Qurban Binatang Waktu Idul Adha
Qurban binatang ternak waktu Idul Adha
Kata qurban menurut etimologi berasal dari bahasa Arab qariba–yaqrabu–qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat (kamus Ibn Manzhur: 1992:1:662; Munawir 1984: 1185).
Maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. Sedangkan kata qurban yang digunakan bahasa sehari-hari, dalam istilah agama di sebut ‘udhhiyah’ bentuk jamak dari kata ‘dhahiyyah’ yang berasal dari kata ‘dhaha’ (waktu dhuha).
Maksudnya, sembelihan di waktu dhuha pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 bulan Dzulhijjah, yang disebut juga Idul Adha.
Dapat dipahami yang dimaksud dari kata qurban atau udhhiyah dalam pengertian syara, ialah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah kepada Allah Swt. pada hari raya Haji atau Idul Adha dan tiga hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.
Qurban juga berarti menghilangkan sikap egoisme, nafsu serakah dan sifat individual dalam diri seorang muslim. Dengan berqurban, diharapkan seseorang akan memaknai hidupnya untuk mencapai ridha Allah Swt. semata. Dia qurbankan segalanya (jiwa, harta, dan keluarga) hanya untuk-Nya. Oleh karena itu, pada hakikatnya yang diterima Allah Swt.dari ibadah qurban itu bukan lah daging atau darah hewan yang diqurbankan, melainkan ke takwaan dan ketulusan dari orang yang berqurban, itulah yang sampai kepada-Nya.
Seorang ulama di Indonesia yang berfatwa, bahwa qurban satu kambing untuk satu keluarganya dan tidak boleh satu keluarga qurban sendiri-sendiri, karena pahalanya satu kambing cukup untuk satu keluarganya! Dalil hadisnya, “Rasulallah Saw menyembelih satu hewan sambil berdoa, ‘Ya Allah, terimalah qurbanku ini untukku dan umatku.’”
Setiap tahun video ulama ini disebarkan sehingga membingungkan masyarakat islam indonesia yang akan qurban sendiri-sendiri dalam satu keluarga! Memang benar qurban satu kambing bisa diniatkan pahalanya untuk beberapa orang baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, tetapi bukan berarti di larang satu keluarga ingin qurban sendiri-sendiri! Suatu hadis adakalanya dapat langsung dipahami secara tekstual. Tetapi adakalanya pemahaman sebuah hadis tertunda karena menuntut analisa dan kajian lebih mendalam, tidak sekadar tekstual.
Doa Nabi dalam hadis di atas, yaitu ketika beliau melaksanakan qurban, tidak boleh di pahami bahwa qurban dengan satu domba cukup untuk keluarga dan untuk semua umat Nabi!. Penyebutan itu, hanya dalam rangka menyertakan dan memperoleh pahala dari qurban tersebut. Apabila dipahami bahwa berqurban dengan satu kambing cukup untuk satu keluarga dan seluruh umat Nabi Muhamad, maka tidak ada lagi orang yang berqurban!.
Dengan demikian, pemahaman bahwa satu domba bisa untuk berqurban satu keluarga dan seluruh umat, harus diluruskan dan dibetulkan sesuai dengan ketentuan dalam hadis yaitu, satu domba untuk satu orang, sedangkan onta, sapi, dan kerbau boleh untuk satu orang atau untuk tujuh orang. Sebagaimana akan dijelaskan pada kajian berikutnya.
Qurban binatang ada dua macam secara singkat yaitu qurban sunnah dan qurban wajib (nazar). Qurban sunnah ditekankan untuk orang yang mampu membeli kambing qurban dan daging qurban tersebut boleh juga sebagian untuk dirinya sendiri, tetapi lebih sempurna kalau semuanya dibagikan kepada fakir miskin. Sedangkan qurban wajib yaitu qurban yang di niatkan (nazar) maka dagingnya tidak boleh untuk dirinya harus dibagikan semuanya.
