Pendapat (Fatwa) Para Pakar Islam
Pendapat (Fatwa) Para Pakar Islam
**Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyudin Ali bin Abdul-Kafi As-Sabki (wafat tahun 756 H) menulis kitab khusus tentang kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Bahkan, ia menfatwakan, “Barangsiapa menghadiri pertemuan untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam serta keagungan maknanya, ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.”
**Imam Syihabudin Ahmad bin Muhamad bin Ali bin Hajar Al-Haitsami As- Sa’di Al-Anshari Asy-Syafi’i (wafat tahun 973 H) menulis kitab khusus mengenai kemuliaan Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Ia memandang hari Maulid Nabi shalllahu'alaihi wasallam sebagai hari raya besar yang penuh barokah dan kebajikan. Imam Abdur-Rabi Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqi (wafat tahun 716 H), menulis sajak dan syair-syair bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wasallam. Tiap hari maulid Nabi, para pemimpin Muslim berkumpul di rumah- nya. Ia lalu minta salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan syair-syair Al-Buqi itu.
**Dalam Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, jilid 23, hal. 133, dan kitabnya Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim, hal.294-295, bab ‘Ma Uhditsa min al-Ayad al-Zamaniyah wa al-Makaniyah’ (Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat tertentu), Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Memuliakan hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringatannya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-ada lah layak jika dalam hal itu mereka beroleh pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mukmin yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh orang lain.
Demikian halnya apa yang diada-adakan oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-dan untuk memuja- nya, Allah subhaanahuuwataáala akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini, bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bid‘ah …”.
Dalam teks yang disebutkan di atas, Ibnu Taimiyah juga menyebutkan fatwa Imam Ahmad Ibnu Hanbal, tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Al-Quran, beliau (Imam Ahmad) mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan emas”. Demikianlah fatwa Ibnu Taimiyyah.
**Seorang editor majalah kelompok Salafi-Wahabi ,Iqtidha, Muhamad al- Fiqqi, menulis dua halaman catatan kaki untuk teks tersebut. Di dalamnya ia berteriak keras, “Kaifa yakunu lahum tsawab ala hadza?.. Ayyu ijtihad fi hadza”? (Bagaimana mungkin mereka dapat memperoleh pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini?).
Para ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang menyangkut peringatan maulid ini. Mereka mengubah sikap Ibnu Taimiyah tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri. Padahal, Ibnu Taimiyah adalah tokoh ulama panutan golongan ini.
**Pengarang Salafi yang lain ,Manshur Salman, juga bersikap serupa di atas, ketika menerangkan isi kitab Al-Ba‘its ala Inkar al-Bida karya Abu Syamah. Karena Abu Syamah bukannya mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru menyatakan, ‘Sungguh itu (peringatan maulidin Nabi shalllahu'alaihiwasallam) suatu bid‘ah yang patut dipuji dan diberkati’.
Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam oleh Ibnu Taimiyah ini─oleh para pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu kritikan atas peringatan maulid─telah disebut-sebut oleh para ulama Sunni seperti: Said Hawwa dalam al-Sirah bi Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibnu Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah; as-Sayid Hasyim al-Rifa‘i dalam Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah; Abdal-Hay al-Amruni dan Abdal-Karim Murad dalam Hawla Kitab al-Hiwar ma‘a al-Malik.
Jadi, menurut Ibnu Taimiyah, merayakan dan menghormati kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, sebagaimana di lakukan oleh sebagian orang, adalah baik, dan terdapat pahala yang besar, karena niat baik mereka dalam menghormati Nabi shalllahu'alaihi wasallam.
Anehnya lagi, ada dari kelompok Salafi-Wahabi mengatakan, “sesungguhnya binatang yang disembelih untuk acara maulid, lebih haram daripada Babi!
Sedangkan, dalam kitab Muallafaat (Muhamad Ibnul Wahab) jilid 6 hal.227 mengatakan, '....dan manusia menjadi saksi atas kamu, bahwa kamu pergi ke majlis maulid, menghadiri majlis mereka, membacakannya kepada mereka dan makan makanan yang disediakan di majlis itu, maka sekiranya kamu mengetahui ini adalah Kufur (keluar dari agama)'. Ucapan imam golongan Wahabi ini, berseberangan dengan ucapan ulama yang paling mereka andalkan dan juluki Syeikhul Islam, yaitu Syeikh Ibnu Taimiyah.
