Tuduhan Kepunahan Ahlul Bait

Tuduhan kepunahan Ahlul Bait dan sekelumit sejarah dinasti Bani-Umayah/ Abbasiyah

Sejarah mencatat bahwa kehidupan ahlul bait Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam  penuh dengan kisah duka. Kebencian kepada ahlul bait Rasulallah tidak sekadar hadir dalam panggung penghinaan kata, tetapi hingga pembantaian. Peristiwa Karbala, adalah puncaknya. Atas fakta sejarah ini, minoritas golongan muslimin ada yang menyatakan, mata rantai keturunan Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam telah putus. Mereka yang kini bergelar sayid, habib, syarif, syarifah dan kelompok kaum Alawiyin, tidak diakui oleh golongan ini sebagai dzuriyah Rasulallah, para penerus ahlul bait.

 

Mereka, menanamkan keraguan fakta sejarah mengenai selamatnya putra Al-Husain r.a.,bernama Ali Zainal Abidin, dari pembantaian pasukan Bani Umayah di Karbala  berkat ketabahan dan kegigihan bibinya Zainab r.a. dalam menentang kebengisan penguasa Kufah, Ubaidillah bin Ziyad. Ketika itu, Ali Zainal Abidin r.a masih kanak-kanak, berusia kurang dari 13 tahun. Sejarah kehidupan Ali Zainal-Abidin bin Al-Husain, cikal-bakal keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam hingga kini, disembunyikan riwayat hidupnya  oleh golongan pengingkar, dengan maksud hendak  memenggal tunas-tunas keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

 

Sebenarnya, penghulu dan pemimpin golongan pengingkar, yang mayoritas berkebangsaan Arab, amatlah mengerti mengenai kesinambungan dzuriyah Rasul shalllahu'alaihiwasallam. Hanya saja, atas dorongan maksud tertentu mereka tidak mau mengerti. Secara terus-terang, mereka berkeinginan agar jangan ada orang di dunia ini, khususnya di Indonesia yang menyebut nama orang-orang keturunan Ahlul-Bait dengan kata Habib, Sayid atau Syarif—julukan kehormatan habib yang diberikan oleh kaum Muslim.

 

Kebencian dan kedengkian sebagian orang kepada keturunan Ahlul-Bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, mengingatkan kita kepada sejarah peradaban Islam semasa dinasti Bani Umayah dan dinasti Bani Abbasiyah. Lebih jauh dari itu,menurut riwayat, kaum Muslimin mulai dilanda perselisihan, pertengkaran dan perpecahan sejak masa-masa terakhir kekhalifahan Usman bin Affan r.a., kurang lebih di periode terakhir dasawarsa keempat Hijriah. Kala itu, perang saudara terus berkecamuk, di antaranya:

 

Peperangan antara kekuatan trio Aisyah, Thalhah, Zubair [radhiyallahu ‘anhum] melawan kekuatan Amirul-Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Perang saudara ini, berkobar di Bashrah. Sejarah Islam, menyebutnya dengan nama Waqatul-Jamal. Disusul kemudian oleh perang saudara yang tidak kalah hebatnya, yaitu perang Shiffin, antara kekuatan Khalifah Ali r.a. melawan kekuatan pemberontak dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Kemudian disusul dengan perang yang berkobar di kawasan terkenal dengan sebutan Bainan Nahrain (Di antara dua Bengawan), yakni daerah antara dua bengawan Tigris dan Eferat (Dajlah dan Al-Furat).

 

Pertengkaran dan perpecahan yang di akibatkan oleh perang saudara Bainan-Nahrain ini jauh lebih parah daripada yang diakibatkan perang saudara yang sebelumnya. Dalam perang saudara ini kekuatan Imam Ali r.a, terpecah dan sempal menjadi dua. Sebagian, tetap setia kepada Amirul Mukminin Ali dan yang sebagian lainnya memberontak dan memerangi sayidina Ali r.a.. Sempalan atau pecahan inilah, yang dalam sejarah Islam terkenal dengan kaum Khawarij, dibawah pimpinan Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi.

 

Disusul kemudian perang saudara yang berkobar dalam rangka kebijakan Imam Ali r.a. menumpas pemberontakan kaum Khawarij, di Nahrawand. Perang saudara ini, lebih memperparah lagi perpecahan kaum muslimin. Dalam perang saudara di Nahrawand ini, kekuatan Imam Ali r.a. unggul dan berhasil menghancurkan kekuatan bersenjata kaum Khawarij, yang sejak terjadinya pembangkangan sudah mengkafir-kafirkan Imam Ali r.a.

