Pengajuan dalil kaum Mujassimah dan jawabannya

Pengajuan dalil kaum Mujassimah dan jawabannya

Berikut beberapa argumen dari kelompok wahabi-salafi, tentang ayat-ayat yang membuktikan bahwa Allah Swt. itu bertempat diatas;

Firman Allah Swt.,‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.’(QS.Thaha [20];5).

Kaum Mujassimah, memaknai kata: Istawa diayat ini, dengan arti sebenarnya, yakni bertempat di Arsy!

 

Dalam keyakinan mereka, Allah bersemayam di atas Arsy-Nya. Pemaknaan seperti itu, jelas salah! Sebab yang demikian, meniscayakan Allah Swt bertempat di Arsy dan tidak ada ditempat lain! Ditegaskan, Istiwa dan ke Maha Tinggian Allah itu dengan al-Qahr (kekuasaan dan penguasaan) atas sekalian hamba dan makhluk ciptaan-Nya, bukan dengan ketinggian fisikal, seperti yang biasa kita saksikan pada makhluk-Nya. Dasar pemaknaan yang benar ini, sebagaimana firmanNya, ”Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS.Al An’am [6];18 dan 61)

 

Sebagaimana yang telah kami kemukakan, Imam al Baihaqi dalam kitabnya  al Asma wa ash-Shifat, hal.506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami, dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah Saw,:‘Engkau ad-Dhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al-Batin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya, berarti Dia tidak bertempat”.

 

Kaum mujassimah berdalil lagi, “…..Kepada-Nyalah naik (yash’adu) perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang saleh dinaikan-Nya…” (QS.Fathir [35];10). Mereka mengatakan, ayat ini juga membuktikan  Allah berada diatas!

Ayat ini, sama sekali tidak menunjukkan apa yang mereka katakan. Itu adalah, ungkapan yang menunjukkan kerelaan atas keyakinan yang benar, dan di terimanya amal kebajikan hamba. 

 

Mufassir Abu Hayan al-Andalusi dalam tafsir al-Bahru al-Muhith 7/303 menerangkan; ”Naiknya perkataan-perkataan yang baik kepada-Nya, adalah kata kiasan/majazi pada pelaku/fa’il, dan para al musamma ilahi (Allah), sebab Dia Swt. tidak berada di sebuah sisi/arah tertentu, dan karena al kalim adalah, ucapan yang tidak dapat disifati dengan naik. Naik itu terjadi pada benda. Ungkapan itu, menunjukkan arti diterima dan sempurna, seperti ucapan: ‘Meninggi mata kakinya dan urusannya’.

 

Dari makna ini,  orang-orang Arab mengatakan: ‘Mereka mengangkat perkara mereka kepada Hakim.’ dan ‘Perkara ini diangkat kepadanya.’ Pada ucapan ini, tidak ada ketinggian fisikal ke tempat tertentu, berarti keagungan, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material). Penafsiran ini, telah didukung oleh Salaf Saleh, seperti Malik Ibnu Sa’ad, Hasan al Bashri, Qatadah dan Mujahid. Mereka semua menerangkan maknanya, diterimanya amal perbuatan yang didasarkan atas keyakinan yang benar, dan niat yang tulus (tafsir Ibnu Jarir,22/120-121 dan ad-Durr al Mantsur,5/462-463).

 

Firman Allah Swt, ”Malaikat-malaikat dan Jibril naik (Ta’ruju) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al Ma’arij [70];4). 

Kaum Mujassimah, memahami makna ayat ini, para Malaikat itu naik keatas menemui Allah Swt yang sedang bertempat diatas!

Para malaikat bukan naik menuju Alah Swt. di atas,  tetapi Malaikat pergi ke tempat yang Allah siapkan untuk mereka yaitu langit, sebab langit adalah tempat kebaikan dan kemurahan Allah. Keterangan ini sesuai dengan tafsir yang dipilih oleh Imam al Qurthubi dalam tafsirnya,18/218.

