Sekelumit Macam-Macam Makalah
Keutamaan Qurban
Berikut ini, kami nukil beberapa hadis Nabi shalllahu'alaihiwasallam:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِأَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
"Aisyah r.a menuturkan bahwa Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, 'Tidak ada suatu amalan yang di kerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.'” (Hadis Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117).
Menurut Zain al-Arab, ‘Ibadah yang paling utama pada hari raya Idul Adha adalah menyembelih hewan untuk qurban karena Allah Ta'aala. Sebab pada hari kiamat nanti, hewan itu akan mendatangi orang yang menyembelihnya dalam keadaan utuh seperti di dunia, setiap anggotanya tidak ada yang kurang sedikit pun dan semuanya akan menjadi nilai pahala baginya. Kemudian hewan itu digambarkan secara metaphoris akan menjadi kendaraanya untuk berjalan melewati shirath. Demikian ini merupakan balasan dan bukti keridhaan Allah kepada orang yang melakukan ibadah qurban tersebut.’ (Abul Ala al-Mubarak- furi: tt: V/62).
**Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a , Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Siapa yang memiliki kemampuan untuk berqurban, tetapi ia tidak mau berqurban, maka jangan lah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Masih banyak sabda Nabi yang menjelaskan tentang keutamaan berqurban. Bahkan pada hadis terakhir, disebutkan bahwa orang yang sudah mampu berqurban, tetapi tidak mau melaksanakannya, maka ia dilarang mendekati tempat shalat Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam atau tempat (majelis) kebaikan lainya. Wallahu'allam
Hakikat Qurban
Dalam dimensi vertikal adalah bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Jallaajalaaluh supaya mendapatkan keridhaan-Nya. Sedangkan dalam dimensi sosial, qurban bertujuan untuk menggembirakan kaum fakir pada hari raya Adha, sebagaimana pada hari raya Fitri mereka digembirakan dengan zakat fitrah. Karena itu, daging qurban hendaklah diberikan kepada mereka yang membutuhkan, boleh menyisakan secukupnya untuk dikonsumsi keluarga yang berqurban, dengan tetap mengutamakan kaum fakir dan miskin.
Allah Jallaajalaaluh berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُواالْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. al-Hajj, [22] :28) Dengan demikian qurban merupakan salah satu ibadah yang dapat menjalin hubungan vertikal dan horizontal. Wallahu'alam
Kriteria Hewan
Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama dari jenis-jenis hewan tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama adalah kambing atau domba, kemudian sapi, lalu unta. Sedangkan Imam al-Syafi’i berpendapat sebaliknya, yaitu yang paling utama adalah unta, disusul kemudian sapi, lalu kambing (Ibn Rusyd I:315). Agar ibadah qurbannya sah menurut syariat, seorang yang hendak berqurban harus memperhatikan kriteria-kriteria dari hewan yang akan disembelihnya.
Kriteria-kriteria tersebut diklasifisikasikan sesuai dengan usia dan jenis hewan qurban, yaitu:
a. Domba (dha’n) harus mencapai usia satu tahun, atau sudah berganti giginya (al-jadza’). Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sembelilh lah domba yang jadza’, karena itu diperbolehkan.’ (Hadis Shahih, riwayat Ibn Majah: 3130 Ahmad: 25826)
b. Kambing kacang (ma’z) harus mencapai usia satu tahun penuh, masuk ke usia 2 tahun.
c. Sapi dan kerbau harus mencapai usia dua tahun penuh masuk keusia 3 tahun.
d. Unta harus mencapai usia lima tahun penuh, masuk ke usia 6 tahun. Selain kriteria ini, hewan-hewan tersebut harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat.
Sebagaimana sabda Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam yang diriwayatkan dari al-Barra bin Azib r.a:
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُبَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى
“Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan qurban, “(1) yang (matanya) jelas-jelas buta (picek), (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya) jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.” (Hadis Hasan Shahih, riwayat al-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420)
Akan tetapi, ada beberapa cacat hewan yang tidak menghalangi sahnya ibadah qurban, yaitu; Hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya, (makruh hukumnya,pen.). Adapun cacat hewan yang putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk dijadikan qurban. (Dr. Musthafa, Dib al-Bigha: 1978:243). Hal ini, dikarenakan cacat yang pertama, tidak mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat bathin), sedangkan cacat yang kedua mengakibatkan daging- nya berkurang (cacat fisik). Wallahu'alam
Ketentuan jumlah Qurban
Berqurban dengan seekor kambing atau domba diperuntukkan untuk satu orang, sedangkan unta, sapi atau kerbau dibolehkan untuk berqurban tujuh orang. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari hadis berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
"Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, 'Kami telah menyembelih qurban bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan satu ekor sapi juga untuk tujuh orang.'” (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123).
Hadis selanjutnya menjelaskan tentang berqurban dengan seekor domba yang dilakukan oleh Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam;
"Dari Aisyah r.a, menginformasikan, sesungguhnya Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam menyuruh untuk mendatangkan satu ekor domba (kibas) yang bertanduk. Kemudian domba itu didatangkan kepadanya untuk melaksanakan qurban.
Beliau shalllahu'alaihiwasallam berkata kepada Aisyah, ‘Wahai Aisyah, ambilkan untukku pisau (golok)’. Nabi selanjutnya memerintahkan Aisyah, ‘Asahlah golok itu pada batu (asah)’, Aisyah kemudian melakukan sebagaimana yang di perintahkan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.
Kemudian Nabi shalllahu'alaihiwasallam mengambil golok itu dan mengambil domba (kibas), kemudian membaringkannya, dan menyembelihnya sambil berdoa, ‘Dengan nama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhamad dan keluarga Muhamad dan dari umat Muhamad, kemudian di sembelihnya’”. (Hadis Shahih Riwayat Muslim 1967).
Doa Nabi dalam hadis di atas ,yaitu ketika beliau melaksanakan qurban, tidak boleh di pahami bahwa qurban dengan satu domba cukup untuk keluarga dan semua umat Nabi! Penyebutan itu hanya dalam rangka menyertakan pahala dari qurban tersebut. Wallahu'alam
Bagaimana memahami qurban hanya untuk satu orang tetapi pahalanya boleh untuk berapa orang?
Syeikh Sulaiman Al-Bujairimi menyelesaikan pernyataan yang tampak kontradiksi ini. Keterangan beliau mengenai hal ini sebagai berikut; “(Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]).
Kalau anda bertanya, ‘Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala qurbannya, maka boleh)’, kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua.
Karena, frasa (gabungan dua kata) ‘untuk satu orang’ disini maksudnya adalah, hakikat qurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah qurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan, perihal pahala dan qurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berqurban,” (Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427 -1428 H, juz 4, hal. 333)
** Argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari mazhab Maliki menjelaskan; “Memang pada dasarnya ibadah qurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama sepakat dalam menolak persekutuan qurban beberapa orang atas seekor kambing. Mengapa kami katakan ‘pada dasarnya ibadah qurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang?'
Pasalnya, perintah qurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per-orang). Ketika orang bersekutu atas seekor hewan qurban, maka sebutan ‘orang berqurban’ tidak ada pada mereka. Lain halnya, kalau ada dalil syara’ yang menunjukkan itu,” (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 396). Wallahua'lam
Apakah Sah berkurban untuk kedua orang tua yg telah wafat?
Jawaban singkatnya, Sah jika ada wasiat dari almarhum.
Wasiat ini merupakan adanya izin dari orang yang telah wafat. Dalilnya berdasarkan kurban yang di lalukan oleh sayidina Ali r.a. atas dasar perintah nabi Mmuhammad shalllahu'alaihiwasallam .
اَنٌَهُ كَانَ يُضَحٌِى بِكَبشَينِ اَحَدُهٌمَاعَنِ.النٌَبِي.صلى الله عليه وسلم وَالاَخَرُ عَن نَفسِهِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي بِهِ يَعنِي النٌَبِي صلى الله عليه وسلم فَلاَ اَدَعُهُ اَبَداً
"Sesungguhnya Ali r.a. berkurban dua kambing domba satu untuk nabi shallallâhu‘alaihiwasallam dan satunya lagi untuk dirinya. Kemudian beliau ditanya akan perbuatannya itu. (Ali ra) menjawab: Nabi shallallâhu‘alaihi wasallam memerintah Aku untuk melakukannya dan aku tidak akan meninggalkan selamanya. (HR. At Turmudzi)
Jika tidak ada wasiat, maka ada dua pendapat;
Menurut pendapat yang kuat, hukumnya tidak Sah, karena tidak adanya izin dari almarhum. Dengan demikian kurban tersebut tidak bisa di statuskan sebagai kurban dari almarhum. Tetapi bila qurban untuk dirinya sendiri dan pahala qurban diniatkan untuk kedua orang tuanya yang telah wafat, para ulama ahli sunnah sepakat menyatakan Sah.
Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas qurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara qurban dan pahala! Wallahu'alam
Waktu Pelaksanaan Qurban
Waktu menyembelih qurban dimulai setelah matahari setinggi tombak atau seusai shalat Idul Adha (10 Dzulhijjah) sampai terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Sedangkan, distribusi (pembagian) daging qurban dibagi menjadi tiga bagian dan tidak mesti harus sama rata.
1). untuk fakir miskin, (2) untuk dihadiahkan dan (3) untuk dirinya sendiri dan keluarga secukupnya. Dengan catatan, porsi untuk dihadiahkan dan untuk dikonsumsi sendiri tidak lebih dari sepertiga daging qurban. Meskipun demikian memperbanyak pemberian kepada fakir miskin lebih utama. (Dhib al-Bigha:1978:245).
Penting: Perlu diperhatikan buat kita semua terutama panitia penyembelihan binatang qurban! Demi ikhtiar keabsahan dan keberkahan ibadah qurban, perlu memperhatikan tuntunan fiqih berikut ini;
1). Niat, yang merupakan inti ibadah. Agar dapat dibedakan antara qurban sunnah dan qurban wajib, karena keduanya memiliki kedudukan dan konsekuensi hukum berbeda.
Disebutkan dalam kitab I’anah at-Thalibin, jilid 2 halaman 376; “Disyaratkan niat ketika menyembelih atau sebelumnya yakni, ketika menentukan hewan yang akan dijadikan qurban. Sudah maklum bahwa tempatnya niat adalah dihati dan sunnah juga dilafazkan dalam lisan.
Orang yang berqurban sunnah berniat, ‘Nawaitul udhiyatal masnunah’ (Saya niat berqurban sunnah), atau ‘Nawaitu adaa-a sunnatit tadhiyah’ (Saya niat menunaikan qurban sunnah). Jika ia tidak menyebutkan kata ‘sunnah’, misal kan hanya mengatakan, “Saya niat berqurban”, maka qurbannya menjadi wajib, sehingga diharamkan atasnya untuk memakan bagian dari hewan qurban itu (baik daging, kulit dan lainnya, penj).”
Niat qurban Wajib/Nazar, lafadnya: نَوَيتُ التٌَضحِيٌَةَ بِهَذِهِ فَرضًا لِلَه تَعَلَى (Nawaitu tadhhiyah bi hazihi fardhon lillahi ta'ala) Artinya; 'Saya niat berkorban dengan hewan korban ini sebagai suatu kewajiban atas diri saya ,saya laksanakan semata mata karena Allah subhaanahuuwata'aala. )'
2). Panitia harus memilah qurban yang wajib dan sunnah, sehingga qurban wajib atau nazar tidak diberikan kembali kepada pihak yang berqurban, orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya dan juga panitia sendiri.
Disebutkan dalam kitab al-Bajuri, jilid 2, hal. 300; “Pihak yang berqurban tidak boleh memakan sedikit pun dari qurban yang di nazarkan. Yakni, ia tidak boleh memakannya, bila memakannya sedikit saja maka wajib menggantinya. Selain pihak yang qurban (mudhahhi) berlaku pula untuk orang yang wajib ditanggung nafkahnya.”
Dalam kitab Kifayatul Akhyar jilid 2 hal.241 disebutkan, “Pihak yang berqurban tidak boleh memakan sedikitpun dari qurban yang dinazarkan dan boleh memakannya jika merupakan qurban sunnah.
”Dalam kitab I’anah at-Thalibin, jilid 2 hal. 333;
“(Haram memakan…dan seterusnya) sampai ungkapan, ‘maka wajib atas pihak yang korban mensedekahkan seluruh qurbannya hingga tanduk dan kakinya.’”
Apabila pemilahan antara qurban sunnah dan nazar/wajib menemui kesulitan, maka di anggap cukup dengan cara memisahkan daging seukuran qurban nazar /wajib dari daging yang ada, kemudian mensedekahkan sisanya kepada selain yang bernazar/berqurban wajib dan orang-orang yang wajib ditanggung nafkah -nya.
“Imam Nawawi berfatwa ,sebagaimana Imam Ibnu Shalah, tentang seseorang yang ghashab (mengambil hak orang lain) umpama uang (dinar/dirham) atau biji gandum dan mencampurkannya dengan harta miliknya serta tidak dapat membedakannya, maka baginya boleh memisahkan seukuran barang yang di ghashabnya dan halal baginya mentasarufkan (menggunakan) sisanya.” (fathul Mu’in jilid 1, hal. 127)
3). Penyerahan uang seharga hewan ternak oleh pihak yang berkorban kepada panitia.
Panitia Qurban, adalah sekelompok orang tertentu yang pada umumnya di persiapkan oleh suatu organisasi (ta’mir masjid, mushalla, instansi dan lain-lain) guna menerima kepercayaan (amanat) atau perwakilan (wakalah) dari pihak pequrban (mudlahhi) agar di belikan ternak yang layak untuk qurban dan melaksanakan penyembelihan hewan qurban serta membagikan dagingnya. Dengan demikian, panitia tersebut dalam pandangan fiqih adalah wakil dari pihak mudlahhi!
Dalam hal ini, menurut pandangan ulama dibolehkan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anah al-Thalibin jilid 2 hal.335, berikut ini;
“Dalam kitab Fatawa Syekh Sulaiman al-Kurdi Muhasyyi Syarah Ibnu Hajar ‘ala al-Mukhtashar terdapat suatu pertanyaan. Ditanyakan kepada beliau, “Telah berlaku kebiasaan penduduk Jawa mewakilkan kepada seseorang agar membelikan ternak untuk mereka di Mekkah sebagai aqiqah atau qurban dan agar menyembelihnya di Mekkah, sementara orang yang di aqiqahi atau pihak yang qurbani berada di Jawa.
Apakah hal demikian itu sah atau tidak? Mohon diberikan fatwa jawabannya. (Dijawab), “Ya, demikian itu Sah. Diperbolehkan mewakilkan dalam pembelian hewan qurban dan aqiqah juga penyembelihannya, walaupun tidak dilaksanakn di negara orang yang berqurban atau beraqiqah tersebut.”
Penting! Perlu diperhatikan, ketika penyerahan dari pihak pequrban kepada panitia berupa uang, maka panitia wajib menentukan/meniatkan ternak yang telah dibelinya dengan mengatasnamakan orang yang telah memberi kuasa kepadanya. (Al-Bajuri, juz 2, hal. 296).
Sementara bila seseorang hanya berqurban dengan nilai uang,bukan qurban hewan, maka hukumnya tidak boleh. Hal ini, dijelaskan dalam kitab Riyadhul Badi’ah, hal. 8 dan kitab Muhibbah jilid 4 hal.682; “Qurban tidak sah kecuali dengan binatang ternak yaitu, onta, sapi/kerbau dan kambing.
Karena qurban itu terkait dengan binatang, maka dikhususkan dengan ternak sama halnya seperti zakat, sehingga tidak sah selain dengan binatang ternak.”
”Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri jilid 1 hal. 386 disebutkan; “Wakalah menurut syara’ adalah, penyerahan oleh seseorang tentang sesuatu, yang boleh dia kerjakan sendiri dari urusan-urusan yang bisa digantikan (pihak lain) kepada pihak lain agar dikerjakannya diwaktu pihak pertama masih hidup.”
Dalam kitab Hasyiyah Jamal jilid 3, hal.416; “Wakil adalah pengemban amanah, karena ia sebagai pengganti muwakkil (yang mewakilkan) dalam kekuasaan dan tasharruf (menggunakannya), jadi kekuasannya seperti kekuasaan pihak muwakkil.”
Penyerahan hewan qurban kepada panitia (wakil) haruslah melalui pernyataan yang jelas dalam hal status qurbannya (sunah/wajib), maupun urusan yang di serahkannya, (untuk menyembelih saja atau juga membagikan dagingnya) pada pihak ketiga. Oleh karenanya, harus ada pernyataan mewakilkan (menyerah-kan) dari pihak pequrban (mudlahhi) dan penerimaan oleh pihak panitia, kemudian diserah-terimakan hewan qurbannya.
