Sekelumit Macam-Macam Makalah

Sekelumit macam-macam makalah

Batalkah wudu, menyentuh wanita bukan muhrim?

Mayoritas umat islam Indonesia menganut mazhab Syafi’iyah dan berpendapat, wudu akan batal bila menyentuh istrinya atau wanita lain yang bukan muhrimnya. Persoalan ini, bagi pemeluk mazhab Syafi’iyah sangat penting sekali karena akan menyangkut soal sah atau tidaknya shalat.. Sebagian golongan muslimin ,khususnya anti mazhab,  mengatakan, mazhab ini tidak berdalil dari Al-Quran dan sunnah Rasulallah Saw.! Marilah kita ikuti beberapa dalil dan fatwa para pakar hadis berikut ini:

 

* At-Tuhfatun imam Syafi’i ,rahimahullah, menulis dalam kitab Al-Umm jilid 1 hal.15-16, “Apabila seseorang pria memegang/ menyentuh istrinya dengan tangannya dan kulitnya tanpa dilapisi kain ,baik dengan bersyahwat (nafsu) maupun tidak bersyahwat, wajib baginya wudu kalau hendak shalat dan  wajib pula bagi istri yang disentuhnya.”

 

* Imam Nawawi–seorang pakar hadis bermazhab Syafi’i–dalam kitabnya Minhajut Thalibin bab Asbabul hadas mengatakan, “Yang ketiga (yang membatalkan wudu) bertemu kulit pria dengan kulit wanita kecuali mahram (muhrim) menurut fatwa yang lebih zahir. Menurut fatwa yang jelas bahwa orang yang disentuh sama hukumnya dengan yang menyentuh,. Dan tidak membatalkan wudu kalau bersentuhan dengan anak kecil, rambut, gigi dan dengan kuku, menurut pendapat yang lebih sahih “. 

 

Beberapa dalil-dalil para imam ini:

Firman Allah Swt., “….dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air (wc) atau kamu telah menyentuh wanita (Au Lamastumun Nisa) kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamum lah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah wajahmu dan tanganmu. Sesungguh- nya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”(QS An-Nisa [4]:43).

 

Firman-Nya; “…jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit (sakit yang tidak boleh kena air) atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (wc) atau menyentuh wanita (Au Lamastumun Nisa) lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah....sampai akhir ayat “(QS.Al-Maidah [5]:6)

 

Kalimat, Au Lamastumun Nisa pada dua ayat tersebut, sebagian  besar (jumhur) ulama ahli tafsir–khususnya mazhab Syafi’iyah–mengartikan, menyentuh bukan bersetubuh. Arti kata Lamasa, ‘Al-massu bil yadi’ (menyentuh dengan tangan) [baca kamus al-Muhith jilid 2 hal.249, kamus al-Mu’atmad dan kamus Munjid]. Tidak ada, ayat Qur’an yang diartikan ‘Lamasa’ dengan bersetubuh atau bercium-ciuman. Tidak ada pula dalam hadis Nabi Saw. yang mengartikan lamasa dalam dua surah tersebut dengan ‘menyentuh dengan syahwat’, karena dalam ayat itu sudah ada kalimat Junuban yang berarti bersetubuh (setelah bersetubuh tapi belum bersuci). Karenanya, Allah Swt. berfirman dalam dua ayat itu, Junuban untuk bersetubuh dan lamasa untuk menyentuh.

 

* Imam Malik bin Anas ,rahimahullah, dalam kitabnya  al-Muwathajilid 1 hal.65, “Mengabarkan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Ciuman lelaki atas istrinya dan menyentuh dia dengan tangannya termasuk mulamasah, barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya wajib ia berwudu (kalau akan shalat).”  

 

* Abdullah bin Umar bin Khatab ,sahabat Nabi Saw., mengatakan bahwa bersentuh dengan wanita ,bukan muhrim, mewajibkan wudu kalau akan shalat.

 

Dalil-dalil dari golongan yang membantah dan jawabannya

* Hadis riwayat imam Ahmad bin Hanbal; ”Dari habib Ibnu Abi Tsabit dari Urwah dari siti Aisyah r.a, ‘Nabi Muhamad Saw. mencium sebagian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudu lebih dulu’”. Kata mereka, jelas hadis ini menegaskan, berciuman dengan istri tidak membatalkan wudu! 

 

* Para pakar hadis; Sofyan Tsuri, Yahya bin Said al-Qat’han, Abubakar an-Nisaburi, Abu Hasan Daruquthni, Abubakar al-Baihaqi dan lain-lain mengatakan, hadis diatas ini dha’if (lemah), tidak dapat dipakai untuk dalil. Berkata imam Ahmad bin Hanbal, berkata Abubakar an-Nisaburi bahwa Habib Ibnu Tsabit ada kesalahan, ‘dari cium orang puasa kepada cium orang berwudu.’ (al-Majmu’jilid 2 hal.32).

 

* Berkata imam Abu Daud, “Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri bahwa Habib Ibnu Tsabit hanya merawikan hadis dari Urwah al Muzni bukan dari Urwah bin Zubair. Urwah al-Muzni, seorang tidak dikenal (majhul), hadis yang sahih dari Siti Aisyah ialah, ‘Bahwa Nabi mencium istrinya ketika beliau berpuasa’ ” (al-Majmu’ jilid 2 hal. 32). 

 

* Dalam kitab Mizanul I’tidal jilid 3 hal.65 karya Ad-Dzahabi, dikatakan, “Urwah al-Muzni ,guru habib bin Tsabit, adalah seorang yang tidak dikenal (majhul). Karenanya, hadis Habib bin Tsabit dari Urwah ini, hadis  dhaif yang menurut usul fiqih tidak boleh dipakai untuk dalil.” 

