Bantahan Syaikh Segaf terhadap Syaikh Ali Tantawi
Bantahan atas fitnah golongan Pengingkar
Syaikh Segaf Ali Alkaff dari Jeddah/Arab Saudi, menjawab makalah yang ditulis oleh seorang ulama bernama Syaikh Ali Tantawi. Hal ini, dimuat di surat kabar As-Syarqul Ausat tanggal 20/12/1406H bertepatan dengan tanggal 05 september 1985 nomer edisi 2483 dengan judul ‘Peringatan-peringatan Syaikh At-Tantawi’.
Syaikh Ali Tantawi menulis: “Dan orang-orang Hadramaut berperingkat-peringkat di antara mereka terdapat Alawiyin yang menamakan dirinya sebagai sadah yang mulia. Ada pula yang tidak mengaku demikian. Padahal, nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan takwanya bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya. Sedangkan orang yang mulia itu adalah orang yang bertakwa dan orang yang agung itu adalah, orang yang baik dalam perbuatan dan perilakunya. Kemudian kebanyakan nasab-nasab yang dikatakan bersambung dengan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tidak dapat dibuktikan dan dipertanggung-jawabkan melainkan semata-mata adalah anggapan orang -orang yang mempunyai nasab itu dan saya tidak menuduh nasab seseorang, tetapi, saya ingin menerangkan suatu kenyataan yang konkret…”
Berikut sebagian tanggapan Syaikh Segaf Ali Alkaff:
Syaikh Tantawi ini tidak hanya mengemukakannya dalam surat kabar, tetapi mengulangi perkataan yang sama dalam suatu siaran radio ketika ditanya tentang syarat-syarat kafaah dalam nasab dan hukum nikah.
Tujuannya hendak menyebarluaskan pandangannya yang kontroversial/ menimbulkan fitnah. Alangkah baiknya, kalau Syaikh ini menjawab pertanyaan yang diajukan padanya–mengenai kafaah (sederajad atau sepadan) nasab–tersebut dengan merujuk pendapat para ulama yang sudah dikenal di dunia yaitu Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal [r.a.], yang menjadikan kafaah nasab sebagai syarat dalam pernikahan, sementara Imam Malik tidak mensyaratkannya.
Dalam kegigihan beliau (Tantawi) menyebarluaskan makalahnya itu, Syaikh Ali Tantawi mengulangi kata-kata yang sama lagi dalam peringatannya pada bagian keenam halaman 133 baris ke 18.
Syaikh ini, mengatakan; “Orang-orang Hadramaut (Yaman selatan)mempunyai mempunyai tingkat-tingkat, di antara mereka terdapat golongan Alawiyin yang mengaku sebagai bangsawan dan di antara mereka ada yang tidak mengaku demikian”. Juga beliau berkata, “nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan takwanya serta orang yang mulia bukan karena ayah atau datuknya…” dan katanya lagi, “Saya tidak menuduh nasab seseorang akan tetapi saya menerangkan suatu kenyataan yang konkret”.
Kata-kata yang keluar dari mulut orang alim, biasanya akan diterima dan di telan oleh orang-orang awam atau jahil tanpa dikaji lagi, sehingga dosanya akan ditanggung oleh si alim itu. Dengan perkataan di atas ini, beliau tidak mengetahui tentang susunan masyarakat Hadramaut. Orang-orang Hadramaut mempunyai silsilah dan nasab bagi kabilah-kabilahnya, disana terdapat golongan Masyaikh dari keluarga Al-Amudi yang terkenal nasabnya, Bafadal, Baabad, Al-Khatib, Al-Katiri, Tamim, Syaiban, Nahd dan lainnya dari kabilah-kabilah Hadramaut yang terpelihara nasabya dan dihormati seperti kabilah-kabilah yang terdapat di jazirah Arab.
Dan tingkat-tingkat masyarakat yang beliau maksudkan, bukan pada tempat- nya, karena pengertian tingkatan ialah, suatu perbedaan antara tingkatan masyarakat dalam segi kemasyarakatan, umpamanya terdapat di antara mereka: a) masyarakat tingkatan buruh, b) tingkatan kapitalis/majikan, c) tingkatan lainnya.
Adapun yang ada pada orang-orang Hadramaut adalah tingkatan dalam segi kesukuan atau marga. Dengan demikian, seorang bangsa Alawi dapat tergolong dalam tiga kelompok tingkatan di atas (a,b,c ) ini, tapi bangsa Alawi ini tidak dapat digolongkan kepada kabilah selain dari kabilahnya, dan tidak pula di golongkan pada marga selain marganya.
Sebenarnya, Syekh Tantawi sendiri tahu, orang-orang Arab sejak permulaan Islam sangat fanatik dengan nasab keturunan mereka, sehingga Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah menyebutkan nasab dirinya dan khalifah Abu Bakar r.a. dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan tentang nasab, hingga digelari sebagai pakar nasab Arab.