Ibadah qurban hukumnya adalah sunnah muakkad atau sunnah yang ditekankan. Nabi Muhamad Saw. tidak pernah meninggalkan ibadah qurban sejak disyariatkannya sampai beliau wafat. Ketentuan qurban sebagai sunnah muakkad dikuatkan oleh imam Malik dan imam asy-Syafi’i. Sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa ibadah qurban hukumnya wajib bagi penduduk yang mampu dan tidak dalam keadaan safar/bepergian.(Ibnu Rusyd al-Hafid 1:314). Ikutilah kajian berikut ini.
Keutamaan Qurban.
Berikut ini, kami nukil beberapa hadis Nabi Saw.:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِأَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
"Aisyah r.a menuturkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, 'Tidak ada suatu amalan yang di kerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.'” (Hadis Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117).
Menurut Zain al-Arab, ‘Ibadah yang paling utama pada hari raya Idul Adha adalah menyembelih hewan untuk qurban karena Allah. Sebab pada hari kiamat nanti, hewan itu akan mendatangi orang yang menyembelihnya dalam keadaan utuh seperti di dunia, setiap anggotanya tidak ada yang kurang sedikit pun dan semuanya akan menjadi nilai pahala baginya. Kemudian hewan itu digambarkan secara metaphoris akan menjadi kendaraanya untuk berjalan melewati shirath. Demikian ini merupakan balasan dan bukti keridhaan Allah kepada orang yang melakukan ibadah qurban tersebut.’ (Abul Ala al-Mubarakfuri: tt: V/62).
**Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah Saw.bersabda, “Siapa yang memiliki kemampuan untuk berqurban, tetapi ia tidak mau berqurban, maka jangan lah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Masih banyak sabda Nabi yang menjelaskan tentang keutamaan berqurban. Bahkan pada hadis terakhir, disebutkan bahwa orang yang sudah mampu berqurban, tetapi tidak mau melaksanakannya, maka ia dilarang mendekati tempat shalat Rasulullah Saw. atau tempat (majelis) kebaikan lainya.
Hakikat Qurban
Dalam dimensi vertikal adalah bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. supaya mendapatkan keridhaan-Nya. Sedangkan dalam dimensi sosial, qurban bertujuan untuk menggembirakan kaum fakir pada hari raya Adha, sebagaimana pada hari raya Fitri mereka digembirakan dengan zakat fitrah. Karena itu, daging qurban hendaklah diberikan kepada mereka yang membutuhkan, boleh menyisakan secukupnya untuk dikonsumsi keluarga yang berqurban, dengan tetap mengutamakan kaum fakir dan miskin.
Allah Swt. berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُواالْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. al-Hajj, [22] :28) Dengan demikian qurban merupakan salah satu ibadah yang dapat menjalin hubungan vertikal dan horizontal.
Kriteria Hewan
Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama dari jenis-jenis hewan tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama adalah kambing atau domba, kemudian sapi, lalu unta. Sedangkan Imam al-Syafi’i berpendapat sebaliknya, yaitu yang paling utama adalah unta, disusul kemudian sapi, lalu kambing (Ibn Rusyd I:315). Agar ibadah qurbannya sah menurut syariat, seorang yang hendak berqurban harus memperhatikan kriteria-kriteria dari hewan yang akan disembelihnya.
Kriteria-kriteria tersebut diklasifisikasikan sesuai dengan usia dan jenis hewan qurban, yaitu:
a. Domba (dha’n) harus mencapai usia satu tahun, atau sudah berganti giginya (al-jadza’). Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sembelilh lah domba yang jadza’, karena itu diperbolehkan.’ (Hadis Shahih, riwayat Ibn Majah: 3130 Ahmad: 25826)
b. Kambing kacang (ma’z) harus mencapai usia satu tahun penuh, masuk ke usia 2 tahun.
c. Sapi dan kerbau harus mencapai usia dua tahun penuh masuk keusia 3 tahun. d. Unta harus mencapai usia lima tahun penuh, masuk ke usia 6 tahun. Selain kriteria ini, hewan-hewan tersebut harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat.