 

Kelompok pengingkar mengemukakan dalil lagi; ”Dari Abu Rouq diambilnya dari Ibrahim at-Taimi, dari Siti Aisyah ra, beliau berkata, ‘Bahwasanya, Nabi Saw. mencium (istrinya) sesudah berwudu, kemudian beliau tidak mengulang wudunya lagi”. Kata mereka, jelaslah dari hadis ini, mencium istri tidak membatalkan wudu!  

 

* Abu Roug ini dilemahkan oleh Ibnu Mu’in. Dalam hadis ini, Ibrahim at-Taimi mengambil hadis dari siti Aisyah, padahal ibrahim at-Taimi tidak pernah bertemu dengan siti Aisyah, beliau adalah seorang Tabi’ Tabi’in bukan Tabi‘in. (al-Majmu’ jilid 2 hal.33).

 

* Dalam kitab Mizanul I’tidal, Ibrahim bin Muhamad bin Ibrahim bin al-Harits at-Taimi mengambil hadis dari bapaknya dan bapaknya itu mengambil dari Ibnu Ubaidah. Berkata Abu Hatim, ‘Dia (maksudnya Ibrahim at-Taimi) banyak mengeluarkan hadis yang mungkar’. Berkata Imam Bukhori, ‘Hadis- nya tidak tsabit (tidak tetap/kuat)’. Berkata Imam Daruquthni, ‘Dia dho’if’ (lihat Mizanul I’tidal jld 1, hal.55). Hadis yang dha’if menurut usul fiqih, tidak boleh dipakai untuk dalil.

 

Golongan Pengingkar berdalil lagi, hadis riwayat imam Bukhori, “Dari Abu Qutadah al-Anshari bahwa Rasulallah Saw. shalat sedang menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulallah Saw. (cucu beliau Saw). Manakala, beliau sujud, beliau letakkan anak itu dan manakala beliau berdiri beliau gendong anak itu” (HR.Bukhori dan Muslim–fathul Bari jilid 2, hal.37). Kata mereka, dalam hadis ini Nabi menggendong anak wanita, ini satu bukti, bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudu.

 

Umamah binti Zainab adalah cucu (termasuk muhrim) beliau Saw. dari anak beliau Zainab r.a. dan ketika itu Umamah masih kecil. Karenanya, bersentuh dengan wanita muhrim dan anak kecil,  tidak membatalkan wudu.

 

Mereka berdalil lagi dengan dua hadis berikut ini;

“Dari siti Aisyah r.a yang berkata, ‘Aku tidur dihadapan Rasulallah dan kakiku diarah kiblat beliau. Apabila beliau sujud, beliau singkirkan kakiku (dengan tangannya) maka saya tarik kakiku dan apabila beliau telah berdiri, saya luruskan kembali” (HR. Bukhori,–fathul Bari jilid 2, hal. 135).

 

Hadis riwayat Imam Muslim, “Dari Aisyah r.a, beliau berkata, “Ketika tidur saya kehilangan Rasulallah Saw., saya berdiri mencari beliau. Maka jatuh tangan saya (terpegang oleh tangan saya) pada pangkal tumit beliau. Ketika beliau selesai shalat, berkata kepada saya, ‘Datang kepadamu setanmu’”.

Kata mereka, dua hadis ini membuktikan bahwa bersentuh antara lelaki dan wanita ,bukan muhrim, tidak membatalkan wudu.

 

* Imam Nawawi, dalam Syarah Muslim jilid 4 hal.229-230 ketika mengomentari hadis ini berkata, “Dan menurut fatwa jumhur ulama (para ulama umumnya), bersentuh wanita itu membatalkan wudu. Mereka (para ulama) menerangkan hadis ini bahwa Nabi Muhamad Saw. menyentuh siti Aisyah dibalik kain. Karenanya, hadis ini bukan sebagai dalil atau bukti atas tidak batalnya wudu .Begitu pula, hadis ini ada Ihtimal (kemungkinan/ boleh jadi didalamnya), karena tidak disebutkan dalam hadis ini antara tangan Nabi dan kulit siti Aisyah, yang disebutkan dalam hadis ini hanya menyingkirkan kaki siti Aisyah. Boleh jadi, Nabi Saw. menyingkirkan kaki siti Aisyah dibalik kain atau dibalik kaus kaki”.

 

* Dalam Syarah Muslim jilid 2, hal.33, Imam Nawawi mengomentari hadis terakhir diatas, ‘Dan jawaban atas hadis Aisyah ini, tentang jatuh tangan beliau ketumit Nabi Saw.’, hal itu boleh jadi berdinding/tertutup dengan kain”. Hadis ihtimal, menurut usul fiqih tidak boleh dipakai untuk dalil. Wallahua’lam. 

 

Kesimpulan:

Yang membatalkan wudu: Bersentuh antara kulit lelaki dan kulit wanita yang bukan muhrim. Muhrim ialah wanita atau lelaki yang ada hubungan nasab dan tidak boleh dikawini seperti; Anak, cucu, orang tua, saudara, bibi, paman, keponakan, kakek, nenek dan mertua. 

Info: Adapun, suami disebut sebagai muhrim istrinya yang dimaskud adalah halal baginya dari pernikahan (untuk bersetubuh, berpergian bersama dan lain sebagainya) tetapi bukan sebagai muhrim  senasab yang tidak halal untuk dinikahi.

 

Yang tidak membatalkan wudu: Sentuhan antara lelaki dan wanita yang muhrim, anak kecil yang belum baligh, rambut, gigi, kuku dan menyentuh bukan muhrim memakai kain pembatas. Wallahu’alam.

