Jawaban para ulama terhadap pendapat imam Tirmidzi

Jawaban para ulama terhadap pendapat imam Tirmidzi

Penafsiran Imam Tirmidzi mengenai hadis yang telah dikemukan sebelumnya, mendapat tanggapan dari para ulama yang lain, di antaranya: Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya As-Syaraful Muabbad li-Ali Muhamad, Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Aqidatul-Washiyah dan lainnya.

 

Dalam kitab As-Syaraful Muabbad li Ali Muhamad, Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menuturkan:

{{“Sementara jamaah ahli hadis meriwayatkan sebuah hadis (hadis safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi bahwasanya Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam bersabda, ‘Ahlu baitku di tengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan,…ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan , .... ia digiring ke neraka)’.

 

Abu Dzar Al-Ghifari berkata, Aku mendengar Rasulallah-shalllahu'alaihiwa sallam-bersabda, Jadikan lah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh, dan seperti ke dudukan dua mata bagi kepala’.  

 

Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang dibenarkan oleh Bukhari dan Muslim, ‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (di dasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi umatku dari perselisihan. Apabila, ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih, kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.

 

Hadis yang lain dikemukakan pula oleh jamaah ahli hadis, ‘Bintang-bintang ada lah keselamatan bagi penghuni langit, dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi umatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa), maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Quran akan tiba (yaitu bencana)’. Hadis seperti itu, diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bin Hanbal: ’Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apabila ahlul-baitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.

 

Setelah mengemukakan hadis-hadis tersebut diatas, al-Nabhani kemudian mengatakan; Bagaimanapun juga, Ahlul Bait Rasulallah dan keturunan beliau shalllahu'alaihiwasallam dipermukaan bumi ini, merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan umat manusia, dan pada khususnya merupakan syarat keselamatan umat Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dari azab/siksa neraka. Yang dimaksud oleh hadis itu, bukan hanya khusus anggota keluarga yang saleh saja. Sebab ciri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau-shalllahu 'alaihi wasallam-sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka.  

 

An-Nabhani menunjuk pernyataan As-Shabban di kitab is’afur Raghibin mengatakan, bahwa pengertian tersebut dari isyarat yang terkandung dalam surah Al-Anfal [8]:33; 'Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka'. Sekalipun, ayat ini ditujukan kepada Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-,namun ahlul bait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagai mana yang diriwayatkn oleh beberapa hadis.

 

An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Tirmidzi,

Bagaimana bisa di bayangkan bahwa dengan lenyapnya Ahlul Bait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari umat Muhamad yang tinggal? Padahal, jumlah umat Muhamad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya’.

 

Kata Al-Nabhani; Tidak ada halangan, dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Apalagi, Rasulallah-shalllahu'alaihi wa sallam-sendiri telah menegaskan, ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlul baitku...’ (Riwayat lain, mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlul baitku melainkan Bani Hasyim). Hadis ini, merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang di limpahkan Allah Taáala kepada keluarga dan keturunan Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam.

 

Para ahli syarah ilmu hadis, al-Manawi dan lain-lain menjelaskan, makna hadis tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasul-shalllahu 'alaihiwasallam adalah (keturunan) orang-orang baik’. 

 

Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut, An-Nabhani mengatakan, ‘Rasa-nya penjelasan Al-Manawi itu dapat di jadikan tafsir bagi hadis tersebut di atas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian, teranglah bahwa penafsiran Tirmidzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyah (keturunan) Rasul-shalllahu'alaihiwasallam-dengan abdal (orang - orang keramat), sebagaimana yang terdapat di dalam hadis dari Imam Ali bin Abi Thalib r.a.’

 

An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Tirmidzi, tentang hadis, ‘Semua sebab dan nasab akan terputus, kecuali sebab dan nasabku’.

An-Nabhani berkata, Kata putus (dalam hadis ini), tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasul-shalllahu'alaihiwasallam-. Itu hanya di khususkn pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis sahih. Kata putus, juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah-Taáala-dalam surah Al-Mukminun [23]:101, ‘Maka tiada lagi hubungan nasab di antara mereka pada hari itu’.