Sebagaimana sabda Rasulallah Saw yang diriwayatkan dari al-Barra bin Azib r.a:
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُبَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى
“Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan qurban, “(1) yang (matanya) jelas-jelas buta (picek), (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya) jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.” (Hadis Hasan Shahih, riwayat al-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420)
Akan tetapi, ada beberapa cacat hewan yang tidak menghalangi sahnya ibadah qurban, yaitu; Hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya, (makruh hukumnya,pen.). Adapun cacat hewan yang putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk dijadikan qurban. (Dr. Musthafa, Dib al-Bigha: 1978:243). Hal ini, dikarenakan cacat yang pertama, tidak mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat bathin), sedangkan cacat yang kedua mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat fisik).
Ketentuan jumlah Qurban
Berqurban dengan seekor kambing atau domba diperuntukkan untuk satu orang, sedangkan unta, sapi atau kerbau dibolehkan untuk berqurban tujuh orang. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari hadis berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
"Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, 'Kami telah menyembelih qurban bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan satu ekor sapi juga untuk tujuh orang.'” (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123).
Hadis selanjutnya menjelaskan tentang berqurban dengan seekor domba yang dilakukan oleh Rasulullah Saw;
"Dari Aisyah r.a, menginformasikan, sesungguhnya Rasulallah Saw. menyuruh untuk mendatangkan satu ekor domba (kibas) yang bertanduk. Kemudian domba itu didatangkan kepadanya untuk melaksanakan qurban.
Beliau berkata kepada Aisyah, ‘Wahai Aisyah, ambilkan untukku pisau (golok)’. Nabi selanjutnya memerintahkan Aisyah, ‘Asahlah golok itu pada batu (asah)’, Aisyah kemudian melakukan sebagaimana yang di perintahkan Rasulallah.
Kemudian Nabi mengambil golok itu dan mengambil domba (kibas), kemudian membaringkannya, dan menyembelihnya sambil berdoa, ‘Dengan nama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhamad dan keluarga Muhamad dan dari umat Muhamad, kemudian di sembelihnya’”. (Hadis Shahih Riwayat Muslim 1967).
Doa Nabi dalam hadis di atas ,yaitu ketika beliau melaksanakan qurban, tidak boleh di pahami bahwa qurban dengan satu domba cukup untuk keluarga dan untuk semua umat Nabi!. Penyebutan itu hanya dalam rangka menyertakan pahala dari qurban tersebut.
Bagaimana memahami qurban hanya untuk satu orang tetapi pahalanya boleh untuk berapa orang?
** Syeikh Sulaiman Al-Bujairimi menyelesaikan pernyataan yang tampak kontradiksi ini. Keterangan beliau mengenai hal ini sebagai berikut; “(Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]).
Kalau anda bertanya, ‘Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala qurbannya, maka boleh)’, kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua.
Karena, frasa (gabungan dua kata) ‘untuk satu orang’ disini maksudnya adalah, hakikat qurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah qurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan, perihal pahala dan qurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berqurban,” (Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427 -1428 H, juz 4, hal. 333)
** Argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari mazhab Maliki menjelaskan; “Memang pada dasarnya ibadah qurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama sepakat dalam menolak persekutuan qurban beberapa orang atas seekor kambing. Mengapa kami katakan ‘pada dasarnya ibadah qurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang?'
Pasalnya, perintah qurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per-orang). Ketika orang bersekutu atas seekor hewan qurban, maka sebutan ‘orang berqurban’ tidak ada pada mereka. Lain halnya, kalau ada dalil syara’ yang menunjukkan itu,” (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 396).
Apakah Sah berkurban untuk kedua orang tua yg telah wafat?
Jawaban singkatnya, Sah jika ada wasiat dari almarhum.
Wasiat ini merupakan adanya izin dari orang yang telah wafat. Dalilnya berdasarkan kurban yang di lalukan oleh sayidina Ali ra. atas dasar perintah nabi Mmuhammad Saw. .
اَنٌَهُ كَانَ يُضَحٌِى بِكَبشَينِ اَحَدُهٌمَاعَنِ.النٌَبِي.صلى الله عليه وسلم وَالاَخَرُ عَن نَفسِهِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي بِهِ يَعنِي النٌَبِي صلى الله عليه وسلم فَلاَ اَدَعُهُ اَبَداً
"Sesungguhnya Ali ra. berkurban dua kambing domba satu untuk nabi Saw dan satunya lagi untuk dirinya. Kemuduan beliau di tanya akan perbuatannya itu. (Ali ra) menjawab : Nabi Saw. memerintah Aku untuk melakukannya dan aku tidak akan meninggalkan selamanya. ( HR. At Turmudzi ).
Jika tidak ada wasiat, maka ada dua pendapat;
Menurut pendapat yang kuat, hukumnya tidak Sah,karena tidak adanya izin dari almarhum. Dengan demikian kurban tersebut tidak bisa di statuskan sebagai kurban dari almarhum. Tetapi bila qurban untuk dirinya sendiri dan pahala qurban diniatkan untuk kedua orang tuanya yang telah wafat, para ulama ahli sunnah sepakat menyatakan Sah.
Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas qurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara qurban dan pahala!
Waktu Pelaksanaan Qurban
Waktu menyembelih qurban dimulai setelah matahari setinggi tombak atau seusai shalat Idul Adha (10 Dzulhijjah) sampai terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Sedangkan, distribusi (pembagian) daging qurban dibagi menjadi tiga bagian dan tidak mesti harus sama rata.
1). untuk fakir miskin, (2) untuk dihadiahkan dan (3) untuk dirinya sendiri dan keluarga secukupnya. Dengan catatan, porsi untuk dihadiahkan dan untuk dikonsumsi sendiri tidak lebih dari sepertiga daging qurban. Meskipun demikian memperbanyak pemberian kepada fakir miskin lebih utama. (Dhib al-Bigha:1978:245).
Penting: Perlu diperhatikan buat kita semua terutama panitia penyembelihan binatang qurban! Demi ikhtiar keabsahan dan keberkahan ibadah qurban, perlu memperhatikan tuntunan fiqih berikut ini;
1). Niat, yang merupakan inti ibadah. Agar dapat dibedakan antara qurban sunnah dan qurban wajib, karena keduanya memiliki kedudukan dan konsekuensi hukum berbeda.
Disebutkan dalam kitab I’anah at-Thalibin, jilid 2 halaman 376; “Disyaratkan niat ketika menyembelih atau sebelumnya yakni, ketika menentukan hewan yang akan dijadikan qurban. Sudah maklum bahwa tempatnya niat adalah dihati dan sunnah juga dilafazkan dalam lisan.
Orang yang berqurban sunnah berniat, ‘Nawaitul udhiyatal masnunah’ (Saya niat berqurban sunnah), atau ‘Nawaitu adaa-a sunnatit tadhiyah’ (Saya niat menunaikan qurban sunnah). Jika ia tidak menyebutkan kata ‘sunnah’, misal kan hanya mengatakan, “Saya niat berqurban”, maka qurbannya menjadi wajib, sehingga diharamkan atasnya untuk memakan bagian dari hewan qurban itu (baik daging, kulit dan lainnya, penj).”
Niat qurban Wajib/ Nazar, lafadnya: نَوَيتُ التٌَضحِيٌَةَ بِهَذِهِ فَرضًا لِلَه تَعَلَى (Nawaitu tadhhiyah bi hazihi fardhon lillahi ta'ala)
Artinya; 'Saya niat berkorban dengan hewan korban ini sebagai suatu kewajiban atas diri saya ,saya laksanakan semata mata karena Allah SWT. )'
2). Panitia harus memilah qurban yang wajib dan sunnah, sehingga qurban wajib atau nazar tidak diberikan kembali kepada pihak yang berqurban, orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya dan juga panitia sendiri.
Disebutkan dalam kitab al-Bajuri, jilid 2, hal. 300; “Pihak yang berqurban tidak boleh memakan sedikit pun dari qurban yang di nazarkan. Yakni, ia tidak boleh memakannya, bila memakannya sedikit saja maka wajib menggantinya. Selain pihak yang qurban (mudhahhi) berlaku pula untuk orang yang wajib ditanggung nafkahnya.”
Dalam kitab Kifayatul Akhyar jilid 2 hal.241 disebutkan, “Pihak yang berqurban tidak boleh memakan sedikitpun dari qurban yang dinazarkan dan boleh memakannya jika merupakan qurban sunnah.
”Dalam kitab I’anah at-Thalibin, jilid 2 hal. 333; “(Haram memakan…dan seterusnya) sampai ungkapan, ‘maka wajib atas pihak yang korban mensedekahkan seluruh qurbannya hingga tanduk dan kakinya.’”
Apabila pemilahan antara qurban sunnah dan nazar/wajib menemui kesulitan, maka di anggap cukup dengan cara memisahkan daging seukuran qurban nazar /wajib dari daging yang ada, kemudian mensedekahkan sisanya kepada selain yang bernazar/berqurban wajib dan orang-orang yang wajib ditanggung nafkah -nya.
“Imam Nawawi berfatwa ,sebagaimana Imam Ibnu Shalah, tentang seseorang yang ghashab (mengambil hak orang lain) umpama uang (dinar/ dirham) atau biji gandum dan mencampurkannya dengan harta miliknya serta tidak dapat membedakannya, maka baginya boleh memisahkan seukuran barang yang di ghashabnya dan halal baginya mentasarufkan (menggunakan) sisanya.” (fathul Mu’in jilid 1, hal. 127)
3). Penyerahan uang seharga hewan ternak oleh pihak yang berkorban kepada panitia.
Panitia Qurban, adalah sekelompok orang tertentu yang pada umumnya di persiapkan oleh suatu organisasi (ta’mir masjid, mushalla, instansi dan lain-lain) guna menerima kepercayaan (amanat) atau perwakilan (wakalah) dari pihak pequrban (mudlahhi) agar di belikan ternak yang layak untuk qurban dan melaksanakan penyembelihan hewan qurban serta membagikan dagingnya. Dengan demikian, panitia tersebut dalam pandangan fiqih adalah wakil dari pihak mudlahhi!
Dalam hal ini, menurut pandangan ulama dibolehkan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anah al-Thalibin jilid 2 hal.335, berikut ini;
“Dalam kitab Fatawa Syekh Sulaiman al-Kurdi Muhasyyi Syarah Ibnu Hajar ‘ala al-Mukhtashar terdapat suatu pertanyaan. Ditanyakan kepada beliau, “Telah berlaku kebiasaan penduduk Jawa mewakilkan kepada seseorang agar membelikan ternak untuk mereka di Mekkah sebagai aqiqah atau qurban dan agar menyembelihnya di Mekkah, sementara orang yang di aqiqahi atau pihak yang qurbani berada di Jawa.
Apakah hal demikian itu sah atau tidak? Mohon diberikan fatwa jawabannya. (Dijawab), “Ya, demikian itu Sah. Diperbolehkan mewakilkan dalam pembelian hewan qurban dan aqiqah juga penyembelihannya, walaupun tidak di laksanakan di negara orang yang berqurban atau beraqiqah tersebut.”
