Riwayat mengenai Abu Thalib menurut pakar Ulama
Abu Thalib
Berikut, beberapa riwayat lagi mengenai keluarga Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam, khususnya paman Rasulallah, Abu Thalib. Sejumlah sejarawan dan kelompok Muslimin ,khususnya kaum Wahabi dan pengikutnya, tidak akan berhenti dan secara gencar untuk menyebarkan versi hadis-hadis yang di dalamnya tercantum firman Allah Taáala, tentang kekafiran (menurut versi gol. wahabi) Abu Thalib ini.
Beberapa dalil golongan pengingkar, antara lain:
**Hadis dari Said bin Musayab, dari bapaknya katanya; ”Ketika Abu Thalib hampir wafat, Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam mengunjunginya. Ditempat Abu Thalib sudah hadir Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayah bin Mughirah. Kemudian Rasullah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, ‘Wahai paman, ucapkan lah La ilaha illallah, sebuah kalimat yang aku akan menjadi saksi bagi paman nanti dihadapan Allah’.
Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayah berkata, ‘Hai Abu Thalib, bencikah anda kepada agama Abdul Muthalib’? Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam terus menerus mengulang-ulang ucapannya itu. Akhirnya, Abu Thalib mengatakan, ‘Dia tetap memegang agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan laa ilaha illallah’.
Kemudian Rasulullah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, ’Demi Allah, Aku akan mohonkan ampun bagi paman, selama aku tidak dilarang melakukannya”. Lalu, turun surah al-Qashas:56. (HR. Bukhori dan Muslim, Mukhtashor Ibnu Katsir ,juz 3,hal.19 oleh DR. Ali Asho-bunni).
**Firman Allah Taáala; ’Mereka melarang (orang lain) mendengarkannya (AlQuran) dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanya membinasakn diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari. (QS. al-An’am [6]:26).
**Sufyan At-Tsauri, meriwayatkan hadis dari Habib bin Tsabit dari seseorang (tidak disebut namanya) yang menyatakan, Ibnu Abbas berkata, “Ayat (diatas) ini, turun ditujukan untuk Abu Thalib, karena ia selalu melindungi Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dari orang-orang kafir, tetapi tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Tabaqat Ibnu Sa’ad, jilid 2, hal. 105; Tarikh atThabari jilid 7, hal. 100; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 172; Tafsir al-Kasyaf, jilid 1, hal. 448; Tafsir, Qurthubi, jilid 6, hal. 406, dan lain lain)
**Imam Bukhari dalam Sahih-nya menulis, “Ketika menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulualah mendekatinya. Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah telah berada di sana. Rasulalah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Wahai paman, katakanlah, ‘Tiada yang patut disembah kecuali Allah, sehingga aku dapat membela kamu dengannya di hadapan Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah berkata, “Wahai Abu Thalib! Apakah engkau akan mengulang kembali ucapan agama Abdul Muthalib?”
Lalu Nabi shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Aku akan tetap memohonkan (kepada Allah) ampunan bagimu, meski aku dilarang melakukannya.” Lalu, turun lah surah at-Taubah ayat 113, “Tiadalah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang yang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka, orang-orang yang musyrik itu penghuni Jahanam.”’.
**Riwayat Imam Bukhori hadis serupa diatas, dari Musayab: “Ketika Abu Thalib menjelang ajalnya, nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam menemui nya dan melihat ada Abu Umayah bin Mughirah. Nabi Muhamad bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah tiada yang patut disembah kecuali Allah, kalimat yang aku jadikan pembelaan bagimu di hadapan Allah!”
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan meninggalkan agama nenek moyangmu, Abdul Muthalib?” Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam terus memintanya untuk mengucap kalimat syahadat, sedangkan dua orang tadi mengulang-ulang kalimat mereka, hingga Abu Thalib mengatakan, kepada mereka terakhir kali, ‘Aku mengikuti agama Abdul Muthalib dan menolak untuk mengatakan ‘tiada yang patut disembah kecuali Allah.’
Nabi berkata, “Demi Allah, aku akan tetap memohonkan ampunan Allah bagimu, meskipun dilarang (Allah)!”
Lalu, Allah menurunkan ayat 113 (surah at-Taubah), “Tiada patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman…sampai akhir ayat” Kemudian Allah menurunkan ayat khusus bagi Abu Thalib, “Sesungguhnya Engkau (Muhamad) tidak dapat memberi petunjuk orang yang engkau kehendaki, tetapi Allah yang memberi petunjuk orang-orang yang Ia kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).
