Argumen Kumpulan Majlis Zikir

 Argumen Kumpulan Majlis Zikir

Sebelum masuk pada argument golongan Pengingkar mengenai keharaman majlis zikir, penting kita memperhatikan terlebih dahulu alinea-alinea berikut. Kita sudah kebanjiran ahli piker, tetapi maha sedikit ahli zikir. Padahal keseimbangan keduanya amatlah diperlukan. Dalam ritual yasinan, tahlil, manakiban dan lain-lain, terdapat dimensi transedental. Yakni niat ibadah pada Allah. Selain itu juga ada aspek sosial berupa antara lain mengokohkan ikatan tali silaturahmi, bertemu orang lain, dan saling menyapa. Inilah salah satu modal sosial yang belakangan semakin luntur. Masyarakat kita belakangan semakin lemah untuk mampu hidup secara kolektif.

 

Apa makna zikir yang selalu diperintahkan dalam Al-Quran dan hadis Nabi shalllahu'alaihiwasallam? Para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud Zikir ialah mengingat pada Allah Jallaajalaaluh. Makna ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk mengingat pada Allah Jallaajalaaluh dan Rasul-Nya, misalnya: shalat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, majlis ilmu, memuji Allah dan Rasul-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran-Nya, keindahan-Nya dan kesempurnaan yang dimiliki-Nya, membaca riwayat para utusan Allah dan sebagainya. Tidak lain semuanya ini untuk lebih mendekatkan diri kita pada Allah subhaanahuuwata'aala sehingga kita mencintai dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.

 

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fathul Bari jilid 11 hal. 209 berkata,

{{ Yang dimaksud dengan zikir adalah mengucapkan kata-kata yang di- perintahkan untuk diperbanyak pengucapannya. Hal ini seperti al-baqiyat as-shalihat (amal saleh yang kekal manfaatnya) berupa zikir; Suhhanallah wal-hamdulillah, wa lâ ilâha illallâh wallahu Akbar (Maha suci Allah, segala puji hanya milik Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah itu Mahabesar).

Juga seperti zikir-zikir yang lainnya, yaitu membaca hauqalah  (la haula wa la quwwata illa billah, [tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah]), basmalah (bismillah ar-Rahman ar-Rohim [dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang]), istighfar (astaghfirullah, [aku mohon ampunan dosa dari Allah]), hasbalah (hasbunallah wa ni’ma al-wakil, ni’ma al-maula wa ni’ma an-nashir [cukuplah bagi kami Allah, dan Dia sebaik-baik pelindung, sebaik-baik majikan dan sebaik-baik penolong]). Demikian pula, doa (permohonan) untuk  kemaslahatan/kebaikan dunia dan akhirat.

 

Zikir juga berarti mengamalkan secara terus menerus apa yang diwajibkan atau dianjurkan oleh Allah subhaanahuuwataa'aala, seperti membaca Al-Quran, membaca hadis, belajar atau menuntut ilmu, juga melakukan shalat sunnah. Zikir juga kadang-kadang berupa pelafalan/pengucapan dengan lidah dan orang yang mengucapkannya berpahala. Dalam zikir semacam ini, tidak di- syaratkan untuk menghadirkan hati. Dan jika zikir tersebut disertai pemaknaan dan penghayatan seperti mengakui keagungn Allah dan membersihkan atau mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan maka zikir tersebut semakin sempurna..

 

Ibnu Hajar selanjutnya mengatakan bahwa Al-Fakhrur-Razi berkata, ‘Yang di maksud Zikir dengan lisan itu ialah (pengucapan) kata-kata yang mengandung tasbih [menyucikan Allah], tahmid [memuji Allah] dan tamjid [memuliakan dan mengagungkan Allah Jallaajalaaluh]. Sedang yang dimaksud dengan zikir qalb (dalam hati) ialah berpikir mengenai dalil-dalil atau bukti-bukti mengenai Zat Allah, sifat-sifatNya dan yang berkaitan dengan taklif [kewajiban yang dibeban kan oleh syariat] berupa perintah dan larangan. Dengan begitu, orang yang berzikir akan mengetahui hukum-hukum serta rahasia-rahasia Allah yang ada pada (semua) makhluk-Nya.

 

Sedangkan zikir dengan anggota tubuh (lainnya) ialah,  anggota tubuh semua- nya dipergunakan–secara optimal atau penuh–dalam taat kepada Allah Swt.. Meskipun demikian, Allah Subhaanahuuwata'aala menyebut shalat itu sebagai zikir. Seperti difirmankan-Nya: ...maka pergilah (untuk menuju) ke zikrullah (shalat jumat). Diriwayatkan dari sebagian al-‘arifin–ahli tauhid–bahwa zikir itu dilakukan lewat tujuh segi:

zikir mata dengan menangis;

zikir telinga dengan mendengarkan (ajaran Allah);

zikir lidah dengan menyanjung atau memuji Allah 

zikir  kedua tangan  dengan memberi infak, sedekah, zakat, hadiah dan lain -lainnya;

zikir badan dengan al-wafa (memenuhi tuntutan dan janji);

zikir hati dapat dilakukan dengan adanya khauf (rasa takut akan murka Allah) dan raja’ (penuh pengharapan terhadap rahmat dan karunia Allah Swt);

zikir ar-ruh dengan berserah diri kepada ketentuan Allah serta ridho/rela atas apa yang ditentukannya.}} Demikianlah Ibnu Hajar Al-Asqalani. 

 

Sayid Sabiq ,ulama kontemporer yang sering disebut dan sering sepaham dengan golongan Wahabi-Salafi, dalam kitabnya Fiqh Sunnah jilid 4 hal. 247 ,terjemahan, cet. pertama th.1978 menulis bahwa Imam Qurtubi berkata: “Majlis zikir maksudnya ilmu dan peringatan yakni majlis dimana disebut firman-firman Allah dan sunnah-sunnah Rasul-Nya. Begitupun berita-berita (riwayat-riwayat) mengenai orang-orang saleh dari golongan Salaf, ucapan ucapan imam dahulu yang zuhud, yang bebas dari bid‘ah dan hal yang dibuat-buat, bersih dari maksud jelek dan maksud serakah”.