 

Hanya Rasul-shalllahu'alaihiwasallam-sajalah, yg memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui keturunan). Bagi beliau-shalllahu'alaihiwasallam-kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini, di perkuat (dalam hadis lainnya) di mana Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda di atas mimbar, ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasul-shalllahu'alaihiwasallam-tidak bermanfaat  pada hari kiamat? Aku tegaskan, kekerabatanku berkesinambungan  di dunia dan akhirat’.

 

Terhadap uraian Imam Tirmidzi yang mengatakan,

‘Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib, bukan merupakan syarat bagi keselamatan umat Muhamad-shalllahu'alaihiwasallam-dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia, bila mereka lenyap’.

An-Nabhani menjawab; Mereka itu syarat bagi keselamatan umat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka di dunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka telah punah, penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran, tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini.

 

Terhadap uraian Imam Tirmidzi yang mengatakan,

‘Di antara mereka (keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam) juga terdapat kerusakan (fasad)…’.

An-Nabhani menjawab, Mereka (keturunan Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam), menjadi syarat bagi keselamatan umat ini dan penghuni bumi ini, bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian, yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka.

 

Sejak semula, mereka dianugerahi keistemewaan, yakni Rahmat Allah yang di limpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota Ahlul Bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Di tengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu, mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota Ahlul Bait)”.     

  

Terhadap uraian Imam Tirmidzi yang mengatakan,

‘Di bumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam, yaitu Al-Quran…’

An-Nabhani menjawab: Tidak ada keharusan bagi Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam, untuk menyebut di dalam sebuah hadis (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Quran, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Quran jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

 

Kendati hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadis tsaqalain. Lagi pula, di antara Ahlul Bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah. Mereka pun, tidak beranggapan bahwa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (Ahlul Bait).  

 

Kitabullah, menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud r.a. mengatakan, ‘Bacalah Al-Quran sebelum diangkat! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Quran diangkat!’ Seorang sahabat bertanya, ‘Hai Abu Abdur-Rahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagaimanakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap di dalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita?’

 

Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Kitabullah memang tetap di dalam dada, tetapi tidak di ingat dan dibaca orang’. Tidak diragukan lagi, Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada di luar pikiran orang.

Dari keterangannya itu, jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan umat manusia. Selama Kitabullah masih berada di tengah-tengah umat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan.

 

Mengenai penegasan Imam Tirmidzi,

‘Kemuliaan hanya ada pada para ahli takwa…’ dengan merujuk sebuah hadis tentang kedatangan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-di kediaman (Siti) Fathimah r.a., saat itu Shafiyah (bibi beliau) berada di tempat itu, kemudian Rasulallah bersabda, ‘Hai Bani Abdu-Manaf, hai Bani Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhamad, hai Shafiyah…....dan seterusnya (baca hadis terdahulu)’. 

 

An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Tirmidzi ini, sebagai berikut:

Mengenai soal itu, At-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, ‘Benarlah bahwa Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatangkan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah Taáala) bagi orang lain. Hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu.

Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan, bagi semua umatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau-shalllahu'alaihiwasallam-tidak mempunyai suatu apapun, selain yang dikaruniakan Allah kepadanya, yaitu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadis Al-Bukhari, ‘Kalian ,yang pria maupun yang wanita, mempunyai hubungan silaturrahmi (denganku), akan aku sambung hubungannya ..’.

 

Demikian pula, dengan sabda Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-, ‘Di hadirat Allah, aku tidak berguna apa pun bagi kalian’. Maknanya (hadis ini) ialah, Kalau hanya diriku sendiri, tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepadaku, aku tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada kalian. As-Shabban mengatakan, ‘Konon hadis tersebut diucapkan oleh Rasul-shalllahu 'alaihiwasallam-sebelum beliau diberitahu Allah, mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam.