 

Al Hafidz Ibnu Hajar menegaskan dalam Fathul Bari-nya: ”Al-Baihaqi berkata: Naiknya perkataan yang baik dan sedekah yang baik, adalah ungkapan lain dari diterimanya amal itu. Dan naiknya malaikat, adalah ke tempat-tempat mereka di langit.”.

 

Kaum Mujassimah mengandalkan ayat berikut ini, sebagai dalil yang ampuh, bahwa Allah bersemayam diatas, oleh karenanya, mengangkat Nabi Isa a.s. kepada-Nya, di atas langit! Allah berfirman,“Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan engkau kepada akhir ajalmu, dan mengangkat engkau kepada-Ku (Waraafi’uka ilaiya).. sampai  akhir ayat” (QS.Al-Imran[3];55).

 

Ini pemahaman yang salah. Sebagaimana kita ketahui dalam hadis, riwayat Imam Bukhari & Muslim tentang mikraj nabi Muhamad Saw. yang berjumpa  Nabi Isa a.s. di langit ke dua, dan para Nabi lainnya yang berada dilangit pertama, ketiga dan sebagainya. Dengan demikian, makna ayat diatas, ‘Kami (Allah) mengangkat Isa a.s. ke tempat (yang telah disediakan Allah untuknya), sehingga kamu (kaum yahudi yang hendak membunuh Isa itu) tidak dapat sampai kepadanya. Jadi, bukan berarti Allah mengangkat Isa a.s., ke tempat bersemayamNya. Bukan pula berarti, Isa a.s. sekarang sedang berada di sisi-Nya; duduk di samping-Nya, seperti yang di bayangkan kaum Mujassimah.  

 

Begitu pula halnya, dengan firman Allah, “Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami, dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (QS.Al-Furqan [25];46).

Firman: ‘kepada Kami ‘, sama sekali tidak dimaksud bahwa bayang-bayang itu pada malam hari ditarik Allah Swt. kepada tempat bersemayam-Nya. Imam Asy-Syaukani mengatakan, ”Dan makna ‘kepada Kami’, bahwa kesudahan nya kepada-Nya Swt. sebagaimana awal kejadiannya dari-Nya pula. (Fathul Qadir,4/ 80).

 

Kaum mujassimah, sering mengandalkan juga surah Al Mulk [67];17) , ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit ( مَنْ فِى السَّمَاءِbahwa Dia akan mengirimkan badai yang  berbatu..”. Mereka berkata, ini jelas bahwa Allah Swt. bersemayam dilangit!

Ayat ini, bukan berarti Allah bersemayam dilangit. Makna ayat di atas adalah; ‘apakah kamu merasa aman terhadap Zat Yang Maha Agung, Pemilik hal pengaturan/rububiyah dan kekuasaan, bahwa Dia akan mengirimkan badai batu yang membinasakan kamu’.

 

Ayat itu bisa juga yang dimaksud, adalah malaikat Jibril a.s. atau malaikat khusus yang dikirim Allah untuk menurunkan azab-Nya, sebab tempat para malaikat adalah di langit, seperti yang disebutkan dalam hadis Bukhari dan Muslim; 

”Para malaikat malam dan  malaikat siang, silih berganti di tengah-tengah kalian, mereka berkumpul pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar, kemudian mereka yang telah bermalam dengan kalian naik (kelangit), lalu Tuhan bertanya kepada mereka–padahal Dia Maha Mengetahui–,’Bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku? Maka mereka menjawab, ”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami datang, mereka dalam keadaan shalat.”

                        

Mengenai ayat-ayat yang menyebut ‘Man Fis Samai’ (  مَنْ فِى السَّمَاءِ ), Abu Hayan berkata: “Kalimat Zat yang berada di langit, adalah bentuk majaz/kiasan. Dan telah dipaparkan bukti, bahwa Allah Swt tidak berlokasi di arah/sudut tertentu. Penggunaan bentuk majazi ini, bahwa ke Maha-Rajaan-Nya berada di langit. Karena kalimat فِى السَّمَاءِ adalah shilah/penghubung dari kata: مَنْ, padanya terdapat kata ganti yang terkait dengan ‘amil di dalamnya, yaitu kata: استقرَّ.  