Kemudian, terdapat puluhan kitab yang dikarang mengenai ilmu nasab dan ratusan kitab mengenai nasab dan silsilah keluarga Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam. Semua orang tahu, nasab keturunan keluarga Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam terutama Alawiyin telah terbukti beritanya dengan luas dan mutawatir, tersusun dari ayah hingga kedatuk mereka, dari zaman kita hingga kezaman Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, adapun orang yang mengingkari berita mutawatir jelas hukumnya dalam Islshalllahu'alaihiwasallamam.
Benar kata Syaikh ini, nilai seseorang itu dalam agama Islam terletak pada ilmu dan takwanya, dan bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya, tetapi ini adalah pengertian secara umum. Adapun orang yang mulia yang dimaksudkan Syaikh disini, bukanlah orang mulia yang termasuk dalam pengertian umum di atas. Karena, yang dimaksud orang-orang mulia adalah orang yang mempunyai pertalian nasab dengan keluarga Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, yang ke cintaannya adalah sebagian dari agama dan kebenciannya adalah keluar dari agama.
Agama tidak pernah melarang seseorang menasabkan kepada ayah dan datuk, bahkan diakuinya. Rujuklah kitab Thabaqat, yang menyebut nasab bagi setiap biografi seseorang, demikian juga kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab para perawi lainnya, dan tidak ada orang yang mencelanya. Kalau begitu, mengapa golongan pengingkar ini selalu menuntut keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwa sallam agar tidak menasabkan dirinya kepada ayah-ayah dan datuk mereka? Padahal, banyak kaum Alawiyin yang berilmu, bertakwa, mempunyai kemuliaan serta memberi petunjuk, dan mempunyai kelebihan yang diberikan Allah Taáala pada mereka. Demi Allah, ini suatu ke tidakadilan.
Islam tidak menafikan pertaliannya dengan seseorang, bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang di terangkan dalam kitab-kitab fiqih para ulama, di antaranya Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang berkenaan dengan orang yang mempunyai pertalian nasab dengan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.
Sejak permulaan abad hingga ke abad ini, kitab-kitab fiqih mereka diabadikan oleh para imam kenamaan lainnya, dan mereka tidak pernah menafikan atau mencelanya, bahkan mereka menyediakan bab-bab khusus dalam kitab mereka ini. Begitu juga, para pakar ini belum pernah menulis dan menyatakan ke tiadaan keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam didalam kitab-kitab nya, tidak lain karena wujudnya keturunan tersebut.
Syaikh ini mengatakan, “Kebanyakan nasab-nasab ini yang dikatakan berhubungan dengan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tidak ada yang membuktikan dan menguatkannya, selain dari kata-kata mereka sendiri”. Bagaimana beliau bisa mengatakan seperti ini, padahal banyak para ahli hadis dan fiqih serta ahli sejarah dan biografi telah menerangkan nasab keluarga Bani Alawi dengan sejarah kewafatan mereka sekali, yang penulisnya bukan dari golongan Bani Alawi seperti Imam As-Sakhawi, Ibnu Hajar Al-Haithami dan lain-lain.
Mari kita rujuk salah satu hadis Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, tentang kemuliaan bangsa Quraisy saja, yang diriwayatkan oleh Tabarani dalam kitab- nya Al-Kabir dari Abu Hurairah yang Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda: ‘Utamakanlah orang-orang Quraisy dan jangan kamu mendahului mereka, belajarlah kamu dari orang-orang Quraisy dan jangan mengajari mereka, kalau tidak karena aku khawatir kelak orang Quraisy menjadi sombong, pasti telah kuberitahukan kedudukan mereka, dan orang-orang yang baik dikalangan mereka disisi Allah Ta’ala’.
Selanjutnya Syaikh Segaf mengatakan:
Syaikh Tantawi ini mengatakan juga, “Saya ini tidak menuduh nasab, tetapi hanya menerangkan sesuatu yang konkret.” Apa yang dimaksud dengan hakikat konkret ini? Padahal, masalah nasab Alawi ini sudah banyak ditulis para perawi dan terbukti dengan bukti-bukti dalil yang pasti. Bagaimana Syaikh ini bisa menerangkan sesuatu yang konkret ini, sedangkan beliau sendiri tidak mengemukakan alasan (dalil) yang kuat dan hakikat yang beliau katakan ini, dan darimana datangnya hakikat yang konkret itu?
Segala sesuatu ajaran dalam Islam disampaikan dengan jalan riwayat, misalnya Al-Quran dan sunnah Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, disampaikan kepada kita melalui pertalian riwayat dan begitu juga sejarah, tempat-tempat peperangan serta nasab keturunan. Kalau kita biarkan, setiap orang dengan seenaknya melepaskan kata-katanya, karena tidak sefaham atau karena tidak dia senangi tentang perkara-perkara yang sudah terbukti kebenarannya, akan timbul banyak tuduhan-tuduhan bohong terhadap peristiwa-peristiwa sejarah atau hukum syar’i.