 

**Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan oleh Imam Al-Hakim hadis dari Abu Darda r.a. secara marfu’, Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda, ‘Senangkah kalian jika aku beritahukan mengenai amal yang paling baik dan paling bersih/suci di sisi Raja kalian. Lebih tinggi derajatnya bagi kalian, bahkan lebih baik bagimu daripada menginfakkan emas dan kertas (uang), lebih baik daripada bertemu dengan musuh kalian lalu kalian menebas leher musuh itu dan (atau) mereka membunuh kalian (menebas leher kalian)?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda: ‘Itulah zikrullah ,mengingat Allah Azza wa Jalla (Yang Maha Perkasa dan Agung)’“. (HR. Tirmidzi [V:459, Ibnu Majah [2:1245], Al-Hakim [1: 496]. Hadis ini sahih.

 

Ibnu Hajar telah mengisyaratkan mengenai zikir tersebut, ketika menjelaskan jihad dan keutamaan orang yang berjihad (al-mujahid). Bahwa mujahid itu, seperti orang yang sedang beribadah puasa tidak berbuka (sering berpuasa), seperti yang bangun malam (untuk ibadah) tidak pernah tidur dan keutamaan-keutamaan lainnya yang menunjukkan keutamaan jihad dibandingkan dengan amal-amal saleh lainnya. Keutamaan jihad–berjuang untuk kemaslahatan dan kejayaan agama Islam–itu juga diakui lebih utama dibandingkan dengan zikir dengan lisan saja tanpa pemaknaan dan penghayatan.

 

Jika ada yang kebetulan berkesempatan atau dengan sengaja menyempatkan diri untuk melakukan zikir dengan lisan dan hatinya, serta menghayatinya dan itu semua dilaksanakan ketika dia melakukan shalat, puasa, sedekah atau berperang melawan orang-orang kafir–itulah yang mencapai derajat yang tinggi. Menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-‘Arabi, tiada perbuatan saleh, kecuali zikir merupakan syarat untuk membenarkan atau meluruskannya. Sehingga, siapa saja yang tidak berzikir umpamanya ketika bersedekah atau puasa, amal ibadahnya tidak sempurna. Jadi, zikir, jika dilihat dari fungsinya yang seperti itu dapat dinilai sebagai amal yang paling mulia. Perhatikanlah, hadis yang berarti, “Niat Mukmin itu lebih hebat  daripada amalnya.”

Demikian lah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath X1:210.

(HR. Thabarani dalam Al-kabir V1:185; Baihaqi dalam Su’ab Al-Iman V:343; Al-Hafidh All-Sakhawi dalam Al-Maqashlud Al-Hasanah hal. 450, mengenai jalan (sanad) hadis tersebut, mengatakan: ‘sanad-sanad hadis tersebut meski dho’if, tetapi semuanya dapat memperkuat hadis tersebut’. Lihat pula kitab Majma’ Al-Zawa’id 1:61  Wallahua'lam

 

Dalil-dalil zikir, termasuk zikir secara jahar (agak keras)

Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan kaum Muslim untuk berzikir, antara lain, “Hai orang-orang yang beriman, Berzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbih lah pada-Nya diwaktu  pagi mau pun petang!”. (QSr (Al-Ahzab:41-42); “Berzikirlah (Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ” (QS Al-Baqarah [2]:152). “...Yakni orang-orang zikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”. (QS Ali Imran [3]:191); “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka aman tenteram dengan zikir pada Allah. Ingatlah dengan zikir pada Allah itu, hatipun akan merasa aman dan tenteram”. (QS Ar-Rad [13]:28).

 

**Dalam hadis qudsi, Allah subhaanahuuwata'aala berfirman;              

اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْـهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ بَاعًا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِي اَتَيْتُهُ هَرْوَلَة 

“Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya (hatinya), Aku akan ingat pula padanya dalam diriKu. Jika ia mengingat-Ku dihadapan umum, Aku akan mengingatnya pula dihadapan khalayak (al-mala’) yang lebih baik. Dan seandai- nya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta. Jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepada- nya dengan berlari”. (HR. Bukhari  [jilid 12, hal. 384], Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

**Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Al-Fath Al-Bari jilid 13, halaman 387 mengatakan, “Sebagian ahli sunnah memberikan jawaban mengenai hadis di atas, bahwa kemungkinan yang dimaksud dengan al-mala’ (sekolompok makhluk) yang lebih baik daripada kelompok manusia muslim yang sedang berzikir, adalah kelompok para nabi dan syuhada, karena mereka–sebagaimana di beritakan Al-Quran–hidup di sisi Tuhannya (bahkan diberi rezeki).”

 

**Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftahul Hishnil Hashin berkata, “Hadis di atas merupakan dalil dibolehkannya berzikir dengan jahar (suara keras).”

 

**Imam Suyuthi berkata, “Zikir dihadapan orang-orang tentu zikir jahar, hadis  itulah dalil yang membolehkannya’.

 

**Al-Hafizh Al-Suyuti dalam Al-Hawi Lil Fatawi jilid 1, hal. 389 mengatakan, "Dan berzikir dalam sekelompok orang itu tidak terbukti kecuali dengan jahar".

 

**Hadis qudsi dari Muaz bin Anas, secara marfu’, Allah Ta'aala berfirman, 

قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ  مِنْ مَلاَئِكَتِي  وَلاَيَذْكُرُنِي فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي

“Tidaklah seseorang berzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali Aku pun akan berzikir untuknya di hadapan para malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berzikir pada-Ku di hadapan orang-orang kecuali Aku pun akan berzikir untuknya di tempat yang tertinggi’” (HR. Thabrani). Dalam kitab At-Targib wat-Tarhib 3/202 dan Majma’uz Zawaid 10/78. Al-Mundziri berkata: ‘Isnad hadis diatas ini baik/ hasan.

