Keharaman Tawasul Versi Wahabi-Salafi

Wasitah/Tawasul dan Tabarruk          

Seperti telah disinggung, kaum Wahabi adalah kelompok yang sangat gencar melarang tawasul. Demikian pula dengan tabaruk dan istighatsah. Argumen keharamannya juga berkenaan dengan tuduhan bahwa praktik tawasul merusak kemurnian tauhid. Jadi, setelah diharamkan, menyusul kemudian dengan tuduhan bid‘ah dhalalah dan syirik. Bagi kaum Wahabi, tawasul berarti meminta pertolongan kepada selain Khaliq. Jika pandangannya demikian, tabaruk (mengambil berkah dari orang saleh atau para wali) tidak ada dalam konsep keberagamaan Wahabi. Begitu pula dengan istighatsah, karena dalam kamus mazhab Salafi-Wahabi, majlis zikir adalah bid‘ah dhalalah.  

 

Secara leksikon, kata ‘tawasul’ mempunyai arti ‘darajah’  (kedudukan), ‘qurbah’ (kedekatan) dan ‘wasilah’ (penyampai/ penghubung). Sehingga sewaktu di katakan bahwa ‘washala fulan ilallah washilatan idza amala amalan taqarraba bihi ilaihi’ (Bila seseorang beramal dengan amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, amal tersebut dapat menjadi penghubung menyampaikan dirinya kepada Allah Ta'ala.)’. (Ibnu Mandzur, Kitab Lisan al-Arab jilid 11 asal kata wa-sha-la).

 

Dalam Al-Quran terdapat penggunaan kata tawasul dalam ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan’ (QS Al-Maidah [5]:35). Dalam ayat ini, Allah Taáala menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana untuk sampainya manusia menuju Allah Ta'aala.

 

Secara garis besar tawasul/wasitah bermakna perantara. Dalam praktiknya, ia banyak dilakukan ketika berdoa kepada Allah Jallajalaaluh.. Doa itu dilakukan dengan menyertakan nama Nabi Muhamad Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam atau nama pribadi seseorang yang masyhur dikenal sebagai ahli takwa. Atau dengan menyebut-nyebut amal kebajikan si pendoa. Dengan tawasul ini, diyakini bahwa peluang dikabulkannya harapan dan doa lebih besar. Yang penting ditekankan di sini bahwa tujuan permintaan tetap ditujukan kepada Allah Ta'aala. Termasuk juga praktik wasitah/tawasul ialah meminta bantuan kepada makhluk. Hal ini dipraktikkan dengan mengambil qiyas bahwa Nabi Muhamad shalllahu 'alaihi wasallam adalah pemberi syafaat kepada umatnya baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Demikian pula, dengan permohonan kepada para sahabat Nabi shalllahu 'alaihi wasallam, kepada para waliyullah atau ahli takwa, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

 

Dalam perdebatan mengenai tawasul, yang menjadi pokok masalah adalah soal sarana-sarana lain ,selain yang disebutkan dalam ayat di atas, yang dipandang sah menurut syariat Islam. Ini pula yang menjadi bahan perdebatan antara kaum Wahabi dengan kelompok lain. Muhamad bin Abdul Wahhab an-Najdi (pelopor dan imam gerakan Wahabi), dalam kitab Kasyfus Syubuhat hal. 60,  menyatakan:

"Jika ada sebagian orang musyrik (baca: muslim non-Wahabi/ Salafi) mengatakan kepadamu, ‘Ingat lah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati’ (QS.Yunus [10]:62), atau mengatakan bahwa syafa’at adalah benar, atau mengatakan bahwa para nabi memiliki kedudukan disisi Allah, atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatilan mereka (seperti syafa’at, tawasul/istighatsah, tabaruk—pen.), sedang kalian tidak memahami- nya (tidak bisa menjawabnya) katakanlah, ’Sesungguhnya Allah dalam Al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih)."

 

Di sini jelas sekali, Muhamad bin Abdul Wahab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang meyakini adanya syafa’at. Menarik untuk diperhatikan bahwa Muhamad bin Abdul Wahhab mengajarkan kepada para pengikutnya “cara melarikan diri” dari diskusi mengenai topik ini. Ia tidak mau memasuki topik ini secara detail, tapi langsung melompat pada dalil lain tentang pembagian ayat mutasyabihat dan muhkamat. Tidak heran jika kita menyaksikan bagaimana debat kaum Wahabi saat ini. Mereka banyak mengeluarkan dalil baik dari nash Al-Quran maupun hadis, tapi sering kali konteksnya tidak tepat.