 

Kekuatan-kekuatan anti Bani Hasyim, yang sudah ada sejak sebelum Islam, dengan kemenangan Imam Ali itu, mereka makin bertambah dendam. Adapun, dalam perang Shiffin, kekuatan Imam Ali r.a. mundur teratur akibat pertengkaran dan pertikaian intern mengenai masalah Tahkim bi Kitabillah (Penyelesaian secara damai berdasarkan Kitabillah).  

 

Setelah kekuatan Imam Ali r.a. mundur dan kembali ke Kufah, di sana Imam Ali r.a. menjadi sasaran pembunuhan gelap yang dilakukan oleh komplotan Khawarij. Beliau tewas ditikam Abdurrahman Muljam. Kekhalifahannya di teruskan oleh putranya, Al-Hasan r.a. Sayangnya, sisa-sisa kekuatan pendukung ayahnya, sudah banyak mengalami kemerosotan mental dan patah semangat. Bahkan, terjadi penyeberangan kepihak Muawiyah untuk mengejar kepentingan-kepentingan materi. Termasuk di dalamnya Ubaidillah bin Al-Abbas (saudara misan Imam Ali r.a.), yang oleh Al-Hasan r.a. diangkat sebagai panglima perangnya!

 

Hilanglah sudah, imbangan kekuatan antara pasukan Al-Hasan r.a. dan pasukan Muawiyah. Akhirnya, diadakanlah perundingan secara damai antara kedua belah pihak. Dalam perundingan itu, Al-Hasan r.a. menyerahkan kekhalifan kepada Muawiyah atas dasar syarat-syarat tertentu. Berakhirlah, sudah ke khalifahan Ahlu-Bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Seluruh kekuasaan atas dunia Islam, jatuh ketangan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan hilangnya kekhalifahan dari tangan Ahlul-Bait, dimulailah masa pembasmian, pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan pendukung-pendukungnya, yang dilancarkan oleh Daulat Bani Umayah.

 

Dalam sebuah risalah  khusus mengenai tragedi pembantaian Al-Husain r.a. di Karbala oleh pasukan daulat Bani Umayah, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Iqtidha hal. 144, menulis: 

{{“Allah memuliakan Al-Husain bersama anggota-anggota keluarganya, dengan jalan memperoleh kesempatan gugur dalam pertempuran membela diri, sebagai pahlawan syahid. Allah telah melimpahkan keridhaan-Nya kepada mereka,  mereka itu, orang-orang yang ridha bersembah sujud kepada-Nya. Allah, merendahkan derajat mereka yang menghina Al-Husain r.a. beserta kaum keluarganya.

Allah menimpakan murka-Nya kepada mereka dengan menjerumuskan mereka ke dalam tingkah laku durhaka, perbuatan-perbuatan zalim dan memperkosa kehormatan martabat Al-Husain r.a. dan kaum keluarganya, dengan jalan menumpahkan darah mereka.

 

Peristiwa tragis yang menimpa Al-Husain r.a, pada hakikatnya bukan lain adalah, nikmat Allah yang terlimpah kepadanya, agar ia beroleh martabat dan kedudukan tinggi sebagai pahlawan syahid. Suatu cobaan yang Allah tidak memperkenankan terjadi atas dirinya pada masa pertumbuhan Islam (yakni masa generasi pertama kaum muslimin). Cobaan berat pun sebelum Al-Husain r.a. telah dialami langsung oleh datuknya, ayahnya dan paman-pamannya (yakni Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, Ali bin Abi Thalib, Jakfar bin Abi Thalib, dan Hamzah bin Abdul Mutthalib [rhadiyallahu'anhum].

 

Didalam kitabnya Al-Iqtidha ini, Ibnu Taimiyah tersebut lebih menekankan, ‘Allah melimpahkan kemuliaan besar kepada cucu Rasulallah-shalllahu'alaihi wasallam-, Al-Husain r.a, dan pemuda penghuni sorga bersama keluarganya, melalui tangan-tangan durhaka. (Itu merupakan pelajaran) musibah apa pun yang menimpa umat ini (kaum muslimin) wajib mereka hadapi dengan sikap seperti yang diambil oleh Al-Husain r.a dalam menghadapi musibah’”}}.