Penting! Perlu diperhatikan, ketika penyerahan dari pihak pequrban kepada panitia berupa uang, maka panitia wajib menentukan/meniatkan ternak yang telah dibelinya dengan mengatasnamakan orang yang telah memberi kuasa kepadanya. (Al-Bajuri, juz 2, hal. 296).
Sementara bila seseorang hanya berqurban dengan nilai uang,bukan qurban hewan, maka hukumnya tidak boleh. Hal ini, dijelaskan dalam kitab Riyadhul Badi’ah, hal. 8 dan kitab Muhibbah jilid 4 hal.682; “Qurban tidak sah kecuali dengan binatang ternak yaitu, onta, sapi/kerbau dan kambing.
Karena qurban itu terkait dengan binatang, maka dikhususkan dengan ternak sama halnya seperti zakat, sehingga tidak sah selain dengan binatang ternak.”
”Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri jilid 1 hal. 386 disebutkan; “Wakalah menurut syara’ adalah, penyerahan oleh seseorang tentang sesuatu, yang boleh dia kerjakan sendiri dari urusan-urusan yang bisa digantikan (pihak lain) kepada pihak lain agar dikerjakannya diwaktu pihak pertama masih hidup.”
Dalam kitab Hasyiyah Jamal jilid 3, hal.416; “Wakil adalah pengemban amanah, karena ia sebagai pengganti muwakkil (yang mewakilkan) dalam kekuasaan dan tasharruf (menggunakannya), jadi kekuasannya seperti kekuasaan pihak muwakkil.”
Penyerahan hewan qurban kepada panitia (wakil) haruslah melalui pernyataan yang jelas dalam hal status qurbannya (sunah/wajib), maupun urusan yang di serahkannya, (untuk menyembelih saja atau juga membagikan dagingnya) pada pihak ketiga. Oleh karenanya, harus ada pernyataan mewakilkan (menyerah-kan) dari pihak pequrban (mudlahhi) dan penerimaan oleh pihak panitia, kemudian diserah-terimakan hewan qurbannya.
Tugas pokok panitia adalah, menyembelih dan membagikan dagingnya kepada pihak yang berhak sesuai dengan pernyataan pihak pequrban saat penyerahan hewan qurban dan pihak wakil/panitia. Sedikipun tidak diperkenankan melanggar amanah ini sebagaimana keterangan di atas.
Dalam kitab Muhadzdzab jild.1 hal.350 disebutkan; “Tidak berkuasa seorang wakil dari urusan tasharruf (penggunaannya) melainkan sebatas izin yang di dapat dari muwakkil melalui jalan ucapan atau adat yang berlaku.”
Dalam kitab Al-Bajuri jilid 1 hal. 296 disebutkan; “Rukun wakalah ada empat : (1) Muwakkil (2) Wakil (3) Muwakkal fih dan (4) shighat. Pernyataan dari salah satu pihak dan tidak ada penolakan dari pihak yang lain, maka sudah mencukupi dalam shighat ini. Misalnya, muwakkil mengatakan, ‘Aku wakilkan padamu hal demikian-demikian (disebutkan obyeknya), atau aku menyerahkan urusan ini padamu.’ (Hal itu sah), meski dengan cara penulisan atau surat.”
Qurban adalah ibadah, memerlukan niat baik oleh pihak pequrban sendiri maupun di serahkannya kepada wakilnya, kecuali qurban nazar maka tidak ada syarat niat. Sebagaimana diejlaskan dalam kitab Al-Bajuri jilid 2 hal. 296 di sebutkan; “Tidak disyaratkan niat dalam qurban yang telah ditentukan sejak permulaan dengan jalan nazar.