 

Kewajiban baca surah Al-Fatihah (imam dan makmum) dalam shalat

Sebagian kelompok muslimin membid’ahkan pembacaan surah Al-Fatihah bagi makmumyang diamalkan pengikut mazhab Syafi’iyahpada setiap rakaat dalam shalat jahar berjamaah (isya, maghrib, shubuh dan jum’at). Mereka berdalil hadis, bacaan imam sudah mewakili bacaan makmum. Berikut, dalil-dalil kelompok muslimin ,khususnya mazhab Syafi’iyah, mengenai masalah ini:

 

Firman Allah Swt.,  ‘Dan sesungguhnya, Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al-Quran yang agung’. (QS.Al-Hijr[15]:87). Yang dimaksud tujuh ayat dalam ayat Al-Hijr ialah surah Al-Fatihah.

 

Imam Bukhori (V11:381 Al-Fath Al-Bari) meriwayatkan dari Abu Said Al-Mu’alla, “Nabi Muhamad Saw. lewat dan aku (sedang) shalat. Lalu, beliau memanggilku. Aku tidak menjawab hingga aku selesaikan shalatku, aku datangi beliau Saw. Beliau bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk mendatangiku, ketika aku memanggilmu’? Aku menjawab, ‘aku sedang shalat (ketika itu).’ Beliau Saw. bersabda, ‘Bukankah Allah Swt. berfirman, ‘Wahai orang orang beriman, jawablah (penuhilah) panggilan Allah dan Rasul-Nya’?

Kemudian beliau bersabda, ‘Senangkah jika aku mengajarimu surah yang paling agung didalam Al-Quran, sebelum aku keluar dari masjid’? Setelah berselang beberapa saat, Nabi Muhamad Saw. keluar dari masjid. Lalu, aku mengingatkannya. Beliau bersabda, ‘Alhamdulillahi Rabbil-alamin, itulah tujuh ayat,yang diulang-ulang dan (itulah) Al-Quran yang diberikan padaku’ ”.

 

Hadis semakna diatas dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah Saw. bersabda, “Ummu Al-Quran ialah, tujuh ayat yang diulang-ulang dalam Al-Quran yang agung.” (HR.Bukhori dalam Sahih-nya [V11: 381] Al-Fath Al-Bari).

 

Hafidh Ibnu Hajr dalam Fathul Bari V11:382 mengatakan, “Imam Thabrani meriwayatkannya dengan dua isnad yang bagus, dari Umar r.a dan dari Ali k.w. Dia mengatakan, ‘As-Sab’u Al-Matsani itu adalah Fatihat Al-Kitab‘ (Al-Fatihah). Dari Umar ada tambahan, ‘Diulang-ulang pada setiap rakaat’”

 

Imam Bukhori (11:238), Imam Muslim (1:295) dan dalam Al-Fath al-Bari (11:241) ada pembahasan yang lengkap mengenai sabda Rasulallah Saw. ‘Tidak ada shalat–yang mencukupi–bagi orang yang tidak membaca Fathihat Al-Kitab’. Hadis ini menurut Imam Bukhori mutawatir. Maksud hadis ini bukan tidak ada shalat yang sempurna, melainkan tidak ada shalat yang mencukupi (sah) bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah. Oleh karenanya, dalil wajIbnya membaca al-Fatihah ini berlaku baik untuk  shalat berjamaah maupun shalat sendirian (munfarid).

 

Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Al-Isam’ili melalui jalan Abbas bin Al-Walid Al-Narsi–gurunya Imam Bukhori–dari Sufyan dengan isnad tersebut, ‘Tak ada satu shalat pun yang mencukupi, jika tidak dibacakan Fatihat Al-Kitab’. Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (11:241) menyebutkan riwayat itu ada mutaba’ahnya (yang mengikuti dan menguatkannya) yaitu yang di riwayatkan Al-Daraquthni, begitu pula ada saksi penguatnya yang diriwayatkan Ibnu Hibban [dalam sahih-nya V:89], Ibnu Khuzaimah dalam sahih-nya.

 

Hadis riwayat Imam Bukhori [11:277] dan Imam Muslim [1:298] bahwa Rasulallah Saw. bersabda kepada seseorang yang melakukan shalat tidak sempurna, “Kemudian lakukan itu pada (gerakan) shalatmu semuanya (setiap raka’at)”.

 

Imam Bukhori (pada juz ‘Membaca [al-Fatihah] di belakang Imam’ [bab wajib membaca al-Fatihah, bagi imam dan makmum, dan ukuran minimal yang dibaca] hal. 8 cet. Al-Iman Madinah Al-Munawarah) mengatakan, “Ada berita mutawatir dari Rasulallah Saw., ‘tidak ada shalat (yang sah) kecuali dengan membaca  Ummu Al-Quran.’‘ (yakni al-Fatihah).

 

Abdullah bin Amr r.a meriwayatkan, “Nabi Muhamad Saw. berkhutbah, “Siapa yang melakukan shalat wajib atau sunnah hendaklah membaca Ummu Al-Quran dan (ayat) Quran bersamanya. Jika dia sampai (selesai) membaca Ummu Al-Quran itu, cukup baginya. Dan siapa yang (melakukan shalat) bersama imam hendaklah dia membaca (ummul Quran itu) sebelumnya, atau jika dia (imam) diam. Karenanya, siapa yang melakukan shalat tidak membaca Ummu Al-Quran, shalatnya khidaj (kurang)” (beliau mengucapkannya tiga kali). (HR.Abdar-Razzaq dalam Al-Mushannaf (II:133 nr. 2787).

 

Hadis ini hasan, sesungguhnya Al-Mutsanni bin As-Shabbah itu tidak tercela dalam periwayatannya dari Amr bin Syu’aib. Hal itu, sebagaimana dikatakan para penghafal hadis dan disebutkan juga riwayat hidupnya dalam Tahzib At-Tahzib (X:33). Akan tetapi, dia terkena ikhtilath (kekacauan/percampuran) dalam periwayatannya dari Atha, sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli hadis. Dia diakui kuat/tsiqah oleh yahya bin Mu’in. Sementara pen-dhoif-an oleh jumhur didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan tadi.