 

Nashiruddin Albani, seorang ahli hadis dari kalangan Wahabi-Salafi, pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul at-Tawasul: Ahkamuhu wa Anwa‘uhu (Tawasul: hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga dalam mukadimahnya atas kitab Syarh at-Thahawiyah” (hal.60), menyatakan, “Sesungguhnya masalah tawasul bukanlah tergolong masalah akidah.”

 

Lebih tegas lagi, pernyataan Abdullah bin Baz ,seorang mufti mazhab Wahabi, “Barangsiapa yang meminta (istighatsah/ tawasul) kepada Nabi dan meminta syafaat darinya, ia telah merusak keislamannya.” (Al-Aqidah as-Shahihah wa Nawaqidh al-Islam). Begitu pula, Abdul Aziz Bin Baz ,Imam kelompok Wahabi, dalam kitab al-Fatawa al-Islamiyah jilid 4 hal.29 mengatakan, “Meletakkan Al- Quran dalam kendaraan (mobil) untuk mencari berkah (tabaruk) merupakan sesuatu yang tidak berasas (tidak ada asal/dasarnya) dalam syariat Islam.” Dengan kata lain, Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbuatan semacam itu (mencari berkah) tidak ada dalilnya dan merupakan perbuatan bid’ah!

 

Ibnu Utsaimin dalam kitab Majmu’at al-Fatawa li Ibnui Utsaimin fatwa nomer 366 mengatakan: “Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari.red) Ka’bah dan mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabaruk) juga ia sebutkan dalam kitab Dalil al-Akhtha halaman 107, “Sebagian penziarah mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk kategori bid’ah”. Inilah, fatwa Syeikh Utsaimin yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan blog-blog kaum Wahabi/Salafi, selain Abdul Aziz Bin Baz di atas tadi.

 

Ibnu Fauzan ,kelompok ulama Salafi, dalam kitab al-Bid’ah hal.28-29 mengatakan, “Tabaruk mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta kebaikan dan meminta tambahan dari hal-hal tadi. Permintaan ini, harus diminta dari sesuatu yang pemiliknya memiliki kemampuan. Ini tidak lain hanyalah Allah semata. Hanya Dia yang mampu menurunkan dan menetapkan- nya. Tiada satu makhluk pun yang mampu memberi ampunan, memberi berkah atau mengadakan dan menetapkan hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak di- perbolehkan mengambil berkah dari tempat-tempat, peninggalan-peninggalan ataupun dari seseorang, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Karena hal itu bisa masuk kategori syirik”.

Jika tadi Bin Baz dan Bin Usaimin menyebutnya sebagai perbuatan bid'ah, Ibnu Fauzan lebih berani lagi menyatakan bahwa Pencari Berkah Tergolong Musyrik.

 

Para ulama Wahabisme  yang terhimpun dalam “al-Lajnah ad-Da’imah li al- Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan Pemberi Fatwa) dalam fatwanya nomer 3019 menyatakan, “…Perhatian masyarakat terhadap masjid ini (masjid al-haramain-pen.) dengan mengusap-usap tembok dan mihrab untuk mencari berkah merupakan pekerjaan bid’ah dan juga masuk dari salah satu jenis syirik. Perbuatan ini, sama dengan perbuatan kaum kafir pada zaman jahiliyah”.

 

Ternyata kumpulan ulama Wahabi tersebut, ingin menyatukan antara fatwa para tokoh ulama mereka. Sebagian dari mereka menyatakan “tabaruk” merupakan perbuatan bid’ah, sedang yang lain menyatakan perbuatan syirik. Fatwa mereka ‘bid’ah dan syirik’ inilah,  yang harus kita garis bawahi untuk bekal kajian berikutnya.

 

Bahkan, ibnu Taimiyah ,ulama yang sering disebut-sebut sebagai rujukan utama kaum Wahabi-Salafi, dalam salah satu kitabnya At-Tawasul wal Wasilah, tidak terlalu tegas bersikap mengenai soal tawasul. Terkadang beliau mengingkarinya, terkadang membolehkannya. Dan ada pula beliau mencoba menjawab masalah ini dengan mengklasifikasikan jenis-jenis tawasul.