Demikian lah Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha.

 

Semua orang dari ahlul-bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam direnggut hak -hak asasinya, di rendahkan martabatnya, dilumpuhkan perniagaannya, dan diancam keselamatannya jika mereka berani menyanjung atau memuji sayidina Ali r.a., dan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Bani Umayah.

 

Imam Muslim dan Imam Tirmidzi dari Saad Ibnu Waqqash yang mengatakan: “Ketika Muawiyah menyuruh aku untuk mencaci-maki Abu Thurab (julukan untuk Imam Ali), aku katakan kepadanya (kepada Muawiyah), adapun, jika aku sebutkan padamu tiga perkara yang pernah diucapkan oleh Rasul-shalllahu 'alaihiwasallam-untuknya (untuk sayidina Ali r.a.), sekali-kali aku tidak akan mencacinya. Jika salah satu dari tiga perkara itu aku miliki,  hal itu lebih aku senangi dari pada unta yang bagus.

 

(Pertama), ketika Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-meninggalkannya (meninggalkan Ali r.a.) di dalam salah satu peperangannya,.  ia (Ali r.a.) berkata, ‘Wahai Rasulallah, mengapa engkau tinggalkan aku bersama kaum wanita dan anak-anak kecil?’ Pada waktu itu, aku (Sa’ad Ibnu Abi Waqqash) mendengar Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda, ‘Apakah engkau tidak cukup puas jika engkau disisiku seperti Harun disisi Musa? Hanya saja tidak ada kenabian sepeninggalku.’

 

(Kedua), aku pun mendengar beliau-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda pada hari Khaibar, ‘Aku akan berikan panji-panji ini pada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya’. Pada waktu itu, kami sama-sama penuh berharap (agar dipilih oleh Nabi shalllahu'alaihi wa sallam), tetapi beliau shalllahu'alaihiwasallam bersabda: ‘Panggilkan Ali kepada Aku!’  Ali  dihadapkan pada beliau-shalllahu'alaihiwasallam-sedang ia sakit kedua matanya.

Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-meludah pada mata Ali, kemudian beliau- shalllahu'alaihiwasallam-memberikan panji-panji perang padanya sehingga Allah-Taáala-memberi kemenangan kepadanya.

(Ketiga), ketika Allah-Taáala-menurunkan ayat Mubahalah (QS Ali Imrani [3]:6), Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau shalllahu'alaihiwasallam berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah keluargaku’”. (Dikutip dari ,terjemahan, kitab At-Taj Al-Jami’ Lil Ushuli Fi Ahaditsir Rasuli, jilid 3 hal. 710 cet. pertama th.1994, oleh Syaikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini).

 

Dan masih banyak lagi, riwayat  tentang pelaknatan, pencacian terhadap sayyidina Ali r.a. dan penyiksaan kepada para pendukung dan pencinta ahlul-Bait, yang tidak kami cantumkan di sini. Keadaan seperti itu ,menurut sejarah, berlangsung selama masa kekuasaan Daulat Bani Umayah yang berkuasa kurang lebih selama satu abad, kecuali beberapa tahun saja selama kekuasaan berada di tangan Umar bin Abdul Aziz r.a.

 

Kehancuran Daulat Bani Umayah diujung pedang kekuatan orang-orang Bani Abbas, ternyata tidak menghentikan gerakan kampanye ‘anti Ali dan anak-cucu keturunannya’. Demikianlah, yang terjadi hampir selama kejayaan Daulat Abassiyah, lebih dari empat abad!

 

Perpecahan politik, perang saudara, dan keruntuhan Daulat Abbasiyah, tidak hanya memporak-porandakan kesatuan dan persatuan umat Islam, tetapi juga tidak sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Berbagai macam pandangan, pemikiran dan aliran saling bermunculan. Hampir semuanya, tak ada yang bebas dari pengaruh politik yang sedang berkuasa.

 

Selama kurun kekuasaan Daulat Bani Umayah dan Daulat Bani Abasiyah, sukar sekali dibayangkan adanya kebebasaan dan keleluasaan menuturkan hadis-hadis Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tentang ahlul-bait. Apalagi berbicara tentang nilai dan perilaku kebijakan sayidina Ali k.w.. Banyak ulama kala itu, yang sengaja menyembunyikan hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan ahlul-bait.