 

Bacaan surah Al-Fatihah bagi makmum

Golongan Pengingkar yang membid’ahkan bacaan Al-Fatihah bagi makmum berdalil hadis ibnu Ukaimah dari Abu Hurairah r.a, yang mengatakan, “Rasulallah Saw. melakukan shalat dengan kami, dimana bacaan (al-Fatihah dan surahnya) dijaharkan. Selesai shalat, beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda, ‘Apakah ada salah seorang dari kamu yang membaca (Al-Quran) bersama-sama aku’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau Saw. bersabda, ‘Ingatlah, aku mengatakan,  aku tidak pantas menentang Al-Quran (ma li unazi’u Al-Qurana)’. Abu Hurairah mengatakan, ‘orang-orang pun berhenti membaca (Al-Quran) jika imam menjaharkan bacaan. Mereka membaca (al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan) dalam dirinya jika imam tidak menjaharkan bacaannya (yakni  shalat dhuhr dan asr) ”. 

 

Hadis Ibnu Ukaimah diatas, lemah/dhoif (lihat penjelasannya dalam kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III karya Syeikh Hasan bin Ali, jordania). Hadis dhoif tidak bisa dibuat dalil untuk suatu hukum. Begitu pula dalam hadis tersebut tidak ada isyarat yang melarang makmum membaca al-Fatihah dibelakang imam. Jadi hadis itu bersifat umum yang ditakhsish (dikhususkan atau dikecualikan sebagian kandungannya).

 

Syeikh al-Albani–imam kelompok salafi-wahabi–dalam kitab Shifatu Shalatihi (Sifat Shalat Nabi Muhamad Saw) hal.99 mengatakan, ‘kalimat dalam hadis ‘orang-orang pun berhenti membaca.. ..’, hanya perkataan Abu Hurairah saja!

Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya kata-kata–mudrajah (tambahan)–dari Az-Zuhri. Hal itu, telah diterangkan oleh para imam hadis, antara lain Imam Bukhori (Juz Al-Qira’at Khalfa Al-Imam hal. 29-30).

 

Golongan Pengingkar berdalil lagi dengan kalimat hadis dalam Sahih Muslim (I:304), “dan apabila dia (imam) membaca maka perhatikanlah’, Imam itu dijadikan untuk di-ikuti, apabila ia bertakbir, bertakbirlah…sampai akhir hadis.” Riwayat hadis ini tidak kuat. Imam Nawawi (Al-Majmu’ III:386) mengatakan, ‘menurut Imam Baihaqi, lafaz tersebut tidak ada dari Nabi Saw’. Abu Daud dalam Sunannya; ‘lafaz itu tidak terjaga/terpelihara’ (laisat bi mahfudhah).

 

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), mengenai hadis–siapa yang mempunyai imam, bacaan imam menjadi bacaan baginya–berkata,  “Akan tetapi, hadis tersebut menurut para Hafidh–penghafal hadis–merupakan hadis lemah/dhoif. Semua thariq (jalan) dan ilat-nya telah di ambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan lainnya”. Begitu pula, diantara yang melemahkan dan menolak hadis tersebut, Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at hal.9. Ia mengatakan, ‘Kabar ini, tidak tsabit (kuat) menurut para pakar ,baik menurut penduduk (ulama) Hijaz maupun penduduk (ulama) Irak dan lainnya, karena hadis tersebut mursal dan munqathi’ “. 

 

Diantara bukti kelemahan dan kebatilan hadis diatas:

Jika benar bacaan imam itu mewakili bacaan (rukun shalat surah Al-Fatihah) makmum, mengapa zikir-zikir selain al-Fatihah seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya tidak dibatalkan hukum membacanya dari makmum, bahkan hukumnya bacaan-bacaan ini adalah sunnah? Seandainya hadis tersebut sahih–dan itu tidak mungkin–, tidak tercantum didalam hadis itu bahwa bacaan imam mencakup semua bacaan makmum. Karenanya, hadis tersebut bersifat umum. Kalimat ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis yang mudhaf (disandarkan) jadi mencakup apa saja yang dibaca oleh imam tidak hanya terbatas kepada bacaan al-Fatihah saja.

 

* Ubadah bin Shamit meriwayatkan, “Kami pernah melakukan shalat bersama Rasulallah Saw. pada shalat shubuh. Beliau, merasa berat untuk membaca (Al-Quran/al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai shalat) beliau Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, aku melihat kamu sekalian (mengetahui kamu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau Saw. bersabda, ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (al-Fatihah), karena tidak ada shalat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya.’”                      (HR.Imam Ahmad [V:316]; Imam Bukhori dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam [membaca Alfatihah, dibelakang Imam]; Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar [1:215]; Abu Dawud [1:217-218]; Imam Turmudzi [II:117]; Ibnu Khuzaimah dalam sahih-nya [III:36]; Ibnu Hibban dalam sahih-nya [V:86];  Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah [III:82] dan Sunan-nya [II:164] begitu pula dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [III:8] dengan periwayatan dan penjelasan yang luas; Ad-Daraquthni [I:318]; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak [I:238], hadis tersebut sahih dan tsabit (kuat); Menurut Al-Khathabi ,seperti disebutkan Imam Nawawi dalam Syarh Muhazzab [III:366], ‘Isnad hadis tersebut jayid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’; Ibnu Hajar dalam Al-Fath [II:242], menyifatinya sebagai hadis tsabit [kuat]).