Ikutilah Jawaban berikut ini:
*Riwayat-riwayat diatas, tidak tepat sebagai bukti dan dalil atas kekafiran Abu Thalib, alasannya sebagai berikut:
Ayat At-Taubah [9]:113 tersebut, termasuk Madaniyah (Ayat yang turun di Madinah), sedangkan Abu Thalib wafat di Makkah dua tahun sebelum hijrah, jadi tidak cocok dengan faktanya dan tidak dapat dibuat dalil (lihat,Tafsir Al-Munir,,juz 6,hal.61).
*Ayat at-Taubah:113 hanya perintah kepada Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam secara umum, bukan keprihatinan untuk sesuatu yang tidak dilakukan Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Apabila kita melihat ayat selanjutnya (114) yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang memohonkan ampun untuk pamannya, Azar [nama ayahnya adalah Tarakh. silahkan baca kutipan sebelumnya], sebelum beliau mengetahui bahwa paman- nya ini adalah musuh Allah. Quran menyebutkan,
“…Apabila telah jelas baginya bahwa ia (Azar) adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya.....” (QS. at-Taubah : 114)
*Begitu pula, surah at-Taubah ini, turun pada tahun 9 Hijriah. Surah ini di turunkan pada peristiwa peperangan Tabuk, yaitu pada bulan Rajab 9 H. Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam telah memerintahkan Abu Bakar r.a. untuk mengumumkan bagian pertama surah ini, pada musim haji di tahun itu, ketika Nabi shalllahu'alaihiwasallam mengutusnya sebagai Amirul Hajj.
Lalu, beliau shalllahu'alaihiwasallam mengutus Imam Ali k.w. untk mengambil alih tugas Abu Bakar r.a. dan mengumumkannya. Nabi shalllahu'alaihi wa sallam, bersabda, ‘Tiada seorang pun yang membawa surah ini kepada mereka, kecuali salah satu dari Ahlul baitku’.( Sahih at-Turmudzi, jilid 2, hal. 183, jilid 5, hal. 275, 283; Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, jiiid 1, hal. 3,151, jilid 3, hal. 212, 283; Fadhail as-Sahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 526, hadis 946; Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 51; Khasaish al-Awiya, Nasa’i, hal. 20; Fadhail al-Khamsah, jilid 2, hal. 343; Siratun Nabi, Syibli Numani, jilid 2, hal. 239.)
*Adapun, ayat Al-An’am:26, jelas ditujukan orang yang masih hidup. Di ayat itu disebutkan, Mereka melarang (orang lain) mendengarkannya (AlQuran) dan mereka sendiri menjauhkan diri dari padanya.. Orang yang telah wafat, tidak dapat melarang seseorang untuk mendengarkan Al-Quran, dan diapun tidak dapat melakukannya. Karena itu, ayat tersebut tidak tepat ditujukan kepada Abu Thalib, yang telah wafat.
*Begitu juga, hadis dan ayat tersebut tidak menyebut secara manthuq (tekstual) yang jelas, tentang kekafiran Abu Thalib, sehingga masih ada peluang bagi kita untuk bersangka baik dengan beliau. Dan itu jauh lebih selamat dan aman bagi kita.
*Hadis dari Habib bin Tsabit diatas, rangkaian perawinya putus setelah Habib bin Tsabit. Sufyan dan lainnya tidak menyebut nama orang yang meriwayatkan dari Habib, hanya mengatakan ia (Habib) meriwayatkan dari seseorang, yang mendengar dari Ibnu Abbas. Menurut Ibnu Hibban, ”Habib adalah seorang ‘penipu’, ia telah menyalin hadis yang benar-benar mutlak tidak dapat di terima”. Ibnu Khuzaimah berpendapat, “Habib adalah seorang ‘penipu’”. Ad-Dzahabi menulis tentang hadis itu, “riwayat yang dibuat Sufyan, itu palsu”.(Mizan al-Itidal, Dzahabi, jilid 1, hal. 396.). Karena itu, hadis dari Habib ini tidak dapat dijadikan dalil untuk mengkafirkan Abu Thalib.
*Justru ada hadis dengan redaksi lain, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda kepada pamannya; “’Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaaha illallah, niscaya aku akan bersaksi untukmu disisi Allah pada hari Kiamat’. Abu Thalib menjawab, ‘Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata, ’Tidak ada yang mendorong mengucapkannya, kecuali karena kesedihannya menghadapi maut, niscaya aku mengucapkannya untuk (dihadapan)mu’. Lalu, turunlah firman Allah surah Al-Qashash:56 itu”. (DR. Wahbah Zuhaili, juz 10, hal. 498, Tafsir Ibnu Katsir, Mukhtashor, Ali as-Shobuni, juz 3,hal 19)’.