 

**Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda,

(سَبَقَ المُفَرِّدُونَ, قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ  يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)

“Telah majulah orang-orang istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa, ya Rasulallah?’ Ujar Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-‘Mereka ialah orang-orang yang berzikir baik laki-laki maupun wanita’”  (HR. Muslim).

 

**Hadis dari Abu Said Khudri dan Abu Hurairah [r.a.], mereka mendengar sendiri dari Nabi shalllahu'alaihiwasallam bersabda,

 لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمة  وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ  

“Tidak satu kaum (kelompok) pun yang duduk zikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, beroleh ketenangan dan akan disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).

 

**Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam bersabda, 

إذَا مَرَرْتُم بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنّـَة يَا رَسُولُ الله؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ مِنَ المَلآئِكَةَ  يَطْلُبُونَ حِلَقَ الذِّكْر فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ  حَفُّوبِهِمْ       

Jika kalian lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkerama! Tanya mereka; ‘Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah’? Ujar Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam-; ‘lingkaran lingkaran zikir, karena Allah Ta'aala mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran zikir. Bila ketemu dengannya, mereka akan duduk mengelilinginya.’”                                                       

 

**Hadis riwayat Al-Baihaqi dari Abu Said Al-Khudri r.a, Nabi  shalllahu'alaihi wassallam  bersabda, 

يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه البيهاقي 

“Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat kelak akan bersabda:’Pada hari ini ahlul jam’i  akan mengetahui siapa orang Ahlul Karam (orang yang mulia).’ Ada yang bertanya: ‘Siapakah orang-orang yang mulia itu?’ Allah menjawab, ‘Mereka adalah orang- orang peserta majlis zikir di masjid-masjid.’”

 

    **Dalam sebuah hadis panjang, riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a., Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda,  

    عَن أبِيْ هُرَيْرَة (ر) قَالَ: رَسُولُ الله .صَ.: إنَّ ِللهِ مَلآئِكَةً يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلْتَمِسُـونَ أهْلَ الذِّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا: هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى السَّمَاءِ فَيَسْألُهُمْ رَبُّهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ  بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبِيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ: هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : لَوْرَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ: لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَاَشَدَّ لَكَ تَمْحِيْدًا وَاَكْثَرَلَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُـوْلُ : فَمَا يَسْألُنِى ؟  فَيَقـوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ: وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ: لاَ, فَيَقُوْلُ: كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ: لَوْاَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَاَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ: فَمِمَّا يَتَعَـوَّذُوْنَ؟ فَيَقُولُوْنَ: مِنَ النَّـارِ, فَيَقُوْلُ: وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْرَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ: لَوْرَأوْهَا كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ: اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ, فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِـكَةِ : فُلاَنٌ لَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ لِحَـاجَةٍ فَيَقُوْلُ هًمْ قَوْمٌ لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُم                                               

    “Sesungguhnya Allah memiliki sekelompok Malaikat yang berkeling di jalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berzikir. Apabila mereka menemukan sekolompok orang yang berzikir kepada Allah, mereka saling menyeru, 'Kemari lah kepada apa yang kamu semua hajatkan'. Lalu, mereka mengelilingi orang-orang yang berzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit. Apabila orang-orang telah berpisah (bubar dari majlis zikir), para malaikat tersebut berpaling dan naik ke langit (ketempat mereka).

     

    Bertanyalah Allah-subhaanahuuwata'aala-kepada mereka (padahal Dialah yg lebih mengetahui perihal mereka), ‘Darimana kalian semua’? Malaikat berkata, ‘Kami datang dari sekelompok hamba-Mu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepada-Mu.’ Allah-subhaanahuuwata'aala-berfirman, ‘Apakah mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata, ‘Tidak pernah.’ Allah-subhaanahu wata'aala-berfirman, ‘Seandainya mereka pernah melihat Aku’? Malaikat berkata, ‘Andai mereka pernah melihat-Mu, niscaya akan lebih meningkatkan ibadahnya kepada-Mu, lebih bersemangat memuji-Mu dan lebih banyak bertasbih pada-Mu.’

     

    Allah-subhaanahuuwata'aala-berfirman, ‘Lalu apa yang mereka pinta pada-Ku’? Malaikat berkata, ‘Mereka minta surga kepada-Mu.’ Allah-subhaanahuu wata'aala- berfirman, ‘Apa mereka pernah melihat surga?’ Malaikat berkata: ‘Tidak pernah!’ Allah-subhaanahuuwata'aala-berfirman, ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya?’

    Malaikat berkata, ‘Andai mereka pernah melihatnya, niscaya akan bertambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya.’ Allah-subhaanahuuwata'aala-berfirman, ‘Dari hal apa mereka minta perlindungan?’

    Malaikat berkata, ‘Dari api neraka.’ Allah-subhaanahuuwata'aala-berfirman,  ‘Apa mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata, ‘Tidak pernah’. Allah-subhaanahuu wata'aala-berfirman, ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata, ‘Kalau mereka pernah melihatnya, niscaya akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya.’

     

    Allah-subhaanahuuwata'aala-berfirman, ‘Aku persaksikan kepadamu bahwasa- nya Aku telah mengampuni mereka.’ Salah satu dari malaikat berkata, ‘Di situ ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka, dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah dia akan diampuni juga?).’ Allah-subhaanahuuwata'aala-berfirman, ‘Mereka (termask seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa’.”] Sedangkan, dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir: “Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka”. (HR. Bukhari X1 :209 dan Imam Muslim 1V:2070).