 

Hadis  Ubadah itu, bersifat khusus mengenai bacaan surah al-Fatihah bagi makmum (pada shalat jahar), sehingga hadis itu mengkhususkan atau mengecualikan keterangan yang umum tersebut. Demikianlah, yang di tetapkan  dan diakui dalam ilmu Ushul (Fiqi). 

 

* Imam Turmudzi mengomentari hadis diatas, ’Berkenaan dengan bab itu terdapat pula riwayat (yang serupa hadis itu) dari Abu Hurairah, Siti Aisyah, Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullah bin Amr (r.a)’.  Imam Turmudzi mengatakan, “Mengamalkan hadis tersebut berarti mengikuti pendapat kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi Saw..mau pun Tabi’in. Begitu pula yang diamalkan oleh Imam Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ibnu Al-Mubarak, Ahmad dan Ishak. Mereka semua berpendapat  (mengenai wajIbnya) membaca (al-Fatihah) di belakang imam.”

 

* Hadis dari Anas bin Malik r.a, “Bahwa Rasulallah Saw. melakukan shalat dengan para sahabatnya. Seusai shalat beliau Saw. menghadap kepada mereka, sambil bersabda, ‘Apakah kalian membaca (Al-Quran) dalam shalat kalian di belakang imam, padahal imam (sedang) membaca? Mereka diam. Rasulallah Saw. mengucapkan itu tiga kali. Kemudian, ada yang berkata, ‘Sesungguhnya, kami melakukannya (membaca Al-Quran)’. Beliau Saw. bersabda, ‘Maka janganlah kalian lakukan dan hendaklah salah seorang diantaramu (masing-masing kalian) membaca Fatihah Al-Kitab didalam diri-nya (tidak dijaharkan)’.” (Ibnu Hibban dalam sahih-nya  [V:162]; Imam Daraquthni dalam As-Sunan [I:340], hadis ini sahih; Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:110] dari hadis Anas)

 

* Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Imam Thabarani dalam Al-Ausath dan perawinya tsiqat,.hadis yang dikemukakan oleh Yazid bin Syuraik, “Saya pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (Al-Quran) dibelakang imam. Dia menyuruhku untuk membaca (al-Fatihah). Saya bertanya, ‘Engkau bagaimana’? Dia berkata, ‘Aku juga’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu dilakukan jika engkau menjahar (dalam shalat jahar)?’ Dia menjawab, ‘Jika aku menjahar (dalam shalat jahar) aku pun membacanya’” (HR.Al-Daraquthni dalam As-Sunan I:317 berkata, ‘Isnad ini sahih).’ Atsar -atsar sahih masalah itu banyak pula dari kalangan sahabat. (lihat pada juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas (tambahan khusus).

 

 

Disunnahkan pula bagi imam untuk diam sebentar setelah  membaca al-Fatihah dalam shalat jahar. Tidak lain hal ini, memberi kesempatan pada makmum untuk membaca al-Fatihah. Hal ini, didasarkan kepada dalil dari hadis Samurah yang mengatakan, ‘dua saktah (dua kali diam sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah Saw’. Akan tetapi, Imran bin Husin mengingkarinya. dan berkata, ‘Kami menghafal (mengingat) satu kali diam’. Kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay menulis (menjawab), ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah Saw)’.            

 

 

Said–putera Abu Arubah, salah seorang perawi hadis tersebut–mengatakan, ‘kami berkata kepada Qatadah, apakah yang dimaksud dengan dua kali diam (dua saktah) tersebut’? Ia berkata, ‘Pertama, jika dia masuk dalam shalat (sebelum membaca al-Fatihah) dan yang kedua jika dia telah selesai membaca (al-Fatihah). Selanjutnya dia berkata, ‘(Dan) apabila telah membaca Wa laa  Adhdhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 no. 251] mengatakan hadis Samurah itu hasan; Imam Ahmad dalam Musnad-nya [V:7]; Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain. Hadis ini sahih. Ibn Hibban dalam Sahih-nya [V:112] dan pada hal. 113 mengatakan; ‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran bukan Samurah’).

 

* Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan, “Atas dasar dalil tersebut, jelaslah bahwa imam perlu diam sebentar dalam shalat jahar, supaya makmum berkesempatan membaca al-Fatihah. Hal itu, untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia membaca al-qur’an sedangkan imam membaca al-qur’an juga. Telah ditetapkan (lewat hadis sahih) bahwa makmum diperbolehkan membaca al-Fatihah dalam shalat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian). Hadis-hadis masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Makhul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubbadah, ‘Sesungguhnya Nabi Muhamad Saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah dalam (shalat) fajar (shubuh)…sampai akhir hadis (lihat hadis Ubbadah’). Demikianlah Ibn Hajar Al-‘Asqalani.

 

Masih banyak riwayat tidak tercantum disini tentang kewajiban membaca surah Al-Fatihah  bagi makmum pada sholat jahar. Wallahua’lam.

Info: Menurut ijmak para ulama, membaca al-Fatihah gugur (kewajibannya) bagi makmum yang mendapatkan imam sedang rukuk.  Dalam kondisi seperti itu dia dianggap telah mendapatkan satu raka’at (telah membaca al-Fatihah) meskipun dia belum membaca al-Fatihah.  Wallahu’alam.