*Begitu pula, al-Zajjaj berkata; ‘”Telah sepakat umat islam, ayat 56 dari al-Qashash itu turun terkait pada Abu Thalib, pada saat menjelang kewafatannya beliau berkata (kepada orang-orang Quraisy): ‘Wahai masyarakat Bani Abdi Manaf, taat lah kalian dan benarkan (shoddiquhu) oleh kalian ajaran Muhamad, kalian akan sukses dan mendapatkan petunjuk’.
Nabi shalllahu'alaihiwasallam bersabda, ‘Wahai pamanku, engkau menasehati mereka dan engkau meninggalkan dirimu’? Berkata Abu Thalib: ’Maka apa yang kamu inginkan wahai keponakanku?’. Bersabda Nabi shalllahu'alaihiwasallam: ‘Aku menginginkan darimu hanya satu kalimat saja, agar di akhir hidupmu ini di dunia hendaknya dengan berkata laa ilaaha illallah, dengan kalimat itu aku akan bersaksi di sisi Allah Taáala {kelak di kemudian hari}’.
Berkata Abu Thalib: ’Wahai keponakanku, sungguh aku tahu kalau [ajaran]mu benar, namun aku enggan dikatakan [kalau mengucapkan kalimat tersebut] sebagai kesedihan saja dalam menghadapi kematian.
Kalau seandainya, [setelah mengucapkan kalimat tersebut] tidak terjadi pada dirimu dan bagi ayahmu penghinaan dan celaan pasca kematianku, sungguh aku akan mengatakan itu dihadapanmu, ketika aku berpisah [wafat], ketika aku lihat besarnya rasa cintamu dan nasehatmu. Namun, sepertinya aku akan wafat di atas agama Abdul Muthollib, Hasyim dan Abdi Manaf’”. [Tafsir Al Munir, Wahbah juz 10, hal. 499-500].
*Riwayat hadis dari Imam Bukhari pada bab Kematian; “Sekembalinya dari gunung, Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam hampir tidak pernah melewatkan hari-harinya dalam kedamaian setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat. Beliau shalllahu'alaihiwasallam mengunjungi Abu Thalib terakhir kalinya, saat sedang menjelang ajal. Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah telah berada di sana. Nabi shalllahu'alaihi wasallam meminta Abu Thalib untuk mengucap dua kalimat syahadat, sehingga beliau akan memberi kesaksian tentang keimanannya di hadapan Allah. Abu Jahal dan Ibnu Umayah bertengkar dengan Abu Thalib dan bertanya apakah ia akan berpaling dari agamanya Abdul Muthalib.
Pada akhirnya, Abu Thalib berkata, ia akan wafat dalam agama Abdul Muthalib. Kemudian, ia berpaling kepada Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dan berkata, ia akan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi takut kalau-kalau ada orang Quraisy menuduhnya takut mati. Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam bersabda, beliau akan berdoa kepada Allah baginya, hingga Allah memberi perlindungan”.(kalimat terakhir diambil dari Sahih Muslim dan bukan dari Bukhari).
(Tiga hadis terakhir diatas ini), jelas ke engganan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat dihadapan khalayak, bukan karena tidak beriman dengan kalimat tersebut, tetapi agar terhindar dari celaan orang Quraisy yang akan menganggapnya masuk Islam, saat menjelang wafatnya.
Padahal, hakekatnya sebelumnya beliau telah menerima keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Memang benar, seorang harus mengucapkan kalimat syahadat untuk menjadi seorang Muslim, tetapi ia tidak harus melakukannya di depan khalayak, umpama saat ia sendiri atau bersama seorang saja.
Apalagi, bila ia takut di aniaya atau jika dengan menyembunyikan keimanan- nya, ia dapat berjuang lebih baik. Inilah yang disebut Taqiyah (membela diri dengan menyembunyikan ke imanannya). Kata at-taqiyah itu diamhil dari kata al-wiqayah (perlindungan) dari kejahatan. Pengertiannya dalam AI-Quran dan sunah adalah, menampakkan (sikap) kekafiran dan menyembunyikan keimana, atau memperlihatkan yang batil dan menyembunyikan yang benar.