     

    **Hadis riwayat Imam Muslim dari Muawiyah;

    خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟قَالُوْا جَلَسْنَا نَذْكُرُاللهَ تَعَالَى وَنَحْمَـدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ وَمَنَّ بِهِ عَلَـيْنَا قَالَ وَاللهُ مَا أجْلَسَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟ قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَـنَا اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ :اَمَا إنِّي لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي جِبْرِيْلُ   فَأخْبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُباهِي بِكُمُ المَلآَئِكَةِ

    Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-pergi mendapatkan satu lingkaran dari para sahabatnya, tanyanya;  ‘Mengapa kalian duduk disini?’ Ujar mereka: ‘Maksud kami duduk disini, zikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan kurnia yang telah di berikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’. Sabda Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam-; ‘Demi Allah tidak salah, Kalian duduk hanya lah karena itu'. Mereka berkata; Demi Allah, kami duduk karena itu. Saya (Muhamad shalllahu'alaihiwasallam), tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada kalian, sebenarnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah Ta'aala telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’“ (HR. Muslim [1V:2075]).                                                                                                                   

     

    **Hadis riwayat Al-Baihaqi dari Anas bin Malik, Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-bersabda,

     لأَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْـر ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّ اِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

    Sungguh aku berzikir menyebut (mengingat) Allah Taáala bersama jama’ah usai    sholat Subuh hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya.”

     

    **Hadis riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqi dari Anas bin Malik r.a, Nabi-shalllahu'alaihi wasallam- bersabda: “Sungguh aku duduk bersama jama’ah berzikir menyebut Allah subhaanahuuwata'aala dari sholat ashar hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang budak 

     

    **Hadis riwayat imam Al-Baihaqi, Zaid bin Aslam, dia berkata,

    اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ (عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَ كِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي   

    Aku pernah berjalan dengan Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-di suatu malam.  Beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya di sebuah masjid. Akupun berkata,Wahai Rasulallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’.’ Beliau berkata, ‘Tidak! Dia itu seorang awwah (berdoa, mengadu, menghiba kepada Allah).’” (HR. Baihaqi).

    Dalam hadis ini, Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam tidak melarang orang yang meninggikan suara dimasjid (berzikir secara jahar). Bahkan, beliau shalllahu 'alaihiwasallam mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu, berdoa pada Allah (beriba hati pada Allah Ta'aala). Sifat awwah itu adalah sifat yang paling baik! Nabi Ibrahim 'alaihissalaam juga termasuk seorang yang awwah (QS.Hud: 75 , QS.at-Taubah : 114).   

                   

    **Hadis dari Abi Said Al-Khudri r.a., dia berkata, Rasulallah shalllahu 'alaihi wa sallam. bersabda;                                        اَكْثِرُوْاذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ  

    “Perbanyaklah kalian berzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata: ‘Sesungguhnya, dia orang gila.’” (HR. Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnu as-Sunni).

     

    **Hadis dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata: Rasul shalllahu'alaihiwasallam bersabda;                                                 اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ

    “Perbanyaklah kalian berzikir kepada Allah, sehingga orang-orang munafik akan berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’.’” (HR. Thabrani).

     

    **Imam Suyuthi, dalam kitabnya Natijatul Fikri fil Jahri bid Dzikri berkata, “Bentuk istidlal (penggunaan dalil) dengan dua hadis di atas, ucapan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’’, hanyalah dikatakan kepada orang-orang yang berzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir).”

     

    **Terdapat riwayat bahwa Umar bin Khatab r.a. berzikir secara jahar, sedangkan sahabat Abu Bakar r.a. dengan suara lirih (sir). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas itu. Ternyata, Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam membenarkan mereka berdua ini! (Al-Fatawa al-Hadisiyah hal. 56, Ibnu Hajr al-Haitami).  

     

    **Diantara yang membolehkan lagi zikir jahar ini, ulama mutaakhhirin terkemuka Al-Allaamah Khairuddin ar-Ramli, dalam risalahnya berjudul Tau-shilul Murid ilal Murad bi Bayani Ahkamil Ahzab wal Aurad, mengatakan; “Zikir jahar dan tilawah, berkumpul untuk berzikir ,baik itu di majlis ataupun di masjid, sesuatu yang dibolehkan dan disyariatkan berdasarkan hadis (qudsi) Nabi-shalllahu 'alaihi wasallam-, ‘Barangsiapa berzikir kepada-Ku (Allah) dihadapan orang-orang, maka Aku pun akan berzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’, dan firman Allah Ta'aala ‘Seperti zikirmu terhadap nenek-moyangmu atau zikir yang lebih mantap lagi’ (QS Al-Baqarah [2]:200), bisa juga dijadikan sebagai dalilnya (dalil jahar)”.

     

    Sebagian ulama hanya memakruhkan zikir jahar yang terlalu keras (menjerit-jerit) atau jahar yang tidak keterlaluan tetapi menyebabkan dirinya riya’ atau mewajibkannya sebagai amalan wajib. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah, tapi karena di wajibkan atau disyariatkan pelaksanaanya dengan cara-cara tertentu akan berubah menjadi makruh, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qari’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad-Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.

     

    **Dalam kitab Natijatul fikri Jahri Bid Zikri tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Imam As-Suyuthi mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok zikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak? Jawab beliau: “Itu tidak ada buruknya (tidak makruh)! Ada hadis yang menganjurkan zikir dengan suara agak keras (jahar) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadis ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain tergantung pada keadaan tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.`

     

    **Imam An-Nawawi, berkaitan dengan masalah membaca secara jahar dan lirih, berpendapat, “Membaca Al-Quran mau pun berzikir lebih utama secara lirih (sir) bila orang yang membaca khawatir untuk riya atau mengganggu orang yang sedang shalat di tempat itu atau orang yang sedang tidur. Di luar situasi seperti ini, zikir secara jahar adalah lebih utama.”

     

    Selain itu, membaca Al-Quran dan zikir secara jahar ini manfaatnya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain-lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al-Quran lebih baik dibaca secara jahar, adapun bagian lainnya dibaca secara lirih. Bila membaca secara lirih akan menjenuhkan bacalah secara jahar dan bila secara jahar melelahkan maka baca lah secara lirih.

     

    Sebagian orang senang berzikir secara jahar untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama zikir yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain.

     

    **Dalam kitab Majmu al-Fatawa ,mengenai majlis zikir, Ibnu Taimiyah di mintai pendapat mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berzikir, membaca Al-Quran, berdoa sambil menanggalkan serban dan menangis, sedangkan niat mereka bukanlah karena riya ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah Ta'aala. Adakah perbuatan-perbuatan ini dibolehkan?