 

Dalam kitab itu, Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan tawasul dalam tiga jenis:

Pertama, tawasul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muasal iman dan Islam. Barangsiapa yang mengingkarinya, berarti telah kufur terhadap hal yang umum dan yang khusus.  

Kedua, tawasul dengan doa dan syafa’at Nabi, dalam arti bahwa nabi secara langsung dapat memberi syafa’at dan mendengar doa semasa hidupnya, sehingga di akhirat kelak, mereka akan ber-tawasul kepadanya untuk mendapat syafa’atnya. Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut, dia tergolong kafir murtad dan harus diminta untuk bertaubat. Jika tidak, ia harus dibunuh karena kemurtadannya.

Ketiga, tawasul untuk mendapat syafa’atnya pasca kewafatanya. Sungguh ini merupakan bid‘ah yang dibuat-buat. (Ibnu Taimiyah, At-Tawasul wal Wasilah, hal. 13, 20, dan 50)

 

Dari penjelasan di atas tadi, menunjukkan bahwa pengkategorian bid‘ah tawasul menurut Ibnu Taimiyah, terletak pada hidup dan wafatnya objek yang dijadikan tempat bertawasul.

 

Dalam kitab Qa‘idah Jalilah Fit-Tawasul Wal-Washilah ketika membahas firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwa lah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”(QS Al-Maidah [5]:35), Ibnu Taimiyah menulis,

[[“Mencari wasilah atau bertawasul untuk mendekatkan diri kepada Allah-Ta'aala-hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhamad Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-dengan mengikuti tuntunan agamanya. Tawasul dengan beriman dan taat kepada beliau-shalllahu 'alaihi wasallam-adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan batin, baik di kala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung di hadapan beliau sendiri atau pun tidak.

 

Bagi setiap muslim, tawasul dengan iman dan taat kepada Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhaan Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawasul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliau lah penolong (Syafi’) umat manusia. Beliau-shalllahu'alaihiwasallam-adalah makhluk Allah termulia yang di hormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Di antara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong umatnya masing-masing.

 

Muhamad Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah Ta'aala mengenai Nabi Musa álaihissalaam, Allah Ta'aala berfirman, bahwa beliau mulia di sisi Allah. Mengenai Nabi Isa 'alaihissalaam, Allah Ta'aala juga berfirman bahwa beliau mulia di dunia dan di akhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhamad Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan doa beliau-shalllahu 'alaihi wasallam-pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawasul dengan iman dan taat kepada beliau-shalllahu 'alaihi wasallam-.”]] Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyah mengenai tawasul.

 

Dari penjelasan Ibnu Taimiyah di atas, dapat diambil dua pengertian:

Seorang Muslim yang taat, mencintai dan mengikuti tuntunan Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam serta mempercayai syafa’at beliau, dapat dibenarkan kalau ia bertawasul dengan keimananannya, ketaatannya, kecintaannya dan kepatuhannya mengikuti tuntunan beliau shalllahu 'alaihi wasallam. Kita bertawasul dengan Nabi kita Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dibawah kesaksian Allah Ta'aala, bahwa tawasul kita itu benar-benar atas dasar keimanan dan kecintaan kita kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam. Tambah lagi dengan keyakinan kita bahwa beliau shalllahu'alaihiwasallam adalah seorang Nabi dan Rasul yang sangat mulia dan amat tinggi martabatnya dalam pandangan Allah Jallaajalaaluh.

 

Ibnu Taimiyah mengatakan, “barang siapa yang didoakan oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, ia dapat bertawasul dengan doa beliau”. Mengenai itu, kita mempunyai keyakinan, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam senantiasa mendoakan umatnya. Hal ini, kita ketahui dari berbagai hadis, antara lain yang diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah r.a., ‘Aku tahu benar bahwa Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-orang yang baik hati, karena itu aku berani berkata kepada beliau, ‘Ya Rasulallah, berdoalah untukku.’

Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu bagi Aisyah atas segala dosanya di masa lalu dan di masa mendatang, yang diperbuat secara diam-diam maupun secara terang-terangan.’ Aisyah r.a. tertawa. Kepadanya Rasulallah -shalllahu'alaihiwasallam-bertanya, ‘Apakah engkau gembira mendengar doaku?’