 

Tampaknya, bahasa Arab kurang membantu At-Tirmidzi dalam menafsirkan hadis-hadis tentang ahlu bait. Adakah, orang yang mengartikan Ahlul Bait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah, tidak ada! Tidak ada seorang pun, yang mendengar kata Ahlul Bait Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam- memahaminya dengan makna, selain Ahlul Bait yang bernasab kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam. Memang, hanya itu sajalah maknanya dalam bahasa Arab, bahasa beliau shalllahu'alaihiwasallam sendiri!

 

Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka, dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada, seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun, orang keramat itu sendiri, tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang di ambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

 

Saya (As-Shabban) yakin, Imam Al-Hakim At-Tirmidzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu, saya berani memastikan bahwa uraian -nya (mengenai Ahlul Bait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:

Pertama,–dan ini yang paling besar kemungkinannya–tulisan tersebut di palsukan oleh orang yang dengki kepada Imam Tirmidzi, dan kepada Ahlul Bait Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam. Hal seperti itu, sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti yang terjadi pada Syaikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al-Arabi, Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani dan lain lain….

 

Kedua, kemungkinan Imam Tirmidzi, pernah bergaul dekat dengan kaum Syiah ekstrem, yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) Ahlul-Bait Rasul shalllahu'alaihiwasallam, mereka tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-terutama Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dan Umar Ibnul Khatab r.a. Dengan uraiannya itu, mungkin Tirmidzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu, dituangkan olehnya dalam uraian mengenai Ahlul Bait, tetapi bersamaan dengan itu, ia tetap mencintai Ahlul Bait dan memberikan penilaian yang baik, serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (Ahlul-Bait)”}}.

Demikianlah jawaban Imam An-Nabhani.     

                             

Terhadap pendapat Imam Tirmidzi tadi, Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Aqidatul-Washiyah memberi tanggapan antara lain;

{{"Hadis yang berasal dari Zaid bin Arqam, '…Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlul baitku...sampai akhir hadis.' (silahkan rujuk kembali hadis- nya). 

Dari hadis ini, kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah-shalllahu'alaihi wa sallam-pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Quran al-Karim. Hikmah mengenai hal itu, beliau menyebutnya dengan kata-kata, ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang.

 

Setelah itu, barulah beliau menyebut ahlul bait (keluarga, keturunan) dengan ucapan ‘kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu baitku’. Pesan beliau itu di ucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka, sebagai keluarga keturunan beliau shalllahu'alaihiwasallam.

 

Dalam pesan beliau itu sama sekali tidak terdapat pengistemewaan seseorang dibanding yang lain di antara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam- atau ahlul bait ialah, mereka semua yang diharamkan menerima sedekah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadis tsaqalain.

 

Hadis tsaqalain ini, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau-shalllahu'alaihiwa sallam-, baik yang awam mau pun yang khawash (khusus), yang menjadi imam mau pun yang tidak. Oleh Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-, mereka itu di sebut secara beriringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti, itu bermaksud menghormati kedudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau-shalllahu'alaihiwasallam-, agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baik nya oleh kaum muslimin. 

 

Pernyataan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-yang menegaskan, ‘Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi shalllahu'alaihiwasallam) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Tirmidzi mengatakan, ‘diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau yang amalan baiknya bercampur-aduk dengan amalan buruknya…

 

Mengenai Perumusan Imam Tirmidzi, ‘Apabila, orang-orang yang tidak seunsur atau seasal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlul bait) benar benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, kita pun wajib meneladani mereka, sama seperti kita meneladani orang-orang (imam-imam) terkemuka yang berasal keturunan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-.’

 

Ibnu Taimiyah merasa aneh dan heran, mengenai uraian Imam Tirmidzi ini. Perumusan kalimat Tirmidzi seperti itu, oleh Ibnu Taimiyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah-shalllahu'alaihiwa sallam-dan orang-orang dari keturunan lain, yang bukan keluarga keturunan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam.

Jadi, tidak ada keistemewaan apa pun pada orang-orang keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Yang dipandang oleh Tirmidzi sebagai ciri istimewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasul- shalllahu'alaihiwasallam-.

