Memperingati Hari-Hari Allah
Maulidan dan Rajaban
Pernah kami baca dari lembaran internet Salafi tanggal 25/01/2004, bahwa Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz ,salah seorang ulama mazhab Wahabi-Salafi, mengomentari majlis peringatan Maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam antara lain: 'Pada majlis peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam tersebut berkumpulnya lelaki dan wanita yang bukan muhrim sehingga itu semua adalah munkar haram. Dan di dalam majlis maulid Nabi shalllahu'alaihi wasallam tersebut banyak hal-hal yang haram dijalankan oleh kaum muslimin tersebut di antaranya: minum khamar/alkohol, main judi, minum ganja dan sebagainya .'
Ini fitnah luar biasa besar. Kalau sekiranya benar apa yang dikatakan sang Syeikh ini, sayang sekali beliau ini tidak menyebutkan pada majlis maulid apa dan di mana yang pernah dihadirinya, sampai ada minuman ber-alkohol, main judi dan sebagainya? Mungkin beliau ini, hanya mendengar cerita dongengan, khurafat dari kawan-kawannya yang anti pada majlis maulid tersebut!
Golongan Pengingkar menyatakan pula, sejarah awal mula peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam diadakan oleh Al-Muiz-Liddimillah al-Abadi. Sang pemrakarsa peringatan maulid Nabi ini ,menurut kaum Wahabi-Salafi, memiliki nama yang jelek karena dekat dengan kaum Yahudi dan Nasrani serta jauh dari kaum Muslimin.
Umpama saja riwayat dan mengenai pribadi orang ini kita benarkan ,sebagai- mana yang dikatakan golongan pengingkar, kita tidak perlu melihat pribadi seseorang yang mengarang sesuatu, tapi lihat dan bacalah isi dan makna yang ditulis atau diciptakan oleh orang tersebut. Selama hal itu baik dan bermanfaat serta tidak keluar dari syari’at Islam, dibolehkan dan malah di anjurkan oleh Islam untuk mengamalkannya! Walaupun orang kafir, tapi mempunyai ide/ saran yang baik dan tidak keluar dari hukum syariat, malah kita dianjurkan untuk menerimanya, bila hal itu bermanfaat bagi masyarakat. Sudah menjadi sifat kebiasaan kelompok ini, amat mudah mendiskreditkan orang yang tidak sepaham dengannya.
Riwayat-riwayat tentang awal mulanya peringatan maulidin Nabi shalllahu 'alaihi wasallam bermacam-macam, tetapi semua ini bukan suatu masalah yang perlu kita bahas disini. Yang sudah pasti, berkumpulnya manusia secara massal untuk peringatan keagamaan ini terjadi setelah zaman Nabi Muhamad shalllahu 'alaihiwasallam dan para sahabat, tetapi dilakukan pada zaman tabi'in.
Ada riwayat yang mengatakan, pertama kali yang mengadakan acara peringatan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallamdan para keluarga beliau shalllahu 'alaihiwasallam adalah pada pertengahan abad kedua Hijriyah, yakni pada zaman Imam Jakfar Shadiq atau Imam Musa Al-Kadhim. Tradisi ini, di teruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo yang berkuasa sejak abad keempat Hijriyah.
Mereka memperingati dan mengenang hari k.elahiran dan kewafatan Nabi shalllahu'alaihiwasallam; Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib k.w.; Sayidah Fatimah r.a.; Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu Thalib [r.a.huma] dan orang-orang saleh lainnya.
Ada lagi riwayat yang menyatakan, peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihi wasallam diadakan pada awal abad ke 7 H. Peringatan ini pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (sekarang menjadi wilayah). Sang raja bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri. Hal ini sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam kitab Tarikh-nya: “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal. Beliau merayakan nya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil—semoga Allah merahmatinya.”
Peringatan maulid ini di selenggarakan oleh muslimin ,baik dari kaum ulama maupun kaum awam di seluruh mancanegara. Mesir, Iran, Irak, Turki, Afrika, Indonesia, Malaysia, Singapura, Yaman, Marokko, Pakistan, India, serta di negara-negara barat antara lain di Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan lain sebagainya.
Bahkan, peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam juga terjadi di Arab Saudi. Hanya saja, peringatannya tidak semeriah di negara-negara lain. Peringatan Maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam di Arab Saudi hanya terjadi di rumah-rumah atau flat-flat. Peringatan ini, selalu dihadiri oleh orang banyak dan berkedudukan penting di pemerintahan Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan peringatan tersebut karena dikhawatirkan akan terjadi keonaran, khususnya gangguan dari kaum Wahabi-Salafi. Dengan adanya internet, kita bisa melihat—di YouTube 'Sayid Abbas Maliki in television art' atau 'Dhikr mawlid mouhadith Al-Alawi al-Maliki al-Makki' (ulama yang berdomisili di Arab Saudi)—peringatan maulid yang diadakan di Arab Saudi atau negara Arab lainnya.
Kira-kira mulai sepuluh-limabelas tahun lalu, di Madinah, setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan bulan mulia lainnya, setiap malam jumat mulai jam 22.00, ribuan orang ,sebagian besar dari golongan mazhab Syiah, dari Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait dan lainnya duduk berkumpul di depan kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya berhadapan dengan Kubah kuburan Nabi shalllahu'alaihiwasallam di Masjid Nabawi Madinah) untuk membaca bersama doa Kumail (doanya Kumail bin Ziyad) dengan pengeras suara, dan sekitar tempat itu dijaga oleh tentara-tentara Arab Saudi hanya untuk menjaga keamanan saja.
Pada mulanya, para ulama Saudi melarang keras kumpulan-kumpulan pembacaan doa di depan umum seperti itu, apalagi sambil menggunakan pengeras suara. Belakangan, para ulama Saudi tidak melarangnya. Begitu juga, dahulu para muthawik melarang orang mengambil gambar (foto) Masjidil Haram walaupun dari luar, tetapi sekarang di dalam masjid Haram pun boleh orang mengambil gambar. Mungkin ,para ulama Saudi ini, dapat tegoran dari para ulama bahwa mengambil gambar/foto itu tidak dilarang oleh syariat Islam.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa ke- hidupan Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Ini memang bid‘ah (memunculkan suatu yang baru), tetapi memunculkan sesuatu yang baik (bid‘ah hasanah), karena sejalan dengan hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasanya terletak pada bentuk berkumpulnya jamaah, bukan terletak pada per-orangan (individu) yang memperingati hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Sebab, masa hidup beliau shalllahu'alaihi wasallam dengan berbagai cara dan bentuk setiap Muslim melakukannya meskipun tidak disebut perayaan atau peringatan. Tidak adanya contoh pada zaman Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam atau para sahabat, bukan lah menjadi dalil melarang atau menyesatkan peringatan maulidin Nabi shalllahu 'alaihi wasallam. Tidak lain semua itu, adalah ijtihad para ulama.
Lupa, adalah salah satu ciri kelemahan yang ada pada setiap orang. Tidak pandang apakah ia berpikir cerdas atau tidak. Kita sering mendengar orang berkata, Summiyal-Insan liannahu mahallul khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia tempat kekeliruan dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian, lupa sering digunakan orang untuk beroleh maaf atas suatu kesalahn atau kekeliruan yang telah diperbuat.
Bahkan, di Al-Quran dalam surah Al-Kahfi [18]:63 terdapat isyarat bahwa lupa adalah dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi Musa a.s. menjawab pertanyaan nabi Musa, dengan mengatakan, ‘Tidak ada yang membuatku lupa mengingat (makanan) itu kecuali setan’. Satu-satunya obat untuk mencegah atau menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan.
Bila orang telah di-ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menyalahgunakan lupa agar beroleh maaf atas perbuatannya yang salah itu. Kata zikir, dzakkara, atau dzikra (ingat, mengingatkan, peringatan dan seterus-nya) adalah sempalan kata lain dari akar kata zikir yang berulang-ulang ditekankan dalam Al-Quran.
Bahkan, para Nabi dan Rasul termasuk junjungan kita Nabi Muhamad shalllahu 'alaihiwasallam disebut juga sebagai Mudzakkir yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang lebih tegas dan keras, para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan keras kepada manusia yang menentang kebenaran Allah Subhaanahuu wata'aala.
Dengan keterangan singkat di atas, jelaslah betapa besar dan penting masalah peringatan dan mengingatkan. Tujuannya adalah agar manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit lupa dan lalai yang akan menjerumus- kannya kedalam pemikiran salah dan perbuatan sesat. Itulah masalah yang melandasi pengertian kita tentang betapa perlunya kegiatan memperingati maulid Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Allah subhaanahuuwata'aala sendiri telah berfirman agar kita selalu ingat mengingatkan karena peringatan sangat bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS Ad-Dzariyat [51]: 55).
Wallahua'lam
Cara-cara memperingati hari-hari Allah
Allah Ta'aala berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami, (dan Kami perintahkan kepadanya), ‘Keluarkanlah kaum kamu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur". (QS Ibrahim [14] : 5).
Yang dimaksud dengan hari-hari Allah pada ayat itu, peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan siksa yang dialami mereka. Umat nabi Musa disuruh oleh Allah subhaanahuuwata'aala untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Baik itu yang berupa nikmat atau berupa azab dari Allah subhaanahuwata'aala. Dengan adanya peringatan maulid itu, kita selalu di-ingatkan kembali kepada junjungan kita Rasul shalllahu'alaihi wasallam sebagai penghulu para Nabi dan Rasul!
Tidak ada ketentuan syariat, cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu. Juga tidak ditetapkn peringatan itu harus dilakukan secara berjamaah ataupun secara individual. Begitu juga halnya dengan peringatan maulid. Ia dapat diadakan setiap waktu, boleh secara individu atau berjamaah.
Sudah tentu, waktu yang paling tepat ialah pada hari turunnya nikmat Allah. Dalam hal memperingati maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam waktu yang paling utama adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam). Akan tetapi, mengingat besarnya manfaat peringatn maulid ini dan mengingat pula bahwa dengan cara berjamaah lebih utama dan lebih banyak barakah, peringatan maulid dapat diadakan pada setiap kesempatan yang baik secara berjamaah. Misalnya, pada hari-hari mengkhitankan anak-anak, pada waktu hari pernikahan, pindah rumah, pelaksanaan nazar yang baik, beroleh rezeki yang banyak dan lain sebagainya.
**Mengenai pilihan waktu untuk memperingati hari-hari Allah, terdapat hadis sahih yang dapat dijadikan dalil. Hadis ini, diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim tentang puasa pada hari Asyura. Puasa sunnah Asyura dianjurkan oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam setelah beliau shalllahu'alaihiwasallam melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram. Beliau shalllahu'alaihiwasallam bertanya kepada kaum Yahudi ‘mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu’? Mereka menjawab, ‘Pada hari ini, Allah shalllahu'alaihi wasallam menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka’.
