Berdiri waktu pembacaan Maulid
Berdiri waktu pembacaan Maulid
Tentang soal berdiri dalam peringatan maulid ,yaitu pada saat disebut detik -detik kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam di alam wujud ini, terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar dan tidak berdasar. Dugaan dimaksud adalah, pada waktu berdiri itu mereka percaya bahwa jasad Nabi shalllahu'alaihi wa sallam keluar dari kuburnya, beliau shalllahu'alaihiwasallam hadir ditengah jamaah yang sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Lebih buruk lagi, ada yang menyangka bahwa kemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin yang terletak ditengah jamaah merupakan air minum yang di- sediakan khusus untuk Beliau shalllahu'alaihiwasallam. Tidak ada orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan jasadnya, kecuali orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar.
Anggapan seperti itu, adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada, kecuali pada orang yang benci, dungu dan menentang Beliaushalllahu'alaihiwasallam. Kita yakin, Nabi shalllahu'alaihiwasallam hidup dialam barzakh yang sempurna sesuai dengan kedudukan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Ruh (bukan jasad) beliau berkeliling di alam malakut Allah subhaanahuuwatra'aala, dapat pula menghadiri tempat-tempat kebaikan dan yang memancarkan cahaya ilmu pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau shalllahu'alaihi wa sallam, orang-orang beriman yang setia kepada beliau shalllahu'alaihi wa sallam.
**Imam Malik r.a mengatakan:”Saya mendengar hadis Nabi -shalllahu'alaihi wa sallam-yang menyatakn, ‘Ruh adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya’”.
**Salman Al-Farisi r.a. (sahabat Nabi shalllahu'alaihiwasallam) berkata, “Ia mendengar dari Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-; ‘Bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mukminin berada di alam barzakh (tidak jauh) dari bumi dan dapat bepergian menurut keinginannya.’” Demikian itu lah, menurut kitab Ar-Ruh yang ditulis oleh Ibnul Qayim, hal. 144.
Kalau seorang mukmin biasa, bisa bepergian kemana saja menurut keinginan- nya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad shalllahu'alaihiwasallam! Ini semua, tidak lain kenikmatan dan rahmat yang diberikan Allah Jallaajalaaluh terhadap hamba-Nya yang mukmin.
Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal manusia yang terbatas ini, sebagaimana firman Allah Ta'aala, “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. “ (Al-Isra [17]: 85).
Soal berdiri, dalam peringatan maulid Nabi bukan soal wajib dan bukan soal sunnah. Itu hanya suatu harakah (gerak) yang mencerminkan keriangan dan ke gembiraan para hadirin dalam peringatan maulid. Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam disebut, tiap pendengarnya (yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh alam wujud gembira menyambut nikmat besar yang dikaruniakan Allah Ta'aala. Soal kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan syariat dan bukan sunnah.
Hal itu, dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syaikh Al-Barzanji. Beliau mengatakan, “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah kelahiran Nabi shalllahu 'alaihiwasallam di sebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau shalllahu 'alaihiwasallam dengan segenap pikiran dan perasaannya”.
Dalam sebuah syairnya beliau menyatakan, “Para ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang -orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri di atas kaki sambil berenung sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mustofa-shalllahu'alaihi wasallam, karena beliau senantiasa bisa hadir di tempat mana pun beliau disebut, bahkan beliau mendekatinya”.
Membayangkan pribadi beliau shalllahu'alaihiwasallam, adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap muslim, bahkan perlu sering di lakukan oleh setiap muslim yang muhlis. Sering membayangkan beliau shalllahu'alaihwasallam akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam. Ini hanya sebagai upaya untuk mengingat tentang kepatuhan dan kecintaan beliau shalllahu'alaihiwasallam kepada Allah Jallaajalaaluh, dan kecintaan Allah pada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, serta mengingat pula ahlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau shalllahu'alaihiwasallam bisa selalu menghadiri di tempat mana saja beliau disebut.
**Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah r.a. yang berkata, Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam bersabda;
“Tiada seorang yang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku hingga dapat menjawab salam”.
“Jangan kamu jadikan kuburan (makam) saya sebagai tempat perayaan, dan bacakan shalawat untukku, maka bacaan shalawatmu itu akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada”.
Menurut pandangan ulama, antara lain Imam Malik bin Anas r.a, firman Ilahi ini berlaku pula baik dikala beliau shalllahu'alaihiwasallam masih hidup mau pun beliau setelah wafat.
Ada lagi, dari golongan pengingkar yang menafsirkan hadis riwayat Abu Daud terakhir diatas–‘Jangan kamu jadikan makam saya…..’,–secara keliru. Mereka berkata, ‘Kita tidak boleh (bid’ah sesat) ke Madinah dengan niat ziarah pada Rasul shalllahu'alaihiwasallam, cukup dengan membaca shalawat dan salam untuk beliau dimana saja akan sampai’. Sebenarnya, hadis yang dimaksud adalah, ‘janganlah kita bersusah payah harus menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata hanya untuk mengucapkan shalawat dan salam didepan pusara Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, karena membaca shalawat dan salam akan sampai pada beliau shalllahu'alaihiwasallam dimana kita berada.’