 

Ada juga, sebagian dari mereka yang sengaja melakukan dengan maksud politik untuk ‘mengubur’ nama-nama keturunan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Selain untuk tujuan politik, cara itu dipakai juga demi menyelamatkan diri dari siksaan penguasa. Selain itu, di masa ini juga bermunculan hadis-hadis palsu, khususnya berkenaan dengan tema ahlul bait, yaitu mengubah dan mengganti kalimat hadis dari sumber aslinya (sabda Rasulallah atau ucapan keluarga beliau shalllahu'alaihiwasallam).

 

Kita ambil contoh, hadis Al-Kisa’. Sumber pertama hadis ini, diriwayatkan oleh isteri beliau shalllahu'alaihiwasallam sendiri yang bernama Ummu Salamah r.a., menuturkan peristiwanya sebagai berikut; “Pada suatu hari Rasulallah berada di tempat kediamanku bersama Ali, Fathimah, Hasan dan Husin. Bagi mereka, kubuatkan khuzairah (makanan terbuat dari tepung gandum dan daging). Usai makan, mereka tidur, kemudian Rasulallah menyelimutkan di atas mereka Kisa’ (jenis pakaian yang lebar) atau qathifah (semacam kain halus). Beliau shalllahu 'alaihiwasallam lalu berdoa, ‘Ya Allah, mereka itulah ahlul baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’” (HR. At-Thabari dalam ‘Tafsir-nya’).

 

Penuturan Ummu Salamah r.a. ini, diriwayatkan juga oleh sumber-sumber lain dengan beberapa perubahan kalimat dan tambahan pada bagian terakhir kalimat (yaitu setelah akhir kalimat ‘mereka sesuci-sucinya’), contohnya berikut ini: Ketika itu, Ummu Salamah bertanya: ’Apakah aku tidak termasuk mereka?’ Rasulallah menjawab, ‘Engkau berada dalam kebajikan.’;

 

Hadis lain, dengan tambahan pada bagian akhir kalimat sebagai berikut: Ummu Salamah bertanya: ‘Aku, ya Rasulallah, apakah aku tidak termasuk ahlul-bait’? Rasulallah menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi’; 

 

Hadis lain lagi, dengan tambahan kalimat terakhir: Ummu Salamah berkata: ‘Ya Rasulallah, masukkan aku bersama mereka’. Rasulallah Saw menjawab: ‘Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’; 

Hadis lain lagi dengan tambahan, Ummu Salamah bertanya: ‘Apakah aku bersama mereka?’ Rasulallah Saw. menjawab: ‘Engkau berada ditempatmu, engkau berada dalam kebajikan’;

 

Hadis lain yang agak panjang, dengan tambahan, Ummu Salamah bertanya: ‘ya Rasulallah, dan aku’?...Demi Allah, beliau shalllahu'alaihiwasallam tidk menjawb menjawab ; ’Ya’. Beliau shalllahu'alaihiwasallam menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan’.

Demikianlah, kita mengetahui dengan jelas, hadis-hadis tersebut di atas ada kesamaan dalam menyebutkan, Ali, Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husin [r.a.] sebagai ahlul bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Akan tetapi, dalam ‘Apakah Ummu Salamah (isteri Nabi shalllahu'alaihiwasallam) termasuk ahlul bait Rasulallah.’, tidak terdapat kesamaan. (Tafsir At-Thabari jilid XXII; 5,6,7,8; Tuhfatul-Ahwadzi jilid IX;66 dan Keutamaan Keluarga Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam oleh K.H.Abdullah bin Nuh).

 

Perbedaan kedudukan isteri Nabi shalllahu'alaihiwasallam Ummu Salamah r.a. yang diriwayatkan oleh hadis-hadis di atas masih tidak seberapa mencolok. Sebab, bagaimana pun juga, isteri Nabi shalllahu'alaihiwasallam adalah termasuk keluarga beliau shalllahu'alaihiwasallam.

 

Berikut, hadis semakna yang sangat mencolok dan mengejutkan, yang memasukkan orang lain kedalam ahlul bait Rasulallah. Abu Ammar berkata,

“Aku duduk di rumah Watsilah bin Al-Asqa, bersama beberapa orang lain yang sedang membicarakan Ali r.a. dan mengecamnya. Ketika mereka berdiri (hendak meninggalkan tempat), Watsilah segera berkata, ‘Duduklah, kalian hendak aku beritahu tentang orang yang kalian kecam itu (Ali r.a.).