Kemudian Nabi shalllahu'alaihiwasallam menjawab, نَحْنُ أوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
‘Kami lebih berhak memperingati Musa dari pada kalian’!
**Terdapat pula, hadis lainnya yang diketengahkan Ibnu Taimiyah dari Ahmad bin Hanbal, “Aku mendengar berita, pada suatu hari sebelum Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tiba (di suatu tempat di Madinah) di antara para sahabatnya ada yang berkata, ‘Alangkah baiknya jika kita menemukan suatu hari dimana kita dapat berkumpul untuk memperingati nikmat Allah yang terlimpah kepada kita’. Yang lain menyahut, ‘Hari Sabtu!’
Orang yang lain lagi menjawab, ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’! Terdengar suara yang mengusulkn, ‘Hari Minggu saja!’ Dijawab oleh yang lain, ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Nasrani!’ Kemudian menyusul yang lain lagi berkata, ‘Kalau begitu, hari Arubah saja!’ Dahulu mereka, menamakan hari Jum’at hari Arubah. Mereka, lalu pergi berkumpul di rumah Abu Amamah Sa’ad bin Zararah. Dipotonglah seekor kambing cukup untuk di makan bersama”. (Ibnu Taimiyah, Iqtidaus Shirathil Mustaqim)
Selain dua hadis tersebut di atas, terdapat hadis lainnya dari Imam Bukhari dan Muslim mengenai nyanyian yang didendangkan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam masih hidup di tengah umatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam berkaitan dengan datangnya hari raya Idul Akbar.
Peringatan demikian itu, dilakukan juga oleh sekelompok Muslim berkaitan dengan hari bersejarah lainnya, yakni hari Biats yaitu hari kemenangan suku- suku Arab melawan Persia, sebelum Islam. Pada hari itu, Abu Bakar dan Umar berusaha mencegah sejumlah wanita berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat Abu Bakar dan Umar berbuat demikian itu, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menegur dua orang sahabatnya ini. Beliau shalllahu'alaihiwasallam minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan hari besar dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
**Hadis yang berasal dari Ummul mukminin Aisyah r.a. itu lengkapnya sebagai berikut: “Pada suatu hari Abu Bakar As-Shiddiq ra datang kepada Aisyah ra (putrinya). Pada saat itu, dikediaman Aisyah r.a. ada dua orang wanita Anshar sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh kaum Anshar pada hari Bi’ats.
Siti Aisyah r.a. memberitahu ayahnya, bahwa dua orang wanita yang sedang menyanyi itu bukan biduanita. Abu Bakar menjawab, ‘Apakah seruling setan dibiarkan dalam tempat kediaman Rasulallah?’ Peristiwa tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi pernyataan Abu Bakar r.a., Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam berkata,‘Hai Abu Bakar, masing-masing kaum mempunyai hari raya, dan sekarang ini hari raya kita’“.(Sahih Bukhari, I:170 dan Sahih Muslim III: 210).
Yang dimaksud dalam hadis kata hari raya kita ialah, hari terlimpahnya nikmat Allah subahaanahuuwata'aala kepada kita. Karena itu, kita boleh merayakan- nya. Berdasarkan riwayat yang berasal dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. itu imam Bukhari dan Muslim memberitakan, “di dalam tempat kediaman Nabi shalllahu 'alaihi wasallam pada saat itu terdapat dua orang wanita sedang bermain rebana (gendang)”.
** Dalam Sahih Bukhari, I:119 diriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah r.a. yang berkata, “Pada suatu hari Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-datang kepada aku. Saat itu, di rumah terdapat dua orang wanita sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats. Beliau-shalllahu'alaihiwasallam-lalu berbaring sambil memalingkn wajah. Tak lama kemudian, datanglah Abu Bakar (ayah Aisyah). Ia marah kepadaku seraya berkata, ‘Apakah seruling setan dibiarkan berada di rumah Rasulallah? Mendengar itu, Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-segera menemui ayahku lalu berkata, ‘Biarkan sajalah mereka’! Setelah Abu Bakar tidak memperhatikan lagi keberadaan dua orang wanita itu, mereka lalu keluar meninggalkan tempat”.
**Riwayat lain, memberitakan, “Pada hari perayaan Muna, Abu Bakar r.a. datang kepada Siti Aisyah r.a. Ketika itu, di rumah istri Nabi shalllahu 'alaihi wa sallam terdapat dua orang wanita sedang menyanyi sambil menabuh/memukul rebana. Saat itu, Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-sedang menutup kepala dengan burdahnya. Oleh Abu Bakar dua orang wanita itu dihardik. Mendengar itu, Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-sambil menanggalkn burdah (kain utk menutup kepala) dari kepalanya berkata, ‘Hai Abu Bakar, biarkan mereka , hari ini hari raya!’”
**Dalam Sahih Muslim ketika itu Aisyah r.a. mengatakan, “Aku melihat Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-berdiri di depan pintu kamarku, pada saat beberapa orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi. Kemudian beliau-shalllahu'alaihiwasallam-merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka bermain. Setelah itu aku pergi. Mereka, mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
**Dalam hadis yang lain lagi Siti Aisyah r.a. menuturkan, “Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam negro dari Habasyah bermain darq (perisai terbuat dari kulit tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ataukah beliau-shalllahu'alaihiwasallam-yg bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau ingin melihat’? Aku menjawab, ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang beliau demikian dekat hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau-shalllahu'alaihiwasallam. Kepada orang-orang yang bermain-main itu Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda, ‘Hai Bani Arfidah…teruskan, tidak apa-apa’! Kulihat mereka terus bermain hingga merasa jemu sendiri. Kemudian, Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bertanya kepadaku, ‘Sudah cukup’? Kujawab, ‘Ya’. Beliau lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu pergilah!’ ”
**Dalam Sahih Muslim diriwayatkan juga sebuah hadis berasal dari Atha r.a yang menuturkan, yang bermain-main itu entah orang-orang Persia, entah orang- orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain hirab di depan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam. Tiba-tiba Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu mengambil beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka. Ketika melihat kejadian tersebut Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda, ‘Hai Umar, biarkan saja mereka’!
Kini, telah kita ketahui, bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang di tuturkan hadis-hadis di atas ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian dan mendeklamasikan syair-syair sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai. Semua ini, diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat, bahkan oleh istri beliau shalllahu'alaihiwasallam sendiri yang langsung menyaksikan.
Semua riwayat ini, kemudian dicatat dan diberitakan oleh para imam ahli hadis seperti imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari dan Muslim. Dalam hadis-hadis itu, telah diketahui pula bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam membolehkan diadakannya perayaan-perayaan atau peringatan-peringatan hari bersejarah, terutama sekali hari-hari pelimpahan nikmat Allah subhaanahuuwata'aala kepada umat manusia.
Dalam hadis-hadis tadi beliau shalllahu'alaihiwasallam tidak pernah mengatakan perayaaan atau peringatan itu perbuatan kufur atau bid’ah dhalalah (sesat). Kita mengetahui pula, sayidina Abubakar r.a. menyebut nyanyian sebagai seruling setan. Sayidina Umar r.a. melempari orang-orang yang bermain tombak dengan kerikil. Kemudian Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menegor kedua sahabatnya tersebut. Karena beliau shalllahu'alaihiwasallam tidak memandang permainan-permainan atau perayaan-perayaan itu sebagai perbuatan kufur, maksiat atau keluar dari garis-garis yang ditentukan syariat Islam. Dua sahabat Nabi shalllahu'alaihiwasallam menerima tegoran Nabi shalllahu'alaihiwasallam dengan jujur dan ikhlas. Wallahua'lam
Dalil-dalil, hikmah yang mengarah kebolehan peringataan Maulidin Nabi shalllahu'alaihi wasallam
Allah Ta'aala berfirman, “ ’Isa putra Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkau lah pemberi rezeki yang paling Utama’”.(QS Al-Maidah [5] :114).
Turunnya makanan dari Allah subhaanahuuwata'aala untuk umat nabi Isa saja sudah sebagai suatu kenikmatan dan hari Raya untuk umat Isa dan untuk yang datang sesudah mereka. Bagi umat Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, Allah subhaanahuuwata'aala telah memberikan berbagai kenikmatan dan kemuliaan karena lahirnya dan turunnya makhluk yang paling mulia yaitu Habibullah Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam kedunia ini!!
**Dalam kitab Al-Madhkal oleh Ibnu al-Hajj jilid 1 hal. 261 disebutkan: “Menjadi satu kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabiul Awal, karena Dia (Allah subhaanahuu wata'aala) telah mengarurniakan kepada kita nikmat yang besar, yaitu diutus-Nya Nabi shalllahu'alaihiwasallam untuk menyampaikan Islam”.
**Dalam Sahih Muslim hal.168 juga memperkuat dalil-dalil keabsahan peringatan maulid (kelahiran) Nabi shalllahu'alaihiwasallam, yaitu mengenai puasa setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Beberapa orang sahabat beliau shalllahu'alaihiwasallam bertanya apa sesungguhnya motivasi beliau berpuasa tiap hari Senin? Beliau shalllahu'alaihi wasallam menjawab;
ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ اُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
“Pada hari itu (hari Senin) adalah hari kelahiranku dan hari turunnya wahyu (pertama) kepadaku”.
Dalam pertanyaan tersebut, Rasul shalllahu'alaihiwasallam tidak menjawab, ‘Puasa hari Senin itu mulia, banyak pahala dan boleh-boleh saja'. Namun, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam memperingati dan merayakan hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin.
Beliau shalllahu'alaihiwasallam menghubungkan hari kelahirannya dengan hari turunnya wahyu pertama (hari bi’tsah kenabian) kepada beliau, menunjukkan ketinggian martabat hari kelahiran (maulid) beliau sebagai hari turunnya rahmat Allah subhaanahuuwata'aala. Sudah selayaknya kita,sebagai umat beliau, memandang hari maulid beliau shalllahu'alaihiwasallam sebagai hari besar dan mulia yang perlu diperingati sewaktu-waktu. Dalam hal ini, apanya yang salah dan mengapa harus di munkarkan atau disesatkan…?
**Hikmah terbesar dari peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam ada lah, meneguhkan iman serta membangkitkan cinta pada Allah dan Rasul-Nya.
Beberapa firman Allah Ta'aala; لَقَدْ كَانَ في قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأوْلِى الألْبَابِ
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu (para nabi dan rasul) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal”.(QS.Yusuf [12] : 111)
وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أنْبَاءِ الرُسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَك
“Dan semua kisah para Rasul kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu.” (QS.Hud [11]: 120 )
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhamad), dan Allah akn mencintai kamu”.(QS Ali Imran [3]: 31) .