 

 

Kewajiban membaca Basmalah di Awal surah Al-Fatihah

Dalam mazhab Syafi'iyah khususnya, mewajibkan setiap orang membaca Basmalah pada awal surah Al-Fatihah dengan jahar/keras pada shalat maghrib, isya, subuh, jum’at dan suara lirih pada shalat dhuhur dan asr. Oleh karena basmalah merupakan ayat pertama dari surah ini. Hal tersebut didasarkan beberapa hadis berikut ini:

 

* Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-MujmiImam periwayat hadis sahih enam sempat bergaul 20 tahun dengan Abu Hurairah r.a.berkata, "Aku melakukan shalat dibelakang Abu Hurairah r.a dia membaca Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim, setelah itu dia membaca Ummu Al-Quran hingga sampai Wa laadh dhaallin, dia mengatakan amin. Orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Apabila bangun dari duduk dia mengucapkan Allahu Akbar. Jika bersalam (mengucapkan assalamu ‘alaikum).    Kemudian beliau berkata,  ‘Demi Allah yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah Saw. (daripada kalian).’”

(Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkan hadis tersebut dalam sahihnya [dalam Al-Fath II:266]; Ibnu Hibban dalam sahih-nya  [V:100]; Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya I:251; Ibnu Al-Jarud dalam Muntaqa hal.184; Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232]; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371], mengatakan, isnadnya sahih.                                                                         

Dan hadis itu disahihkan oleh sejumlah para penghafal hadis seperti Imam Nawawi; Ibnu Hajar dalam Al-Fath [II:267] mengatakan, Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadis yang paling sahih). 

 

* Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulalallah Saw. bersabda, “Jika kamu  membaca Alhamdulillah, bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya, Al-Fatihah itu Ummu Al-Quran (induk Al-Quran), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, adalah salah satu ayatnya.” (HR.Daruquthni [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lain dengan isnad sahih ,baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).

 

* Al-Hafidh Al-Haitami dalam Al-Mujma’ [II: 109] mengatakan, “Hadis tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”.

 

Syeikh Albani–imam mazhab wahabi-salafi–mensahihkan hadis diatas dalam beberapa dari kitabnya dan dalam beberapa kitab karangan yang dinisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab Sahih Al-Jami’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [I1I:179]. Meski pun demikian, dia tetap saja berkata dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi hal. 96’, “Kemudian Rasulallah Saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya.” Jika Basmalah diakui oleh Syeikh ini sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak dikeraskan juga bacaannya?

 

* Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca ‘wa-laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal-Quranal adhiim’. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Al-Quran) dan Bismillahir Rahmanir Rahim adalah ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan  hadis tersebut di riwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).

 

* Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a, “Rasulallah Saw. membaca Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim dalam  shalat dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”(HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam   Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lain dengan isnad sahih). 

 

* Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahir Rahmanir Rahim. Dia menjawab, “Siapa yang meninggalkan ba’ atau sin atau mim dari basmalah shalatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

 

* Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah [r.a] dan lainnya: “Sesungguhnya Nabi Muhamad Saw.  menjaharkan Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahiim”. (Hadis dari Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308]; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuqun (terpercaya); Al-Daraquthni [I:303-304] telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad, siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan kesahihannya. Rincian pembicaraannya dapat dilihat pada jilid III dari At-Tanaqudhat. Adapun, hadis dari Abu Hurairah r.a.yang di riwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] dan perawi lainnya. Hadisnya sahih).

 

* Ad-Dzahabi, melemahkan hadis diatas dalam kitab Talkhish Al-Mustadrak.Dia mengatakan, ‘Muhamad itu dhaif, yang di maksud adalah Muhamad bin Qais. Padahal tidak demikian, Muhamad bin Qais, orang baik dan terpercaya, dia termasuk rijal (sanad) Imam Muslim, sebagaimana disebutkan dalam Tahzib At-Tahzib [IX:367]. Disitu, disebutkan Muhamad bin Qais diakui mautsuq oleh Ya’qub bin Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakuinya dalam kitab At-Taqrib-nya. 

 

* Dalam sahih Bukhori [II:251 Al-Fath al-Bari], Abu Hurairah r.a. berkata, “Pada setiap shalat dibaca (Al-Fatihah dan surah red.). Apa yang beliau perdengarkan (jaharkan), kamipun perdengarakn dan apa yang beliau samarkan (lirihkan), kamipun menyamarkan  (melirihkannya). ..”

 

* Imam Muslim dalam Sahih-nya [I:300] meriwayatkan hadis dari Anas r.a.; “Suatu hari Rasulallah Saw. berada disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu, mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya, ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulallah’? Beliau menjawab, ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku, lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim, inna a’thainakal kautsar….sampai akhir hadis.’”

 

* Imam Nawawi mengatakan, “Berlandaskan dalil, basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap surah, kecuali surah Bara’ah/at-Taubah.  Basmalah itu ditulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/kaligrafi) mushaf. Hal itu, didasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijmak. Mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Al-Quran dengan khath Al-Quran yang selain dari Al-Quran. Umat Islam sesudah mereka, sejak dahulu sampai sekarang, sepakat atau ber-ijmak, basmalah itu tidak ada pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua, menguatkan apa yang telah kami katakan. (Syarh Muslim IV:111)

 

* Diriwayatkan, para sahabat yang empat-radhiyallahu ‘anhum-khususnya khalifah Umar dan khalifah Ali, semuanya menjaharkn bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (lihat kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378] ).

 

* Dalam sahih Bukhori [IX:91 Al-Fath], “Anas bin Malik r.a. pernah ditanya mengenai bacaan (basmalah) Nabi Muhamad Saw.. Dia menjawab, ‘Bacaan Nabi itu, (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Basmalah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim.’”

 

* Ibnu Hajar dalam Al-Fath II:229 menetapkan agar menggunakan hadis yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Jelaslah, bahwa dalam hadis telah menetapkan bacaan basmalah dengan jahar’.

 

Adapun, hadis Anas r.a. antara lain mengatakan, “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhamad Saw., Abu Bakar, Umar dan Usman, mereka memulai (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, (Imam Muslim dalam sahih-nya [I:299 no.50 dan 52].)