**Al-Hafizh Al-Qasthalani, dalam Al-Mawahibul ladun-niyah juz 1 hal. 148 cet. al-maktab al-Islam berkata, “Allah akan menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam sebagai hari besar”.
**Al-Hafizh As-Sakhawi, dalam Sirah al-Halabiyah berkata,“Tidak dilaksanakn maulid oleh salaf hingga abad ketiga, tetapi dilaksanakan setelahnya dan umat Islam diseluruh pelosok dunia melaksanakan dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan bacaan maulid dan terlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar.”
**Imam Al-Jauzi (Al-Hafizh Jamaluddin Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam mazhab Hanbali wafat tahun 567 H mengatakan, “Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam ialah timbulnya perasaan tenteram di samping kegembiraan yang mengantarkan umat Islam kepada tujuan luhur. Orang-orang pada masa Daulat Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-degn berbuat kebajikan menurut kemampuan masing masing, seperti mengeluarkan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari maulid, mereka juga memperingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi shalllahu'alaihi wasallam di dalam Gua Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Bagdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.”
Begitu pula, Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Mawlid al-Arus, (Ibn al-Jawzi, Mawlid al-‘Arus, Damaskus: Maktabat al-Hadharah, 1955) berkata tentang pembacaan maulid sebagai berikut, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya dan merayakannya” Kitab ini, berisi syair dan riwayat hidup Nabi shalllahu'alaihiwasallam, dibaca dalam perayaan maulid dan beliau membuka dengan kata-kata, “Al-hamd li Allah al-ladzi abraza min ghurrat ‘arus al-hadhrah shubhan mustanirah (Segala puji bagi Allah, yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari yang semburat dengan sinar cemerlang)
**Imam Al-Hafizh Ibnu Abidin dalam syarahnya maulid Ibnu Hajar berkata, “Ketahuilah salah satu bid‘ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam”.
**Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam al-Durar al-Kaminah fi ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsaminah menyebutkan, Ibnu Katsir pada hari-hari terakhir hayatnya, menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasulallah yang tersebar luas. Kitab tersebut, menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi shalllahu 'alaihi wasallam” (Ibnu Katsir, Mawlid Rasulallah, editor Shalahuddin Munajjad [cet. Dar al-Kitab al-Jadid, Beirut], 1961). Dalam kitab Ibnu Katsir tersebut, mengatakan, “Malam kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu malam yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang, dan tak ternilai harganya” (ibid, hal.19).
**Imam Jalaluddin al-Suyuthi berkata: Syaikh Islam, seorang tokoh hadis pada masanya (Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqalani), pernah ditanya mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Beliau memberikan jawaban sebagai berikut: “Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan memperingati kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-, itu merupakan suatu bid‘ah yang kita tidak menerimanya dari para saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad pertama Hijriah. Meskipun demikian, praktik tersebut melibatkan bentuk-bentuk yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji.
Apabila dalam praktik peringatan tersebut, orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja, dan tidak melakukan yang sebaliknya, itu bid‘ah yang baik. Namun, jika tidak demikian, maka tidak baik. Dalil dasar dari nash yang bisa di percaya untuk merujuk keabsahannya telah saya temukan, yaitu suatu hadis sahih yang dimuat dalam kumpulan Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam datang ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam (Asyura), beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu dan mereka menjawab: 'Hari ini, Allah Ta'aala menenggelamkam Fir'aun dan menyelamatkan Musa 'alaihis salaam, kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur kepada Allah Jalla jalaaluh.’
Dalil ini, menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada Allah jallajalaaluh atas karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam bentuk pemberian nikmat maupun penghindaran dari bencana. Kita mengulang rasa syukur kita dalam peringatan hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan syukur kepada Allah subhaanahuuwata'aala dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, memberi sedekah atau membaca Al-Quran. …Lalu, karunia apa lagi yang lebih besar daripada kelahiran Nabi shalllahu'alaihi wasallam?
Melihat kenyataan demikian, kita seharusnya memastikan untuk memperingati -nya pada hari yang sama, sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa álaihis salaam, tanggal 10 Muharam di atas. Akan tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini penting, merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja sepanjang tahun, pengecualian apapun dapat diambil dalam pandangan semacam ini”. (Al-Suyuthi, al-Hawi li al- Fatawi).
**Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad Ibnu Zaini Dahlan, “Memperingati hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan mengingat Nabi shalllahu 'alaihiwasallam itu dibolehkan oleh ulama muslim.” (Al-Sirah al-Nabawiyah wa al-Atsar al-Nabawiyah, hal.51. kebanyakn kutipan-kutipan selanjutnya di ambil dari karya ini).
**Imam al-Subki, mengatakan; “Pada saat kita merayakan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam, rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas”.
**Imam al-Syaukani, dalam kitab al-Badr al-Thali‘ mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam”. Beliau pun mengatakan, Mulah Ali al- Qari memiliki pandangan yang sama dalam kitab nya, Al-Maurid al-Rawi fi al- Maulid al-Nabawi, yang ditulis secara khusus untuk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam.
**Imam Abu Syamah ,guru Imam Al-Nawawi, dalam kitabnya tentang bid‘ah, al-Ba‘its ala Inkar al-Bida‘ wa al-Hawadis, berkata: Bid‘ah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah peringatan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihi wasallam. Pada hari tersebut, orang-orang memberikan banyak sumbangan, banyak ibadah, menunjukkann rasa cinta yang besar kepada Nabi shalllahu 'alaihi wasallam, dan menyatakan banyak syukur kepada Allah subhaanahuu wata'aala karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk menjaga mereka agar mengikuti sunah dan syariah Islam.
**Imam Nawawi (Al-Hafiz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi), wafat dalam tahun 676 H, mensunnahkan peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafizh Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-Asqalani) yang wafat dalam tahun 852H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Imam Al-Asqalani memastikan, memperingati hari maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala.
**Imam al-Syakhawi mengatakan, “Peringatan hari kelahiran Nabi shalllahu 'alaihiwasallam di mulai pada tiga abad setelah Nabi shalllahu'alaihiwasallam wafat. Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh ulama membolehkannya, dengan cara beribadah kepada Allah Ta'aala, bersedekah dan membaca riwayat hidup Nabi shalllahu'alaihiwasallam”.
**Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami, mengatakan, “Sebagaimana orang-orang Yahudi merayakan hari Asyura dengan berpuasa untuk bersyukur kepada Allah Swt, kita pun mesti merayakan maulid.” Selanjutnya beliau berkata, (Selayak- nya) orang bersyukur kepada Allah subhaanahuwata'aala atas rahmat yang telah Dia berikan pada suatu hari tertentu, baik berupa kebaikan yang besar ataupun keterhindaran dari bencana. Hari tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur terlahir dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, sedekah, dan membaca Al-Quran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar dari kedatangan Nabi shalllahu'alaihi wasallam, seorang Nabi penyebar rahmat, pada hari maulid?
**Doktor Abdul Ghaffar Muhamad Aziz, guru besar ilmu dakwah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain:
“Memang, ada sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak membenarkan adanya peringatan-peringatan keagamaan dalam bentuk apa pun juga dan menganggapnya bid‘ah yang tidak diakui oleh agama. Akan tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran syariat. Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, atau peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan ceramah-ceramah dan pelajaran khusus, baik dimasjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat segala macam media massa. Peringatan, akan dapat mengingatkan kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama.
Selama peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah subhaanahuwata'aala telah berfirman: ‘Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman’, (Adz-Dzariyat [51]: 55)
Peringatan keagamaan yang diselenggarakan tanpa berlebih-lebihan atau pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini seakan-akan Allah Ta'aala hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya peringatan-peringatan ke agamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat ke saat selalu berada di dalam suasana Al-Quran, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana kehidupan Islam, yang dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada di dalamnya sampai dengan bulan Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, sampai bulan Rajab dengan peringatan Isra’ Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan turunnya Al-Quran Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu Syawal, Dzulqaidah dan Dzulhijjah. Demikianlah, suasana keagamaan berlangsung terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun.”
**Doktor Muhamad Sayid Ahmad Al-Musir ,guru besar ilmu Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islami menerangkan antara lain sebagai berikut:
“Perayaan peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dengan jamuan/ pesta makan dan minum sama sekali tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Perlu dipahami, kami tidak melarang/mengharamkan jenis-jenis tertentu makanan dan minuman yang disuguhkan dalam peingatan tersebut. Akan tetapi, yang kami sesali ialah, ada sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang bersifat kebendaan itu merupakan bagian dari pada peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam.
Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi shalllahu 'alaihiwasallam atau peringatan keagamaan lainnya sebagai bid‘ah, terletak pada pengertian atau ta’rif tentang bid‘ah dan sunnah. Mereka mengatakan, ‘setiap bid‘ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadis sahih.
Akan tetapi, mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid‘ah yang disebut sesat (dhalalah) dan tempatnya di neraka bukan lain adalah bid‘ah yang di-isyaratkan oleh Al-Quran, yakni firman Allah subhaanahuuwata'aala, ‘Mereka mensyariatkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak di-izinkan Allah’ (Asy-Syura [42]:21). Jadi bid‘ah yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok--pen) di dalam agama. Hal ini, sama sekali tidak terdapat dalam peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan peringatan keagamaan lainnya.”
**Ustad Mahmud Syaltut berpendapat, “Setelah abad pertama hijriyah (abad ke 7 M), di kalangan kaum Muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakn perayaan memperingati hari maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam pada bulan Rabiul-awal tiap tahun. Cara mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keadaan lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam dengan menyiapkan makanan-makanan khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul-awal dalam suasana riang gembira.
Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue manis yang khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini di letakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan pertemuaan yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari membacakan ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu, dibacakan kisah maulid Nabi shalllahu 'alaihiwasallam dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak beliau shalllahu 'alaihiwasallam, juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa kelahiran beliau shalllahu'alaihiwasallam.
Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang mulai menulis dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan berita-berita riwayat dan hadis. Kemudian tulisan ini disebarluaskan kepada kaum Muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wasallam dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah beliau, yang telah dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya (yakni orang Quraish--pen).
Antara lain di riwayatkan berita dalam tulisan-tulisan (kitab-kitab) tersebut:
‘Ketika beliau masih sebagai anak penggembala kambing, saat beliau masih remaja muda turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraisy dan sekutunya orang-orang Kinanah disatu pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin. Konon, waktu itu Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam umur 14 tahun. Ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20 th.—red.) dan persekutuan Fudhul.
Juga ditulisan tersebut meriwayatkan ketika beliau shalllahu'alaihiwasallam telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan riwayat beliau shalllahu'alaihiwasallam yang tercantum dalam tulisan tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam yang lazim dilakukan oleh kaum Muslimin sebagai sunnah setelah abad-abad pertama hijriyah’.”
**Di dalam kitab “An-Ni’matul Kubra ‘alal ‘Alami fi Maulidi Sayyidi Waladi Adam” halaman 7-11 karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami* (909-974 H./ 1503- 1566 M.), diterangkan tentang keutamaan-keutamaan memperingati maulid Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam sebagai berikut:
1. Sayidina Abu Bakar r.a. berkata:
من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم كان رفيقي في الجنة
"Barangsiapa membelanjakan satu dirham untuk mengadakan pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, maka ia akan menjadi temanku di surga."
2. Berkata sayidina Umar r.a:
من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحيا الإسلام
“Barangsiapa mengagungkan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.”
3. Berkata sayidina Usman r.a:
من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فكأنما شهد غزوة بدر وحنين
“Barangsiapa membelanjakan satu dirham untuk mengadakan pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, seakan-akan ia ikut-serta menyaksikan perang Badar dan Hunain.”
4. Sayidina Ali r.a berkata;
من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم وكان سببا لقراءته لا يخرج من الدنيا إلا بالإيمان ويدخل الجنة بغير حساب
“Barangsiapa mengagungkan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, dan ia menjadi sebab di laksanakannya pembacaan maulid Nabi, maka tidaklah ia keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.”
5. Imam Hasan Bashri r.a. berkata:
وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا فأنفقته على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم
“Aku senang sekali seandainya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk kepentingan memperingati maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam.”
6. Imam Junaed al-Baghdadi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)nya, berkata:
من حضر مولد النبي صلى الله عليه وسلم وعظم قدره فقد فاز بالإيمان
“Barangsiapa menghadiri peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan mengagungkan derajat beliau, maka sesungguhnya ia akan memperoleh ke- bahagian dengan penuh keimanan.”