Allah subhaanahuuwata'aala di dalam kitab suci Al-Quran banyak menceritakan riwayat-riwayat para Nabi dan Rasul secara berulang-ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa 'alaihissalaam dalam surah Maryam, di sini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa, bahkan dikisahkan juga dakwah dan mukjizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman dan nabi-nabi lainnya ['alaihimussalaam]. Allah mengisahkan bagaimana kehidupan, kemuliaan/kedudukan para rasul ini. Tidak lain itu, semua agar para pembaca Al-Quran dapat mengambil pelajaran dan memperteguh iman dalam hati.
Kalau kisah para Nabi dan Rasul yang lain saja, sudah sedemikian besar arti dan manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita Nabi besar Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, penghulu para nabi dan rasul !!
**Begitu pula, Allah subhaanahuuwata'aala berfirman, Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang kebesarn) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa”, (QS Al-Hajj [22]:32); “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia di sisi Allah, itulah yang terbaik baginya di sisi Tuhannya”.(QS Al-Hajj [22]: 30).
Tidak diragukan lagi, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam adalah makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Ilahi, dengan kenabian dan kerasulan nya, dengan segala mukjizat termasuk mukjizat yang terbesar, yaitu Al-Quran yg di karuniakan Allah kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam, adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syiar) serta lambang kekuasaan Allah subhaanahuu wa ta'aala. Memuliakan dan mengagungkan syiar Allah ini, adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah subhaanahuuwata'aala.
**Di dalam majlis maulid ini, selalu dikumandangkan shalawat, riwayat kisah Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dan ceramah agama. Semuanya ini sangat baik dan sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan shalawat ini adalah perintah Allah jallaajalaaluh sebagaimana firman-Nya:
إنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آ مَنوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya.” (QS Al-Ahzab [33]: 56).
Arti shalawat Allah subhaanahuuwata'aala pada ayat ini menurut ahli tafsir berarti pujian Allah subhaanahuuwata'aala terhadap Nabi shalllahu'alaihi wa sallam. Pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggikan dan mendekatkan nya. Begitu juga shalawat para Malaikat kepada beliau shalllahu 'alaihiwasallam untuk memuji, memuliakan, dan mendoakan Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam. Dan orang yang beriman disuruh juga bershalawat dan bersalam pada beliau shalllahu'alaihiwasallam.
**Kita juga dianjurkan oleh Allah jallaajalaaluh agar ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini sangat bermanfaat bagi kita sebagaimana Firman -Nya,
وَذَكِّرْ فَإنَّ الَذِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
“Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Ad-Dzariyat [51]:55). Allah memerintahkan agar kita selalu berbuat kebaikan, di mana kebaikan itu bisa menghapuskan dosa:
اِنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّآتِ
“Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”. (QS Hud [11]: 114)
Tidak diragukan lagi, orang yang membaca riwayat maulidin Nabi shalllahu 'alaihiwasallam ,baik secara individu maupun berjamaah, adalah termasuk berbuat kebaikan dan meraih pahala besar.
Sekali lagi, menarik kesimpulan arti firman-firman Allah dan hadis-hadis di atas ini bahwa kesempurnaan iman seseorang itu amat bergantung kecintaan- nya terhadap Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Kecintaan, ketaatan dan ke imanan pada Allah subhaanahuuwata'aala dan Rasul-Nya, ini akan bertambah tebal dan mantap di hati kita bila selalu di-ingatkan berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat kisah kehidupan Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam serta bershalawat pada beliau shalllahu'alaihiwasallam!
**Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam telah bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى اَكُونَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلدِهِ وَالنَّاسِ اجْمَعِيْنَ
“Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada anak, ibu- bapa dan manusia seluruhnya.” Dalam hadis lain, riwayat Imam Bukhori, Nabi shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih dicintai daripada diri kamu sendiri. Umar bin Khatab r.a. berkata, ‘Ya Rasul- Allah aku mencintaimu lebih daripada diriku sendiri’”.
Dalam hadis Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam kita diperintahkan untuk mencintai Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua dan manusia seluruhnya. Keimanan kita, tergantung dengan besarnya kecintaan kita kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam. Cinta kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam berarti kita cinta kepada Allah subhaanahuu wata'aala. Dengan sering memperingati hari kelahiran Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam akan memantepkan hati kita untuk bisa mencontoh pribadi dan perjalanan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Wallahua'lam
Pendapat (Fatwa) para pakar Ulama
**Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyudin Ali bin Abdul-Kafi As-Sabki (wafat tahun 756 H) menulis kitab khusus tentang kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Bahkan, ia menfatwakan, “Barangsiapa menghadiri pertemuan untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam serta keagungan maknanya, ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.”
**Imam Syihabudin Ahmad bin Muhamad bin Ali bin Hajar Al-Haitsami As- Sa’di Al-Anshari Asy-Syafi’i (wafat tahun 973 H) menulis kitab khusus mengenai kemuliaan Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Ia memandang hari Maulid Nabi shalllahu'alaihi wasallam sebagai hari raya besar yang penuh barokah dan kebajikan. Imam Abdur-Rabi Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqi (wafat tahun 716 H), menulis sajak dan syair-syair bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wasallam. Tiap hari maulid Nabi, para pemimpin Muslim berkumpul di rumah- nya. Ia lalu minta salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan syair-syair Al-Buqi itu.
**Dalam Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, jilid 23, hal. 133, dan kitabnya Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim, hal.294-295, bab ‘Ma Uhditsa min al-Ayad al-Zamaniyah wa al-Makaniyah’ (Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat tertentu), Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Memuliakan hari maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-dan menyelenggarakn peringatannya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-ada lah layak jika dalam hal itu mereka beroleh pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mukmin yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh orang lain.
Demikian halnya apa yang diada-adakan oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-dan untuk memuja- nya, Allah subhaanahuuwataáala akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini, bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bid‘ah …”.
Dalam teks yang disebutkan di atas, Ibnu Taimiyah juga menyebutkan fatwa Imam Ahmad Ibnu Hanbal, tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Al-Quran, beliau (Imam Ahmad) mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan emas”. Demikianlah fatwa Ibnu Taimiyyah.
**Seorang editor majalah kelompok Salafi-Wahabi ,Iqtidha, Muhamad al- Fiqqi, menulis dua halaman catatan kaki untuk teks tersebut. Di dalamnya ia berteriak keras, “Kaifa yakunu lahum tsawab ala hadza?.. Ayyu ijtihad fi hadza”? (Bagaimana mungkin mereka dapat memperoleh pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini?).
Para ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang menyangkut peringatan maulid ini. Mereka mengubah sikap Ibnu Taimiyah tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri. Padahal, Ibnu Taimiyah adalah tokoh ulama panutan golongan ini.
**Pengarang Salafi yang lain ,Manshur Salman, juga bersikap serupa di atas, ketika menerangkan isi kitab Al-Ba‘its ala Inkar al-Bida karya Abu Syamah. Karena Abu Syamah bukannya mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru menyatakan, ‘Sungguh itu (peringatan maulidin Nabi shalllahu'alaihiwasallam) suatu bid‘ah yang patut dipuji dan diberkati’.
Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam oleh Ibnu Taimiyah ini─oleh para pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu kritikan atas peringatan maulid─telah disebut-sebut oleh para ulama Sunni seperti: Said Hawwa dalam al-Sirah bi Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibnu Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah; as-Sayid Hasyim al-Rifa‘i dalam Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah; Abdal-Hay al-Amruni dan Abdal-Karim Murad dalam Hawla Kitab al-Hiwar ma‘a al-Malik.
Jadi, menurut Ibnu Taimiyah, merayakan dan menghormati kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, sebagaimana di lakukan oleh sebagian orang, adalah baik, dan terdapat pahala yang besar, karena niat baik mereka dalam menghormati Nabi shalllahu'alaihi wasallam.
NB: kita juga harus hati2 membeli suatu kitab, karena banyak kitab tulisan para pakar ahlus-sunnah yang dicetak kembali oleh golongan Salafi dan menghapus tulisan para pakar ini yang tidak sepaham dengan mereka!! Salah satu contoh kitab Riyaadhus sholihin karya Imam Nawawi rohimahullah.
Anehnya lagi, ada dari kelompok Salafi-Wahabi mengatakan, “sesungguhnya binatang yang disembelih untuk acara maulid, lebih haram daripada Babi!
Sedangkan, dalam kitab Muallafaat (Muhamad Ibnul Wahab) jilid 6 hal.227 mengatakan, '....dan manusia menjadi saksi atas kamu, bahwa kamu pergi ke majlis maulid, menghadiri majlis mereka, membacakannya kepada mereka dan makan makanan yang disediakan di majlis itu, maka sekiranya kamu mengetahui ini adalah Kufur (keluar dari agama)'. Ucapan imam golongan Wahabi ini, berseberangan dengan ucapan ulama yang paling mereka andalkan dan juluki Syeikhul Islam, yaitu Syeikh Ibnu Taimiyah.
**Al-Hafizh Al-Qasthalani, dalam Al-Mawahibul ladun-niyah juz 1 hal. 148 cet. al-maktab al-Islam berkata, “Allah akan menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam sebagai hari besar”.
**Al-Hafizh As-Sakhawi, dalam Sirah al-Halabiyah berkata,“Tidak dilaksanakn maulid oleh salaf hingga abad ketiga, tetapi dilaksanakan setelahnya dan umat Islam diseluruh pelosok dunia melaksanakan dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan bacaan maulid dan terlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar.”
**Imam Al-Jauzi (Al-Hafizh Jamaluddin Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam mazhab Hanbali wafat tahun 567 H mengatakan, “Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-ialah timbulnya perasaan tenteram di samping kegembiraan yang mengantarkan umat Islam kepada tujuan luhur. Orang-orang pada masa Daulat Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-degn berbuat kebajikan menurut kemampuan masing masing, seperti mengeluarkan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari maulid, mereka juga memperingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi-shalllahu'alaihi wasallam-di dalam Gua Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Bagdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.”
Begitu pula, Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Mawlid al-Arus, (Ibn al-Jawzi, Mawlid al-‘Arus, Damaskus: Maktabat al-Hadharah, 1955) berkata tentang pembacaan maulid sebagai berikut, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya dan merayakannya” Kitab ini, berisi syair dan riwayat hidup Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-dibaca dalam perayaan maulid dan beliau membuka dengan kata-kata, “Al-hamd li Allah al-ladzi abraza min ghurrat ‘arus al-hadhrah shubhan mustanirah (Segala puji bagi Allah, yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari yang semburat dengan sinar cemerlang)
**Imam Al-Hafizh Ibnu Abidin dalam syarahnya maulid Ibnu Hajar berkata, “Ketahuilah salah satu bid‘ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam”.
**Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam al-Durar al-Kaminah fi ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsaminah menyebutkan, Ibnu Katsir pada hari-hari terakhir hayatnya, menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasulallah yang tersebar luas. Kitab tersebut, menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi-shalllahu 'alaihi wasallam” (Ibnu Katsir, Mawlid Rasulallah, editor Shalahuddin Munajjad [cet. Dar al-Kitab al-Jadid, Beirut], 1961). Dalam kitab Ibnu Katsir tersebut, mengatakan, “Malam kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu malam yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang, dan tak ternilai harganya” (ibid, hal.19).
**Imam Jalaluddin al-Suyuthi berkata: Syaikh Islam, seorang tokoh hadis pada masanya (Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqalani), pernah ditanya mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam? Beliau memberikan jawaban sebagai berikut:
[[“Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan memperingati kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-, itu merupakan suatu bid‘ah yang kita tidak menerimanya dari para saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad pertama Hijriah. Meskipun demikian, praktik tersebut melibatkan bentuk-bentuk yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji.
Apabila dalam praktik peringatan tersebut, orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja, dan tidak melakukan yang sebaliknya, itu bid‘ah yang baik. Namun, jika tidak demikian, maka tidak baik. Dalil dasar dari nash yang bisa di percaya untuk merujuk keabsahannya telah saya temukan, yaitu suatu hadis sahih yang dimuat dalam kumpulan Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam datang ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam (Asyura), beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu dan mereka menjawab: 'Hari ini, Allah Ta'aala menenggelamkam Fir'aun dan menyelamatkan Musa 'alaihis salaam, kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur kepada Allah Jalla jalaaluh.’
Dalil ini, menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada Allah jallajalaaluh atas karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam bentuk pemberian nikmat maupun penghindaran dari bencana. Kita mengulang rasa syukur kita dalam peringatan hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan syukur kepada Allah subhaanahuuwata'aala dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, memberi sedekah atau membaca Al-Quran. …Lalu, karunia apa lagi yang lebih besar daripada kelahiran Nabi shalllahu'alaihi wasallam?
Melihat kenyataan demikian, kita seharusnya memastikan untuk memperingati -nya pada hari yang sama, sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa álaihis salaam, tanggal 10 Muharam di atas. Akan tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini penting, merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja sepanjang tahun, pengecualian apapun dapat diambil dalam pandangan semacam ini”]]. (Al-Suyuthi, al-Hawi li al- Fatawi).
**Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad Ibnu Zaini Dahlan, “Memperingati hari kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-dan mengingat Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam-itu dibolehkan oleh ulama muslim.” (Al-Sirah al-Nabawiyah wa al-Atsar al-Nabawiyah, hal.51. kebanyakn kutipan-kutipan selanjutnya di ambil dari karya ini).
**Imam al-Subki, mengatakan; “Pada saat kita merayakan hari kelahiran Nabi -shalllahu'alaihiwasallam-rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas”.
**Imam al-Syaukani, dalam kitab al-Badr al-Thali‘ mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-”.Beliau pun mengatakan, Mulah Ali al- Qari memiliki pandangan yang sama dalam kitab nya, Al-Maurid al-Rawi fi al- Maulid al-Nabawi, yang ditulis secara khusus untk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam.
**Imam Abu Syamah ,guru Imam Al-Nawawi, dalam kitabnya tentang bid‘ah, al-Ba‘its ala Inkar al-Bida‘ wa al-Hawadis, berkata: Bid‘ah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah peringatan hari kelahiran Nabi-shalllahu'alaihi wasallam. Pada hari tersebut, orang-orang memberikan banyak sumbangan, banyak ibadah, menunjukkann rasa cinta yang besar kepada Nabi-shalllahu 'alaihi wasallam-dan menyatakan banyak syukur kepada Allah subhaanahuu wata'aala karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk menjaga mereka agar mengikuti sunah dan syariah Islam.
**Imam Nawawi (Al-Hafiz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi), wafat dalam tahun 676 H, mensunnahkan peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafizh Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-Asqalani) yang wafat dalam tahun 852H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Imam Al-Asqalani memastikan, memperingati hari maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala.
**Imam al-Syakhawi mengatakan, “Peringatan hari kelahiran Nabi shalllahu 'alaihiwasallam di mulai pada tiga abad setelah Nabi shalllahu'alaihiwasallam wafat. Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh ulama membolehkannya, dengan cara beribadah kepada Allah Ta'aala, bersedekah dan membaca riwayat hidup Nabi shalllahu'alaihiwasallam”.
**Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami, mengatakan, “Sebagaimana orang-orang Yahudi merayakan hari Asyura dengan berpuasa untuk bersyukur kepada Allah Swt, kita pun mesti merayakan maulid.” Selanjutnya beliau berkata, (Selayak- nya) orang bersyukur kepada Allah subhaanahuwata'aala atas rahmat yang telah Dia berikan pada suatu hari tertentu, baik berupa kebaikan yang besar ataupun keterhindaran dari bencana. Hari tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur terlahir dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, sedekah, dan membaca Al-Quran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar dari kedatangan Nabi-shalllahu 'alaihi wasallam-seorang Nabi penyebar rahmat, pada hari maulid?
**Doktor Abdul Ghaffar Muhamad Aziz, guru besar ilmu dakwah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain:
[[“Memang, ada sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak membenarkan adanya peringatan-peringatan keagamaan dalam bentuk apa pun juga dan menganggapnya bid‘ah yang tidak diakui oleh agama. Akan tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran syariat. Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, atau peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan ceramah-ceramah dan pelajaran khusus, baik dimasjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat segala macam media massa. Peringatan, akan dapat mengingatkn kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama.
Selama peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah subhaanahuwata'aala telah berfirman: ‘Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman’, (Adz-Dzariyat [51]: 55)
Peringatan keagamaan yang diselenggarakan tanpa berlebih-lebihan atau pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini seakan-akan Allah Ta'aala hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya peringatan-peringatan ke agamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat ke saat selalu berada di dalam suasana Al-Quran, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana kehidupan Islam, yang dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada di dalamnya sampai dengan bulan Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, sampai bulan Rajab dengan peringatan Isra’ Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan turunnya Al-Quran Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu Syawal, Dzulqaidah dan Dzulhijjah. Demikianlah, suasana keagamaan berlangsung terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun.”]].
**Doktor Muhamad Sayid Ahmad Al-Musir ,guru besar ilmu Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islami menerangkan antara lain sebagai berikut:
[[“Perayaan peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dengan jamuan/ pesta makan dan minum sama sekali tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam. Perlu dipahami, kami tidak melarang/mengharamkan jenis-jenis tertentu makanan dan minumn yang disuguhkan dalam peingatan tersebut. Akan tetapi, yang kami sesali ialah, ada sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang bersifat kebendaan itu merupakan bagian dari pada peringatan maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam.
Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam atau peringatan keagamaan lainnya sebagai bid‘ah, terletak pada pengertian atau ta’rif tentang bid‘ah dan sunnah. Mereka mengatakan, ‘setiap bid‘ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadis sahih.
Akan tetapi, mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid‘ah yang disebut sesat (dhalalah) dan tempatnya di neraka bukan lain adalah bid‘ah yang di-isyaratkan oleh Al-Quran, yakni firman Allah subhaanahuuwata'aala, ‘Mereka mensyariatkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak di-izinkan Allah’ (Asy-Syura [42]:21). Jadi bid‘ah yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok--pen) di dalam agama. Hal ini, sama sekali tidak terdapat dalam peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-dan peringatan keagamaan lainnya.”]].
**Ustad Mahmud Syaltut berpendapat,
[[“Setelah abad pertama hijriyah (abad ke 7 M), di kalangan kaum Muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakn perayaan memperingati hari maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam pada bulan Rabiul-awal tiap tahun. Cara mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keadaan lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari kelahiran Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam-dengan menyiapkan makanan-makanan khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul-awal dalam suasana riang gembira.
Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue manis yang khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini di letakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan pertemuaan yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari membacakan ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu, dibacakan kisah maulid Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam-dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak beliau-shalllahu'alaihiwasallam, juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa kelahiran beliau-shalllahu'alaihiwasallam.
Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang mulai menulis dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan berita-berita riwayat dan hadis. Kemudian tulisan ini disebarluaskan kepada kaum Muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran Nabi Muhamad-shalllahu'alaihi wasallam-dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah beliau, yang telah di kenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya (yakni orang Quraish--pen).
Antara lain di riwayatkan berita dalam tulisan-tulisan (kitab-kitab) tersebut:
‘Ketika beliau masih sebagai anak penggembala kambing, saat beliau masih remaja muda turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraisy dan sekutunya orang-orang Kinanah disatu pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin. Konon, waktu itu Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-umur 14 tahun. Ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20 th.—red.) dan persekutuan Fudhul.
Juga ditulisan tersebut meriwayatkan ketika beliau-shalllahu'alaihiwasallam- telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan riwayat beliau shalllahu'alaihiwasallam yang tercantum dalam tulisan tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-yang lazim dilakukan oleh kaum Muslimin sebagai sunnah setelah abad-abad pertama hijriyah’.”]].
**Di dalam kitab “An-Ni’matul Kubra ‘alal ‘Alami fi Maulidi Sayyidi Waladi Adam” halaman 7-11 karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami* (909-974 H./ 1503- 1566 M.), diterangkan tentang keutamaan-keutamaan memperingati maulid Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam sebagai berikut:
1. Sayidina Abu Bakar r.a. berkata:
من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم كان رفيقي في الجنة
"Barangsiapa membelanjakan satu dirham untuk mengadakan pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, maka ia akan menjadi temanku di surga."
2. Berkata sayidina Umar r.a:
من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحيا الإسلام
“Barangsiapa mengagungkan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.”
3. Berkata sayidina Usman r.a:
من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فكأنما شهد غزوة بدر وحنين
“Barangsiapa membelanjakan satu dirham untuk mengadakan pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, seakan-akan ia ikut-serta menyaksikan perang Badar dan Hunain.”
4. Sayidina Ali r.a berkata;
من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم وكان سببا لقراءته لا يخرج من الدنيا إلا بالإيمان ويدخل الجنة بغير حساب
“Barangsiapa mengagungkan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, dan ia menjadi sebab di laksanakannya pembacaan maulid Nabi, maka tidaklah ia keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.”
5. Imam Hasan Bashri r.a. berkata:
وددت لوكان لي مثل جبل أحد ذهبا فأنفقته على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم
“Aku senang sekali seandainya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk kepentingan memperingati maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam.”