Tugas pokok panitia adalah, menyembelih dan membagikan dagingnya kepada pihak yang berhak sesuai dengan pernyataan pihak pequrban saat penyerahan hewan qurban dan pihak wakil/panitia. Sedikipun tidak diperkenankan melanggar amanah ini sebagaimana keterangan di atas.
Dalam kitab Muhadzdzab jild.1 hal.350 disebutkan; “Tidak berkuasa seorang wakil dari urusan tasharruf (penggunaannya) melainkan sebatas izin yang di dapat dari muwakkil melalui jalan ucapan atau adat yang berlaku.”
Dalam kitab Al-Bajuri jilid 1 hal. 296 disebutkan; “Rukun wakalah ada empat : (1) Muwakkil (2) Wakil (3) Muwakkal fih dan (4) shighat. Pernyataan dari salah satu pihak dan tidak ada penolakan dari pihak yang lain, maka sudah mencukupi dalam shighat ini. Misalnya, muwakkil mengatakan, ‘Aku wakilkan padamu hal ini (disebutkan obyeknya), atau aku menyerahkan urusan ini padamu ’ (Hal itu sah), meski dengan cara penulisan atau surat.”
Qurban adalah ibadah, memerlukan niat baik oleh pihak pequrban sendiri maupun di serahkannya kepada wakilnya, kecuali qurban nazar maka tidak ada syarat niat. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Bajuri jilid 2 hal. 296 di sebutkan; “Tidak disyaratkan niat dalam qurban yang telah ditentukan sejak permulaan dengan jalan nazar.
Beda halnya dengan qurban sunah dan qurban wajib dengan jalan ja'li (menjadikan) atau ta’yin (menentukan) dari apa yang dalam tanggungannya, maka disyaratkan niat ketika menyembelih atau menentukan hewan qurban-nya, sebagaimana niat dalam ibadah zakat. Boleh juga niat diserahkan kepada seorang muslim yang sudah tamyiz/dewasa, sekali pun ia tidak dijadikan wakil untuk menyembelih.”
4). Panitia mengambil/memakan dari bagian daging qurban. Sesuai dengan amanat yang diterimanya dari pihak pequrban ,yaitu menyembelih dan membagikan dagingnya, maka panitia tidak diperbolehkan mengambil atau memakan sedikitpun daripadanya. Agar panitia bisa mengambil sebagian daging qurban (qurban sunnah), harus ada izin dari pihak mudlahhi/pengurban untuk mengambilnya dalam batas ukuran tertentu.
Dalam kitab Al-Bajuri jilid 1 hal. 387 di sebutkan; “Tidak boleh bagi wakil (panitia) mengambil sedikitpun, kecuali pihak yang mewakilkan (muwakkil) sudah menentukan sebagian (batas tertentu) dari padanya, untuk pihak wakil.”
5). Tentang biaya perawatan dan penyembelihan. Agar tidak terjadi penjualan kulit binatang qurban ,baik oleh panitia, orang yang berqurban atau penerima (mustahiq) kaya, misalnya, dengan alasan biaya operasional atau biaya perawatan dan penyembelihan qurban.
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan, para ulama seluruhnya sepakat untuk mengharamkan menjual daging dan kulit hewan qurban. Dalilnya adalah, sabda nabi shallallâhu‘alaihiwasallam; ‘Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak memperoleh qurban apapun.’ (HR Hakim). Al-Hakim menshahihkan hadis ini dalam kitab Al-Mauhibah jilid 4 halaman 697.
Haramnya menjual kulit hewan qurban ini telah ditetapkan pula oleh Keputusan Muktamar ke-27 Nahdhatul-Ulama di Situbondo pada tanggal 8-21 Desember 1984,sebagai berikut: “Menjual kulit hewan qurban tidak boleh kecuali oleh mustahiqnya (yang berhak atas kulit-kulit itu) yang fakir/miskin. Sedangkan mustahiq yang kaya, menurut pendapat yang mu’tamad tidak boleh.” (lihat: Ahkamul Fuqaha, halaman 401).
Sebagian ulama mazhab As-Syafi’i membolehkan orang miskin menjual daging hewan qurban yang telah diterimanya. Sedangkan, pihak yang memiliki hewan atau orang yang menerima sebagai sedekah, diharamkan menjualnya. Untuk keabsahan qurban, kulit qurban diberikan kepada penerima yang fakir/miskin bukan yang kaya, tidak oleh pequrban atau panitia (wakil) yang menjual kulit secara sepihak. Tidak dibolehkan untuk pengupahan tukang potong hewan (jagal) diambilkan dari bagian qurban, baik daging maupun kulitnya.
Dari sayidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu‘anhu; “Aku (Ali bin Abi Thalib) pernah diperintah Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya, dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Aku tidak boleh memberikannya kepada jagal (penyembelih) barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam redaksi lainnya, sayidina Ali berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin, Jilid 2, hal. 222 mengatakan, “Ia (orang yang berqurban, penj) tidak boleh memberikan kepada tukang sembelih dari daging qurban dan hadyu (hewan yang disembelih di tanah suci, penj), sebagai ongkos penyembelihan. Namun, biaya penyembelihan di bebankan kepada orang yang berqurban, seperti ongkos panen. Dibolehkan bagi orang yang berqurban untuk memberi tukang sembelih itu dari qurban dan hadyu, karena kefakiran tukang sembelih itu, atau memberi tukang sembelih itu makan, jika tukang sembelih itu orang yang kaya.”
Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas qurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara qurban dan pahala. Wallahu'alam
Batalkah wudu, menyentuh wanita bukan muhrim?
Mayoritas umat islam Indonesia menganut mazhab Syafi’iyah dan berpendapat, wudu akan batal bila menyentuh istrinya atau wanita lain yang bukan muhrimnya. Persoalan ini, bagi pemeluk mazhab Syafi’iyah sangat penting sekali karena akan menyangkut soal sah atau tidaknya shalat. Sebagian golongan muslimin ,khususnya anti mazhab, mengatakan, mazhab ini tidak berdalil dari Al-Quran dan sunnah Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam!
Marilah kita ikuti beberapa dalil dan fatwa para pakar hadis berikut ini:
**At-Tuhfatun imam Syafi’i ,rahimahullah, menulis dalam kitab Al-Umm jilid 1 hal.15-16, “Apabila seseorang pria memegang/menyentuh istrinya dengan tangannya dan kulitnya tanpa dilapisi kain ,baik dengan bersyahwat (nafsu) mau pun tidak bersyahwat, wajib baginya wudu kalau hendak shalat dan wajib pula bagi istri yang disentuhnya.”
**Imam Nawawi–seorang pakar hadis bermazhab Syafi’i–dalam kitabnya Minhajut Thalibin bab Asbabul hadas mengatakan, “Yang ketiga (yang membatalkan wudu) bertemu kulit pria dengan kulit wanita kecuali mahram (muhrim) menurut fatwa yang lebih zahir. Menurut fatwa yang jelas bahwa orang yang disentuh sama hukumnya dengan yang menyentuh,. Dan tidak membatalkan wudu kalau bersentuhan dengan anak kecil, rambut, gigi dan dengan kuku, menurut pendapat yang lebih sahih “.
Beberapa dalil-dalil para imam ini:
Firman Allah Subhaanahuuwata'aala, “….dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air (wc) atau kamu telah menyentuh wanita (Au Lamastumun Nisa) kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamum lah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah wajahmu dan tanganmu. Sesungguh-nya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”(QS An-Nisa [4]:43).
Firman-Nya; “…jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit (sakit yang tidak boleh kena air) atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (wc) atau menyentuh wanita (Au Lamastumun Nisa) lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah....sampai akhir ayat “(QS.Al-Maidah [5]:6)
Kalimat, Au Lamastumun Nisa pada dua ayat tersebut, sebagian besar (jumhur) ulama ahli tafsir–khususnya mazhab Syafi’iyah–mengartikan, menyentuh bukan bersetubuh. Arti kata Lamasa, ‘Al-massu bil yadi’ (menyentuh dengan tangan) [baca kamus al-Muhith jilid 2 hal.249, kamus al-Mu’atmad dan kamus Munjid]. Tidak ada, ayat Qur’an yang diartikan ‘Lamasa’ dengan bersetubuh atau bercium-ciuman.
Tidak ada pula dalam hadis Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam yang mengartikan lamasa dalam dua surah tersebut dengan ‘menyentuh dengan syahwat’, karena dalam ayat itu sudah ada kalimat Junuban yang berarti bersetubuh (setelah bersetubuh tapi belum bersuci). Karenanya, Allah Subhaanahuuwata'aala berfirman dalam dua ayat itu, Junuban untuk bersetubuh dan lamasa untuk menyentuh.
