Kemuliaan Bulan Rajab

Kemuliaan Bulan Rajab

Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsahan kemuliaan, keutaman bulan dan malam nishfu Sya’ban, pada dasar-nya memperkuat juga keabsahan kemuliaan dan keutamaan bulan Rajab.

Riwayat-riwayat mengenai kemuliaan dan amalan pada bulan Rajab antara lain sebagai berikut:

Keterangan  yang mu’tamad tentang bulan Rajab adalah, termasuk bulan- bulan yang dihormati dan dimuliakan. Al-Quran menyebutnya sebagai Asyhurul Hurum, yaitu, Dzulka’idah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

 

Dalam bulan tersebut, Allah Ta'aala melarang peperangan. Ini merupakan tradisi yang sudah ada jauh sebelum turunnya syariat Islam. Allah Ta'aala berfirman;   “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahui lah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS At-Taubah [9]: 36). Allah Ta'aala juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan janganlah melanggar kehormatan bulan- bulan  haram”.(QS.Al-Maidah [5]:2).

 

Empat bulan haram itu, di sebutkan juga dalam sabda Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam berikut ini, “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti pada hari penciptaan langit dan bumi, setahun terdapat dua belas bulan dan empat di antaranya adalah bulan haram dan tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Dzulka’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab mudhar yang berada di antara jumadal Ula, Jumadad Tsani, dan Sya’ban”. (HR. Bukhari dan Muslim).       

    

**Imam al-Qurtubi di dalam tafsir-nya bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam sendiri pernah menegaskan, “Bulan Rajab itu adalah bulan Allah, yaitu bulan Ahlullah. Dan di katakan penduduk (Mukmin) Tanah Haram itu Ahlullah, karena Allah yang memelihara dan memberi kekuatan kepada mereka”. (al-Qurtubi, Jami’ Ahkam Al-Quran, VI: 326).

 

Dinamakan bulan-bulan haram karena diharamkannya berperang di bulan-  bulan itu kecuali musuh yang memulai. Hadis dari Anas bin Malik r.a. berkata; “Bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ‘Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.’  (‘ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami ke bulan Ramadan)’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 1: 259 hadis no 2346 dan Tabrani).

Hadis ini, disebutkan dalam banyak keterangan, umpama dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam Zawa’id al-Musnad (2346). Al-Bazzar di dalam Musnadnya–sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astar–(616); Ibnu As-Sunni di dalam Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658); Ath-Thabarani di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939), Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqi di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534), Kitab Fadha’il al-Awqat (14). Al-Khathib al-Baghdadi di dalam al-Muwadhdhih (II:473).      

 

**Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda; “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Imam Ath-Thabrani meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a., “Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-tidak menyempurnakan puasa sebulan setelah Ramadhan kecuali pada Rajab dan Sya’ban.” 

 

**Al-Syaukani dalam Nailul Authar, (dalam pembahasan puasa sunnah) sabda Nabi Saw., ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang’, itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga di sunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Ditulis juga oleh al-Syaukani dalam Nailul Authar bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan, tidak ada hadis yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga, bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab (walau pun ia dibantah oleh Asma binti Abu Bakar).

 

Abu Bakar al-Tarthusi juga mengatakan, puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat. Namun, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan di sunnahkan puasa di dalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadis-hadis yang umum (seperti yang tercantum diatas) itu cukup menjadi hujah atau landasan. Disamping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab!       

 

Puasa di bulan Rajab dibolehkan (mubah) berdasarkan hadis sahih. Sebagian Sahabat dan Salafus Saleh memakruhkan jika berpuasa Rajab sebulan penuh, sebagian lainnya tidak memakruhkannya.        

 

**Hadis sahih yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Sahih-nya,“Telah menceritakan pada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah menceritakan pada kami Usman bin Hakim Al-Anshari berkata, ‘Aku bertanya pada Said bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab’, Ia menjawab, Aku mendengar Ibnu Abbas berkata, ‘Adalah Nabi-shalllahu'alaihi wasallam- berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata, Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya’“.

 

**Al-albani (ulama salafi) sendiri dalam Al-Irwa mengatakan, “Hadis (di atas ini) di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Sahih-nya (VI:139) dan Ahmad (I:26). Saya (Albani) katakan, ‘Bahkan hadis ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI: 156, no.2547); Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (IV:906); dan dalam Syu’abul Iman (VIII:316, no. 3638).’”

 

Kendati demikian, ada pula hadis-hadis lain yang memakruhkan berpuasa di bulan Rajab jika berpuasa satu bulan penuh (Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (VIII:330, no. 3653). Ibnu Umar termasuk yang memakruhkan berpuasa di bulan Rajab walau pun, beliau dibantah oleh Asma binti Abu Bakar (HR. Ahmad dalam Al-Musnad I: 180, no. 176; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra III: 893).