Aisyah r.a menjawab, ‘Bagaimana aku tidak gembira karena doa anda? ’Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-kemudian menegaskan, ‘Itulah doa bagi umatku yang kuucapkan setiap shalat.’” (Hadis ini, dikemukakan oleh Al-Bazzar dengan para perawi yang sahih, dan Ahmad bin Manshur Ar-Ramadi sebagai orang yang dapat dipercaya, demikianlah menurut kitab Majma’ az-Zawa’id).

 

Ada keterangan yang lebih mengherankan lagi, jika kaum Wahabi kontemporer sedemikian gencar melarang tawasul. Muhamad Ibnu Abdul Wahab dalam kitabnya yang lain, Al-Istifta, menunjukkan peralihan sikap. Sikap pertama, sebagaimana di-ikuti Albani dan Al-Baz ,ulama dan mufti Wahabi modern, memandang soal tawasul sebagai merusak akidah. Sedangkan dalam kitab Al-Istifta, Muhamad Ibnu Abd Wahab menyatakan, soal tawasul adalah soal ikhtilaf fiqhiyah. Perbedaan mengenai soal cabang, bukan soal pokok (tauhid). Anehnya, kendati demikian, kaum Wahabi tetap menolak dan melarang keras praktik tawasul.

 

Dalam kitab Al-Istifta dan diulang dalam Majmu’ah al-Muallafat bagian 111 hal. 68, yang diterbitkan khusus oleh Universitas Islam Imam Muhamad bin Sa’ud dalam pekan peringatan Muhamad Ibnu Abdul-Wahhab, tertulis:

“Tidak ada salahnya seseorang bertawasul kepada orang-orang saleh. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang memperbolehkan tawasul khusus kepada Nabi Muhamad Saw. saja, berlainan sekali dengan pendapat sementara orang yang tidak memperbolehkan minta pertolongan kepada sesama makhluk.

Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawasul). Kami sendiri sependapat dengan jumhur ulama yang memandang tawasul itu makruh, tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawasul.

Kami pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat dibenarkan ialah orang yang lebih banyak meminta (berdoa) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah Swt.. Yang kami maksud adalah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syaikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain.

Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya”.

 

Keterangan di atas berbeda sekali dengan isi surat yang dikirimkan oleh Muhamad Ibnu Abdul Wahab kepada warga Qushim. Dalam surat itu, Muhamad Ibnu Abd Wahab menghukumi kafir orang yang bertawasul kepada orang-orang saleh; menghukumi kafir Al-Bushairi (pengarang kitab Burdah) atas kalimat ya akramal khalq... dan membakar kitab Dalailul Khairat. (lihat kumpulan fatwa Syaikh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhamad Bin Saud Riyadh bagian ketiga hal.68).

 

Kelompok Wahabi-Salafi memahami tawasul sebagai bentuk penyembahan kepada selain Allah. Mereka menyamakan argumen kaum jahiliah ketika diminta berhenti menyembah berhala, “Kami tidak menyembah mereka (berhala berhala) kecuali untuk mendekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah.” (QS. Az-Zumar [39]:3). Mereka mendudukan para ahli takwa dan orang-orang saleh, yang dijadikan sebagai sarana (wasilah) dalam bertawasul sebagai “berhala” yang disembah oleh para ahli tawasul. Karenanya, kaum Wahabi menyebut praktik tawasul sebagai syirik.

 

** Dengan asumsi seperti itu, kaum Pengingkar memperkuat tuduhannya dengan sejumlah dalil nash mengenai larangan menyekutukan Allah Ta'aala, antara lain:

“...Maka janganlah kalian menyembah kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang…”  (QS Al-Jin [72]: 18);

Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) doa yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.” (QS. Ar-Ra’ad [13]: 14); “Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah.” (QS. Al-Infithar [82]:17-19); 

Tidak ada sedikitpun campur tangan kamu (hai Muhamad) dalam urusan mereka (kaum musyrikin)” (QS.Ali Imran:128) Katakanlah (hai Muhamad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkn kemanfaatan bagi diriku, dan tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (QS. Al-A’raf : 188)

 

Jawaban;

Kelompok ini, menyamakan orang-orang yang bertawasul sama dengan kaum musyrikin jahiliyah. Mereka menuduh, dengan bertawasul berarti mengakui dan meyakini adanya sifat-sifat ketuhanan kepada objek tawasul, sebagaimana kaum musyrik jahiliyah menganggap patung-patung mereka. Semuanya, dinilai telah menyembah selain Allah dan menyekutukan Allah dengan yang lain. Paham seperti ini, adalah keliru.