Taqiyah berlawanan dengan kemunafikan, seperti halnya keimanan berlawanan dengan kekafiran.
Kemunafikan adalah menampakan keimanan dan menyembunyikan kekafiran, serta memperlihatkan yang benar dan menyembunyikan yang batil. Karena ada kontradiksi di antara arti kedua kata tersebut, maka taqiyah tidak dapat di pandang sebagai cabang dari kemunafikan.
AI-Hafizh bin Majah berkata: AI-Ita’ artinya al-i’tha’. Yaitu, mereka menampakkan persetujuan pada keinginan orang-orang musyrik itu sebagai sikap taqiyah. Taqiyah dalam hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Taáala, "… kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan" (QS. an-Nahl [16]: 106).
Menurut para Mufassirin ayat diatas itu turun kepada sekelompok kaum muslim antara lain, sahabat Ammar bin Yasir r.a. yang saat itu dipaksa untuk menjadi kafir dan kedua orang tuanya dibunuh karena mereka tidak menampakkan sikap kekafiran.
Sedangkan, Ammar menampakkan (seakan-akan kafir) kepada mereka dan menurut apa yang orang kafir kehendaki dengan lisannya secara terpaksa, karenanya mereka membebaskannya.
Kemudian Ammar memberitahukan hal itu kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam , dan berita itu telah tersebar di tengah kaum Muslim bahwa Ammar telah menjadi kafir. Akan tetapi, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menjawab, “Sama sekali tidak, Ammar telah dipenuhi keimanan...”
*Riwayat hadis Imam Bukhori dari Musayab r.a. yang menyebutkan dua ayat at-taubah dan al-qashash, turun berturut-turut itu, bertolak belakang atau berlawanan dengan hadis yang disebutkan imam Bukhari dalam Sahihnya dari Bara, “Surah terakhir yang turun adalah surah at-Taubah…” (Sahih al-Bukhari, kitab Tafsir ,versi bahasa Inggris, jilid 6, hal. 102, hadis 129).
Sumber hadis lainnya, menegaskan, ‘surah at-Taubah adalah surah yang terakhir turun dan merupakan surah Madaniyah’, (Tafsir al-Kusyaf, jilid 2, hal. 49; Tafsir Qurthubi jilid 8, haI. 273; Tafsir al-Itqan, jilid l, hal. 18; Tafsir Syaukani, jilid 3, hal. 316).
Adapun surah al-Qashash [28]: 56) itu, turun di Makkah kira-kira 10 tahun sebelum surah at-Taubah (turun di Madinah). Jelas sudah, dua ayat ini tidak turun berturut-turut dan Surah Al-Qashash:56 itu pada zahirnya tidak menunjukkan tentang kekafiran Abu Thalib. Seolah-olah ayat tersebut, menginfokan kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam bahwa hidayah pamannya itu adalah urusan Allah Taáala.
*Riwayat Imam Bukhari yang perawi terakhirnya adalah Musayab, tidak tepat untuk dijadikan dalil atas kekafiran Abu Thalib menjelang wafatnya. Musayab baru masuk Islam setelah tumbangnya kota Makkah, dan ia tidak berada di tempat kejadian saat menjelang kewafatan Abu Thalib. Karena itu, Al-Aini dalam Tafsir-nya menyatakan, hadis ini Mursal.
*Abbas bin Abdul Muthalib, menjelang kewafatan Abu Thalib, mendekatkan telinganya ke bibir Abu Thalib dan berkata, “ia telah mengucapkan kalimat (kalimat syahadat) yang kau minta, ya Rasulallah.” (Ibnu Hisyam,edisi Kairo, hal. 146., riwayat serupa dalam Tarikh Abu Fida, jilid l, hal.120, Baihaqi dalam Dalail Nubuwah, jilid 2, hal.101, Sibli Numani dalam Siratun Nabi jilid 1, hal. 219-220).
*Meskipun menyembunyikan keimanannya, seringkali Abu Thalib ,sebelum beliau wafat, mengungkapkan keimanannya dan ke islamannya, lebih dari satu peristiwa. Menjelang ajalnya, Abu Thalib berkata kepada Bani Hasyim:
“Aku perintahkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada Muhamad. Ia, adalah orang yang paling terpercaya di antara suku Quraisy dan paling benar di kalangan bangsa Arab. Ia, membawa ayat yang diterima oleh hati dan disangkal oleh bibir karena takut permusuhan.