Beda halnya dengan qurban sunah dan qurban wajib dengan jalan ja’li (menjadikan) atau ta’yin (menentukan) dari apa yang dalam tanggungannya, maka disyaratkan niat ketika menyembelih atau menentukan hewan qurban-nya, sebagaimana niat dalam ibadah zakat. Boleh juga niat diserahkan kepada seorang muslim yang sudah tamyiz/dewasa, sekali pun ia tidak dijadikan wakil untuk menyembelih.”
4). Panitia mengambil/memakan dari bagian daging qurban. Sesuai dengan amanat yang di terimanya dari pihak pequrban,yaitu menyembelih dan membagikan dagingnya, maka panitia tidak diperbolehkan mengambil atau memakan sedikitpun daripadanya. Agar panitia bisa mengambil sebagian daging qurban (qurban sunnah), harus ada izin dari pihak mudlahhi untuk mengambilnya dalam batas ukuran tertentu.
Dalam kitab Al-Bajuri jilid 1 hal. 387 di sebutkan; “Tidak boleh bagi wakil (panitia) mengambil sedikitpun, kecuali pihak yang mewakilkan (muwakkil) sudah menentukan sebagian (batas tertentu) dari padanya, untuk pihak wakil.”
5). Tentang biaya perawatan dan penyembelihan. Agar tidak terjadi penjualan kulit binatang qurban ,baik oleh panitia, orang yang berqurban atau penerima (mustahiq) kaya, misalnya, dengan alasan biaya operasional atau biaya perawatan dan penyembelihan qurban.
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan, para ulama seluruhnya sepakat untuk mengharamkan menjual daging dan kulit hewan qurban. Dalilnya adalah, sabda nabi Saw; ‘Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak memperoleh qurban apapun.’ (HR Hakim). Al-Hakim menshahihkan hadis ini dalam kitab Al-Mauhibah jilid 4 halaman 697.
Haramnya menjual kulit hewan qurban ini telah ditetapkan pula oleh Keputusan Muktamar ke-27 Nahdhatul-Ulama di Situbondo pada tanggal 8-21 Desember 1984,sebagai berikut: “Menjual kulit hewan qurban tidak boleh kecuali oleh mustahiqnya (yang berhak atas kulit-kulit itu) yang fakir/miskin. Sedangkan mustahiq yang kaya, menurut pendapat yang mu’tamad tidak boleh.” (lihat: Ahkamul Fuqaha, halaman 401).
Sebagian ulama mazhab As-Syafi’i membolehkan orang miskin menjual daging hewan qurban yang telah diterimanya. Sedangkan, pihak yang memiliki hewan atau orang yang menerima sebagai sedekah, diharamkan menjualnya. Untuk keabsahan qurban, kulit qurban diberikan kepada penerima yang fakir/miskin bukan yang kaya, tidak oleh pequrban atau panitia (wakil) yang menjual kulit secara sepihak. Tidak dibolehkan untuk pengupahan tukang potong hewan (jagal) diambilkan dari bagian qurban, baik daging maupun kulitnya.
Dari sayidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu‘anhu; “Aku (Ali bin Abi Thalib) pernah diperintah Nabi Saw. untuk mengurusi penyembelihan ontanya, dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Aku tidak boleh memberikannya kepada jagal (penyembelih) barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam redaksi lainnya, sayidina Ali berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin, Jilid 2, hal. 222 mengatakan, “Ia (orang yang berqurban, penj) tidak boleh memberikan kepada tukang sembelih dari daging qurban dan hadyu (hewan yang disembelih di tanah suci, penj), sebagai ongkos penyembelihan. Namun, biaya penyembelihan di bebankan kepada orang yang berqurban, seperti ongkos panen. Dibolehkan bagi orang yang berqurban untuk memberi tukang sembelih itu dari qurban dan hadyu, karena kefakiran tukang sembelih itu, atau memberi tukang sembelih itu makan, jika tukang sembelih itu orang yang kaya.”
Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas qurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara qurban dan pahala. Wallahu'alam
Silahkan ikuti kajian berikutnya
Maak jouw eigen website met JouwWeb