 

Dengan demikian, yang di artikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadis Nabi shalllahu'alaihiwasallam) ,menurut Tirmidzi, tidak lain hanyalah para ulama, para imam dan para ahli fiqih dikalangan umat Islam. Benarkah itu yang di maksud oleh Rasulallah? Sudah tentu tidak!

 

Yang dimaksud oleh Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-ialah, keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli fiqih, para ulama dan para imam, mereka itu memang teladan bagi umat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam. Para ulama, para ahli fiqih dan para imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-, yakni secara umum, mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasul -shalllahu'alaihiwasallam dengan sebaik-baiknya.

 

Firman Allah dalam surah Ad-Dhuha [93]:5: “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhamad) menjadi puas”

Al-Qurthubi dalam tafsir-nya, yang dikutip dari Ibnu Abbas r.a., mengatakan, ‘Kepuasan Muhamad Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ialah, karena tidak ada seorangpun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’.

 

Dalil-dalil hadis mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah -shalllahu'alaihiwasallam-, ‘Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya, karena itu, dia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka’ (Al-Hakim menegaskan, hadis ini sahih). Dalil hadis lainnya, berasal dari Imran bin Hashin r.a.. Dia mengatakan, Rasulallah pernah bersabda, ‘Aku telah mohon kepada Tuhanku, supaya tidak memasukkan seorangpun dari keluargaku (ahlu-baitku) kedalam neraka, dan Dia mengabulkan permohonanku.’ "}}.

Demikianlah antara lain yang ditulis Ibnu Taimiyah.

 

Dengan adanya keterangan diatas, jelas bagi kita bahwa para ulama–antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhamad  dan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Aqidatul-Washi–menyanggah pendapat Imam Tirmidzi tersebut di atas.

 

Apa yang dikatakan Imam Tirmidzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu dihargai. Tetapi sayangnya, beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dalam hadis Tsaqalain, hadis Safinah itu, sebagaimana yang beliau kemukakan tadi.

 

Imam Tirmidzi ini, membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadis tersebut hanya kepada para pemuka atau imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasul  shalllahu'alaihiwasallam saja, berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketakwaan.

 

Lepas dari penafsiran di atas, jelas Allah Taáala dalam firman-firmanNya––baik untuk Ahlul Bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam (misalnya QS Al-Ahzab [33]:33), maupun untuk para sahabat beliau shalllahu'alaihiwasallam (misalnya dalam QS. Al-Fath [48]:18, QS At-Taubah [9]: 100), menunjukkan kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan Allah Taáala kepada mereka.

 

Hanya saja sebagai manusia, para Ahlul Bait dan keturunan Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam adalah sama dengan para sahabat Nabi shalllahu'alaihi wa sallam serta keturunannya, yakni bisa berbuat kesalahan. Mereka ini, bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa, karena bukan orang-orang ma‘shum, yakni yang terpelihara dari kemungkinan berbuat kekeliruan. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlul bait Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam dan sebaliknya.

 

Hal itu, bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia, selain Rasul shalllahu'alaihiwasallam dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan. Orang-orang yang ma‘shum menurut ahlus sunnah wal jamaah hanyalah para Nabi dan Rasul. Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadhail) dan ketakwaan keluarga keturunan Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan para sahabat, sebagai manusia mereka tetap menghadapi kemungkinan berbuat kekeliruan.

 

Kaum Muslim wajib melaksanakan wasiat Nabi shalllahu'alaihiwasallam: untuk mencintai dua golongan tersebut–ahlulbait, keturunan Nabi shalllahu'alaihi wa sallam khususnya dan para sahabat Nabi shalllahu'alaihiwasallam–agar kita Insya Allah dapat memperoleh keridhoan Allah, kebajikan didunia dan akhirat. Kita memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada umat Islam.

 

Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderungan nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat, tidak akan membiarkan dirinya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulallah shalllahu'alaihiwa sallam.

 

Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, pokok pertama adalah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam adalah kesinambungan dari keridhoan Allah Jallaajalaaluh, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan!

 

Tidak mungkin seorang beriman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, demikian juga sebaliknya. Hal ini, di- tegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain: “Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah”. (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak didambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat yang semakna..

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya