SHOLAT GHAIB

Sholat Ghaib

Shalat Ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan seseorang ketika jasad si mayit tidak berada dihadapannya tapi berada pada jarak jauh dan sudah dimakamkan. Para fuqaha (ahli figih) dari kalangan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa shalat ghaib untuk jenazah itu ada masyru`iyah- nya dan merupakan shalat sunnah yang dianjurkan. (lihat Al-Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah 16/35, Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah 1/446, Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/443). Walaupun, jenazahnya tidak berada di hadapan kita seperti di luar negeri.

 

Dalil para fugaha mazhab Syafi’i dan Hanbali antara lain sebagai berikut;

Hadis riwayat imam Bukhori dan Muslim dari Jabir r.a bahwa Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam menshalatkan Raja An-Najasyi (dari negeri Habsyah) dan bertakbir 4 kali. (HR. Bukhori dan Muslim)

 

Dalam sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bertanya tentang seorang wanita yang biasa berkhidmat di masjid. Para sahabat berkata, ia telah wafat. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam marah dan berkata, 'Kenapa tidak kalian katakan padaku ?' Para sahabat menjawab, ‘Ia wafat di malam hari wahai Rasulullah, kami enggan membangunkan engkau untuk menghadiri jenazahnya,’ Beliau shalllahu'alaihiwasallam minta di tunjukkan makamnya, lalu beliau shalllahu'alaihiwasallam dengan keadaan berdiri bertakbir (shalat gaib, yakni mayatnya telah dimakamkan) didepan makamnya di-ikuti para sahabat, 4 kali takbir lalu bersalam.

 

Mazhab yang membolehkan ini bukan hanya mensunnahkan menshalati mayit ghaib diluar negeri, bahkan juga membolehkan shalat ghaib untuk jenazah yang jaraknya batas minimal safar, yaitu sejauh minimal 16 farsakh atau setara dengan 89 km. Dan salah satu syarat juga si mayit ghaib ini sudah di makamkan.

Mazhab ini juga membolehkan posisi jenazah tidak searah dengan arah kiblat, asalkan shalatnya tetap menghadap kiblat (Fiqh Islami wa Adilatuhu, 2/445). Bahkan, dibolehkan juga untuk shalat jenazah secara ghaib walaupun sebulan setelah di makamkanya jenazah itu.

 

Dalam kitab Al Fiqh al Wadlih min al Kitab wa As Sunnah, juz 1 hal.417 disebutkan ketika Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam mendapat berita kewafatan Zaid bin Haritsah dan Jakfar bin Abi Thalib dalam Perang Mu’tah, beliau menshalatinya (ghaib)  Mu’tah adalah nama tempat dimana terjadi petempuran sengit dan tidak seimbang antara pasukan Isam dan tentara Romawi.

 

Dalam kitab Fiqih empat mazhab karya Syeikh al-‘Allamah Muhamad ad-Dimasyqi ,terjemahan hal.120, disebutkan, ‘Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Hambali bahwa shalat ghaib dibenarkan (sah), sedangkan menurut pendapat imam Hanafi dan Malik, tidak sah.’

 

Nah jelas sudah, masalah ini telah menjadi area perbedaan pendapat di kalangan ulama. Karenanya, janganlah kita mudah membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadis atau fatwa para ulama dan mengenyampingkan hadis dan fatwa ulama lainnya. Membid’ahkan munkar/ sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.

Selama masih di dalam wilayah ijtihad, tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain apalagi menganggapnya sebagai bid'ah yang tercela. Wallahua’lam.

Silahkan ikuti kajian berikutnya.

Maak jouw eigen website met JouwWeb