Di saat aku sedang berada di kediaman Rasulallah, datanglah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Beliau kemudian melemparkan Kisa’-nya (jenis pakaian yang lebar) kepada mereka, seraya bersabda, ‘Ya Allah, mereka ini ahlu-baitku. Ya Allah, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Aku (Watsilah) bertanya, ‘Ya Rasulallah, bagaimanakah diriku’? Beliau menjawab, ‘Dan engkau’!

 

Watsilah bin Al-Asqa melanjutkan kata-katanya, ‘Demi Allah, bagiku peristiwa itu merupakan kejadian yang sangat meyakinkan.’” (Hadis ini tercantum dalam Tafsir At-Thabari jilid XXII: 6, hadis dari Abu Nuaim Al-Fadhl bin Dakkain. Ia menerimanya, dari Abdussalam bin Harb. Abdussalam menerimanya dari Kaltsum Al-Muharibi yang menerimanya dari Abu Ammar).

 

Periwayatan para perawi yang berbeda-beda dari peristiwa/kejadian yang sama itu menunjukkan dengan jelas, bahwa “kelainan tidak terletak pada peristiwa- nya, melainkan pada orang-orang yang meriwayatkannya (para perawi)”. Sadar atau tidak sadar, masing-masing terpengaruh oleh suasana persilangan sikap dan pendapat akibat pertikaian politik masa lalu.

Kenyataan yang memprihatinkan itu mudah dimengerti karena ,menurut riwayat, pencatatan atau pengkodikasian hadis-hadis baru dimulai kurang lebih pada tahun 160H, yakni setelah keruntuhan kekuasaan daulat Bani Umayah dan pada masa pertumbuhan kekuasaan daulat Abbasiyah.

 

Ada sebagian orang dari keturunan ahlul-bait Nabi shalllahu'alaihiwasallam, dan para pengikutnya menempuh jalan yang dipandang termudah yaitu, menerima dan meyakini kebenaran hadis-hadis yang diberitakan dari kalangan ahlul-bait sendiri. Cara demikian ini dapat dimengerti, karena bagaimana pun juga orang-orang dari kalangan ahlul-bait pasti lebih mengetahui peri kehidupan Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Mereka ini, tinggal seatap dengan beliau shalllahu'alaihiwasallam dan langsung beroleh pendidikan/pengajaran dari beliau shalllahu'alaihiwasallam, sejak kecil hingga dewasa. Demikianlah pandangan para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah pada mulanya.

 

Dalam perkembangan zaman-zaman berikutnya, karena adanya pengejaran dan penindasan yang dialami para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi shalllahu'alaihiwasallam, mereka berusaha mengkonsolidasi kekuatan, baik mental maupun fisik.

Untuk mengimbangi ekstremitas pihak-pihak yang membenci dan mengejar-ngejar mereka, pada akhirnya ada sebagian para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi shalllahu'alaihiwasallam terperosok pula kedalam ekstremitas yang sama, khususnya dalam hal mengkultuskan pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Ahlul-Bait R.asulallah shalllahu'alaihiwasallam. Mereka menciptakan teori ajaran tambahan dalam agama Islam ,diluar pengetahuan para Imam mereka (dari ahlul-bait) yang telah wafat, untuk meningkatkan semangat dan kesetiaan kepada ahlul-bait.

 

Lebih jauh lagi, mereka ,yang ekstremitas, sama sekali tidak mau menerima penafsiran apa pun atau hadis apa pun yang diriwayatkan oleh pihak selain pihak ahlul-bait Rasul shalllahu'alaihiwasallam. Demikianlah pula sebaliknya, pihak lawan pun ,yang ekstremitas, tidak mau menerima penafsiran dan hadis apa pun yang diberitakan oleh pencinta dan pengikut ahlul bait itu. Hadis yang bersumber dari Imam Ali bin Thalib k.w. pun kadangkala masih mereka tolak, kecuali yang diberitakan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dan rekan-rekannya. Demikianlah sekelumit sejarah Islam mengenai ahlul-bait pada zaman Bani Umayah dan Bani Abasyiyah.

Semoga kita ummat muslimin diberi hidayah dan diampunkan dosa-dosa kita. Aamiin

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya

Maak jouw eigen website met JouwWeb