 

Hadis tersebut mu’allal (mempunyai banyak ‘ilat atau menurunkannya dari derajat sahih). Diantara ‘ilat yang melemahkan derajat hadis itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadis tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadis) Anas tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

 

Ada beberapa indikasi mengenai kelemahan hadis Anas r.a diatas tersebut;

  1. a) Hadis yang sahih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadis tersebut. Dalam hadis itu disebutkan, “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan)…(baca hadisnya dihalaman sebelumnya.
  2. b) Semua Hafidh ,penghafal hadis, yang menulis dalam Mushthalah Hadis dan mengarang mengenai hadis menyebutkan hadis Anas tersebut sebagai contoh hadis mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al-Fatihah itu..Disamping mu’allal, bersifat meniadakan bacaan basmalah. Adapun, hadis Anas lainnya dan banyak hadis dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca Menurut ilmu ushul fiqh yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadis mu’allal). Men-jam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan. Wallahu a’lam.

 

(Lebih mudah dan lengkapnya tentang pembacaan Al-Fatihah dan Basmalah, silahkan baca  kitab ,terjemahan, Shalat Bersama Nabi Saw. karya Syeikh Hasan Bin Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi, Oman, Jordania] cet. pertama 1993, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah  Bandung).  

 

Tidak mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahud         

Kaum muslimin ,khususnya penganut mazhab Syafi’iyah, ketika mengucapkan Asyhadu an laa ilaaha illallah dalam duduk tasyahud/tahiyat mensunnahkan mengangkat jari telunjuknya bila telah sampai pada illallah, tidak mengerak-gerakkan jari telunjuknya dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Hal tersebut, didasarkan beberapa hadis berikut ini:

 

* Hadis dari Jabir r.a.;“Rasulallah Saw. bersabda seraya (ber-isyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya kelangit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”. (sahih Muslim II:890)Telunjuk disebut juga syahid (saksi) sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia ber-isyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi Saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” berisyarat dengan telunjuknya, sebagai-mana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadis sahih.

 

* Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah Saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Imam Baihaqi (II:133) dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhamad Saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah Swt.).”  Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Majmu Al-Zawaid II:140, “Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar..” 

 

* Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan, “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka, berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkn  tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah…” Ini, berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar r.a.; “Dan (beliau Saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari, lalu berdoa.” (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, dan perawi lainnya). Doa yang dimaksud dalam hadis tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi Saw. dan doa-doa lainnya sebelum mengucapkan salam.

 

* Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, “Jika Rasulallah Saw. duduk dalam tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya" (Sahih Muslim I/408). Yang dimaksud lima puluh tiga dalam hadis ini, menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari dijulurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga. Dalam kitab yang sama, riwayat dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi mengatakan, “Abdullah bin Umar r.a. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam shalat.                                                  Setelah berpaling (selesai shalat), beliau melarangku seraya berkata, ‘Lakukan lah seperti apa yang dilakukan oleh Rasulallah,.jika Rasulallah Saw. duduk dalam shalat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya dan mengisyaratkan (menunjuk) jari yang dekat  ibu jarinya ke (arah) kiblat. Beliau, meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya.’”

 

Al-isyarah (mengisyaratkan) dalam hadis diatas, menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan (tahrik). Adapun penambahan kata ke kiblat dalam hadis itu, terdapat pada sahih Ibnu Hibban V:274; sahih Ibnu Khuzaimah I:356 dan lainnya].

 

* Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai ,seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat, “Aku melihat Rasulallah Saw. meletakkan dzira’nya [lengan tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas paha kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan membengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471; Abu Dawud I:260; Nasa’i III:39; Ibnu Khuzaimah dalam sahih-nya I:354 dan pensahihannya itu ditetapkan pula oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah no.8807; Ibnu Hibban dalam As-Sahih V:273; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya).

 

* Diriwayatkan dari Ibnu Zubair, “Rasulallah Saw. berisyarat dengan telunjuk dan tidak menggerak-gerakkannya, pandangan beliau tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadis ini sahih, sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125. 

 

* Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair r.a. “Rasulallah Saw. berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdoa dan tidak menggerak-gerakkannya”.(HR.Abu Awanah  dalam sahihnya II:226; Abu Dawud I:260; Imam Nasa’i III:38;  Baihaqi II:132; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad sahih). 

 

Berdasarkan hadis-hadis sahih tersebut disimpulkan, waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam.

 

Para ulama berikut ini, telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadis-hadis tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat. 

 

Menurut mazhab Syafi’i, tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”. 

Menurut mazhab Hanafi, mengangkat telunjuk itu adalah ketika mengucapkan Laa ilaaha dan meletakkan telunjuk ketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyah (ketuhanan) selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyah hanya untuk Allah semata.

Menurut mazhab Hanbali, mengangkat telunjuk itu adalah di setiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahud dan doa sesudah tasyahud.

 

Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya

Adapun, hadis yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena, hadis mengenai tasyahud dengan mengisyaratkan (menunjuk) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (jelas/terang) dan diriwayatkan oleh sebelas perawi tsiqah, kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut.

 

Berikut ini, pendapat ulama mazhab Syafi’iyah yang memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk ketika  tasyahud:

Dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220, dikatakan, “Dan tidaklah boleh, seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerak kan, makruh hukumnya dan tidak membatalkan shalat menurut pendapat yang lebih sahih, karena gerakan telunjuk itu, gerakan yang ringan”.

 

Menurut satu pendapat, “Batal shalat seseorang bila dia menggerak-gerakkan telunjuknya tiga kali berturut-turut.” [pendapat ini, bersumber dari Ibnu Ali bin Abu Hurairah, sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454].

Adanya khilaf [perbedaan) tersebut, terletak pada  gerakan pada telapak tangan. Selama telapak tangannya tidak ikut bergerak hukumnya makruh, tetapi jika telapak tangannya ikut bergerak, batal shalatnya.