    Beliau menjawab, “Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan perintah syariat (mustahab) untuk berkumpul dan membaca Al-Quran dan berzikir serta berdoa....” (Pertanyaan ini berkaitan dengan majlis zikir yang dilakukan kaum Sufi Syaziliyah di masjid-masjid).

     

    **Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawuf) seusai shalat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”..

     

    **Adapun, hadis ‘Sebaik-baik zikir adalah secara lirih (sir) ..‘ riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad adalah hadis  lemah. Dalam kitab Sahih Ibn Hibban 3: 91 dan Al-Maqashid Al-Hasanah karangan Al-Sakhawi hal. 207 disebutkan, `Makna -nya (hadis itu) tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang.´ Selanjutnya Al-Sakhawi mengatakan; ‘Maknanya, bahwa menyembunyikan amal, tidak mencari kemasyhuran dan ber-isyarat kepada seseorang dengan jari jemari tangan itu, lebih baik daripada kebalikannya dan lebih menyelamatkan didunia dan akhirat. Jadi makna zikir–dalam hadis dhoif itu–ialah as-syrah al-dzatiyah (perilaku dzatiyah manusia), yakni, bahwa al-khumul (tidak terkenal/masyhur) itu lebih baik daripada kemasyhuran.

     

    Begitu pula, hadis diatas dalam sanadnya ada tiga jalur (thariq) yang mengandung tiga ilal (kelemahan atau penyakit); Muhamad bin Abdurrahman bin Abu Sayibah dan Al-Laitsi, keduanya lemah. Adapun, riwayat Ibn Abi Syaibah dari Sa’d bin Abu Waqash itu munqathi’ah (terputus, yakni menjadi mursalah). 

    Imam as-Suyuthi mengatakan kata-kata 'Sebaik-baik' dalam suatu hadis berarti Keutamaan, bukan yang lebih utama. Hadis diatas ini ,umpama sahih, bukan menunjukkan kepada buruknya atau dilarangnya zikir secara jahar, karena banyak riwayat hadis sahih yang mengarah pada bolehnya zikir secara jahar.

    Kaum Mukmin dianjurkan berzikir setiap saat. Baik dalam keadaan junub, haid, nifas (kecuali bacaan ayat Al-Qurannya) maupun dalam keadaan suci, sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan pada setiap tempat. Itulah yang dimaksud firman Allah Ta'aala antara lain dalam surah An-Nisa [4]:103. Zikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus! Lain halnya dengan shalat, ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukn shalat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub (harus mandi dulu).

    Wallahua'lam

     

    Ancaman pada suatu majlis tanpa disebut nama Allah Ta'aala, Shalawat atas Nabi shalllahu 'alaihi wasallam.

    Hadis riwayat imam Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah r.a, Nabi-shalllahu 'alaihi wasallam-bersabda,

    مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن)  Artinya: Tiada suatu kelompok pun yang duduk menghadiri suatu majlis, mereka disana tidak zikir (mengingat) Allah-Ta'aala-dan tidak mengucapkan shalawat atas Nabi-shalllahu 'alaihi wasallam-, kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat.

     

    **Begitu pula, yang diriwayatkan Imam Ahamad bin Hanbal yang berkata;

     مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً      

    “Tiada suatu kelompok yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya zikir kepada Allah, kecuali mereka akan mendapat tiratun (artinya kesulitan)...“

     

    Dalam kitab Fathul ‘Alam tertera: Hadis diatas sebagai alasan atas wajibnya (pentingnya) berzikir dan membaca shalawat atas Nabi shalllahu 'alaihi wasallam pada setiap majlis.

    Hadis riwayat Abu daud dari Abu Hurairah r.a., Nabi shalllahu'alaihiwasalam bersabda:

                 مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْن مِنْ مَجْلِسٍ َلاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَة   

    Artinya: “Tiada suatu kaum yang bangun (bubar) dari suatu majlis, mereka tidak berzikir kepada Allah Ta’ala dalam majlis itu, melainkan mereka bangun serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”. (HR. Abu Daud). Wallahua'lam

     

    Zikir secara jahar setelah sholat fardhu

    **Syaikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi Al-Hanbali–wafat th 1349H–dalam kitabnya Tahqiq Al-Kalam fi Masyri‘iyyati Al-Jahr Bi-al-Zikir ba’da As-Salam (Menegaskan pembicaraan mengenai di syariatkan menjahar zikir setelah mengucapkan salam) halaman 48, mengatakan, “Hadis sahih dari Nabi Muhamad-shalllahu 'alaihi wasallam-menyebutkan, men-jahar zikir setelah mendirikan shalat fardhu itu tidak mengganggu orang lain. Justru pendapat yang menentang sunnah itulah yang mengganggu dan membingungkan umat Islam. Bahkan, itulah kebatilan yang paling batil dan kemungkaran yang sangat jelas karena bertentangan dengan nash. Pendapat seperti itu, merupakan penolakan tanpa ilmu dan argumentasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan”.

     

    **Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dengan kata-katanya sebagai berikut: Hadis dari Amar bin Dinar, dia berkata: “Aku di kabari oleh Abu Ma’bad–bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur–dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata; 

    اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ الله

    "Sesungguhnya berzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu, terjadi dimasa Rasulillah-shalllahu 'alaihi wasalam-". (HR. Bukhori dan Muslim).

     

    **Dalam riwayat lain diterangkan, Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-dengan adanya ucapan takbir beliau (yakni ketika berzikir)”. (HR Bukhori [2:324] dalam Al-Fath Al-Bari dan Imam Muslim [1: 410]).

     

    **Hadis yang serupa diatas diriwayatkan juga oleh: Imam al-Hafidz Al-Maqdisi dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’  halaman 25; Imam Abd Wahab Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; Imam Al-Kasymiri dalam kitabnya Fathul Bari hal. 315; As-Sayid Muhamad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawi dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.

     

    **Ibnu Hajr (Fath-Al-Bari 2:325) mengatakan, ‘Dalam hadis tsb. terkandung makna bolehnya mengeraskan zikir setelah menunaikan shalat’.