Adapun, maksud kalimat hadis “sebagai tempat perayaan” ialah, agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai (dihadapan pusara Rasulallah) seperti halnya orang pergi berpesta, tetapi, kita harus dengan tenang memberi salam dan selawat didepan makam beliau shalllahu'alaihiwasallam dan berdoa pada Allah Ta'aala. Tidak lain semuanya ini, termasuk tatakrama umat Islam terhadap Nabi -shalllahu'alaihiwasallam. Allah Ta'aala berfirman, ’Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suara kamu lebih dari suara Nabi ....sampai akhir ayat’. (Al-Hujurat [49]:2/3/4).
Fatwa beberapa Ulama berikut ini:
**Dalam kitab Insanul-Uyun Fi Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam Ali bin Burhanuddin Al-Halabi mengatakan, “Kebiasaan berdiri pada saat orang mendengar pembaca riwayat maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-, merupakan bid‘ah hasanah/baik, bid‘ah mahmudah/ terpuji, sama sekali bukan bid‘ah dhalalah atau bid‘ah madzmumah/tercela atau munkarah (bid‘ah buruk yang tercela). Khalifah Umar Ibnul Khatab r.a. sendiri menamakan shalat tarawih berjamaah sebagai bid‘ah hasanah. Dengan demikian, orang berdiri sebagai tanda penghormatan pada saat mendengar detik-detik kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam disebut, apalagi jika peringatan maulid itu dibarengi dengan kegiatan infak dan sedekah, semuanya itu jelas merupakan kegiatan terpuji.”
**Sayid Ahmad Zaini Dahlan dalam Siratun Nabi mengatakan, “Telah berlaku kebiasaan, apabila mendengar kisah Nabi dilahirkan, mereka berdiri bersama- sama untuk menghormat dan membesarkan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Berdiri adalah suatu hal yang mustahsan (baik), karena dasarnya ialah menghormati (ta’zhim) Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan sesunguhnya banyak ulama panutan umat yang telah mengamalkan hal serupa itu,” (I’anah at-Thalibin, jilid 3,hal. 363).
**Dalam kitab I’anah at-Thalibin jilid 3,hal.364 tertulis, “Berkata Al-Halabi dalam kitab Sirah, dikabarkan bahwa di hadapan Imam Subki pada suatu kali berkumpul banyak ulama pada zaman itu. Kemudian, salah seorang dari mereka membaca perkataan Sharshari dalam memuji Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Seketika itu Imam Subki dan sekalian ulama yang hadir berdiri serempak.”
Para ulama berpendapat, berdiri pada waktu disebut kisah kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam. adalah perbuatan yang baik, sebagai penghormatan kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Hal ini, masih diamalkan sampai sekrng baik oleh para ulama maupun kaum muslimin lainnya di setiap negeri. Walau pun, beliau shalllahu'alaihiwasallam tidak berada di tengah para hadirin, orang yg membaca kisah maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam membayangkan ke- hadiran beliau shalllahu'alaihiwasallam dalam imajinasinya, sebagaimana yang telah di kemukakan.
Meng-imajinasikan kehadiran beliau, jelas akan menambah penghormatan dan pemuliaan orang kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam. Beliau datang di tengah alam jasmani dari alam nurani jauh sebelum waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau berupa kehadiran nurani (ruhani) beralasan kuat, karena beliau shalllahu'alaihiwasallam seorang Nabi dan Rasul yg menghayati sepenuhnya akhlak Robbani. Dalam hadis Qudsi beliau shalllahu'alaihi wa sallam- bersabda:
اَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِي
“Aku duduk menyertai orang yang menyebutku”. Menurut sumber riwayat lain: اَنَا مَعَ مَنْ ذَكَرَنِي
“ Aku bersama orang yang menyebutku”.
Mengingat kepatuhan dan kecintaan beliau shalllahu'alaihiwasallam kepada Allah dan kecintaan Allah Ta'aala pada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam serta mengingat pula akhlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau Saw. bisa selalu menghadiri ditempat mana saja beliau disebut.
**Hadis riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dari Abdullah bin Mas’ud r.a. mengatakan, “Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda: 'Apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, baik dalam pandangan Allah Ta'aala dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, buruk dalam pandangan Allah'”.
Hadis itu, memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang menganjurkan kaum muslimin supaya melaksanakan peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, membaca uraian riwayat kehidupan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, berdiri waktu detik-detik kelahiran Nabi shalllahu 'alaihiwasallam, ucapan sholawat dikumandangkan, dan acara-acara ke- agamaan yang sudah lazim berlaku. Semuanya ini disunnahkan oleh syari’at, mathlub syar’i (tuntutan syari’at).
Demikianlah, sebagian uraian para pakar Islam mengenai berdiri waktu peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Hanya orang-orang yang egois, fanatik sajalah yang melarang hal-hal tersebut sampai berani mensesatkan, membid’ahkan munkar dan lain sebagainya, dengan memasukan dalil-dalil yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah peringatan keagamaan tersebut.
Kita akan bertanya lagi kepada golongan Pengingkar, ‘Apakah para pakar Islam yang telah dikemukakan, tidak mengerti hukum syari’at Islam dan hanya ulama golongan pengingkar ini?
Wallahu'alam
Silahkan ikuti kajian berikutnya.
Maak jouw eigen website met JouwWeb