6. Imam Junaed al-Baghdadi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)nya, berkata:
من حضرمولد النبي صلى الله عليه وسلم وعظم قدره فقد فاز بالإيمان
“Barangsiapa menghadiri peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan mengagungkan derajat beliau, maka sesungguhnya ia akan memperoleh ke- bahagian dengan penuh keimanan.”
7. Imam Ma’ruf al-Karkhi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)nya:
من هيأ طعاما لأجل قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم وجمع اخوانا وأوقد سراجا ولبس جديدا وتبخر وتعطر تعظيما لمولد النبي صلى الله عليه و سلم حشره الله يوم القيامة مع الفرقة الأولى من النبيين و كان فى أعلى عليين
“Barangsiapa menyediakan makanan untuk pembacaan maulid Nabi shalllahu 'alaihiwasallam, mengumpulkan saudara-saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang harum-haruman dan memakai wangi-wangian karena mengagungkan kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama golongan orang-orang yang pertama di kalangan para nabi dan dia akan ditempatkan di syurga yang paling atas (‘Illiyyin).”
8. Imam Fakhruddin ar-Razi r.a berkata:
: ما من شخص قرأ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على ملح أوبرأو شيئ أخرمن المأكولات الا ظهرت فيه البركة وفى كل شيئ وصل اليه من ذلك المأكول فانه يضطرب ولا يستقر حتى يغفرالله لأكله وان قرئ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على ماء فمن شرب من ذلك الماء دخل قلبه ألف نورورحمة وخرج منه ألف علة ولا يموت ذلك القلب يوم تموت القلوب . ومن قرأ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على دراهم مسكوكة فضة كانت أوذهبا وخلط تلك الدراهم بغيرها وقعت فيها البركة ولا يفتقر صاحبها و لا تفرغ يده ببركة النبي صلى الله عليه و سلم
“Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan tampak keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah akan mengampuni orang yang memakannya.
Dan sekirannya dibacakan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki dan penyakit dan tidak akan mati hati tersebut pada hari dimatikannya hati-hati itu.
Dan barangsiapa yang membaca maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut ke -berkahan dan pemiliknya tidak akan fakir serta tidak akan kosong tangannya dengan keberkahan Nabi shalllahu'alaihiwasallam.”
9. Imam Syafi’i, semoga Allah merahmatinya, berkata:
من جمع لمولد النبي صلى الله عليه وسلم إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصارسببا لقراءته بعثه الله يوم القيامة مع الصادقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم
“Barangsiapa mengumpulkan saudara-saudaranya untuk mengadakan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, kemudian menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan untuk mereka, dan dia menjadi sebab atas dibacakan -nya maulid Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-, maka Allah akan membangkitkan dia bersama-sama golongan shiddiqin (orang-orang yang benar), syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan shalihin (orang-orang yang shaleh) dan dia akan dimasukkan ke dalam surga-surga Na’im.”
10. Imam Sirri Saqathi, semoga Allah membersihkan sir (bathin)-nya:
من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد قصد روضة من رياض الجنة لأنه ما قصد ذلك الموضع الا لمحبة النبي صلى الله عليه وسلم . وقد قال صلى الله عليه وسلم : من أحبني كان معي فى الجنة
“Barangsiapa pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam maka sesungguhnya ia telah pergi ke sebuah taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan karena cintanya kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Sesungguhnya telah bersabda shalllahu'alaihiwasallam: “Barangsiapa cinta kepadaku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.”
11. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Bil Wasaail fi syarhis Syamaail berkata:
مامن بيت أومسجد أومحلة قرئ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم إلا حفت الملائكة ذلك البيت أوالمسجد أوالمحلة وصلت الملائكة على أهل ذلك المكان وعمهم الله تعالى بالرحمة والرضوان.
وأما المطوفون بالنور يعنى جبريل و ميكائيل واسرافيل وعزرائيل عليهم الصلاة والسلام فانهم يصلون على من كان سببا لقراءة النبي صلى الله عليه وسلم. وقال أيضا: ما من مسلم قرأ فى بيته مولد النبي صلى الله عليه وسلم الا رفع الله سبحانه و تعالى القحط والوباء والحرق والغرق والأفات والبليات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص من أهل ذلك البيت فاذا مات هون الله عليه جواب منكر ونكير ويكون فى مقعد صدق عند مليك مقتدر. فمن أراد تعظيم مولد النبي صلى الله عليه وسلم يكفيه هذا القدر. ومن لم يكن عنده تعظيم مولد النبي صلى الله عليه وسلم لوملأت له الدنيا فى مدحه لم يحرك قلبه فى المحبة له صلى الله عليه وسلم.
“Tidak ada rumah atau masjid atau tempat yang di dalamnya dibacakan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam melainkan malaikat akan mengelilingi rumah atau masjid atau tempat itu, mereka akan memintakan ampunan untuk penghuni tempat itu, dan Allah Taáala akan melimpahkan rahmat dan ke ridhaan-Nya kepada mereka. Adapun para malaikat yang dikelilingi dengan cahaya adalah malaikat Jibril, Mika’il, Israfil, dan Izra’il 'alaihimussholaatu was salaam.
Karena, sesungguhnya mereka memintakan ampunan kepada Allah untuk mereka yang menjadi sebab dibacakannya pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Dan, dia (imam Suyuthi) berkata pula: Tidak ada seorang muslimpun yang dibacakan di dalam rumahnya pembacaan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam melainkan Allah subhaanahuu wataáala menghilangkan kelaparan, wabah penyakit, kebakaran, tenggelam, bencana, malapetaka, kebencian, hasud, keburukan makhluk, dan pencuri dari penghuni rumah itu.
Dan, apabila ia meninggal, maka Allah akan memudahkan jawabannya dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir dan dia akan berada di tempat duduknya yang benar di sisi penguasa yang berkuasa.
Dan, barangsiapa ingin mengagungkan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, maka Allah akan mencukupkan derajat ini kepadanya. Dan, barangsiapa di sisinya tidak ada pengagungan terhadap maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, seandainya hanya penuh baginya pujian untuk dunia, maka Allah tidak akan menggerakkan hatinya di dalam kecintaannya terhadap Nabi shalllahu'alaihi wasallam".
Demikian lah yang tercantum dikitab maulid al-imam Ibnu Hajar al- Haitami.
**As-Sayid Muhamad bin Alawi Al-Maliki─putra Al-Allamah Ustad Alawi ,sebagai Mufti Makkah di Arab Saudi─seorang ulama yang memegang teguh tauhid tidak luput dari tuduhan kafir ulama Salafi/Wahabi. Hal ini, karena beliau tidak sepaham dengan pendapat kelompok Salafi/Wahabi. Makalah beliau Haulal–Ihtifal Bil-Maulidin Nabawi asy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia), merupakan salah satu karya tulis, dari beberapa karya ulama dan penyair Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi tulisan pilihan dari para ulama dan para penyair Islam yang berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun 1983, terbit di Makkah.
Beliau, sempat berkomentar; Tidak dapat disangkal, mengumpulkan orang banyak untuk memperingati maulid, merupakan salah satu cara terpenting mendakwahkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ini, merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam kesempatan itu, para ulama dapat mengingatkan umat kepada junjungan kita Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam tidak lain memantulkan ke gembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Bahkan, orang kafir ,seperti Abu Lahab, pun beroleh manfaat disebabkan rasa gembira menyambut kelahiran beliau.
Sebuah hadis dalam Sahih Al-Bukhari menerangkan bahwa setiap hari Senin Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuan- nya ,Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin Abdul Muthalib, yaitu Muhamad shalllahu'alaihi wasallam. Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, apalagi orang yang beriman.
Al-Hafizh Syamsuddin Muhamad bin Nashiruddin al-Dimasyqi juga berkata, ‘Jika orang kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya, ‘Celakalah dua tangan Abu Lahab,’ serta dia kekal dalam neraka, memperoleh keringanan siksa setiap hari Senin lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, lalu bagaimana dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran beliau dan dia pun wafat dalam keadaan bertauhid?’
Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi shalllahu'alaihi wasallam merupakan tuntunan Al-Quran. Firman Allah subhaanahuuwata'aala ;
قُلِ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْـيَفْرَحُوا
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira….” (QS. Yunus [10 ]: 58)
Allah Taáala memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلاَ رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ
“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” (QS.Al-Anbiya [21 ]:107)
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang besar itu. Cara beliau menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa. Hadis dari Abu Qatadah yang mengatakan, ketika Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau menjawab;
ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْاُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْه
“Pada hari itu, aku dilahirkan dan pada hari itu, diturunkan (oleh Allah ta'aala) wahyu kepadaku”. (HR. Sahih Muslim).
Jelaslah, bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam memperhatikan hari kelahiran beliau shalllahu'alaihiwasallam dan hari diturunkannya wahyu kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam. Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuannya adalah sama, yaitu Peringatan. Jadi, peringatan dapat di lakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau shalllahu'alaihiwasallamu sebagai manusia termulia dan sebagainya.
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa besar keagamaan yang terjadi dimasa silam. Sebagaimana di- riwayatkan dalam sebuah hadis, setiba Rasulallah di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram). Ketika beliau shalllahu'alaihiwasallam menanyakan hal itu, dijawab: ‘Mereka berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka (Musa 'alaihissalaam) dan menenggelamkan musuh mereka’.
Mendengar itu, Nabi shalllahu'alaihi wasallam menjawab,
نَحْنُ أوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)’. Beliau kemudian berpuasa pada hari itu, dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidupnya Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada perorangan (individu) yang memperingati maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukan- nya, meski pun tidak disebut ‘Perayaan atau Peringatan’.
Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf (terdahulu) dan yang belum pernah terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan harus ditolak. Masalah demikian itu, harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’. Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin adalah haram. Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan tujuannya (niatnya).
Dalam peringatan maulid ini, pasti dikumandangkan ucapan shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi besar Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Shalawat dan Salam, keduanya ini dikehendaki oleh Allah Jallaajalaaluh. Dalam firman-Nya: ‘Sesungguhnya Allah … sampai akhir ayat’ (QS.Al-Ahzab : 56).
Betapa banyak pahala orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan doa beliau bagi umatnya yang bershalawat kepada beliau. Dalam peringatan maulid Nabi itu, pasti diuraikan riwayat-riwayat, mukjizat-mukjizat, kemuliaan dan sejarah kehidupan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Dikitab-kitab maulid banyak memaparkan semuanya itu. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada beliau shalllahu'alaihiwasallam, akan menambah kecintaan dan keimanan kita Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Allah subhaanahuu wa ta'aala berfirman: “Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepada mu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud : 120)
Dari firman tersebut, tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Sudah tentu, umat Islam ,terutama saat ini, sangat memerlukan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup.
Para hadirin pada umumnya tidak memahami makna kitab-kitab maulid, yang dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya menikmati irama, lagu dan kemerduan suara. Itu memang merupakan kekurangan yang harus menjadi perhatian kita. Akan tetapi, walau pun adanya kekurangan tersebut, tidak mengurangi kekhusyuan jalannya peringatan maulid. Mereka gembira, mengharapkan berkah, pahala dan mohon diberi kemantepan iman, karena menyambut peringatan kelahiran Nabi besar Muhamad shalllahu'alaihi wasallam. Kegembiraan mereka adalah kebajikan.
Pada umumnya semua ulama dan kaum muslimin berpendapat tidak ada cara tertentu atau cara khusus bagi peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Umpama, kita hanya menyatakan pujian-pujian, keutamaan, perjuangan beliau shalllahu'alaihiwasallam dan lain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Menurut hemat kami, pengertian demikian itu tidak akan dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian.
Demikianlah sebagian ungkapan almarhum Sayid Muhamad al Maliki.
Info: [Para pakar Islam yang telah dikemukakan, telah dikenal pribadi dan ilmu mereka oleh semua ulama. Mereka ini tidak asal mengarang mengenai manfaat peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam menurut pikirannya, tetapi sudah pasti ada sanad-sanad yang bersambung sampai Rasulallah shalllahu 'alaihi wasallam. Sebab mengenai pahala suatu amalan itu adalah masalah ghoib yang tidak diketahui kecuali dari Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.
Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah. Syariat Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah jallaa jalaaluh, dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun, bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal ini banyak sekali contohnya antara lain:
Soal tawaf, sai, wukuf di Arafah, adalah ketentuan-ketentuan manasik haji, yang tidak boleh dirubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Akan tetapi, orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana, berjalan, berkendaraan dan sebagainya. Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih membaca ayat demi ayat dalam kitab suci itu atau membacanya secara hafalan.
Pembacaan doa, orang boleh mengutarakan sendiri apa dalam isi hati atau dengan membaca kumpulan-kumpulan doa, yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun doa. Kesimpulannya, segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/ kebaikan bagi dirinya atau masyarakat, boleh diamalkan dengan cara bagaimana pun, selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama, jika amalan itu sejalan dengan fatwa para ulama ahli hadis.
Imam Syafi'i menegaskan:
"Hal baru yang diadakan, jika menyalahi Kitabullah atau Sunnah,, itu adalah bid'ah dhalalah (bid'ah sesat). Hal baru yang diadakan berupa kebajikan, tidak menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-Izz bin Abdi-Salam, Imam Nawawi, Ibnu Atsir dan lainnya, sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.—red.] Wallahu'alam
Berdiri waktu pembacaan Maulid
Tentang soal berdiri dalam peringatan maulid ,yaitu pada saat disebut detik -detik kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam di alam wujud ini, terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar dan tidak berdasar. Dugaan dimaksud adalah, pada waktu berdiri itu mereka percaya bahwa jasad Nabi shalllahu'alaihi wa sallam keluar dari kuburnya, beliau shalllahu'alaihiwasallam hadir ditengah jamaah yang sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Lebih buruk lagi, ada yang menyangka bahwa kemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin yang terletak ditengah jamaah merupakan air minum yang disediakn khusus untuk Beliau shalllahu'alaihiwasallam. Tidak ada orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan jasadnya, kecuali orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar.
Anggapan seperti itu, adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada, kecuali pada orang yang benci, dungu dan menentang Beliau shalllahu'alaihiwasallam. Kita yakin, Nabi shalllahu'alaihiwasallam hidup dialam barzakh yang sempurna sesuai dengan kedudukan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Ruh (bukan jasad) beliau berkeliling di alam malakut Allah subhaanahuuwatra'aala, dapat pula menghadiri tempat-tempat kebaikan dan yang memancarkan cahaya ilmu pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau shalllahu'alaihi wa sallam, orang-orang beriman yang setia kepada beliau shalllahu'alaihi wa sallam.
**Imam Malik r.a mengatakan:”Saya mendengar hadis Nabi-shalllahu'alaihi wa sallam-yang menyatakan, ‘Ruh adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya’”.
**Salman Al-Farisi r.a. (sahabat Nabi shalllahu'alaihiwasallam) berkata, “Ia mendengar dari Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-; ‘Bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mukminin berada di alam barzakh (tidak jauh) dari bumi dan dapat bepergian menurut keinginannya.’” Demikian itu lah, menurut kitab Ar-Ruh yang ditulis oleh Ibnul Qayim, hal. 144.
Kalau seorang mukmin biasa, bisa bepergian kemana saja menurut keinginan- nya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad shalllahu'alaihiwasallam! Ini semua, tidak lain kenikmatan dan rahmat yang diberikan Allah Jallaajalaaluh terhadap hamba-Nya yang mukmin.
Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal manusia yang terbatas ini, sebagaimana firman Allah Ta'aala, “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. “ (Al-Isra [17]: 85).
Soal berdiri, dalam peringatan maulid Nabi bukan soal wajib dan bukan soal sunnah. Itu hanya suatu harakah (gerak) yang mencerminkan keriangan dan ke gembiraan para hadirin dalam peringatan maulid. Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam disebut, tiap pendengarnya (yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh alam wujud gembira menyambut nikmat besar yang dikaruniakan Allah Ta'aala. Soal kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan syariat dan bukan sunnah.
Hal itu, dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syaikh Al-Barzanji. Beliau mengatakan, “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah kelahiran Nabi shalllahu 'alaihiwasallam disebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau shalllahu 'alaihiwasallam dengan segenap pikiran dan perasaannya”.
Dalam sebuah syairnya beliau menyatakan, “Para ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang -orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri di atas kaki sambil berenung sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mustofa-shalllahu'alaihi wasallam-karena beliau senantiasa bisa hadir di tempat mana pun beliau disebut, bahkan beliau mendekatinya”.
Membayangkan pribadi beliau shalllahu'alaihiwasallam, adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap muslim, bahkan perlu sering di lakukan oleh setiap muslim yang muhlis. Sering membayangkan beliau shalllahu'alaihwasallam akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam. Ini hanya sebagai upaya untuk mengingat tentang kepatuhan dan kecintaan beliau shalllahu'alaihiwasallam kepada Allah Jallaajalaaluh, dan kecintaan Allah pada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, serta mengingat pula ahlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau shalllahu'alaihiwasallam bisa selalu menghadiri di tempat mana saja beliau disebut.
**Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah r.a. yang berkata, Rasulallah -shalllahu'alaihi wasallam-bersabda; “Tiada seorang yang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku hingga dapat menjawab salam”.
“Jangan kamu jadikan kuburan (makam) saya sebagai tempat perayaan, dan bacakan shalawat untukku, maka bacaan shalawatmu itu akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada”.
Menurut pandangan ulama, antara lain Imam Malik bin Anas r.a, riwayat ini berlaku pula baik dikala beliau shalllahu'alaihiwasallam masih hidup mau pun beliau setelah wafat.
Ada lagi, dari golongan pengingkar yang menafsirkan hadis riwayat Abu Daud terakhir diatas–‘Jangan kamu jadikan makam saya…..’,–secara keliru. Mereka berkata, ‘Kita tidak boleh (bid’ah sesat) ke Madinah dengan niat ziarah pada Rasul shalllahu'alaihiwasallam, cukup dengan membaca shalawat dan salam untuk beliau dimana saja akan sampai’. Sebenarnya, hadis yang dimaksud adalah, ‘janganlah kita bersusah payah harus menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata hanya untuk mengucapkan shalawat dan salam didepan pusara Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, karena membaca shalawat dan salam akan sampai pada beliau shalllahu'alaihiwasallam dimana kita berada.’
Adapun, maksud kalimat hadis “sebagai tempat perayaan” ialah, agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai (dihadapan pusara Rasulallah) seperti halnya orang pergi berpesta, tetapi, kita harus dengan tenang memberi salam dan selawat didepan makam beliau shalllahu'alaihiwasallam dan berdoa pada Allah Ta'aala. Tidak lain semuanya ini, termasuk tatakrama umat Islam terhadap Nabi -shalllahu'alaihiwasallam. Allah Ta'aala berfirman, ’Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suara kamu lebih dari suara Nabi ....sampai akhir ayat’. (Al-Hujurat [49]:2/3/4).
Fatwa beberapa Ulama berikut ini:
**Dalam kitab Insanul-Uyun Fi Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam Ali bin Burhanuddin Al-Halabi mengatakan, “Kebiasaan berdiri pada saat orang mendengar pembaca riwayat maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-, merupakan bid‘ah hasanah/baik, bid‘ah mahmudah/ terpuji, sama sekali bukan bid‘ah dhalalah atau bid‘ah madzmumah/tercela atau munkarah (bid‘ah buruk yang tercela). Khalifah Umar Ibnul Khatab r.a. sendiri menamakan shalat tarawih berjamaah sebagai bid‘ah hasanah. Dengan demikian, orang berdiri sebagai tanda penghormatan pada saat mendengar detik-detik kelahiran Nabi-shalllahu'alaihiwasallam-disebut, apalagi jika peringatan maulid itu dibarengi dengan kegiatan infak dan sedekah, semuanya itu jelas merupakan kegiatan terpuji.”
**Sayid Ahmad Zaini Dahlan dalam Siratun Nabi mengatakan, “Telah berlaku kebiasaan, apabila mendengar kisah Nabi dilahirkan, mereka berdiri bersama- sama untuk menghormat dan membesarkan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Berdiri adalah suatu hal yang mustahsan (baik), karena dasarnya ialah menghormati (ta’zhim) Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan sesunguhnya banyak ulama panutan umat yang telah mengamalkan hal serupa itu,” (I’anah at-Thalibin, jilid 3,hal. 363).
**Dalam kitab I’anah at-Thalibin jilid 3,hal.364 tertulis, “Berkata Al-Halabi dalam kitab Sirah, dikabarkan bahwa di hadapan Imam Subki pada suatu kali berkumpul banyak ulama pada zaman itu. Kemudian, salah seorang dari mereka membaca perkataan Sharshari dalam memuji Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Seketika itu Imam Subki dan sekalian ulama yang hadir berdiri serempak.”
Para ulama berpendapat, berdiri pada waktu disebut kisah kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam. adalah perbuatan yang baik, sebagai penghormatan kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Hal ini, masih diamalkan sampai sekrng baik oleh para ulama maupun kaum muslimin lainnya di setiap negeri. Walau pun, beliau shalllahu'alaihiwasallam tidak berada di tengah para hadirin, orang yg membaca kisah maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam membayangkan ke- hadiran beliau shalllahu'alaihiwasallam dalam imajinasinya, sebagaimana yang telah di kemukakan.
