُفرج  عنه؟ فلا يبقى مسلِمٌ يدعو بدعوةٍ إلا استجاب الله عز و جل إلا زانية تسعى بفرجِها أو عشارا.  

Pintu-pintu langit dibuka di pertengahan malam, lalu penyeru (malaikat) menyerukan, ‘Adakah orang yang mau berdoa, lalu di-ijabahkan untuknya? Adakah orang yang meminta, lalu ia diberi? Adakah seorang yang ditimpa bencana, lalu ia dibebaskan dari- nya? Maka tiada seorang Muslim berdoa dengan doa tertentu, melainkan Allah kabulkan untuknya, kecuali seorang wanita pezina yang menjual kehormatannya, atau seorang As-syara.”

 

Arti As-syara, seorang yang kerjanya memeras/menekan seper-sepuluh dari harta orang, atau tukang peras suruan penguasa. [Lihat Lisanul Arab,6/261]. Hadis diatas sahih, diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya,4/22, 217, Al-Bazzar dalam Kasyfu al Astar, 4/44, Ath-Thabarani dalam Mu’jam-nya 9/51. 

 

Berikut, keterangan dua tokoh ulama Ahlusunnah–yang sering dibenci dan diserang oleh Kaum Wahabi Salafi–karena sikap dua tokoh ulama ini dengan tegas menyatakan kesalahan kaum Mujassimah/Musyabbihah. Mereka adalah Muhyiddin an-Nawawi dalam syarah Sahih Muslim dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqallani dalam Fathu al Bari Bi Syarhi Sahihal Bukhari.

 

  • Keterangan Imam An-Nawawi, Sabda Nabi shallallahu'alaihiwasallam ;

                 ينزلُ ربُّنا كلَّ ليلةٍ  إلى سماء الدنيا          

Tuhan kita turun setiap malam ke langit dunia….”, lalu (Allah) berfirman, ‘Adakah orang yang menyeru-Ku, Aku akan kabulkkan untuknya.’

Hadis ini termasuk hadis-hadis Shifat. Mengenai hadis ini ada dua aliran/ pendapat ulama yang terkenal, kesimpulannya adalah sebagai berikut:

Aliran Pertama, adalah mazhab Jumhur Salaf dan sebagian Ahli Kalam, bahwa hadis-hadis seperti itu harus di-imani bahwa ia adalah hak/benar sesuai dengan makna yang pantas bagi Allah. Jelas, bahwa zhahir maknanya yang berlaku pada kita bukanlah yang dimaksud. Mereka (aliran pertama) tidak melibatkan diri dalam menakwilkannya, tetap meyakini Kemahasucian Allah dari sifat-sifat makhluk dan Maha Suci dari berpindah, bergerak dan seluruh sifat makhluk(Nya).

 

Aliran Kedua, yaitu mazhab kebanyakan Ahli Kalam dan sekelompok Salaf, adalah mazhab yang telah dinukil dari (Imam) Malik, al-Auzai. Hadis-hadis itu, harus ditakwil dengan makna yang pantas, sesuai dengan masing-masing teksnya dalam hadis-hadis tersebut. Atas dasar itu, mereka menakwilkan hadis ini (hadis nuzul) dengan dua takwil:

Pertama, adalah takwil Malik bin Anas dan ulama lainnya. Hadis itu maknanya adalah: Turunnya Rahmat dan Perintah serta (turunnya) Malaikat Allah. Seperti dikatakan, ‘Si Sultan melakukan ini dan itu.’ Adapun, yang melakukannya adalah, pendukung dan pengikutnya.

 

Kedua, kalimat itu adalah isti’arah/kata pinjam. Maksudnya adalah, menunjukkan bahwa Allah memberikan perhatian-Nya kepada para pendoa, dengan mengkabulkan dan berlemah lembut kepadanya. Allahu A’lam. [Syarah Sahih Muslim”, Imam Nawawi, 6/36-37.]

 

  • Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqallani, ketika menerangkan hadis no. 1145 pada Bab ad Du’a wa ash Shalah Min Akhiril Lail/Doa dan Shalat di waktu akhir malam,

                  ينزلُ ربُّنا كلَّ ليلةٍ  إلى سماء الدنيا                 

“Tuhan kita turun setiap malam ke langit dunia”.

 

Ibnu Hajar berkata, ‘Arah itu adalah arah atas. Sementara, jumhur Ulama menentangnya.Karena pendapat itu, menyebabkan kepada keyakinan bahwa Allah berlokasi, Maha Suci Allah  dari berlokasi.

Selanjutnya Ibnu Hajar menyimpulkan, “Al Hasil, intinya bahwa ia ditakwilkan dengan dua makna: (pertama), makna turun di sini adalah turunnya perintah atau malaikat Allah atas perintah-Nya. Atau (kedua) adalah kata isti’arah dengan makna kelemah-lembutan Allah kepada para pendoa, dengan mengkabulkan doa mereka dan semisalnya.

 

Abu Bakar bin Faurak telah meriwayatkan bahwa sebagian masyaikh/guru besar hadis telah membaca kata:  ينزلُ dengan dhammah huruf pertamanya: يُنزل (yang artinya, menurunkan), maksudnya (Allah) menurunkan malaikat. Bacaan ini, dikuatkan oleh riwayat an-Nasa’i…dan hadis Usman bin Abi al-Ash… (kemudian beliau menyebutkan dua hadis yang telah dikemukakan sebelumnya).”

 

  • Ibnu Hajar mengutip keterangan Imam al-Baidhawi, “Karena.” telah tetap berdasarkan dalil-dalil yang nyata, bahwa Allah Maha Suci dari bersifat Jism (tubuh) dan berlokasi, maka mustahil bagi Allah Turun, dengan arti berpindah dari sebuah tempat ke tempat lain, yang lebih rendah. Jadi maknanya adalah turunnya rahmat Allah.…“ [Fathu al-Bari,6/36-37]

 

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya.

Maak jouw eigen website met JouwWeb