 

Ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya ditujukan kepada mereka yang tidak berdoa kepada Allah Ta'aala. Adapun, orang yang bertawasul berdoa hanya kepada Allah Ta'aala tidak kepada selain Allah Ta'aala. Orang yang bertawasul dengan Nabi dan ahli takwa, sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa mereka itu akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan! Setiap muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.

 

Begitu pula, ayat Al-A’raf:188 itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah Ta'aala telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin Allah didunia dan akhirat.

 

Demikian pula, pernyataan beliau shalllahu'alaihiwasallam kepada kaum kerabat nya, beberapa saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad shalllahu 'alaihi wasallam) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…! 

Pernyataan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah di kenakan Allah kepada seseorang dan beliau shalllahu'alaihiwasallam pun tidak berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah Ta'aala kepada seseorang, sekalipun orang itu kerabat beliau sendiri. Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawasul.

Bertawasul kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dalam berdoa tidak berarti lain kecuali mengharapkan syafa’at beliau agar Allah Ta'aala berkenan mengabulkan doa dan permohonan yang diminta. Adapun, soal terkabulnya suatu doa atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah Jallaa jalaaluh”. Demikianlah pula garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal tawasul.

 

Dan ayat Az-Zumar:3 diatas, oleh golongan pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabaruk (pengambilan barokah) itu tidak tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak menyebutkan; ‘Kami tidak mengambil barokah mereka melainkan....’, tapi diayat ini menyebutkan; ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan.....’

Kaum musyrikin Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ kepada berhala-berhala secara hakiki, bukan hanya sekedar wasitah ,sebagaimana ucapan mereka,  untuk mendekatkan hubungan  dengan Allah. Mereka menyembah patung itu, menyekutukan Allah Swt. dan meyakini berhala-berhala mempunyai kekuatan secara bebas, mampu menjauhkan segala marabahaya dan memberikan manfaat kepada mereka.

 

Sekiranya, kaum musyrikin benar-benar memandang berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasitah, mereka tidak akan menyembahnya, memberi sajian-sajian dan sebagainya. Begitu pula, mereka dalam perang Uhud Abu Sufyan bin Harb tidak akan berteriak minta pertolongan pada berhalanya yang bernama Hubal: U’lu Hubal artinya Jayalah Hubal.

Abu Sufyan dan pasukan musyrikin yang dipimpinnya percaya dan meyakini bahwa berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah Ta'aala dan Rasul-Nya serta pasukan muslimin. Disini jelaslah kepercayaan, keimanan kaum musyrikin jauh berbeda dengan keimanan kaum muslimin yang bertawasul tersebut.

 

**Untuk menyerang kaum yang sering bertawasul, kaum Wahabi berargumen juga dengan dua hadis berikut ini. Mereka memahami dua hadis berikut secara tekstual. Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

إذَا سَألْتَ فَاسْألِ اللهَ, وَإذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ أنَّ الاُمَّةَ لَوِ اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََعُوْنَكَََ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَـَعُوكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ لَكَ  , وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَد كَتَبَهُُ اللهُ عَليْـَكَ

“Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimu, mereka tidak akan dapat berbuat mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu” (HR. Tirmidzi).

 

Pada zaman Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ada seorang munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum muslimin. Ketika itu Abu Bakar r.a. berkata pada teman-temannya, “Mari kita minta pertolongan pada Rasulallah dari gangguan si munafik itu.” Kepada mereka beliau-shalllahu'alaihiwasallam- menjawab, “Itu tidak dapat dimintakan pertolongan kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan pertolongan kepada Allah.” (HR. Thabrani)

 

Jawaban;

Dengan riwayat di atas, bagi kaum Wahabi-Salafi semua permintaan dan semua pertolongan yang diminta dari selain Allah adalah syirik (keluar dari agama). Berbeda dengan kaum Sunni yang memahami hadis-hadis tersebut sebagai peringatan agar kaum Muslim jangan lengah, segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah Ta'aala. Jadi bila hendak minta tolong pada manusia, haruslah tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung pada kehendak dan izin Allah Jallaajalaaluh. Hadis-hadis di atas, bagi kaum Sunnni bermakna untuk memantapkan akidah. Posisi para nabi dan wali Allah hanyalah sebagai wasilah (perantara), tidak lebih dari itu.