     

    **Imam Suyuti dalam kitab Natijt Al-Fikr fi Al-Jahr Bi Al Dzikr (Hasil pemikiran mengenai zikir dengan suara keras). Tulisan tersebut dimuat dan dicetak dalam kitab Imam Suyuti Al-Hawi Lil Fatawi. Imam Suyuti (Lihat Al-Hawi Lil Fatawi 1:393) mengatakan: “Bila kamu memperhatikan secara cermat hadis hadis yang kami (Imam Suyuti) kemukakan, kamu akan memahami–dari keseluruhan- nya–bahwa menjahar zikir setelah sholat itu tidak di makruhkan sama sekali, justru ada isyarat untuk mensunnahkan baik isyarat tersebut secara terang-terangan atau secara tersirat saja”.

     

    **Ibnu Qayim Al-Jauziyah dalam kitab I’lam Al-Muqi’in [2:289] mengatakan: “Ada ketentuan atau ketetapan (taqir atau ikrar) nabi Muhamad-shalllahu 'alaihiwasallam-terhadap para sahabatnya untuk mengangkat suara dalam zikir setelah mengucapkan salam (penutup sholat wajib). Sehingga orang diluar masjid mengetahui bahwa sholat telah selesai dan tidak seorangpun yang mengingkari (perbuatan) mereka (para sahabat) itu”.

     

    **Demikian pula yang dikatakan oleh Ibn Hazm dalam Al-Mahali [1V:260] Mas’alatu Raf’I Ash-Shauwti Bi-At Takbir Itsra Kulli Shalatin Hasanun [Masalah mengangkat suara (jahar) dengan takbir setelah melakukan sholat (fardhu) itu adalah baik].

     

    **Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut, Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dan keduanya melakukan zikir secara lirih. Kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat zikirnya maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin para makmum itu sudah mengetahui- nya kemudian dia pun berzikir secara sir lagi.”  

     

    Dengan demikian, tidak diketemukan pernyataan Imam Syafi’i atau ulama mazhab Syafi’i yang melarang zikir secara jahar, apalagi sampai memutuskannya sebagai bid’ah dholalah.

     

    Masih banyak dalil mengenai kebolehan zikir baik secara sir maupun jahar yang tidak tercantum disite ini, tetapi kami kira cukup sebagai bukti bahwa amalan para ulama ahlus sunnah itu-khususnya mazhab Syafi'iyyah-bersandar pada nilai-nilai yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam.

    Nash-nash yang telah dikemukakan sebelumnya menunjukkan keutamaan kumpulan majlis zikir. Allah Ta'aala akan melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridha-Nya pada para hadirin, termasuk disini orang yang tidak niat untuk berzikir. Majlis seperti itulah yang sering dicari dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita sempat dan selalu kumpul bersama majlis zikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut, sehingga doa yang dibaca ditempat majlis zikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima oleh Allah Subhaanahuu wata'aala. 

     

    Kita sering bertanya-tanya: Kalau kaum Pengingkar mengikuti Sunnah Rasualllah shalllahu 'alaihi wasallam, mengapa Para Imam dimasjidil Haram Mekah dan Madinah atau dalam masjid lain di Arab Saudi tidak pernah menjaharkan suaranya waktu berzikir seusai sholat? Padahal cukup jelas riwayat-riwayat sahih dari para sahabat (tokoh para salaf) berzikir dengan jahar seusai sholat Fardhu!?  Ataukah golongan pengingkar ini tidak pernah menemukan riwayat-riwayat tersebut?

    Wallahua’lam.

     

    Adab/cara berzikir dan membakar dupa/menyan

    Sekelumit mengenai adab berzikir yang disebutkan oleh Syaikh Ali Al-Marsyafi dalam kitabnya Manhajus Shalih, antara lain sebagai berikut: “Kita sebaiknya selalu dalam keadaan bersih, mandi dan berwudu, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis). Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai zikir yang dibaca itu. Tempat zikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi. Berzikir dengan ikhlas karena Allah  Subhaanahuuwata'aala...”.

     

    Yang dimaksud Syaikh Ali Al Marsyafi ditaburi minyak wangi pada tempat zikir agar tempat zikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini, dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum. Umpama minyak wangi atau sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya), menyan Arab kalau di bakar asapnya berbau wangi. Bau-bauan wangi ini lebih menyegarkan, mengkhusyukkan, menyenangkan pribadi orang atau para hadirin  di majlis zikir ini. Bau harum ini lebih diperlukan bila berada di ruangan yang penuh para hadirin.  

     

    Ada lagi ceritera khurafat (tahayul) yang aneh dan diada-adakan oleh sebagian golongan Pengingkar. Mereka berkata, pembakaran dupa/gahru dan sebagai- nya didalam dimajlis zikir untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain! Ucapan jahil ini tidak berdalil dari nash, tapi dari benak pikiran mereka sendiri!!

     

    Perhatikan hadis dan perilaku/fatwa para ulama berikut ini:

    **Hadis dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-bersabda, “Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR. Muslim, Nasa’i dan Abu Dawud). Hadis yang di- riwayatkan oleh Muslim dan [Nasa’i no. 5152]: “Ada kalanya Ibnu Umar r.a. membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang di campur dengan uluwwah seraya berkata, ‘Beginilah Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-mengasapi dirinya.’

     

    **Imam Nawawi mensyarahi hadis terakhir diatas sebagai berikut: ”Yang di maksud Istijmar (dalam hadis tsb.) ialah memakai wewangian dan berbukhur (dupa,pen.) dengannya. Lafaz Istijmar itu di ambil dari kalimat Al-Majmar yang bermakna Al-bukhur "dupa". Adapun Uluwah itu menurut Al-Ashmu'i dan Abu Ubaid dan seluruh pakar bahasa arab bermakna kayu dupa (kayu gahru) yang di buat dupa. Selanjutnya Imam Nawawi mengatakan, ‘Dan sangat disunnahkan memakai wewangian (termasuk istijmar) bagi lelaki  pada hari jumat dan hari raya dan saat menghadiri perkumpulan kaum muslimin, majlis zikir juga majlis ilmu.’” (Syarh Nawawi ala Muslim  15/10).