Demi Allah, barangsiapa yang mengikuti petunjuknya ia akan mendapat kebahagiaan di masa datang. Dan kalian Bani Hasyim, masuklah kepada seruan Muhamad dan percayailah dia. Kalian akan berhasil dan diberi petunjuk yang benar. Sesungguhnya ia adalah petunjuk ke jalan yang benar.” (al-Muhabil Bunya, jilid 1, hal. 72; Tarikh al-Khantis, jilid 1, hal. 339; Balughul Adab, jilid 1, hal. 327; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, hal. 375; Sunni al-Muthalib, jilid 5; Uruzul Anaf, jilid 1, hal. 259; Tabaqat Ibnu Sa’d, jilid l, hal. 123).
Dengan demikian, pernyataan syahadatnya Abu Thalib sebelum beliau wafat, dicatat pula para sejarawan, baik dari mazhab ahlus sunnah maupun mazhab lain- nya. Begitu pula keimanan dan keislaman beliau telah dibuktikan dalam kitab-kitab para pakar Islam!!.
Mari kita ikuti kajian berikut ini.
Pernikahan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam .
Berkaitan dengan pernikahan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan sayidah Khotijah Al-Kubro r.a. dan pembelaan Abu Thalib kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, Abu Thalib berkata kepada para lelaki Quraisy yang hadir pada pernikahan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam;
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kami keturunan Ibrahim dan keturunan Ismail. La (Allah) menganugrahi kita Rumah Suci (Ka’bah) dan tempat berhaji. la menjadikan kita tinggal di tempat yang suci (haram), tempat segala sesuatu tumbuh.
la menjadikan kami penengah dalam urusan lelaki dan menganugrahi kami negeri tempat kami bernaung”. Kemudian ia melanjutkan, “Sekiranya Muhamad, putra saudaraku Abdullah bin Abdul Muthalib, disandingkan dengan lelaki di kalangan bangsa Arab, ia akan mengagungkannya.
Tidak ada seorangpun yang sebanding dengannya. la tidak tertandingi oleh lelaki manapun, meskipun kekayaannya sedikit. Kekayaan hanya kepemilikan sementara, dan penjaga yang tak dapat dipercaya. Ia, telah mengungkapkan niatnya kepada Khadijah, demikian pula dengan Khadijah, ia telah menunjukkan niatnya kepada- nya. Karena setiap pengantin harus memberikan mahar, sekarang ataupun di masa nanti, maharnya akan aku beri dari kekayaanku sendiri”. (Sirah al-Halabiyah, jilid 1, hal. 139.)
*Sikap Abu Thalib terhadap kemenakannya-Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam-jasa-jasanya terhadap penyebaran Islam dan pernyataan keislamannya banyak diriwayatkan para pakar Islam. Sejarah Islam telah mencatat, bagai-mana suku Quraisy sering memberikan peringatan, mengancam kepada Abu Thalib untuk menghentikan kemenakannya dalam menyebarkan agama Islam, yang bertentangan dengan agama nenek moyang mereka.
Namun, Abu Thalib tidak menekan kemenakannya untuk menghentikan syiarnya mengenai Islam. Dia hanya memberitahu tentang peringatan suku Quraisy dan dengan lembut berkata kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam, “Selamatkanlah aku dan dirimu, wahai kemenakanku, dan janganlah engkau bebani aku dengan sesuatu, yang tidak dapat aku pikul!”
Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam menolak peringatan tersebut dan mengatakan pada pamannya, ‘aku tidak akan mengubah pesan pemilik semesta alam’. Abu Thalib langsung mengubah sikapnya dan memutuskan untuk bergabung dengan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam hingga akhir hayat beliau.
Pernyataan Abu Thalib kepada Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, “Kembali lah kemenakanku, lanjutkanlah, katakanlah semua yang engkau sukai. Aku, tidak akan pernah meninggalkanmu setiap saat.” (Sirah Nabi Muhamad, Ibnu Hisyam, jilid 1, hal. 266; Tabaqat Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 186, Tarikh at-Thabari, jilid 2, hal. 218; Diwan Abu Thalib, hal. 24; Syarh Ibnu al-Hadid, jilid 3, hal. 306; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 258; Tarikh, Abu Fida, jilid l, hal. 117; as-Sirah al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 306).