Dalam hukum Islam, barangsiapa terbukti kebenaran nasabnya, kemudian ada orang lain yang menuduh sebaliknya, maka penuduh ini harus mengemukakan bukti dalam hal itu. Bila, penuduh ini tidak bisa mengemukakan bukti, dia harus dijatuhi hukum Had sebagai Qazif karena menuduh tanpa bukti (seperti halnya si Syaikh ini). Padahal, Syaikh ini juga mengetahui hukum syar’i karena beliau pernah menjabat sebagai hakim/qadi selama beberapa tahun.
Ulama Hadramaut, Yaman, dan Al-Haramain Asy-Syarifain telah bersepakat mengenai kebenaran nasab Bani Alawi yang bersambung kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Mereka semuanya menyebutkan dalam tulisan-tulisan mereka tentang Bani Alawi dan memberikan catatan tentang biografinya sekali dengan sempurna, bahkan sebagian mereka menulis secara khusus tentang pribadi-pribadi mereka.
Tidak seorang pun mengatakan ketidakbenaran nasab mereka, semuanya menerima nasab keluarga ini dengan penerimaan yang mutlak, karena hal ini sudah termasyhur dan mutawatir. Sehingga, orang yang mencela kepada keturunan Nabi shalllahu'alaihiwasallam ini, tidak akan mencela pada nasab mereka, tapi mencela (yang tidak mereka senangi) kedudukan yang mereka (Bani Alawi) peroleh ditengah-tengah masyarakat Hadramaut.
Barangsiapa ingin meneliti kitab-kitab yang tersebut berikut ini, bisa didapati di perpustakaan umum atau khusus di Hadramaut, Yaman, Al-Haramain As-Syarifain, Kuwait, Darul Kutub di Mesir atau diperpustakaan manuskrip-manuskrip Arab. Nama-nama (sebagian) penulis dari kalangan ulama Hadramaut, Yaman dan Al-Haramain As-Syarafain dan Sejarah wafat mereka, antara lain sebagai berikut:
*Tabaqat Fugahail Yaman oleh Bahauddin Abu Abdillah Muhamad bin Yusuf Bin Ya’kub Al-Jundi, wafat tahun 732H
*At-Tuhfatun Nuraniyyah oleh Abdullah bin Abdurrahman Bawazir, wafat tahun 850 H
*At-Tarfatu Gharbiyah Bi Akhbar Hadramaut Al-Ajibah oleh Al-Maqrizi, wafat tahun 845 H
*Manaqib Al-Faqih Al-Muqaddam Muhamad bin Ali Ba’Alawi dan Wafayat A’yanil Yaman oleh Abdurrahman bin Ali Hasan tinggal di Raidah Almasyqa Hadramaut, wafat tahun 818 H
*Al-Jauharus Sayafaf Fi Fadhail Wa Manaqibis Sadah Al-Asyraf oleh Abdurrahman Sohibul Wa’al Al-Khatib Al-Ansari Al-Hadrami, wafat 855 H
*Tabaqatul Khawas Ahlis-Sidqi Wal Ikhlas oleh Ahmad bin Ahmad Abdul Latif As-Syarji Az-Zubaidi Al-Yamani, wafat tahun 893 H
*Al-Barqatul Masyiqah oleh Ali bin Abu Bakar As-Sakran bin Abdurrahman Assegaf, wafat tahun 895 H
*Mawahibul Qudrus Fi Manaqib Abu Bakar bin Abdullah Alaydrus oleh Muhamad bin Omar bin Mubarak Al-Hadrami terkenal dengan sebutan Bahriq, wafat tahun 930 H
*Tarikh Syambal oleh Ahmad bin Abdullah bin Alwi dikenal dengan Ibnu Syambal Al-Hadrami wafat tahun 945 H
*Tarikh Thaghri And Wa-Qalaidin Nahr oleh Muhamad At-Tayyib Ba-Makhramah wafat tahun 947 H
*Tuhfatul Muhibbin Wal Ashab Fi Makrifati Ma Lil-Madaniyina Minal Ansab oleh Abdurrahman Al-Ansari,wafat tahun 1195 H
*Nasyrun Nuri Wazzahr Fi Tarajim Al-Qarnil Asyir Ilal Qarni Rabi’ Asyar oleh As-Syaikh Abdullah Murad Abul Khair, wafat tahun 1343 H
*Siyar Wa Tarajim Ba’dhi-Ulamana Fil Qarnir Rabi’ Asyar oleh Omar Abdul Jabbar, wafat tahun 1391 H.
Demikianlah, sebagian jawaban saudara Segaf Ali Alkaff terhadap Syaikh Tantawi! (Sebenarnya saudara Segaf Ali Alkaff mencatat nama-nama kitab dan penulisnya yang tercantum di atas ini jumlah semuanya adalah 26, tapi kami hanya mengutip sebagian saja karena takut sipembaca jenuh—pen.).
Wallahua'lam.
Silahkan rujuk kajian berikutnya
Maak jouw eigen website met JouwWeb