     

    **Membakar dupa saat majlis dzikir atau majlis pengajian itu sudah di- contohkan oleh Imam Malik r.a, seperti yang dijelaskan dalam biografi Imam Malik yang di tulis di bagian belakang kitab Tanwirul Hawalik Syarah Muwattho' Malik, Imam Suyuti Juz 3 no 166 disebutkan;
    قال مطرف كان مالك إذا أتاه لناسخرجت اليهم الجارية فتقول لهم يقول لكم الشيخ تريدون الحديث أوالمسائل؟ فإن قالوا المسائل خرج اليهم وافتاهم وان قالوا الحديث قال لهم اجلسوا ودخل مغتسله فاغتسل وتطيب ولبس ثيابا جديدا وتعمم ووضع على رأسه الطويلة وتلقى له المنصة فيخرج اليهم وعليه الخشوع ويوضع عود فلا يزال يتبخر حتى يفرغ من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم
    "Mutrif berkata, Apabila orang orang mendatangi kediaman Imam Malik, maka mereka di sambut oleh pelayan wanita beliau yang masih kecil lalu berkata kepada mereka, 'Imam Malik bertanya apakah kalian mau bertanya tentang hadis atau masalah keagamaan?' Jika mereka berkata, masalah ke agamaan, maka Imam Malik keluar dari kamarnya dan berfatwa.
    Jika mereka berkata, masalah Hadis, maka beliau mempersilahkan mereka untuk duduk. Kemudian beliau masuk kamar mandi, lalu mandi, memakai minyak wangi, memakai pakaian yang bagus dan memakai sorban. Dan beliau memakai selendang panjang di atas kepalanya, kemudian di hadapan beliau di letakkan (serupa) meja datar, dan setelah itu beliau keluar menemui mereka dengan khusyu' lalu di bakarlah dupa hingga selesai dari menyampaikan hadis Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam."

     

    **Dalam kitab Bulghat ath-Thullab halaman 53-54; 
    مسئلة اخراق البخورعند ذكرالله ونحوه كقراءة القرأن ومجلس العلم له اصل فى السنة من حيث ان النبى صلى الله عليه و سلم يحب الريح الطيب الحسن و يحب الطيب و يستعملها كثيرا

    Membakar dupa atau kemenyan ketika berdzikir pada Allah dan sebagainya seperti membaca Al-Qur’an atau di majlis-majlis ilmu, mempunyai dasar dalil dari al-Hadis yaitu di lihat dari sudut pandang bahwa sesungguhnya Nabi Muhamad shalllahu 'alaihi wasallam menyukai bau wangi dan menyukai minyak wangi dan beliau pun sering memakainya. 

     

    ** Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 5, halaman 160;
    قال بعض أصحابنا ويستحب أن يبخر عند الميت من حين يموت لانه ربما ظهر منه شئ فيغلبه رائحة البخور
    “Sahabat-sahabat kita (dari Imam Syafi’i) berkata, Sesungguhnya disunnahkan membakar dupa di dekat mayyit karena terkadang ada sesuatu yang muncul maka bau kemenyan tersebut bisa mengalahkan/menghalanginya.

     

    Kalau kita pergi negara Arab Saudi ,sentral lokasi mazhab wahabi/salafi, disana di sekitar Raudhah (antara rumah dan mimbar Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam) dan disekitar mimbar Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam pada waktu-waktu tertentu selalu di asapi kayu gahru yang wangi. Para jamaah di- masjid ini bisa menghirup bau wanginya bila kebetulan hadir pada waktu tersebut. Begitu juga, toko-toko minyak wangi di Arab Saudi banyak menjual dupa dan gahru ini. Tidak ada satupun ulama dari kaum Wahabi-Salafi yang melarangnya.

    Alangkah baiknya, bila golongan pengingkar ini berani melarang dan mengatakan pada para ulama Arab Saudi, yang serumpun dengan golongan pengingkar, bahwa menjual dan membakar dupa/gahru di Mekah, Madinah itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan! Wallahu'alam

     

    Dalil-dalil yang mencela kumpulan zikir secara jahar

    Walaupun banyak dalil sahih mengenai majlis zikir baik secara jahar maupun lirih, masih ada saja golongan yang mengingkari dan mengharamkannya. Golongan Pengingkar dan pengikutnya ini berdalil antara lain firman Allah Ta'aala:

    Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Quran, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. (QS Al-A’raf [7]:204).

    Ayat ini, dibuat dalil oleh mereka untuk melarang  pembacaan Al-Quran secara bersama, apalagi diamalkan dalam sebuah majlis zikir seperti istighatsah, tahlil, yasinan dan lain lain.

     

    Sudah tentu, pemikiran seperti ini adalah faham yang keliru, karena makna atau yang dimaksud firman Allah Jallajalaaluh itu, bila ada orang membaca Al-Quran (di luar shalat), sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca disunnahkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan Al-Quran. Tujuannya agar mereka mendapat pahala dan rahmat dari Allah subhaanahuwata'aala. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca Al-Quran dalam kumpulan majlis zikir!

     

    Selain firman Allah ta'aala di atas, gol. Pengingkar juga biasanya mengajukan dalil,

    “Dan  ingatlah Tuhanmu di dalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) di pagi maupun sore hari.” (QS .Al-A’raf [7]:205), untuk mengharamkan majlis zikir.

     

    Jawaban;

    Ayat ini, juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk zikir secara jahar. Sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Quran, yang sedang dibaca oleh orang lain, sebagai- mana ditunjukkan pada surah Al-A’raf [7]:204.

    Dengan demikian, makna surah Al-A’raf [7]: 205 tadi,  “Berzikirlah kepada Tuhanmu di dalam hati wahai orang yang memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Quran dengan merendahkan diri serta rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara (yang berlebihan)..'