7. Imam Ma’ruf al-Karkhi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)nya:
من هيأ طعاما لأجل قراءة مولد النبي صلى الله عليه و سلم و جمع اخوانا و أوقد سراجا و لبس جديدا و تبخر و تعطر تعظيما لمولد النبي صلى الله عليه و سلم حشره الله يوم القيامة مع الفرقة الأولى من النبيين و كان فى أعلى عليين
“Barangsiapa menyediakan makanan untuk pembacaan maulid Nabi shalllahu 'alaihiwasallam, mengumpulkan saudara-saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang harum-haruman dan memakai wangi-wangian karena mengagungkan kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama golongan orang-orang yang pertama di kalangan para nabi dan dia akan ditempatkan di syurga yang paling atas (‘Illiyyin).”
8. Imam Fakhruddin ar-Razi r.a berkata:
: ما من شخص قرأ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على ملح أو بر أو شيئ أخر من المأكولات الا ظهرت فيه البركة و فى كل شيئ وصل اليه من ذلك المأكول فانه يضطرب و لا يستقر حتى يغفر الله لأكله وان قرئ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على ماء فمن شرب من ذلك الماء دخل قلبه ألف نور و رحمة و خرج منه ألف غل و علة و لا يموت ذلك القلب يوم تموت القلوب . و من قرأ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على دراهم مسكوكة فضة كانت أو ذهبا و خلط تلك الدراهم بغيرها و قعت فيها البركة و لا يفتقر صاحبها و لا تفرغ يده ببركة النبي صلى الله عليه و سلم
“Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan tampak keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah akan mengampuni orang yang memakannya.
Dan sekirannya dibacakan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki dan penyakit dan tidak akan mati hati tersebut pada hari dimatikannya hati-hati itu.
Dan barangsiapa yang membaca maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut ke -berkahan dan pemiliknya tidak akan fakir serta tidak akan kosong tangannya dengan keberkahan Nabi shalllahu'alaihiwasallam.”
9. Imam Syafi’i, semoga Allah merahmatinya, berkata:
من جمع لمولد النبي صلى الله عليه وسلم إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءته بعثه الله يوم القيامة مع الصادقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم
“Barangsiapa mengumpulkan saudara-saudaranya untuk mengadakan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, kemudian menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan untuk mereka, dan dia menjadi sebab atas dibacakan -nya maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-, maka Allah akan membangkitkan dia bersama-sama golongan shiddiqin (orang-orang yang benar), syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan shalihin (orang-orang yang shaleh) dan dia akan dimasukkan ke dalam surga-surga Na’im.”
10. Imam Sirri Saqathi, semoga Allah membersihkan sir (bathin)-nya:
من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد قصد روضة من رياض الجنة لأنه ما قصد ذلك الموضع الا لمحبة النبي صلى الله عليه و سلم . وقد قال صلى الله عليه و سلم : من أحبني كان معي فى الجنة
“Barangsiapa pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam maka sesungguhnya ia telah pergi ke sebuah taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan karena cintanya kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Sesungguhnya telah bersabda shalllahu'alaihiwasallam: “Barangsiapa cinta kepadaku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.”
11. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Bil Wasaail fi syarhis Syamaail berkata:
مامن بيت أو مسجد أو محلة قرئ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم إلا حفت الملائكة ذلك البيت أو المسجد أو المحلة وصلت الملائكة على أهل ذلك المكان وعمهم الله تعالى بالرحمة والرضوان.
وأما المطوفون بالنور يعنى جبريل و ميكائيل و اسرافيل و عزرائيل عليهم الصلاة و السلام فانهم يصلون على من كان سببا لقراءة النبي صلى الله عليه و سلم. و قال أيضا: ما من مسلم قرأ فى بيته مولد النبي صلى الله عليه و سلم الا رفع الله سبحانه و تعالى القحط والوباء والحرق والغرق والأفات والبليات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص من أهل ذلك البيت فاذا مات هون الله عليه جواب منكر ونكير ويكون فى مقعد صدق عند مليك مقتدر. فمن أراد تعظيم مولد النبي صلى الله عليه وسلم يكفيه هذا القدر. ومن لم يكن عنده تعظيم مولد النبي صلى الله عليه وسلم لو ملأت له الدنيا فى مدحه لم يحرك قلبه فى المحبة له صلى الله عليه وسلم.
“Tidak ada rumah atau masjid atau tempat yang di dalamnya dibacakan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam melainkan malaikat akan mengelilingi rumah atau masjid atau tempat itu, mereka akan memintakan ampunan untuk penghuni tempat itu, dan Allah Taáala akan melimpahkan rahmat dan ke ridhaan-Nya kepada mereka. Adapun para malaikat yang dikelilingi dengan cahaya adalah malaikat Jibril, Mika’il, Israfil, dan Izra’il 'alaihimussholaatu was salaam.
Karena, sesungguhnya mereka memintakan ampunan kepada Allah untuk mereka yang menjadi sebab dibacakannya pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Dan, dia (imam Suyuthi) berkata pula: Tidak ada seorang muslimpun yang dibacakan di dalam rumahnya pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam melainkan Allah subhaanahuu wataáala menghilangkan kelaparan, wabah penyakit, kebakaran, tenggelam, bencana, malapetaka, kebencian, hasud, keburukan makhluk, dan pencuri dari penghuni rumah itu.
Dan, apabila ia meninggal, maka Allah akan memudahkan jawabannya dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir dan dia akan berada di tempat duduknya yang benar di sisi penguasa yang berkuasa.
Dan, barangsiapa ingin mengagungkan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, maka Allah akan mencukupkan derajat ini kepadanya. Dan, barangsiapa di sisinya tidak ada pengagungan terhadap maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, seandainya hanya penuh baginya pujian untuk dunia, maka Allah tidak akan menggerakkan hatinya di dalam kecintaannya terhadap Nabi shalllahu'alaihi wasallam".
Demikian lah yang tercantum dikitab maulid al-imam Ibnu Hajar al- Haitami.
**As-Sayid Muhamad bin Alawi Al-Maliki─putra Al-Allamah Ustad Alawi ,sebagai Mufti Makkah di Arab Saudi─seorang ulama yang memegang teguh tauhid tidak luput dari tuduhan kafir ulama Salafi/Wahabi. Hal ini, karena beliau tidak sepaham dengan pendapat kelompok Salafi/Wahabi. Makalah beliau Haulal–Ihtifal Bil-Maulidin Nabawi asy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia), merupakan salah satu karya tulis, dari beberapa karya ulama dan penyair Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi tulisan pilihan dari para ulama dan para penyair Islam yang berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun 1983, terbit di Makkah.
Beliau, sempat berkomentar; Tidak dapat disangkal, mengumpulkan orang banyak untuk memperingati maulid, merupakan salah satu cara terpenting mendakwahkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ini, merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam kesempatan itu, para ulama dapat mengingatkan umat kepada junjungan kita Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam tidak lain memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Bahkan, orang kafir ,seperti Abu Lahab, pun beroleh manfaat disebabkan rasa gembira menyambut kelahiran beliau.
Sebuah hadis dalam Sahih Al-Bukhari menerangkan bahwa setiap hari Senin Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuan- nya ,Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin Abdul Muthalib, yaitu Muhamad shalllahu'alaihi wasallam. Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, apalagi orang yang beriman.
Al-Hafizh Syamsuddin Muhamad bin Nashiruddin al-Dimasyqi juga berkata, ‘Jika orang kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya, ‘Celakalah dua tangan Abu Lahab,’ serta dia kekal dalam neraka, memperoleh keringanan siksa setiap hari Senin lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, lalu bagaimana dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran beliau dan dia pun wafat dalam keadaan bertauhid?’
Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi shalllahu'alaihi wasallam merupakan tuntunan Al-Quran. Firman Allah subhaanahuuwata'aala ;
قُلِ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْـيَفْرَحُوا
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira….” (QS. Yunus [10 ]: 58)
Allah Taáala memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلاَ رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ
“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” (QS.Al-Anbiya [21 ]:107)
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang besar itu. Cara beliau menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa. Hadis dari Abu Qatadah yang mengatakan, ketika Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau menjawab;
ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ اُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْه
“Pada hari itu, aku dilahirkan dan pada hari itu, diturunkan (oleh Allah ta'aala) wahyu kepadaku”. (HR. Sahih Muslim).
Jelaslah, bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam memperhatikan hari kelahiran beliau shalllahu'alaihiwasallam dan hari diturunkannya wahyu kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam. Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuannya adalah sama, yaitu Peringatan. Jadi, peringatan dapat di lakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau shalllahu'alaihiwasallamu sebagai manusia termulia dan sebagainya.
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa besar keagamaan yang terjadi dimasa silam. Sebagaimana di- riwayatkan dalam sebuah hadis, setiba Rasulallah di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram). Ketika beliau shalllahu'alaihiwasallam menanyakan hal itu, dijawab: ‘Mereka berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka (Musa 'alaihissalaam) dan menenggelamkan musuh mereka’.
Mendengar itu, Nabi shalllahu'alaihi wasallam menjawab,
نَحْنُ أوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)’. Beliau kemudian berpuasa pada hari itu, dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidupnya Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada perorangan (individu) yang memperingati maulid Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya, meski pun tidak disebut ‘Perayaan atau Peringatan’.
Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf (terdahulu) dan yang belum pernah terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan harus ditolak. Masalah demikian itu, harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’. Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin adalah haram. Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan tujuannya (niatnya).
Dalam peringatan maulid ini, pasti dikumandangkan ucapan shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi besar Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Shalawat dan Salam, keduanya ini dikehendaki oleh Allah Jallaajalaaluh. Dalam firman-Nya: ‘Sesungguhnya Allah … sampai akhir ayat’ (QS.Al-Ahzab : 56).
Betapa banyak pahala orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan doa beliau bagi umatnya yang bershalawat kepada beliau. Dalam peringatan maulid Nabi itu, pasti diuraikan riwayat-riwayat, mukjizat-mukjizat, kemuliaan dan sejarah kehidupan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Dikitab-kitab maulid banyak memaparkan semuanya itu. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada beliau shalllahu'alaihiwasallam, akan menambah kecintaan dan keimanan kita Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Allah subhaanahuu wa ta'aala berfirman: “Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepada mu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud : 120)
Dari firman tersebut, tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Sudah tentu, umat Islam ,terutama saat ini, sangat memerlukan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup.
Para hadirin pada umumnya tidak memahami makna kitab-kitab maulid, yang dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya menikmati irama, lagu dan kemerduan suara. Itu memang merupakan kekurangan yang harus menjadi perhatian kita. Akan tetapi, walau pun adanya kekurangan tersebut, tidak mengurangi kekhusyuan jalannya peringatan maulid. Mereka gembira, mengharapkan berkah, pahala dan mohon diberi kemantepan iman, karena menyambut peringatan kelahiran Nabi besar Muhamad shalllahu'alaihi wasallam. Kegembiraan mereka adalah kebajikan.
Pada umumnya semua ulama dan kaum muslimin berpendapat tidak ada cara tertentu atau cara khusus bagi peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Umpama, kita hanya menyatakan pujian-pujian, keutamaan, perjuangan beliau shalllahu'alaihiwasallam dan lain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Menurut hemat kami, pengertian demikian itu tidak akan dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian. Demikianlah ungkapan almarhum Sayid Muhamad al Maliki.
Info: [Para pakar Islam yang telah dikemukakan, telah dikenal pribadi dan ilmu mereka oleh semua ulama. Mereka ini tidak asal mengarang mengenai manfaat peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam menurut pikirannya, tetapi sudah pasti ada sanad-sanad yang bersambung sampai Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam. Sebab mengenai pahala suatu amalan itu adalah masalah ghoib yang tidak diketahui kecuali dari Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.
Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah. Syariat Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah jallaa jalaaluh, dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun, bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal ini banyak sekali contohnya antara lain:
Soal tawaf, sai, wukuf di Arafah, adalah ketentuan-ketentuan manasik haji, yang tidak boleh dirubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Akan tetapi, orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana, berjalan, berkendaraan dan sebagainya. Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih membaca ayat demi ayat dalam kitab suci itu atau membacanya secara hafalan.
Pembacaan doa, orang boleh mengutarakan sendiri apa dalam isi hati atau dengan membaca kumpulan-kumpulan doa, yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun doa. Kesimpulannya, segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/ kebaikan bagi dirinya atau masyarakat, boleh diamalkan dengan cara bagaimana pun, selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama, jika amalan itu sejalan dengan fatwa para ulama ahli hadis.
Imam Syafi'i menegaskan:
"Hal baru yang diadakan, jika menyalahi Kitabullah atau Sunnah,, itu adalah bid'ah dhalalah (bid'ah sesat). Hal baru yang diadakan berupa kebajikan, tidak menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-Izz bin Abdi-Salam, Imam Nawawi, Ibnu Atsir dan lainnya, sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.—red.]
Wallahu'alam
Silahkan ikuti kajian berikutnya.
Maak jouw eigen website met JouwWeb