Meng-imajinasikan kehadiran beliau, jelas akan menambah penghormatan dan pemuliaan orang kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam. Beliau datang di tengah alam jasmani dari alam nurani jauh sebelum waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau berupa kehadiran nurani (ruhani) beralasan kuat, karena beliau shalllahu'alaihiwasallam seorang Nabi dan Rasul yg menghayati sepenuhnya akhlak Robbani. Dalam hadis Qudsi beliau shalllahu 'alaihi wa sallam- bersabda:
اَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِي
“Aku duduk menyertai orang yang menyebutku”. Menurut sumber riwayat lain: اَنَا مَعَ مَنْ ذَكَرَنِي
“ Aku bersama orang yang menyebutku”.
Mengingat kepatuhan dan kecintaan beliau shalllahu'alaihiwasallam kepada Allah dan kecintaan Allah Ta'aala pada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam serta mengingat pula akhlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau Saw. bisa selalu menghadiri ditempat mana saja beliau disebut.
**Hadis riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dari Abdullah bin Mas’ud r.a. mengatakan, “Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda: 'Apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, baik dalam pandangan Allah Ta'aala dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, buruk dalam pandangan Allah'”.
Hadis itu, memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang menganjurkan kaum muslimin supaya melaksanakan peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam, membaca uraian riwayat kehidupan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, berdiri waktu detik-detik kelahiran Nabi shalllahu 'alaihiwasallam, ucapan sholawat dikumandangkan, dan acara-acara ke- agamaan yang sudah lazim berlaku. Semuanya ini disunnahkan oleh syari’at, mathlub syar’i (tuntutan syari’at).
Demikianlah, sebagian uraian para pakar Islam mengenai berdiri waktu peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Hanya orang-orang yang egois, fanatik sajalah yang melarang hal-hal tersebut sampai berani mensesatkan, membid’ahkan munkar dan lain sebagainya, dengan memasukan dalil-dalil yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah peringatan keagamaan tersebut.
Kita akan bertanya lagi kepada golongan Pengingkar, ‘Apakah para pakar Islam yang telah dikemukakan, tidak mengerti hukum syari’at Islam dan hanya ulama golongan pengingkar ini? Wallahu'alam
Nama-nama kitab Maulid
Atas nama cinta kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, bermunculan kitab-kitab maulid yang ditulis oleh para pakar Islam setelah zaman Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan para sahabat. Dituliskan oleh mereka sejarah kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam, keutamaan, kebesaran dan mukjizat-mukjizat beliau shalllahu'alaihiwasallam, dalil-dalil keabsahan peringatan maulid dan lain sebagainya. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
- Imam Al-Hafizh Syihabul-Millah wa Ad-Din Ahmad bin Hajar, waft th 973H
- Imam Abul-Khattab Umar bin Al-Hasan Dzun-Nasabain, wafat tahun 604 H atas permintaan Sultan Ibril ia menulis kitab maulid;
- Imam Al-Hafizh Abul-Faraj Ibnul-Jauzi, nama kitabnya Al-Arusterkenal dengan nama kitab Maulid Ibnul-Jazi ditulis olehnya pada tahun 590 H;
- Allamah Imam Yusuf An-Nabhani;
- Imam Jamaluddin As-Sayuti;
- Imam Rabi’ At-Thufi Ash-Shurshuri, nama kitabnya Maulid Ash-Shurshuri, ia menulis kitab ini sekitar tahun 700 H;
- Imam Al-Hafizh Abul-Hasan Ali Al-Mas’udi, w.tahun 346 H kitab maulidnya terkenal dengan nama Maulid Al-Mas’udi;
- Imam Ash-SalehAs-Sayid Al-Bakri dikenal dengan kitabnya Maulid Al- Bakri;
- Imam Mar’i bin Yusuf Al-Maqdisi, w. tahun 1033 H nama kitab maulidnya Maulid Al-Maqdisi Al-Hanbali
- Allamah Usman bin Sind, wafat th 205 H menulis kitab maulid dalam bentuk sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulallah Saw.;
- Syaikh Hasan Asy-Syathi, w.tahun 1274 H dan Al-Allamah Abus-Surur Asy- Sya’rawi, w. tahun 1136 H kedua-duanya telah menulis kitab maulid.
- Seorang ulama ahli tafsir dari mazhab Hanbali Muhamad bin Usman bin Abbas Ad-Dumani Al-Manawi, menulis kitab maulid terkenal sangat indah;
- Al-Allamah Al-Ustad As-Sayid Rasyid Ridha, pemimpin majalah Al-Manar telah menulis kitab maulid yang banyak dibaca oleh kaum Muslimin di Mesir;
- Kitab At-tanwir fi maulid basyir An-nadzir oleh Imam Al-Hafizh al-Muhaddis Abul-khattab Umar bin Ali bin Muhamad, yang terkenal dengan nama Ibnu Dihyah Al-Qalbi;
- Kitab urfu at-ta’rif bi maulid as-syarif oleh Imam Al-Hafizh al-Muhaddis Syamsuddin Muhamad bin Abdullah Al-Juzri;
- Kitab maulid Ibnu Katsir oleh Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir;
- Kitab maurid alhana fi maulid asana oleh Imam Al-Hafizh Al-Iraqi;
- Kitab al-fajr alulwi fi mauldi an-nabawi oleh Imam Assyakhawi;
- Kitab Al Mawarid Al Haniah fi Maulid Khairil Bariyyah oleh Allamah al Faqih Ali Zainal Abidin As Syamhudi;
- Kitab maulid Ad-Diba’i oleh Al-Imam Al-Hafizh Wajihud- din Abdurrahman bin Ali bin Muhamad As-Syaibani, terkenal dengan nama Ibnu dibai;
- Kitab Itmam An-Ni’mah alal alam bi maulid sayidi waladu adam oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami;
- Kitab maurud ar-rowi fi maulid nabawi oleh Al-Allamah Ali Al Qari ;
- Kitab maulid Barzanji oleh Al-Allamah Al-Muhaddis Jakfar bin Hasan Al- Barzanji;
- Kitab Al-yaman wal is’ad bi maulid khairi al ibad oleh Al-Allamah Al- Muhaddis Muhamad bin Jakfar al Kattani;
- Kitab jawahir an-nadmu al-badi’ fi maulid as-syafi’ oleh Al-Allamah Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani;
- Kitab al-maulid mustafa adnani oleh Imam Ibrahim As-Syaibani;
- Kitab Al-Alam Al-Ahmadi fi maulid Muhamadi oleh Imam Abdulghani An- nablisi;
- itab Fath al-latif fi syarah maulid assyarif oleh Syihabuddin al-Halwani;
- Kitab Al-Kaukab al-azhar ‘alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar oleh Imam Ahmad bin Muhamad Addimyati;
- Kitab Nur As-Shafa fi Maulid al-Mustafa oleh Syaikh Ali At-Tanthowi;
- Kitab At-Tajallya al-Khifiah fi Maulid khair al-Bariah oleh Syaikh Muhamad Al Maghribi;
- Imam Ibrahim Baajuri, mengarang hasiah atas maulid Ibnu Hajar, dengan nama kitab Tuhfa al-Basyar ala Maulid Ibnu Hajar.;
- Imam Al-Hafizh Nasruddin Ad-Dimasyqi, telah mengarang beberapa kitab maulid; Jami’ al-Astar fi Maulid Nabi al-Mukhtar 3 jilid, al-Lafaz Arra’iq fi Maulid Khair al-Khalaq dan Maurud as-Shadi fi Maulid al-Hadi.
- As-Sayid Muhamad Saleh As-Sahruwardi, judul kitabnya Tuhfatul-Abrar fi Tarikh Masyru’iyatil-hafl Bi Yaumi Maulid An-nabiyil-Mukhtar. Dalam kitab- nya ini, dia mengemukakan dalil-dalil meyakinkan tentang keabsahan peringatan maulid Nabi Muhamad sebagai ibadah sunnah yang ditekankan (sunnah muakkadah), agar kaum muslimin melaksanakan- nya dengan baik.
- Al-Allamah As-Sayid Ali bin Muhamad Alhabsyi judul kitab maulidnya Simtud Durar. Kitab maulid ini sering dibaca juga di pesantren atau dimajlis-majlis, khususnya di Indonesia. Masih banyak lagi yang tidak tercantum di site ini. Wallahu'alam
Sekelumit riwayat Isra’ Mi’raj
Peringatan Isra’ Mi’raj, ini termasuk hari-hari Allah yang layak diperingati. Ia berkaitan langsung dengan perjalanan Nabi Besar Muhamad shalllahu'alaihi wasallam ke alam jabarut atas kehendak dan kekuasaan Allah Ta 'aala. Kejadian Isra’ Mi’raj Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ini diabadikan dalam firman Allah Ta'aala (QS Al-Isra [17]. Adapun, detail riwayat perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam banyak diriwayatkan dalam berbagai hadis, di antaranya oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan lainnya.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ternyata merupakan ujian tentang sejauh mana orang benar-benar mengimani kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Di antara sejumlah kaum muslimin yang masih sedikit pada masa itu, sebagian goyah dan goncang keimanannya. Bagi mereka yang tidak beroleh hidayah dari Allah Ta'aala bahkan keluar meninggalkan Islam, kembali ke kepercayaan semula.
Tidak dapat dimungkiri, peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wasallam merupakan nikmat dan bukti keagungan Allah Ta'aala. Di dalamnya, mengandung banyak hikmah dan pelajaran bagi umat manusia. Peristiwa Isra’ yang mendahului Mi’raj, terjadi pada malam yang sama, juga merupakan mukjizat yang meyakinkan manusia akan kebenaran Risalah dan agama yang dibawa oleh junjungan kita Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, terutama mengenai pemberitaan bentuk bangunan Masjid Al-Aqsa di Yerussalem di- sampaikan oleh beliau shalllahu'alaihiwasallam kepada para sahabat.
Secara singkat, kejadian Isra’ Mi’raj, berdasarkan rujukan kitab hadis yang sahih dapat dikemukakan sebagai berikut:”Setelah beliau shalllahu'alaihi wa sallam shalat dua rakaat di Masjid Al-Aqsha, dan mengimami shalat jamaah para Nabi dan Rasul terdahulu, Jibril 'alaihissalaam membawa beliau shalllahu 'alaihiwasallam Mi’raj, yakni naik ke langit pertama sampai ke langit ketujuh. Setiap langit yang beliau shalllahu'alaihiwasallam hampiri, selalu disambut oleh para Rasul terdahulu. Nabi Adam 'alaihissalaam berada di langit pertama, Nabi Isa 'alaihissalaam dan Yahya 'alaihissalaam berada di langit kedua, Nabi Yusuf 'alaihissalaam di langit ketiga, Nabi Idris 'alaihissalaam di langit ke- empat, Nabi Harun 'alaihissalaam di langit kelima, Nabi Musa 'alaihissalaam di langit keenam dan Nabi Ibrahim 'alaihissalaam berada di langit ketujuh, sedang bersandar di Baitul Makmur. .