     

    Seperti ini pula, makna yang dikehendaki oleh ulama pakar di antaranya, Ibnu Jarir, Abu Syaikh dan Ibnu Zaid. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata, “Ketika Allah Ta'aala memerintahkan untuk inshat (memperhatikan bacaan Al-Quran) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah Ta'aala, maka dari itu disamping perintah inshat zikir di dalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah Ta'aala. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk di antara orang-orang yang lalai’.

     

    Bahkan, menurut Imam Ar-Razi, surah Al-A’raf [7]:205 justru menetapkan zikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena di situ disebut juga  “...dan bukan dengan mengeraskan suara (jahar yang berlebihan)...” Sehingga dapat di ambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah “melakukan zikir antara lirih dan jahar yang berlebihan”. Makna yang demikian, sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah subhaanahuuwata'aala dalam surah Al-Isra’ [17]:110 yang berbunyi, “Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdoa dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah di antara yang demikian itu.”

     

    **Selain nash Al-Quran diatas, golongan Pengingkar juga sering mengutip hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a. yang berkata,

    “Kami pernah bersama Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-dalam sebuah peperangan, maka terjadi lah satu keadaan di mana kami tidak menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeraskan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-kepada kami dan bersabda, ‘Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah Zat yang tuli atau tidak ada. Kalian menyeru hanya kepada Zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’”  

     

    Atas dasar hadis di atas, kaum Pengingkar sering berargumen, “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berzikir...? Padahal hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari di atas memerintahkan untuk merendahkan suara ketika berzikir karena Zat yang dituju dalam berzikir adalah Allah Ta'aala bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasan-Nya ada di hadapan kita. Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggangan kita”

     

    Jawaban;

    Alasan itu pun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk zikir jahar. Perintah irba’u (merendahkan suara) di hadis tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berzikir secara jahar. Hal ini, karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka.

     

    Berdasarkan inilah, Syaikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama‘at Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba‘u adalah satu isyarat di mana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena berzikir secara jahar tidak disyariatkan. Sebenarnya hadis ini berkaitan dengan larangan mengangkat suara zikir di jalanan atau ketika sedang berjalan-jalan, berbeda dengan hadis-hadis yang telah dikemukakan. Berzikir secara jahar seusai shalat atau berzikir berkelompok telah disebutkan dalam hadis-hadis sahih di antaranya juga di sebutkan dalam Shahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim).

     

    Jika sekiranya Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam tidak mencegah para sahabat berzikir secara keras di jalanan apalagi dalam waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara zikir yang berlebihan (menjerit-jerit) sewaktu dalam perjalanan adalah di sunnahkan. Padahal sunnah yang seperti itu tidak dikehendaki oleh beliau shalllahu 'alaihi wasallam.

    Pada saat itu, mengeraskan zikir, dalam perjalanan perang menuju Khaibar, tidak ada kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai di dengar oleh musuh. Terlebih lagi ada hadis mengatakan “Perang itu adalah suatu tipu daya.” Beliau shalllahu'alaihi wasallam juga melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Al-Bazzazi juga menerangkan demikian.

     

    Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud mengatakan, kata-kata rafa‘u ashwatahum (meninggikan suara mereka) menunjukkan bahwa mereka terlalu berlebihan dalam menjaharkan zikir. Maka hadis itu tidaklah menuntut larangan men-jahar-kan zikir secara mutlak.

    Jadi zikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat ketika itu adalah jahar yang berlebihan (menjerit-jerit) sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa riwayat berkaitan dengan larangan itu.

    Bila hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari di atas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk zikir secara jahar, maka akan berbenturan dengan hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan zikir secara jahar.

     

    **Golongan Pengingkar melarang Majlis zikir dengan mengutip suatu riwayat, Umar bin Khatab r.a. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdoa untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin’. Dengan berdalil pada riwayat  ini, mereka melarang semua bentuk berzikir secara jahar.

     

    Jawaban;

    Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan sahih, kita harus meneliti dahulu mengapa Umar bin Khatab r.a. melarang mereka berkumpul untuk berdoa kebaikan tersebut. Sehingga tidak langsung menghukumi semua perkumpulan manusia untuk doa kebaikan itu dilarang. Zikir dan doa itu termasuk amal ibadah yang sangat dianjurkan oleh Allah Ta'aala dan Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam. Tidak ada kewajiban dalam syariat tentang tata cara berzikir dan berdoa, boleh dilakukan secara berkumpul atau pun secara individu. Penafsiran seperti itu adalah sangat sembrono, karena bisa mengakibatkan orang merendahkan sifat Umar bin Khatab r.a.

     

    **Kelompok Pengingkar juga mengatakan ada riwayat dari Bukhari yang berkata, Ada suatu kaum setelah melaksanakan shalat maghrib seorang dari mereka berkata, “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini… bertasbih lah seperti ini….dan bertahmid lah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud r.a. mendatangi orang ini dan berkata, '….. sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid‘ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi.'”

    Riwayat ini, oleh kaum Pengingkar, juga dibuat dalil untuk melarang semua kumpulan majlis zikir!

     

    Jawaban;

    Alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama, kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu.

    Kedua, misalkan bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pemberitahuan sesuai yang dianjurkan oleh Nabi shalllahu 'alaihi wasallam maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud r.a. akan melarangnya, karena Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sendiri meridhai dan memberi kabar gembira bagi kelompok kaum yang sedang berzikir.

    Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan zikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan zikir dan bacaannya, tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan atau mensyariatkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena zikir adalah amalan-amalan sunnah bukan wajib.

     

    Bahkan, sekarang sering dijual dan dikumandangkan dipasar-pasar atau di toko -toko diberbagai negara; Saudi Arabia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Marokko, Mesir dan negara barat maupun timur, qasidah  dan zikir pujian pada Allah Ta'ala dan sholawat atas Nabi Muhamad shalllahu 'alaihi wasallam. Kalau semua zikir jahar ini mungkar dan dilarang maka menjual dan mengumandangkan kaset-kaset inipun harus di larang, terutama dinegara-negara Islam yang anti majlis zikir. Tapi, nyatanya sampai detik ini tetap berjalan malah lebih banyak lagi toko yang jual kaset, CD tersebut karena banyak peminatnya.

    Wallahu’alam.