 

Imam Nawawi dalam Fatawa-nya hal.54, dan dalam Syarh Muhazzab III/454 menyatakan, ‘makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut, karena perbuatan tersebut sia-sia dan main-main serta menghilangkan kekhusyuan.

 

Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh men-tahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi Saw. tidak men-tahrik).”

 

Jika ada orang yang berkata, ‘Sesungguhnya, ada hadis sahih mengenai pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadis tersebut. Begitu pula, ada beberapa hadis yang sahih, tidak digerak-gerakannya jari telunjuk. Manakah yang diunggulkan’?:

 

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk ketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah sahih pula riwayat hadis kepada pentahrikannya. Untuk menggabungkan kedua dalil tersebut, disimpulkan tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi, didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya haram dan dapat membatalkan shalat. Karenanya, kami mengatakan tahrik yang dimaksud, hukumnya makruh”.

 

Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan, ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk berdasarkan hadis riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadis itu sahih. Dan (harus) didahulukannnya hadis pertama yang menafikan tahrik daripada hadis kedua yang menetapkannya, karena ada beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”. 

 

Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu, dengan tanpa tahrik. Begitu pula, ada hadis yang meriwayatkan adanya tahrik. Namun, dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (penetapan di dahulukan dari penafian). Hal ini, karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu, yakni; ‘Yang dituntut dalam shalat tidak bergerak, karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyukan. Tahrik itu serupa perbuatan yang tidak ada gunanya dan shalat haruslah terpelihara dari hal tersebut, selama itu memungkinkan. Karenanya, ada pendapat yang membatalkan shalat, walau pun pendapat ini dho’if”. 

 

Imam Syafi’i memilih riwayat hadis tanpa menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, karena itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut didalam shalat.

 

Dalil yang menggerak-gerakkan telunjuk dan jawabannya

Golongan yang men-tahrik berdalil hadis dari Ibnu Umar,  “Menggerak gerakkan telunjuk ketika shalat dapat menakut-nakuti setan”. Hadis ini dho’if, diriwayatkan seorang diri oleh Muhamad bin Umar al-Waqidi (Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibnu Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247, “Tahrik jari (telunjuk) dalam shalat dapat menakut-nakuti setan, ini  hadis maudhu’”.

 

Mereka berdalil dengan ucapan Syeikh Al-Albani–imam mazhab wahabi-salafi–dalam kitabnya Sifat-sifat Shalat Rasulallah Saw. ,khususnya hal.158-159, mengemukakan sebuah hadis, “Beliau (Saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdoa. Beliau (Saw.) bersabda; ‘Itu ,yakni jari, sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi.’”

Redaksi hadis yang sebenarnya, tidak seperti yang disebutkan oleh Albani. Syeikh ini telah menyusun dua hadis yang berbeda, dengan menyusupkan kata-kata yang bukan dari hadis.

 

Redaksi hadis yang sebenarnya terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadis lainnya ialah; “Diriwayatkan dari Nafi’, Abdullah bin Umar r.a jika (melakukan) shalat ber-isyarat dengan jarinya (jari telunjuk), lalu di ikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasulallah Saw. bersabda; ‘Sungguh, itu lebih berat bagi setan daripada besi.’“ Al-Bazzar berkata, “Katsir bin Zaid meriwayatkan (hadis ini) secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’ dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadis ini”. Syeikh Albani sendiri, dikitab Sahihah-nya IV:328 mengatakan ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if/lemah’! 

Oleh karena itu, jelas dalam hadis diatas ini  tidak disebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya), tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’. 

 

Mereka juga berdalil riwayat  Wa’il bin Hujrin, “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya (ketika tasyahud), aku melihat beliau menggerak-gerakkan sambil berdoa” (HR.Nasa’i). Hadis ini oleh sebagian mazhab Maliki sebagai dalil untuk mensunnahkan tahrik telunjuk, dengan gerakan yang sederhana, dimulai sejak awal tasyahud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1: 716).

 

Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadis yang mengisyaratkan tahrik itu, termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyah). Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari mazhab Malikiyah dan bukan pula selainnya. Al-Hafidh Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan, “Jauhi lah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahud dan janganlah berpaling ke riwayat Al-Uthbiyah, karena riwayat tersebut baliyah (mengandung bencana)”.

 

Al-Hafidh Ibnu Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan, ‘Yang masyhur dalam mazhab Imam Malik tidak menggerak-gerakkan telunjuk yang di-isyaratkan itu’.

 

Begitu pula, tiga imam mazhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) tidak memakai zahir hadis Wa’il bin Hujr tersebut dan  tidak mensunnahkan tahrik. Karenanya,, mensunnahkan  tahrik berarti menggugurkan hadis Ibnu Zubair dan hadis-hadis sahih lainnya bahwa Nabi Saw. tidak menggerak-gerakan  jari telunjuk ketika tahiyat..

 

Imam Baihaqi yang bermazhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadis Wa’il bin Hujr, “Terdapat kemungkinan yang dimaksud dengan tahrik disitu, mengangkat jari telunjuk bukan menggerak-gerakkannya secara berulang, sehingga dengan demikian tidak lah bertentangan dengan hadis Ibnu Zubair.” Kesimpulan Imam Baihaqi ini, hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadis diatas yang berbeda.

 

Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu tidak bergerak, ketika sampai pada hamzah illallah, baru kita angkat. Itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang, sebagaimana pendapat sebagian orang. Wallahu- a’lam. Semoga semua muslimin diberi taufik dan hidayah oleh Allah Swt. dan diampunkan dosa-dosa kita. Aamiin

 

Silahkan ikuti kajian pada bab 6 berikutnya