 

Kalau mereka bersikeras mempunyai paham ,tidak boleh minta tolong kepada sesama makhluk, hanya kepada Allah Ta'aala, maka akan berlawanan dengan beberapa hadis berikut ini;

Rasulallah shalllahu'alaihiwasallambersabda;  

                     وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ            

‘Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya’. Atau sabda Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam;

     إنَّ لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ إلَيْهِمْ فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ

‘Allah mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu, banyak orang mohon pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah, orang-orang yang selamat dari siksa Allah’.

 

Sebuah riwayat dari Abdullah bin Abbas r.a. mengatakan bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda: “Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Oleh karenanya, jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “.(HR. At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).

 

Abdullah bin Mas’ud r.a meriwayatkan, Rasul shalllahu'alaiwasallam bersabda: “Jika seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…, hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.

 

Utbah bin Ghazwan mengatakan, ia pernah mendengar Rasulallah-shalllahu 'alaihiwasallam-bersabda: “Jika seorang dari kalian kehilangan sesuatu atau ia membutuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah aku’, karena sesungguh nya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan Utbah sendiri telah mencoba melaksanakn anjuran Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ini! Riwayat ini, di ketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya, kecuali Yazid bin Ali, oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup sezaman dengan Utbah.

Hadis-hadis diatas ini, membuktikan permintaan tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan (gaib) juga mustahab.

 

Begitu pula, bila tawasul, tabaruk dilarang dalam syariat Islam dan sebagai perbuatan syirik ,versi Wahabi-Salafi, akan berlawawan banyak hadis yang melegalkan praktik tawasul dan tabaruk, sebagaimana yang tertulis dalam site ini.

Bagi mayoritas ulama Sunni,  penghormatan, pemuliaan, tawasul dan tabaruk terhadap para Nabi, Waliyullah serta orang-orang saleh lainnya merupakan hal yang mustahab (dibolehkan). Para nabi, wali dan orang-orang saleh adalah kelompok yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Mereka berzikir siang malam.

 

Dalam surah Yunus : 62-63 Allah Swt. berfirman  :

 اَلآ اِنَّ اَوْلِيَاءَ الله لآ خَوْفُْ عَلَيْهِمْ وَلاهُمْ يَحْزَنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكاَنُوْا يَتَّقُونَ

 "Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang orang beriman dan senantiasa bertakwa”.

 

Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menyebutkan kemuliaan dan keistemewaan para wali Allah (sholihin) dari hadis yang berasal dari Mu’az bin Jabal r.a., dimana Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda,

ذِكْرُ الأنْبِيَاءِ مِنَ العِبَادَةِ , وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ المَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ القَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الجَنَّةِ. 

“Ingat kepada para nabi adalah bagian dari ibadah; ingat kepada orang-orang saleh adalah kafarah (menebus dosa); ingat mati adalah sedekah dan ingat kuburan mendekatkan kalian kepada surga” (HR Ad-Dailimi).

 

Ibnu Babuwaih dalam kitab Al-Mujalasah dan Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya meriwayatkan sebuat hadits dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah bersabda:       

         ذِكْرُ عَلِيِّ (بْنِ أبِي طَالِبْ) عِبَادَة                                      

“Ingat kepada ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah ibadah”.

Mengingat mereka saja sudah termasuk ‘ibadah apalagi sering mendekati mereka itu adalah amalan yang baik. Sebagaimana firman Allah Ta'aala:    

                      ... وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينِ            

“....Dan bergabunglah kamu sekalian dengan orang-orang yang benar/tulus (Rasul- allah, para shalihin).(QS. At-Taubah : 119)

Agaknya, sulit bagi golongan pengingkar untuk menerima kedudukan khusus para nabi, wali dan orang-orang saleh. Dipastikan juga, bahwa golongan ini sulit menerima kenyataan tawasul kepada para nabi, wali dan orang-orang saleh yang gerak-geriknya selalu dalam bimbingan Allah Ta'aala. Karena jika melibatkan para nabi, wali dan orang-orang saleh dalam berdoa kepada Allah, bagi golongan ini berarti menempatkan para nabi, wali dan orang-orang saleh sebagai berhala.

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya

Maak jouw eigen website met JouwWeb