*Pada suatu peristiwa, Abu Thalib berkata, “Aku meyakini, agama Muhamad ada lah agama yang paling benar dari semua agama, yang ada di alam semesta.” (Khazanatal Adab, Khatib Baghdadi, jilid 1, ,hal. 261; Tarikh Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 42; Syarh, Ibnu Hadid, jilid 3, hal. 306; Tarikh, Abu Fida, jilid l, hal. 120; Fathul Bari (syarah Sahih al-Bukhari), jilid 7, hal. 153; al-Ishabah, jilid 4, hal. 116; As-Sirah al-Halabiyyah, jilid l, hal. 305; Talba tul Thalib, hal. 5.).
Jelas, peristiwa tersebut, pernyataan yang membuktikan keimanan dan ke- islaman Abu Thalib.
*Suku Quraisy rencana akan membunuh Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwa sallam dan keluarganya. Mereka membuat sebuah perjanjian agar tidak ada seorangpun yang memiliki ikatan perkawinan dengan Bani Hasyim atau melakukan transaksi jual-beli dengan mereka. Dan tidak ada orang yang boleh berhubungan dengan mereka atau memberi persediaan makanan, hingga mereka semua binasa. Perjanjian ini, digantungkan di pintu Ka’bah. Dalam keadaan seperti ini, memaksa Abu Thalib beserta seluruh keluarganya, mengungsi ke sebuah gunung yang dikenal dengan ’Syi’ib Abi Thalib’.
Bani Hasyim benar-benar diasingkan dari seluruh penduduk kota. Bentengpun dikepung oleh suku Quraisy untuk menambah penderitaan mereka dan untuk mencegah kemungkinan mendapat persediaan makanan. Akhirnya, kelompok Abu Thalib kelaparan, karena tidak mendapat makanan. Di bawah pengawasan suku Quraisy yang sangat ketat, Abu Thalib merasa takut kalau-kalau ada serangan di malam hari. Karena itu, dia senantiasa menjaga keamanan kemenakannya dan sering berganti ruang tidur, sebagai tindakan pencegahan bila ada serangan mendadak.
Menjelang tahun ketiga dari pengasingan tersebut, Nabi Muhamad shalllahu 'alaihiwasallam memberitahu pamannya ,Abu Thalib, Allah telah menunjukkan ketidakridhaan-Nya pada perjanjian tersebut, dan mengirim cacing-cacing untuk melumat setiap kata yang tertulis di dokumen yang tergantung di pintu Ka’bah, kecuali nama-Nya (Allah). Abu Thalib mempercayai kemenakannya sebagai penerima wahyu dari langit, tanpa ragu pergi menemui orang-orang Quraisy dan mengatakan kepada mereka apa yang telah diceritakan Muhamad shalllahu'alaihiwasallam kepadanya.
Percakapannya Abu Thalib dicatat para pakar sejarah, antara lain:
“Muhamad telah memberitahu kami dan sebagai bukti kepada kalian aku ingin bertanya, ‘Apabila (dia) benar, aku meminta kalian untuk memikirkan kembali dari pada menyengsarakan Muhamad atau munguji kesabaran kami. Percayalah kepada kami, kami lebih suka mempertaruhkan nyawa kami daripada menyerahkan Muhamad kepada kalian. Dan jika Muhamad terbukti salah dalam ucapannya, kami akan menyerahkan Muhamad kepada kalian, tanpa syarat. Kalian bebas memperlakukannya, membunuhnya atau membiarkannya tetap hidup”.
Mendengar tawaran Abu Thalib tersebut, suku Quraisy sepakat untuk memeriksa dokumen tersebut, dan mereka terkejut ketika melihat dokumen itu telah dimakan ulat, hanya nama Allah saja, yang masih tertulis di sana. Namun, mereka berkata, hal itu adalah sihir Muhamad. Abu Thalib marah kepada suku Quraisy, dan mendesak mereka agar menyatakan, ‘dokumen tersebut digugurkan dan pelarangan itu dihapus’.
Lalu, dia (Abu Thalib) menggenggam ujung kain Kabah dan mengangkat tangan satunya ke atas, lalu berdoa, Ya Allah! Bantulah kami menghadapi orang-orang yang telah menganiaya kami…!” (Tabaqat Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 183; Sirah Ibnu Hisyam, jilid l, hal. 399 dan 404; Awiwanui Ikbar, Qutaibah, jilid 2, hal. 151; Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal. 22; al-Istiab, jilid 2, hal. 57; Khazantul Ihbab, Khatib Baghdadi, jilid 1, hal. 252; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 84; al-Khasais al-Kubra, jilid 1, hal. 151; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1 hal. 286). Wallahua'lam.
Silahkan ikuti kajian berikutnya.
Maak jouw eigen website met JouwWeb