 

Di riwayatkan bahwa Umar bin Khathab r.a. juga tidak menyukai puasa di bulan Rajab (namun kedudukan hadisnya diperbincangkan, karena ada Rijal yang tidak dikenal) (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath XVI:427 no. 7851). Akan tetapi, Imam Al-Haitsami mengomentari hadis ini: “Dalam sanadnya ada Hasan bin Jablah dan aku tidak menemukan orang yang menyebutkan tentang siapa dia ini, selebihnya Rijal-nya Tsiqat (bisa dipercaya).”(Majma’ Az-Zawa’id, III:191).

 

**Imam al-Baihaqi (Sunan al-Kubra, 1994, Maktabah Dar al-Baz: Makkah al- Mukarramah, juz.3 hlm. 319) meriwayatkan dari Imam Syafi’i: “Telah sampai kepada kami, bahwa Asy-Syafi’i mengatakan, ‘Sesungguhnya doa itu mustajab pada lima malam: malam juma’at, malam Idul Adha, malam Idul Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban’”.

 

Kesimpulan:

Berdasarkan keterangan tadi, jelaslah kepada kita bahwa bulan Sya’ban dan bulan Rajab mempunyai dalil-dalil yang tersendiri. Sumber-sumber hukum Islam dan keterangan baik para ulama Salaf mau pun Khalaf telah memberitahu bahwa terdapat hadis-hadis yang sahih, hasan, mursal, marfu’, maudhu’, dhaif, dhaif jiddan (amat lemah) tentang amalan-amalan seputar bulan Sya’ban dan Rajab. Begitu juga banyak hadis yang beredar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan bulan Rajab.

Karenanya, kita tidak bisa pukul sama rata bahwa semua hadis tentang amalan ibadah pada bulan Sya’ban dan Rajab itu palsu, dhaif ….dan tidak ada yang sahih atau hasan. Setiap isu dan dalil harus dipahami secara menyeluruh lagi mendalam, agar kita tidak tersesat dari landasan yang benar.

 

Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah Ta'aala yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk shalat sunnah mutlak, puasa atau berdoa kepada Allah Ta'aala, selama shalat sunnah Mutlak (yang hanya berniat shalat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang di makruhkan oleh agama (ump. seusai shalat Shubuh, seusai shalat Asar dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih).

 

Begitu juga, puasa sunnah (hanya berniat puasa saja) tidak boleh diamalkan pada hari-hari yang dilarang menurut ahli Fiqih. Firman Allah Ta'aala; ‘Berdoa-lah pada-Ku Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya “Dirikanlah shalat untuk mengingatKu”.

Dalam dua ayat ini, tidak dibatasi lafaz doa yang harus dibaca, begitu juga tidak dibatasi hanya shalat wajib saja. Adapun, mengenai puasa sunnah (yang hanya berniat puasa saja) banyak hadis yang meriwayatkannya.  Semua amalan ibadah karena Allah Ta'aala, selama tidak dilarang oleh syariat islam dan tidak menyalahi ijmak para pakar Islam, mustahab untuk diamalkan.

Bahkan, amalan-amalan yang dikerjakan pada zaman jahiliyah pun boleh kita amalkan kalau mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

Sebagai contoh, satu hadis saja yang diriwayatkan Al-Hakim dari Nubaisyah r.a.; "Seorang lelaki bertanya kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam, ‘Wahai Rasulallah, kami memberi persembahan (kepada berhala) di zaman jahiliyah, apa yang harus dilakukan di bulan Rajab ini’? Beliau-shalllahu'alaihiwasallam- menjawab, ‘Sembelihlah binatang ternak karena Allah di bulan apapun, lakukanlah kebaikan karena Allah dan berilah makanan’”. Imam Al-Hakim mengatakan, ‘Isnad hadis ini sahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sahih mereka berdua’. (Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ala Sahihain, 1990, Cetakan pertama, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah : Beirut, juz 4, hlm 263).

 

Imam Syaukani sendiri dalam Nailul Authar berkata, “Tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab begitu juga tidak ada hadis yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus”.

 

Dengan demikian, amalan ibadah puasa bulan Rajab serta amalan ibadah memperbanyak shalat sunnah atau berzikir adalah amalan mubah yang sudah pasti juga mendapat pahala dari AllahTa'aala. Semua amalan baik walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagai kebaikan, begitu juga amalan buruk walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagai keburukan (Al-Zalzalah [99]:7-8).

Begitu pula, menurut kaidah ulama, hadis yang dhaif boleh diamalkan bila mengandung Fadhail ‘Amal.

 

Orang yang tidak mau beramal pada bulan yang mulia itu juga tidak ada salahnya. Begitu juga orang yang ingin beramal pada bulan yang mulia itu akan mendapat pahala. Karena tidak ada satu amal yang baik (shalat, berzikir, berdoa dan lain-lain) karena Allah, yang tidak diberi pahala oleh Allah Ta'aala.

Wallahua’lam.

Semoga semua muslimin diberi taufik oleh Allah Ta'aala. Aamin.

Silahkan ikuti kajian berikutnya pada bab 11 (sebelas.)

Maak jouw eigen website met JouwWeb