**Imam Malik bin Anas ,rahimahullah, dalam kitabnya al-Muwathajilid 1 hal.65, “Mengabarkan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Ciuman lelaki atas istrinya dan menyentuh dia dengan tangannya termasuk mulamasah, barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya wajib ia berwudu (kalau akan shalat).”
**Abdullah bin Umar bin Khatab ,sahabat Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam, mengatakan bahwa bersentuh dengan wanita ,bukan muhrim, mewajibkan wudu kalau akan shalat. Wallahua'lam
Dalil-dalil dari golongan yang membantah dan jawabannya
**Hadis riwayat imam Ahmad bin Hanbal; ”Dari habib Ibnu Abi Tsabit dari Urwah dari siti Aisyah r.a, ‘Nabi Muhamad (shallallâhu‘alaihiwasallam) mencium sebagian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudu lebih dulu’”. Kata mereka, jelas hadis ini menegaskan, berciuman dengan istri tidak membatalkan wudu!
Jawaban;
-Para pakar hadis; Sofyan Tsuri, Yahya bin Said al-Qat’han, Abubakar an-Nisaburi, Abu Hasan Daruquthni, Abubakar al-Baihaqi dan lain-lain mengatakan, hadis diatas ini dha’if (lemah), tidak dapat dipakai untuk dalil. Berkata imam Ahmad bin Hanbal, berkata Abubakar an-Nisaburi bahwa Habib Ibnu Tsabit ada kesalahan, ‘dari cium orang puasa kepada cium orang berwudu.’ (al-Majmu’jilid 2 hal.32).
-Berkata imam Abu Daud, “Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri bahwa Habib Ibnu Tsabit hanya merawikan hadis dari Urwah al Muzni bukan dari Urwah bin Zubair. Urwah al-Muzni, seorang tidak dikenal (majhul), hadis yang sahih dari Siti Aisyah ialah, ‘Bahwa Nabi (shalllahu'alaihiwasallam) mencium istrinya ketika beliau berpuasa’ ” (al-Majmu’ jilid 2 hal. 32).
-Dalam kitab Mizanul I’tidal jilid 3 hal.65 karya Ad-Dzahabi, dikatakan, “Urwah al-Muzni ,guru habib bin Tsabit, adalah seorang yang tidak dikenal (majhul). Karenanya, hadis Habib bin Tsabit dari Urwah ini, hadis dhaif yang menurut usul fiqih tidak boleh dipakai untuk dalil.”
**Kelompok pengingkar mengemukakan dalil lagi; ”Dari Abu Rouq diambilnya dari Ibrahim at-Taimi, dari Siti Aisyah ra, beliau berkata, ‘Bahwasanya, Nabi (shallallâhu‘alaihiwasallam) mencium (istrinya) sesudah berwudu, kemudian beliau tidak mengulang wudunya lagi”. Kata mereka, jelaslah dari hadis ini, mencium istri tidak membatalkan wudu!
Jawaban;
-Abu Roug ini dilemahkan oleh Ibnu Mu’in. Dalam hadis ini, Ibrahim at-Taimi mengambil hadis dari siti Aisyah, padahal ibrahim at-Taimi tidak pernah bertemu dengan siti Aisyah, beliau adalah seorang Tabi’-Tabi’in bukan Tabi‘in. (al-Majmu’ jilid 2 hal.33)
-Dalam kitab Mizanul I’tidal, Ibrahim bin Muhamad bin Ibrahim bin al-Harits at-Taimi mengambil hadis dari bapaknya dan bapaknya itu mengambil dari Ibnu Ubaidah. Berkata Abu Hatim, ‘Dia (maksudnya Ibrahim at-Taimi) banyak mengeluarkan hadis yang mungkar’. Berkata Imam Bukhori, ‘Hadisnya tidak tsabit (tidak tetap/kuat)’. Berkata Imam Daruquthni, ‘Dia dho’if’ (lihat Mizanul I’tidal jld 1, hal.55). Hadis yang dha’if menurut usul fiqih, tidak boleh dipakai untuk dalil.
**Golongan Pengingkar berdalil lagi, hadis riwayat imam Bukhori, “Dari Abu Qutadah al-Anshari bahwa Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam shalat sedang menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulallah (shallallâhu‘alaihi wasallam) (cucu beliau). Manakala, beliau sujud, beliau letakkan anak itu dan manakala beliau berdiri beliau gendong anak itu” (HR. Bukhori dan Muslim–fathul Bari jilid 2, hal.37). Kata mereka, dalam hadis ini Nabi shalllahu'alaihi wasallam menggendong anak wanita, ini satu bukti, bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudu.
Jawaban;
Umamah binti Zainab adalah cucu (termasuk muhrim) beliau shallallâhu‘alaihi wasallam dari anak beliau Zainab r.a. dan ketika itu Umamah masih kecil. Karenanya, bersentuh dengan wanita muhrim dan anak kecil, tidak membatalkan wudu.
**Mereka berdalil lagi dengan dua hadis berikut ini;
“Dari siti Aisyah r.a yang berkata, ‘Aku tidur dihadapan Rasulallah (shallallâhu‘alaihiwasallam) dan kakiku diarah kiblat beliau. Apabila beliau sujud, beliau singkirkan kakiku (dengan tangannya) maka saya tarik kakiku dan apabila beliau telah berdiri, saya luruskan kembali” (HR. Bukhori,–fathul Bari jilid 2, hal. 135).
"Hadis riwayat Imam Muslim, “Dari Aisyah r.a, beliau berkata, “Ketika tidur saya kehilangan Rasulallah (shallallâhu‘alaihiwasallam), saya berdiri mencari beliau. Maka jatuh tangan saya (terpegang oleh tangan saya) pada pangkal tumit beliau. Ketika beliau selesai shalat, berkata kepada saya, ‘Datang kepadamu setanmu’”. Kata mereka, dua hadis ini membuktikan bahwa bersentuh antara lelaki dan wanita ,bukan muhrim, tidak membatalkan wudu.
Jawaban;
-Imam Nawawi, dalam Syarah Muslim jild 4 hal.229-230 ketika mengomentari hadis ini berkata, “Dan menurut fatwa jumhur ulama (para ulama umumnya), bersentuh wanita itu membatalkan wudu. Mereka (para ulama) menerangkan hadis ini bahwa Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihiwasallam menyentuh siti Aisyah dibalik kain. Karenanya, hadis ini bukan sebagai dalil atau bukti atas tidak batalnya wudu. Begitu pula, hadis ini ada Ihtimal (kemungkinan/boleh jadi didalamnya), karena tidak disebutkan dalam hadis ini antara tangan Nabi dan kulit siti Aisyah, yang disebutkan dalam hadis ini hanya menyingkirkan kaki siti Aisyah. Boleh jadi, Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam menyingkirkan kaki siti Aisyah dibalik kain atau dibalik kaus kaki”.
-Dalam Syarah Muslim jilid 2, hal.33, Imam Nawawi mengomentari hadis terakhir diatas, ‘Dan jawaban atas hadis Aisyah ini, tentang jatuh tangan beliau ketumit Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam’, hal itu boleh jadi berdinding/tertutup dengan kain.” Hadis ihtimal, menurut usul fiqih tidak boleh dipakai untuk dalil.
Kesimpulan:
Yang membatalkan wudu: Bersentuh antara kulit lelaki dan kulit wanita yang bukan muhrim. Muhrim ialah wanita atau lelaki yang ada hubungan nasab dan tidak boleh dikawini seperti; Anak, cucu, orang tua, saudara, bibi, paman, keponakan, kakek, nenek dan mertua.
Info: Adapun, suami disebut sebagai muhrim istrinya yang dimaskud adalah halal baginya dari pernikahan (untuk bersetubuh, berpergian bersama dan lain sebagainya) tetapi bukan sebagai muhrim senasab yang tidak halal untuk dinikahi.
Yang tidak membatalkan wudu: Sentuhan antara lelaki dan wanita yang muhrim, anak kecil yang belum baligh, rambut, gigi, kuku dan menyentuh bukan muhrim memakai kain pembatas. Wallahu’alam.
Kewajiban baca surah al-Fatihah dalam sholat
Berikut, dalil-dalil kelompok muslimin ,khususnya mazhab Syafi’i, mengenai masalah ini:
Firman Allah subhaanahuuwata'aala, ‘Dan sesungguhnya, Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al-Quran yang agung’ .(QS.Al-Hijr[15]:87). Yang dimaksud tujuh ayat dalam ayat Al-Hijr ialah surah Al-Fatihah.
Imam Bukhori (V11:381 Al-Fath Al-Bari) meriwayatkan dari Abu Said Al-Mu’alla, “Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihiwasallam lewat dan aku (sedang) shalat. Lalu, beliau memanggilku. Aku tidak menjawab hingga aku selesaikan shalatku, aku datangi beliau shallallâhu‘alaihiwasallam dan beliau bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk mendatangiku, ketika aku memanggilmu’? Aku menjawab, ‘aku sedang shalat (ketika itu).’
Beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ‘Bukankah Allah subhaanahuu wata'aala berfirman, ‘Wahai orang orang beriman, jawablah (penuhilah) panggilan Allah dan Rasul-Nya’? Kemudian beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ‘Senangkah jika aku mengajarimu surah yang paling agung didalam Al-Quran, sebelum aku keluar dari masjid’? Setelah berselang beberapa saat, Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihiwasallam keluar dari masjid. Lalu, aku mengingatkannya. Beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ‘Alhamdulillahi Rabbil-alamin, itu lah tujuh ayat,yang diulang-ulang dan (itulah) Al-Quran yang diberikan padaku’ ”.
Hadis semakna diatas dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah shallallâhu‘alaihi wa sallam bersabda, “Ummu Al-Quran ialah, tujuh ayat yang diulang-ulang dalam Al-Quran yang agung.” (HR. Bukhori dalam Sahih-nya [V11: 381] Al-Fath Al-Bari).
Hafidh Ibnu Hajr dalam Fathul Bari V11:382 mengatakan, “Imam Thabrani meriwayatkannya dengan dua isnad yang bagus, dari Umar r.a dan dari Ali k.w. Dia mengatakan, ‘As-Sab’u Al-Matsani itu adalah Fatihat Al-Kitab‘(Al- Fatihah). Dari Umar r.a ada tambahan, ‘Diulang-ulang pada setiap rakaat’”
Imam Bukhori (11:238), Imam Muslim (1:295) dan dalam Al-Fath al-bari (11:241) ada pembahasan yang lengkap mengenai sabda Rasulallah shallallâhu ‘alaihiwasallam, ‘Tidak ada shalat–yang mencukupi–bagi orang yang tidak membaca Fathihat Al-Kitab’. Hadis ini menurut Imam Bukhori mutawatir.
Maksud hadis ini bukan tidak ada shalat yang sempurna, melainkan tidak ada shalat yang mencukupi (sah) bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah. Oleh karenanya, dalil wajibnya membaca al-Fatihah ini berlaku baik untuk shalat berjamaah maupun shalat sendirian (munfarid).
Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Al-Isam’ili melalui jalan Abbas bin Al- Walid Al-Narsi–gurunya Imam Bukhori–dari Sufyan dengan isnad tersebut, ‘Tak ada satu shalat pun yang mencukupi, jika tidak dibacakan Fatihat Al-Kitab’.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (11:241) menyebutkan riwayat itu ada mutaba’ahnya (yang mengikuti dan menguatkannya) yaitu yang di riwayatkan Al-Daraquthni, begitu pula ada saksi penguatnya yang diriwayatkan Ibnu Hibban [dalam sahih-nya V:89], Ibnu Khuzaimah dalam sahih-nya.
Hadis riwayat Imam Bukhori [11:277] dan Imam Muslim [1:298] bahwa Rasul shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda kepada seseorang yang melakukan shalat tidak sempurna, “Kemudian lakukan itu pada (gerakan) shalatmu semua- nya (setiap raka’at)”.
Imam Bukhori (pada juz ‘Membaca [al-Fatihah] di belakang Imam’ [bab wajib membaca al-Fatihah,bagi imam dan makmum,dan ukuran minimal yang dibaca] hal. 8 cet. Al-Iman Madinah Al-Munawarah) mengatakan, “Ada berita mutawatir dari Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam, ‘tidak ada shalat (yang sah) kecuali dengan membaca Ummu Al-Quran.’‘ (yakni al-Fatihah).
Abdullah bin Amr r.a meriwayatkan, “Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihi wasallam berkhutbah, “Siapa yang melakukan shalat wajib atau sunnah hendak lah membaca Ummu Al-Quran dan (ayat) Quran bersamanya. Jika dia sampai (selesai) membaca Ummu Al-Quran itu, cukup baginya. Dan siapa yang (melakukan shalat) bersama imam hendaklah dia membaca (ummul Quran itu) sebelumnya, atau jika dia (imam) diam. Karenanya, siapa yang melakukan shalat tidak membaca Ummu Al-Quran, shalatnya khidaj (kurang)” (beliau mengucapkannya tiga kali). (HR.Abdar-Razzaq dalam Al-Mushannaf (II:133 nr. 2787).
Hadis ini hasan, sesungguhnya Al-Mutsanni bin As-Shabbah itu tidak tercela dalam periwayatannya dari Amr bin Syu’aib. Hal itu, sebagaimana dikatakan para penghafal hadis dan disebutkan juga riwayat hidupnya dalam Tahzib At-Tahzib (X:33). Akan tetapi, dia terkena ikhtilath (kekacauan/percampuran) dalam periwayatannya dari Atha, sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli hadis. Dia diakui kuat/tsiqah oleh yahya bin Mu’in. Sementara pen-dhoif-an oleh jumhur didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan tadi. Wallahua'lam
Kewajiban membaca Basmalah di awal surah Al-Fatihah
Dalam mazhab Syafi'iyah khususnya, mewajibkan setiap orang membaca Basmalah pada awal surah Al-Fatihah dengan jahar/keras pada shalat maghrib, isya, subuh, jum’at dan suara lirih pada shalat dhuhur dan asr. Oleh karena basmalah merupakan ayat pertama dari surah ini. Hal tersebut didasarkan beberapa hadis berikut ini:
**Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmi ,Imam periwayat hadis sahih enam sempat bergaul 20 tahun dengan Abu Hurairah r.a., berkata, "Aku melakukan shalat dibelakang Abu Hurairah r.a dia membaca Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim, setelah itu dia membaca Ummu Al-Quran hingga sampai Wa laadh dhaallin, dia mengatakan amin. Orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Apabila bangun dari duduk dia mengucapkan Allahu Akbar. Jika bersalam (mengucap assalamu‘alaikum). Kemudian beliau berkata,
‘Demi Allah yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah Saw. (daripada kalian).’” {{ Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkan hadis tersebut dalam sahihnya [dalam Al-Fath II:266]; Ibnu Hibban dalam sahih-nya [V:100]; Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya I:251; Ibnu Al-Jarud dalam Muntaqa hal.184; Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232]; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371], mengatakan, isnadnya sahih. Dan hadis itu disahihkan oleh sejumlah para penghafal hadis seperti Imam Nawawi; Ibnu Hajar dalam Al-Fath [II:267] mengatakan, Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’. Ini lah hadis yang paling sahih}}.
**Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulalallah shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, 'Jika kamu membaca Alhamdulillah, bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya, Al-Fatihah itu Ummu Al-Quran (induk Al-Quran), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, adalah salah satu ayatnya'. (HR. Daruquthni [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lain dengan isnad sahih, baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).
Al-Hafidh Al-Haitami dalam Al-Mujma’ [II:109] mengatakan, 'Hadis tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat'.
Syeikh Albani-imam mazhab wahabi/salafi-mensahihkan hadis diatas dalam beberapa dari kitabnya dan dalam beberapa kitab karangan yang dinisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab Sahih Al-Jami’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [I1I:179].
Meski pun demikian, dia tetap saja berkata dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi hal. 96’, 'Kemudian Rasulallah (shallallâhu‘alaihiwasallam) membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya.' Jika Basmalah diakui oleh Syeikh ini sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak di keraskan juga bacaannya?
**Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca ‘wa-laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal-Quranal adhiim’. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Al-Quran) dan Bismillahir Rahmanir Rahim adalah ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan hadis tersebut di riwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).
**Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a, “Rasulallah shallallâhu‘alaihi wa sallam membaca Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim dalam shalat dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”(HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [1: 307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lain dengan isnad sahih).
**Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahir Rahmanir Rahim. Dia menjawab, “Siapa yang meninggalkan ba’ atau sin atau mim dari basmalah shalatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).
**Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah [r.a] dan lainnya: “Sesungguh- nya Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihiwasallam menjaharkan Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahiim”. (Hadis dari Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308]; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuqun (terpercaya); Al-Daraquthni [I:303-304] telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad, siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan kesahihannya. Rincian pembicaraannya dapat dilihat pada jilid III dari At-Tanaqudhat. Adapun, hadis dari Abu Hurairah r.a.yang di riwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] dan perawi lainnya. Hadisnya sahih).
**Ad-Dzahabi, melemahkan hadis diatas dalam kitab Talkhish Al-Mustadrak. Dia mengatakan, ‘Muhamad itu dhaif, yang di maksud adalah Muhamad bin Qais. Padahal tidak demikian, Muhamad bin Qais, orang baik dan terpercaya, dia termasuk rijal (sanad) Imam Muslim, sebagaimana disebutkan dalam Tahzib At-Tahzib [IX:367]. Disitu, disebutkan Muhamad bin Qais diakui mautsuq oleh Ya’qub bin Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakuinya dalam kitab At-Taqrib-nya.
**Dalam sahih Bukhori [II:251 Al-Fath al-Bari], Abu Hurairah r.a. berkata, “Pada setiap shalat dibaca (Al-Fatihah dan surahred.). Apa yang beliau perdengarkan (jaharkan), kamipun perdengarkan dan apa yang beliau samarkn (lirihkan), kamipun menyamarkan (melirihkannya). ..”
**Imam Muslim dalam Sahih-nya [I:300] meriwayatkan hadis dari Anas r.a.; “Suatu hari Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam berada disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu, mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya, ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulallah’? Beliau shallallâhu‘alaihiwasallam menjawab, ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku, lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim, inna a’thainakal kautsar...sampai akhir hadis.’”
**Imam Nawawi mengatakan, “Berlandaskan dalil, basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap surah, kecuali surah Bara’ah/at-Taubah. Basmalah itu di tulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/kaligrafi) mushaf. Hal itu, di dasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijmak. Mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Al-Quran dengan khath Al-Quran yang selain dari Al-Quran. Umat Islam sesudah mereka, sejak dahulu sampai sekarang, sepakat atau ber-ijmak, basmalah itu tidak ada pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua, menguatkan apa yang telah kami katakan. (Syarh Muslim IV:111)
**Diriwayatkan, para sahabat yang empat-radhiyallahu ‘anhum-khususnya khalifah Umar dan khalifah Ali, semuanya menjaharkn bacaan basmalah dalam Al-Fatihah ( kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378] ).
**Dalam sahih Bukhori [IX:91 Al-Fath], “Anas bin Malik r.a. pernah ditanya mengenai bacaan (basmalah) Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihiwasallam. Dia menjawab, ‘Bacaan Nabi itu, (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Basmalah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar- Rahim .’”
**Ibnu Hajar dalam Al-Fath II:229 menetapkan agar menggunakan hadis yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Jelaslah, bahwa dalam hadis telah menetapkan bacaan basmalah dengan jahar’.
Adapun, hadis Anas r.a. antara lain mengatakan, “Aku melakukan shalat di belakang Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihiwasallam, Abu Bakar, Umar dan Usman, mereka memulai (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, (Imam Muslim dalam sahih-nya [I:299 no.50 dan 52].)
Hadis tersebut mu’allal (mempunyai banyak ‘ilat atau menurunkannya dari derajat sahih). Diantara ‘ilat yang melemahkan derajat hadis itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadis tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadis) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.
Ada beberapa indikasi mengenai kelemahan hadis Anas r.a diatas tersebut;
- Hadis yang sahih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadis tersebut. Dalam hadis itu disebutkan, “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan)…(baca hadis di kajian sebelumnya)
- Semua Hafidh ,penghafal hadis, yang menulis dalam Mushthalah Hadis dan mengarang mengenai hadis menyebutkan hadis Anas tersebut sebagai contoh hadis mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al- Fatihah itu.. Disamping mu’allal, bersifat meniadakan bacaan basmalah. Adapun, hadis Anas lainnya dan banyak hadis dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca Menurut ilmu ushul fiqh yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadis mu’allal). Men-jam’u (mengkompromi kan) pun tidak bisa dilakukan.
(Lebih mudah dan lengkapnya tentang pembacaan Al-Fatihah dan Basmalah, silahkan baca kitab ,terjemahan, Shalat Bersama Nabi shallallâhu‘alaihi wa sallam karya Syeikh Hasan Bin Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi, Oman, Jordania] cet. pertama 1993, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung). Wallahua'lam
Baca surah Al-Faihah bagi makmum
Golongan Pengingkar yang membid’ahkan bacaan Al-Fatihah bagi makmum berdalil hadis ibnu Ukaimah dari Abu Hurairah r.a, yang mengatakan, “Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam melakukan shalat dengan kami, dimana bacaan (al-Fatihah dan surahnya) dijaharkan. Selesai shalat, beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda, ‘Apakah ada salah seorang dari kamu yang membaca (Al-Quran) bersama-sama aku’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ‘Ingat lah, aku mengatakan, aku tidak pantas menentang Al-Quran (ma li unazi’u Al-Qurana)’. Abu Hurairah r.a. mengatakan, ‘orang-orang pun berhenti membaca (Al-Quran) jika imam menjaharkan bacaan. Mereka membaca (al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan) dalam dirinya jika imam tidak menjaharkan bacaannya (yakni shalat dhuhr dan asr) ”.
Jawaban;
Hadis Ibnu Ukaimah diatas, lemah/dhoif (lihat penjelasannya dalam kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III karya Syeikh Hasan bin Ali, jordania). Hadis dhoif tidak bisa dibuat dalil untuk suatu hukum. Begitu pula dalam hadis tersebut tidak ada isyarat yang melarang makmum membaca al-Fatihah dibelakang imam. Jadi hadis itu bersifat umum yang ditakhsish (dikhususkan atau dikecualikan sebagian kandungannya).
Syeikh al-Albani ,imam kelompok salafi-wahabi, dalam kitab Shifatu Shalatihi (Sifat Shalat Nabi Muhamad ) hal.99 mengatakan, ‘kalimat dalam hadis ‘orang-orang pun berhenti membaca.. ..’, hanya perkataan Abu Hurairah saja!
Jawaban;
Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya kata-kata–mudrajah (tambahan)- dari Az-Zuhri. Hal itu, telah diterangkan oleh para imam hadis, antara lain Imam Bukhori (Juz Al-Qira’at Khalfa Al-Imam hal. 29-30).
Golongan Pengingkar berdalil lagi dengan kalimat hadis dalam Sahih Muslim (I:304), “dan apabila dia (imam) membaca maka perhatikanlah’, Imam itu di jadikan untuk di-ikuti, apabila ia bertakbir, bertakbirlah…sampai akhir hadis.”
Jawaban;
Riwayat hadis ini tidak kuat. Imam Nawawi (Al-Majmu’ III:386) mengatakan, ‘menurut Imam Baihaqi, lafaz tersebut tidak ada dari Nabi shallallâhu‘alaihi wasallam’. Abu Daud dalam Sunannya; ‘lafaz itu tidak terjaga/terpelihara’ (laisat bi mahfudhah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), mengenai hadis–siapa yang mempunyai imam, bacaan imam menjadi bacaan baginya–berkata, “Akan tetapi, hadis tersebut menurut para Hafidh–penghafal hadis–merupakan hadis lemah/dhoif. Semua thariq (jalan) dan ilat-nya telah di ambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan lainnya”.
Begitu pula, diantara yang melemahkan dan menolak hadis tersebut, Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at hal.9. Ia mengatakan, ‘Kabar ini, tidak tsabit (kuat) menurut para pakar ,baik menurut penduduk (ulama) Hijaz mau pun penduduk (ulama) Irak dan lainnya, karena hadis tersebut mursal dan munqathi’ “.
Diantara bukti kelemahan dan kebatilan hadis diatas:
Jika benar bacaan imam itu mewakili bacaan (rukun shalat surah Al-Fatihah) makmum, mengapa zikir-zikir selain al-Fatihah seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya tidak dibatalkan hukum membacanya dari makmum, bahkan hukumnya bacaan-bacaan ini adalah sunnah?
Seandainya hadis tersebut sahih–dan itu tidak mungkin–, tidak tercantum didalam hadis itu bahwa bacaan imam mencakup semua bacaan makmum. Karenanya, hadis tersebut bersifat umum. Kalimat ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis yang mudhaf (disandarkan) jadi mencakup apa saja yang dibaca oleh imam tidak hanya terbatas kepada bacaan al-Fatihah saja.