 

Makna ayat tersebut adalah: Zat Yang malakut/ke Maha-RajaanNya berada di langit. Disini adalah mudhaf yang sengaja tidak disebutkan. Memang ke Maha-Rajaan Allah itu dimana-mana, tetapi disebutnya langit secara khusus, oleh karena, ia adalah tempat tinggal para malaikat. 

 

Di sana (langit) juga ada Arsy, Kursi Allah, dan Lauh Mahfud. Dan dari sanalah ketetapan Allah, kitab-kitab suci-Nya, larangan dan perintah-Nya diturunkan. Atau mungkin penyebutan (Allah dilangit) itu, berdasar apa yang diyakini kaum Kafir, sebab mereka ini, adalah kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sehingga maknanya adalah: ‘Apakah kalian merasa aman dari Tuhan, yang kamu (orang kafir) anggap dan yakini berada di atas langit?’! Dan Dia adalah Zat yang Maha Tinggi, dari berada di sebuah tempat…”(Lebih lanjut,baca tafsir al Bahru al Muhith, 10/226).

 

Imam Nidzamuddin an-Nisaburi berkata, menjelaskan makna ayat yang menyebut Man Fis Samai, “Apakah kalian merasa aman terhadap Zat (yang kalian anggap berada) di langit?! Pendapat (yang dimaksud) sekelompok Ahli Tafsir , ‘Apakah kalian merasa aman dari Tuhan Yang ke Maha-Rajaan-Nya atau Sulthan-Nya atau Ke Maha-Perkasaan-Nya berada di langit?’.

 

Sebab kebiasaan telah berlaku, diturunkannya azab/siksa dari arah langit. Dan ada pendapat lain yang mengatakan, maksud kalimat: مَنْ فِى السَّمَاءِ (yang berada di langit) adalah malaikat Jibril.” (baca keterangan beliau dalam tafsir Gharaib Al-Quran [dicetak bersama tafsir at-Thabari, 29/9]).

 

Imam Nawawi ,yang sudah terkenal pribadi dan ilmunya, dalam syarah Muslim berkata: “Al-Qodi Iyadh berkata,Tidak ada perbedaan, diantara orang-orang islam semuanya, ahli fiqih, ahli hadis, ahli tauhid, ahli pikir, dan pengikut mereka, bahwa yang dapat diambil dari yang dhohir dalam penyebutan Allah Swt dilangit seperti firmanNya dalam surah Al-Mulk;16; ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) dilangit’ (atau) dan dalil lainnya, bukanlah atas dhohir (teks)nya, akan tetapi menurut mereka, adalah takwil. Yakni takwil secara global atau takwil secara terperinci”.  (Syarah Sahih Muslim 5/24).

 

Para ahli tafsir, seperti Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam Tafsir Ar-Rozi 30/99, Abu Hayan Al-Andalusi dalam Al-Bahru Muhith 10/226, Abu as-Suud dalam Tafsir Abi As-Suud 9/7, Al-Qurthubi dalam Al-Jami’u li Ahkamil Qur’an 18/215 dan lain-lain.

 

Al-Qurthubi menjelaskan (mengenai tafsir ayat al-mulk:16); Abdullah bin Abbas (sahabat Nabi Saw) berkata; “Apakah kamu merasa aman terhadap siksa Allah yang dilangit jika kamu bermaksiat kepadaNya. Kemudian dia berkata; ‘Dan dikatakan, adalah isyarat kepada para malaikat, ada yang mengatakan kepada Jibril dan dia adalah malaikat yang diserahi untuk siksa. Saya mengatakan, ada kemungkinan artinya adalah apakah kamu merasa aman terhadap pencipta yang dilangit untuk menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sebagaimana menjungkir balikkan bumi bersama Qarun”. Wallahua'lam.

Silahkan ikuti kajian berikutnya,