Membantah syubhat lafaz ‘Bihi’ dalam kalimat hadis tsaqalain
Membantah syubhat lafazh ‘Bihi’ dalam kalimat hadis tsaqalain
Diantara golongan pengingkar, yang mengingkari lafaz ‘bihi’, dalam kalimat hadis tsaqalain adalah Efendi, kemudian diikuti oleh para muqallidnya di forum -forum diskusi (baik yang berbahasa Arab atau Ingris). Syubhat ini, dilontarkan oleh orang yang menyebut dirinya Abul-Jauza’.
Dalam salah satu artikel yang di-ikuti dan disalin oleh para muqallidnya, sebuah hadis, “Telah menceritakan kepada kami Yahya, menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha, dari Zaid bin Arqam yang berkata, Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda, ‘Aku tinggalkan untk kalian, apabila kalian berpegang-teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat, Kitab Allah azza wa jalla dan itrahku ahlul baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepada Aku di Al-Haudh (Ma’rifat wal Tarikh Al-Fasawi 1/536)
Mereka mengatakan, lafazh ‘bihi’ (dengannya) pada ma in tamassaktum bihi (apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya), hanya merujuk pada Kitab Allah saja, karena kalau merujuk pada keduanya (kitab Allah dan ahlul bait) maka lafaz yang dipakai adalah ‘bihima’ (dengan keduanya).
Intinya, mereka mau menyimpangkan hadis tsaqalain, agar bermakna berpegang teguh kepada kitab Allah saja dan tanpa ahlul bait. Pendapat mereka ini, jelas berlawanan dengan pendapat para pakar hadis, yang menyebutkan hadis tsaqalain (dua bekal berat) berlaku untuk kedua-duanya, Kitabullah dan ithrah Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam .
Sesungguhnya kata bihi [dengannya] merujuk pada kata ‘maa’ [apa], yakni sesuatu yang harus dipegang teguh. Jadi “nya” disitu kembali pada sesuatu. Sesuatu ini, jumlahnya bisa berapa saja tergantung lafaz selanjutnya.
Dalam hadis tsaqalain jelas disebutkan, sesuatu yang harus dipegang teguh itu ada dua, Kitab Allah dan itrah ahlul bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Penggunaan lafaz seperti ini, adalah sesuatu yang dikenal dalam bahasa Arab, dan diriwayatkan oleh para pakar hadis. Mereka, yang mempermasalahkannya, hanya akan menunjukkan kelemahannya dalam berhujjah dan kurang memahami bahasa Arab.
Silahkan perhatikan hadis berikut ini:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayub, Qutaibah, dan Ibnu Hujr, semuanya dari Ismail bin Jakfar. Ibnu Ayub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail yang berkata, telah mengabarkan kepadaku Al-Alaa’ dari ayahnya dari Abu Hurairah, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, ‘Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan dengannya Allah mengangkat derajat’? Mereka berkata, ‘Tentu wahai Rasulallah’. Beliau shalllahu'alaihiwasallam bersabda, ‘Menyempurnakan wudu di saat kesukaran, banyak berjalan menuju masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat, itulah ribath’. (HR. Muslim 1/219 no. 251)
Perhatikan, dalam hadis diatas disebutkan, “ma yamhullahu bihi khathaya” dan “wa yarfa’u bihi darajat”. Lafazh ‘bihi’ ini, kembali pada “ma” atau sesuatu yang disifati oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, dengannya bisa menghapus kesalahan dan mengangkat derajat. Sesuatu itu, ternyata tidak tunggal atau satu, melainkan ada tiga hal yaitu,
1.Menyempurnakan wudu’ saat keadaan sukar
2.Banyak berjalan menuju masjid
3.Menunggu shalat berikutnya setelah shalat.
Tiga hal inilah yang dimaksud oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan lafaz bihi. Lafazh ini, berlaku untuk ketiga hal itu. Karenanya itu, Allah Ta'aala akan menghapus kesalahan dan mengangkat derajat. Hadis Sahih Muslim di atas, jelas membantah syubhat Wahabi/Salafi dalam mendistorsi hadis tsaqalain.
Penggunaan lafaz ‘bihi’ seperti dalam hadis tsaqalain, banyak ditemukan dalam Al-Quran, yaitu merujuk pada sesuatu yang ternyata sesuatu itu adalah objek yang jamak, sehingga yang dimaksud ‘nya’ itu berlaku pada masing-masing objek yang disebutkan. Firman Allah Ta'aala:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ َيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Katakanlah [hai orang-orang mukmin], kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya`.
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguh-nya mereka berada dalam permusuhan [dengan kamu]. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al- Baqarah [2]: 136-137)
Perhatikan lafaz “ma amantum bihi” (apa yang kamu telah beriman kepada- nya). Lafaz ‘bihi’ kembali pada kata “ma” dimana dalam ayat sebelumnya apa yang di-imani itu adalah, beriman kepada Allah Ta'aala, beriman kepada apa yang di turunkan kepada kami dan beriman kepada apa yang diturunkan pada Nabi-Nabi sebelum kami.
Firman Allah Ta'aala,
وَلاَ تَتَّخِذُوَاْ آيَاتِ اللّهِ هُزُواً وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa yang telah Allah turunkan kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dengannya [apa yang di turun kan kepada kamu]. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Perhatikan lafaz ‘ya’izhukum bihi’ yaitu ‘memberikan pengajaran kepadamu dengannya’. Lafaz ‘bihi’ atau ‘dengannya’ itu merujuk pada ‘ma anzala ‘alaikum’ yaitu apa yang diturunkan Allah Ta'aala kepadamu dan disebutkan bahwa itu adalah Al-Kitab dan Al-Hikmah.
Masih ada contoh lain, tetapi keterangan di atas cukup sebagai hujjah bagi mereka yang tunduk kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta'aala dan Rasul-Nya. Sangat mengherankan, jika seorang yang punya ilmu seperti Efendi dan Abul-Jauza’ berhujjah dengan cara seperti itu. Jika kurang memahami masalah ini, sebaiknya memperdalam. Namun, jika berpura-pura bodoh, itu akan sangat berbahaya karena telah sengaja memelintir hadis Nabi shalllahu 'alaihiwasallam dan membodohi orang lain (setidaknya dikalangan pengikut- nya).
Wallahua’lam.
Silahkan ikuti kajian berikutnya
Maak jouw eigen website met JouwWeb