**Ubadah bin Shamit meriwayatkan, “Kami pernah melakukan shalat bersama Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam pada shalat shubuh. Beliau, merasa berat untuk membaca (Al-Quran/al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai shalat) beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ‘Sesungguhnya, aku melihat kamu sekalian (mengetahui kamu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda, ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (al-Fatihah), karena tidak ada shalat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya.’” {{HR. Imam Ahmad [V:316]; Imam Bukhori dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam [membaca Alfatihah, dibelakang Imam]; Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar [1:215]; Abu Dawud [1:217-218]; Imam Turmudzi [II:117]; Ibnu Khuzaimah dalam sahih-nya [III:36]; Ibnu Hibban dalam sahih-nya [V:86]; Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah [III:82] dan Sunan-nya [II:164] begitu pula dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [III:8] dengan periwayatan dan penjelasan yang luas; Ad-Daraquthni [I:318]; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak [I:238], hadis tersebut sahih dan tsabit (kuat); Menurut Al-Khathabi ,seperti disebutkan Imam Nawawi dalam Syarh Muhazzab [III:366], ‘Isnad hadis tersebut jayid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’; Ibnu Hajar dalam Al-Fath [II:242], menyifatinya sebagai hadis tsabit [kuat]}}.
Hadis Ubadah ini, bersifat khusus mengenai bacaan surah al-Fatihah bagi makmum (pada shalat jahar), sehingga hadis itu mengkhususkan atau mengecualikan keterangan yang umum tersebut. Demikianlah, yang di tetapkan dan diakui dalam ilmu Ushul (Fiqi).
**Imam Turmudzi mengomentari hadis diatas, ’Berkenaan dengan bab itu terdapat pula riwayat (yang serupa hadis itu) dari Abu Hurairah, Siti Aisyah, Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullah bin Amr (r.a)’. Imam Turmudzi mengatakan, “Mengamalkan hadis tersebut berarti mengikuti pendapat kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi shallallâhu‘alaihi wasallam mau pun Tabi’in. Begitu pula yang diamalkan oleh Imam Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ibnu Al-Mubarak, Ahmad dan Ishak. Mereka semua berpendapat (mengenai wajibnya) membaca (al-Fatihah) di belakang imam.”
**Hadis dari Anas bin Malik r.a, “Bahwa Rasulallah shallallâhu‘alaihi wasallam melakukan shalat dengan para sahabatnya. Seusai shalat beliau shallallâhu‘alaihiwasallam menghadap kepada mereka, sambil bersabda, ‘Apakah kalian membaca (Al-Quran) dalam shalat kalian di belakang imam, padahal imam (sedang) membaca? Mereka diam. Rasulallah shallallâhu‘alaihi wasallam mengucapkan itu tiga kali. Kemudian, ada yang berkata, ‘Sesungguh-nya, kami melakukannya (membaca Al-Quran)’. Beliau shallallâhu‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Maka janganlah kalian lakukan dan hendaklah salah seorang diantaramu (masing-masing kalian) membaca Fatihah Al-Kitab didalam dirinya (tidak di- jaharkan)’.” (Ibnu Hibban dalam sahih-nya [V:162]; Imam Daraquthni dalam As-Sunan [I:340], hadis ini sahih; Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:110] dari hadis Anas).
**Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Imam Thabarani dalam Al-Ausath dan perawinya tsiqat,.hadis yang dikemukakan oleh Yazid bin Syuraik, “Saya pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (Al-Quran) dibelakang imam. Dia menyuruhku untuk membaca (al-Fatihah). Saya bertanya, ‘Engkau bagai-mana’? Dia berkata, ‘Aku juga’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu dilakukan jika engkau menjahar (dalam shalat jahar)?’ Dia menjawab, ‘Jika aku menjahar (dalam shalat jahar) aku pun membacanya’” (HR. Al-Daraquthni dalam As-Sunan I:317 berkata, ‘Isnad ini sahih).’ Atsar-atsar sahih masalah itu banyak pula dari kalangan sahabat. (lihat pada juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas (tambahan khusus).
Disunnahkan pula bagi imam untuk diam sebentar setelah membaca al-Fatihah dalam shalat jahar. Tidak lain hal ini, memberi kesempatan pada makmum untuk membaca al-Fatihah. Hal ini, didasarkan kepada dalil dari hadis Samurah yang mengatakan, ‘dua saktah (dua kali diam sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam’.
Akan tetapi, Imran bin Husin mengingkarinya. dan berkata, ‘Kami menghafal (mengingat) satu kali diam’. Kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay menulis (menjawab), ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam)’.
Said–putera Abu Arubah, salah seorang perawi hadis tersebut–mengatakan, ‘kami berkata kepada Qatadah, apakah yang dimaksud dengan dua kali diam (dua saktah) tersebut’? Ia berkata, ‘Pertama, jika dia masuk dalam shalat (sebelum membaca al-Fatihah) dan yang kedua jika dia telah selesai membaca (al-Fatihah). Selanjutnya dia berkata, ‘(Dan) apabila telah membaca Wa laadh dhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 no. 251] mengatakan hadis Samurah itu hasan; Imam Ahmad dalam Musnad-nya [V:7]; Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain. Hadis ini sahih. Ibn Hibban dalam Sahih-nya [V:112] dan pada hal. 113 mengatakan; ‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran bukan Samurah’).
**Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan, “Atas dasar dalil tersebut, jelaslah bahwa imam perlu diam sebentar dalam shalat jahar, supaya makmum berkesempatan membaca al-Fatihah. Hal itu, untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia membaca al-qur’an sedangkan imam membaca al-qur’an juga. Telah ditetapkan (lewat hadis sahih) bahwa makmum diperbolehkan membaca al-Fatihah dalam shalat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian). Hadis-hadis masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau di riwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Makhul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubbadah, ‘Sesungguhnya Nabi Muhamad Saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah dalam (shalat) fajar (shubuh)…sampai akhir hadis (lihat hadis Ubbadah’). Demikianlah Ibn Hajar Al-‘Asqalani.
Masih banyak riwayat tidak tercantum disini tentang kewajiban membaca surah Al-Fatihah bagi makmum pada sholat jahar.
Info: Menurut ijmak para ulama, membaca al-Fatihah gugur (kewajibannya) bagi makmum yang mendapatkan imam sedang rukuk. Dalam kondisi seperti itu dia dianggap telah mendapatkan satu raka’at (telah membaca al-Fatihah) meskipun dia belum membaca al-Fatihah. Wallahu'alam
Tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahud
Kaum muslimin ,khususnya penganut mazhab Syafi’iyah, ketika mengucapkan Asyhadu an laa ilaaha illallah dalam duduk tasyahud/tahiyat mensunnahkan mengangkat jari telunjuknya bila telah sampai pada illallah, tidak mengerak-gerakkan jari telunjuknya dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Hal tersebut, didasarkan beberapa hadis berikut ini:
**Hadis dari Jabir r.a.;
“Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam bersabda seraya (ber-isyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya kelangit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”. (sahih Muslim II: 890)
Telunjuk disebut juga syahid (saksi) sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia ber-isyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” ber-isyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadis sahih.
**Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah shallallâhu‘alaihi wa sallam melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Imam Baihaqi (II:133) dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhamad shallallâhu‘alaihiwasallam hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah subhaanahuuwata'aala).” Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Majmu Al-Zawaid II:140, “Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar..”
**Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan, “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka, berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah…” Ini, berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar r.a.; “Dan (beliau shallallâhu‘alaihi wasallam) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari, lalu berdoa.” (HR. Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, dan perawi lainnya). Doa yang dimaksud dalam hadis tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam dan doa-doa lainnya sebelum mengucapkan salam.
**Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, “Jika Rasulallah shallallâhu‘alaihi wasallam duduk dalam tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya" (Sahih Muslim I/408).
Yang dimaksud lima puluh tiga dalam hadis ini, menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari dijulurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.
Dalam kitab yang sama, riwayat dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi mengatakan, “Abdullah bin Umar r.a. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam shalat. Setelah berpaling (selesai shalat), beliau melarangku seraya berkata, ‘Lakukan lah seperti apa yang dilakukan oleh Rasulallah, jika Rasul-allah shallallâhu‘alaihiwasallam duduk dalam shalat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya dan mengisyaratkan (menunjuk) jari yang dekat ibu jarinya ke (arah) kiblat. Beliau, (shallallâhu‘alaihiwasallam) meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya.’”
Al-isyarah (mengisyaratkan) dalam hadis diatas, menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan (tahrik). Adapun penambahan kata ke kiblat dalam hadis itu, terdapat pada sahih Ibnu Hibban V:274; sahih Ibnu Khuzaimah I:356 dan lainnya].
**Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai ,seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat, “Aku melihat Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam meletakkan dzira’nya [lengan tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas paha kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan membengkokkan- nya [sedikit]”. (HR.Ahmad III:471; Abu Dawud I:260; Nasa’i III:39; Ibnu Khuzaimah dalam sahih-nya I:354 dan pensahihannya itu ditetapkan pula oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah no.8807; Ibnu Hibban dalam As-Sahih V:273; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya).
**Diriwayatkan dari Ibnu Zubair, “Rasulallah shallallâhu‘alaihiwasallam berisyarat dengan telunjuk dan tidak menggerak-gerakkannya, pandangan beliau tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadis ini sahih, sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III: 454 dan oleh sayid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125.
**Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair r.a. 'Rasulallah shallallâhu‘alaihi wasallam berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdoa dan tidak menggerak-gerakkanya' (HR.Abu Awanah dalam sahihnya II:226; Abu Dawud I:260; Imam Nasa’i III:38; Baihaqi II:132; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad sahih).
Berdasarkan hadis-hadis sahih tersebut disimpulkan, waktu untuk mengangkt mengisyaratkan (jari) telunjuk, ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam.
Para ulama berikut ini, telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya, karena di dalam hadis-hadis tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.
Menurut mazhab Syafi’i, tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.
Menurut mazhab Hanafi, mengangkat telunjuk itu adalah ketika mengucapkan Laa ilaaha dan meletakkan telunjuk ketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyah (ketuhanan) selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyah hanya untuk Allah semata.
Menurut mazhab Hanbali, mengangkat telunjuk itu adalah di setiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahud dan doa sesudah tasyahud. Wallahua'lam
Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya
Adapun, hadis yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena, hadis mengenai tasyahud dengan mengisyaratkan (menunjuk) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (jelas/terang) dan diriwayatkan oleh sebelas perawi tsiqah, kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut.
Berikut ini, pendapat ulama mazhab Syafi’iyah yang memakruhkan menggerak gerakkan telunjuk ketika tasyahud:
*Dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220, dikatakan, “Dan tidaklah boleh, seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, makruh hukumnya dan tidak membatalkan shalat menurut pendapat yang lebih sahih, karena gerakan telunjuk itu, gerakan yang ringan”.
*Menurut satu pendapat, “Batal shalat seseorang bila dia menggerak-gerakkan telunjuknya tiga kali berturut-turut.” [pendapat ini, bersumber dari Ibnu Ali bin Abu Hurairah, sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454].
Adanya khilaf [perbedaan) tersebut, terletak pada gerakan pada telapak tangan. Selama telapak tangannya tidak ikut bergerak hukumnya makruh, tetapi jika telapak tangannya ikut bergerak, batal shalatnya.
*Imam Nawawi dalam Fatawa-nya hal.54, dan dalam Syarh Muhazzab III/454 menyatakan, ‘makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut, karena perbuatan tersebut sia-sia dan main-main serta menghilangkan kekhusyuan. Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh men-tahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam) tidak mentahrik).”
Jika ada orang yang berkata, ‘Sesungguhnya, ada hadis sahih mengenai pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadis tersebut. Begitu pula, ada beberapa hadis yang sahih, tidak digerak-gerakannya jari telunjuk. Mana kah yang diunggulkan’?
Jawabannya;
*Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk ketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah sahih pula riwayat hadis kepada pentahrikannya. Untuk menggabungkan kedua dalil tersebut, disimpulkan tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi, didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya haram dan dapat membatalkan shalat. Karenanya, kami mengatakan tahrik yang dimaksud, hukumnya makruh”.
*Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan, ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk berdasarkan hadis riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadis itu sahih. Dan (harus) didahulukannnya hadis pertama yang menafikan tahrik daripada hadis kedua yang menetapkannya, karena ada beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.
*Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu, dengan tanpa tahrik. Begitu pula, ada hadis yang meriwayatkan adanya tahrik. Namun, dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (penetapan di dahulukan dari penafian).
Hal ini, karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu, yakni; ‘Yang dituntut dalam shalat tidak bergerak, karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyukan. Tahrik itu serupa perbuatan yang tidak ada gunanya dan shalat haruslah terpelihara dari hal tersebut, selama itu memungkinkan. Karenanya, ada pendapat yang membatalkan shalat, walau pun pendapat ini dho’if”.
Imam Syafi’i memilih riwayat hadis tanpa menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, karena itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa di- tuntut didalam shalat. Wallahua'lam
Dalil yang menggerak-gerakkan telunjuk dan jawabannya
*Golongan yang mentahrik berdalil hadis dari Ibnu Umar, “Menggerak gerakan telunjuk ketika shalat dapat menakut-nakuti setan”.
Jawaban;
Hadis ini dho’if, diriwayatkan seorang diri oleh Muhamad bin Umar al-Waqidi (Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibnu Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247, “Tahrik jari (telunjuk) dalam shalat dapat menakut-nakuti setan, ini hadis maudhu’”.
*Mereka berdalil dengan ucapan Syeikh Al-Albani ,imam mazhab wahabi-salafi, dalam kitabnya Sifat-sifat Shalat Rasulallah, khususnya hal.158-159, mengemukakan sebuah hadis, “Beliau (shallallâhu‘alaihiwasallam) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdoa. Beliau (shallallâhu‘alaihiwasallam) bersabda; ‘Itu ,yakni jari, sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi.’”
Jawaban;
Redaksi hadis yang sebenarnya, tidak seperti yang disebutkan oleh Albani. Syeikh ini telah menyusun dua hadis yang berbeda, dengan menyusupkan kata-kata yang bukan dari hadis. Redaksi hadis yang sebenarnya terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadis lainnya ialah;
“Diriwayatkan dari Nafi’, Abdullah bin Umar r.a jika (melakukan) shalat ber-isyarat dengan jarinya (jari telunjuk), lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasulallah Saw. bersabda; ‘Sungguh, itu lebih berat bagi setan daripada besi.’“ Al-Bazzar berkata, “Katsir bin Zaid meriwayatkan (hadis ini) secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’ dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadis ini”.
Syeikh Albani sendiri, dikitab Sahihah-nya IV:328 mengatakan ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if/lemah’!
Oleh karena itu, jelas dalam hadis diatas ini tidak disebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya), tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.
*Mereka juga berdalil riwayat Wa’il bin Hujrin, “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya (ketika tasyahud), aku melihat beliau menggerak-gerakkan sambil berdoa” (HR.Nasa’i).
Jawaban;
Hadis ini oleh sebagian mazhab Maliki sebagai dalil untuk mensunnahkan tahrik telunjuk, dengan gerakan yang sederhana, dimulai sejak awal tasyahud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1: 716).
Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadis yang mengisyaratkan tahrik itu, termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyah). Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari mazhab Malikiyah dan bukan pula selainnya. Al-Hafidh Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan, “Jauhi lah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahud dan janganlah berpaling ke riwayat Al-Uthbiyah, karena riwayat tersebut baliyah (mengandung bencana)”.
Al-Hafidh Ibnu Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan, ‘Yang masyhur dalam mazhab Imam Malik tidak menggerak-gerakkan telunjuk yang di-isyaratkan itu’.
Begitu pula, tiga imam mazhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) tidak memakai zahir hadis Wa’il bin Hujr tersebut dan tidak mensunnahkan tahrik. Karena-nya, mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadis Ibnu Zubair dan hadis-hadis sahih lainnya bahwa Nabi shallallâhu‘alaihiwasallam tidak menggerak-gerakan jari telunjuk ketika tahiyat..
Imam Baihaqi yang bermazhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadis Wa’il bin Hujr, “Terdapat kemungkinan yang dimaksud dengan tahrik disitu, mengangkat jari telunjuk bukan menggerak-gerakkannya secara berulang, sehingga dengan demikian tidak lah bertentangan dengan hadis Ibnu Zubair.”
Kesimpulan Imam Baihaqi itu, hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadis diatas yang berbeda. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu tidak bergerak, ketika sampai pada hamzah illallah, baru kita angkat. Itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang, sebagaimana pendapat sebagian orang. Wallahua’lam.
Semoga semua muslimin diberi taufik dan hidayah oleh Allah subhaanahuu wa ta'aala dan di ampunkan dosa-dosa kita. Amin
Maak jouw eigen website met JouwWeb