Tiap hari, tujuh puluh ribu malaikat masuk kedalam (Baitul Makmur) tanpa keluar lagi. Kemudian, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam naik ke ‘Sidratul-Muntaha’. Pada waktu peristiwa Mi’raj ini, Allah Ta'aala mewahyukan kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam tentang ketetapan lima waktu shalat wajib sehari semalam. Beliau shalllahu'alaihiwasallam adalah manusia satu-satunya yang mengalami kejadian itu. Ini tidak lain menunjukkan betapa luhur dan agungnya kedudukan beliau shalllahu'alaihiwasallam.
Dari peristiwa ini, bisa kita ambil pelajaran penting. Umpamanya, setiap beliau shalllahu'alaihiwasallam sampai di satu lapis langit selalu disambut gembira oleh para Nabi dan Rasul terdahulu. Semuanya mendoakan kebajikan bagi beliau shalllahu'alaihiwasallam. Dalam perjalanan Isra’ ke Palestina di Yerussalem, beliau shalllahu'alaihiwasallam mengimami shalat jamaah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsa. Tidak kurang pentingnya dari semuanya itu ialah doa kebajikan yang di panjatkan oleh para Nabi dan Rasul di alam baqa bagi junjungan Nabi kita Muhamad shalllahu'alaihiwasallam.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tidak ada ketentuan syariat tentang tata cara memperingati hari-hari Allah. Begitu pula, halnya dengan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, walaupun sementara orang berpendapat bahwa tidak ada nash yang jelas menyebut pada malam apa, tanggal berapa dan bulan apa Isra’ Mi’raj itu terjadi, itu sama sekali bukan halangan atau larangan untuk memperingatinya.
Keabsahan peringatan Isra’ Mi’raj menurut syara’ sama dengan keabsahan peringatan maulid. Alasan-alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan untuk memperkokoh keabsahaan maulid pada dasarnya memperkuat juga keabsahan peringatan Isra’ Mi’raj. Peringatan Isra’ Mi’raj ini, dapat diselenggarakan kapan saja. Akan tetapi, yang lebih utama/afdhal ialah pada waktu yang telah diisyaratkan dalam berbagai riwayat (yaitu pada bulan Rajab). Karenanya, bagi masyarakat tertentu, peringatan Isra’ Mi’raj sering juga disebut dengan “Rajaban”. Tujuan utama memperingati ini tidak lain, sama halnya dengan peringatan maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallamdan hari-hari Allah lainnya adalah mensyukuri nikmat Allah Ta'aala yang tidak terhingga besarnya.
Wallahu'alam
Mengagungkan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam
Keberatan lainnya dari golongan Pengingkar atas peringatan Maulid Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan peringatan keagamaan lainnya adalah berkenaan dengan mengagungkan Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Mereka, melarang peringatan ini dengan berdalil sabda Nabi shalllahu'alaihiwasallam.:
لاَ تُطْرُوْنِى كَمَا أطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ
“Janganlah kalian mengagung-agungkan diriku seperti kaum Nasrani mengagung-agungkan Isa putra Maryam”.
Atas dasar hadis ini, golongan ini menganggap mengagungkan beliau shalllahu'alaihiwasallam merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Praktik ini, dapat membawa orang kepada perbuatan syirik. Dengan tegas, mereka berpendapat memuji beliau shalllahu'alaihiwasallam lebih tinggi dari manusia yang lain, dan memandang beliau shalllahu'alaihiwasallam mempunyai kelebihan lebih dari manusia biasa, adalah bid‘ah keagamaan dan perbuatan yang menyalahi sunnah beliau shalllahu'alaihiwasallam!!
Jawaban;
Pengagungan orang-orang Nasrani terhadap nabi Isa álaihissalaam memang melampui batas. Nabi Isa dalam keyakinan umat Nasrani dipandang sebagai anak Tuhan. Pengagungan seperti inilah, yang dilarang oleh agama. Ini jelas, syirik karena menyekutukan Allah Ta'aala. Adapun, orang yang mengagungkan Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam dengan cara yang tidak melampaui batas, bukanlah sebuah praktik penyembahan. Bahkan, diperintahkan oleh Allah Subhaanahuuwataáala. Ini adalah anjuran agama.
Allah Ta'aala berfirman;
الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَ نَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَالذِّي اُنْزِلَ مَعَهُ أوْلاَئِكَ هُـمُ الْمُفـْلِحُوْنَ
“Orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam) mengagungkannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya (yakni Al-Quran) mereka itulah orang-orang yang memperoleh keberuntungan”.(QS.Al- A’raf [7]: 157).
**Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Taála berfirman,
وَقَالَ اللهُ اِنِّي مَعَكُم لَئِنْ اَقَمْتُمُ الصِّلاَةَ وَاَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَاَمَنْتُمْ بِرُسُلِيْ وَعَزَّرْتُمُوْهُم وَاَقْرَضْتُمُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا َلاُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وََلاُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الاَنْهَارُ
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, jika kamu benar-benar mendirikan shalat, menunaikan zakat, beriman terhadap para Rasul-Ku, mengagungkan mereka dan kamu memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, Aku akan bebaskan daripada kejelekanmu (kesalahanmu) dan Aku akan masukkan kamu ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.”
Menurut Tafsir Qurtubi jilid 6 hal.151, arti azzartumuhum di ayat itu, adalah ‘memuliakan atau mengagungkan mereka’.
Jadi, memuliakan para Rasul termasuk salah satu amalan yang dapat mendatangkan maghfirah (ampunan) dan menurunkan rahmat. Terbukti dalam ayat di atas, mereka yang mengagungkan dan memuliakan para rasul akan di ampuni sebagian dosanya dan akan dimasukkan kedalam surga. Apalagi kalau yang kita agungkan dan muliakan itu adalah Asyraful Anbiya wal Mursalin (yang paling mulia di antara para nabi dan rasul) yakni junjungan kita nabi besar Muhamad shalllahu'alaihiwasallam.
Imam At-Thabari dalam kitab tafsir-nya jilid 6 hal.151 mengartikan ‘azzar-tumuhum’ dengan ‘memuliakan mereka’.
Dengan demikian, memuliakan para Rasul termasuk salah satu amalan yang dapat mendatangkan maghfirah dan menjadi penyebab turunnya rahmat Allah Ta'aala dan penyebab masuk surga.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, beberapa firman Allah Taáala;
“Demikian lah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia di sisi Allah, itu lah yang terbaik baginya di sisi Tuhannya”.(QS Al-Hajj [22]: 30). Firman Allah Ta'aala lainnya, “Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang kebesaran) Allah, itu sesungguh- nya (timbul) dari hati yang takwa” (QS. Al-Hajj : 32).
**Mengenai keagungan Rasul shalllahu'alaihiwasallam, firman Allah wa Taáala berfirman:“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul (Muhamad) dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kamu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan (raufun) lagi penyayang (rahimun) terhadap orang-orang mukmin”. (QS At-Taubah [9]:128).
Firman Allah Taáala untuk mengagungkannya, “Sungguhlah Kami telah mengutusmu (hai Muhamad) sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, maka hendaklah kalian (manusia) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memperkuat (agama) dan mengagungkannya”, (QS Al-Fath [48]: 8-9).
Allah Ta'aala memuji budi pekerti Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, firman- Nya,:
وَإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sungguhlah bahwa engkau (hai Muhamad) berbudipekerti luhur”. (QS.Al- Qalam [68]:4).
Disamping itu, banyak firman Allah Ta'aala yang menyifatkan para rasul-Nya sebagai sifat-Nya (Halim, Karim dan sebagainya), sedangkan sifat Allah Rauuf hanya disifatkan untuk Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, tidak kepada para rasul lainnya. Tentu ini, bermakna majazi (kiasan), karena yang Maha Rauf dan Rahim hanyalah Allah Ta'aala. Ini menunjukkan bukti agungnya kedudukan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam di sisi Allah Ta'aala.
Semua ayat yang telah dikemukakan, bisa kita tarik kesimpulan bahwa Allah Ta'aala memuji budi pekerti Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Tidak di- ragukan lagi, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam adalah makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Ilahi, dengan kenabian dan kerasulannya, dengan segala mukjizat termasuk mukjizat yang terbesar, yaitu Al-Quran yang dikaruniakan Allah kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam, adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syiar) serta lambang kekuasaan AllahTaáala.
Memuliakan dan mengagungkan syiar Allah ini, adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah Taáala dan siapa yang selalu memuji dan mengagungkan beliau shalllahu'alaihi wasallam berarti dia termasuk orang yang beriman, yang cinta dan mengharapkan ridho Allah Taáala dan Rasul-Nya serta termasuk orang ahli takwa. Wallahu'alam
Syair-syair untuk Nabi shalllahu'alaihiwasallam
Pada zaman Nabi shalllahu'alaihiwasallam terdapat banyak penyair yang terkenal dan hebat datang kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Para penyair itu mempersembahkan kepada beliau berhalaman-halaman syair yang memuji dan mengagungkan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Ini, dibuktikan dengan banyaknya syair yang dikutip di dalam Sirah Ibnu Hisham, al-Waqidi dan lain-lain. Para pakar Penyair mengagung-agungkan Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam dihadapan beliau dan para sahabat, tidak dilarang oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dan tidak ada para sahabat yang mencela atau mengatakan hal tersebut berlebih-lebihan (ghuluw) dan sebagainya.
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam amat menyenangi syair yang indah seperti yang diriwayatkan imam Bukhari didalam al-Adab al-mufrad dan kitab-kitab lain. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda: "Terdapat hikmah didalam syair". Paman Nabi shalllahu'alaihiwasallam ,Al-Abbas, mengarang syair memuji kelahiran Nabi shalllahu'alaihiwasallam di antara bait terjemahannya sebagai berikut: “Dikala dikau dilahirkan, bumi bersinar terang hingga nyaris-nyaris pasak-pasak bumi tidak mampu untuk menanggung cahayamu, dan kami dapat terus melangkah lantaran karena sinar dan cahaya dan jalan yang terpimpin” (Imam Suyuti dalam Husn al-Maqsid: 5; Ibnu Katsir dalam Kitab Maulid:30; Ibnu Hajar dalam kitab Fathul-Bari).
Ibnu Katsir menerangkan didalam kitabnya, para sahabat meriwayatkan bahwa Nabi shalllahu'alaihiwasallam membaca syair mengenai diri beliau, memuji nama dan nasabnya, ketika peperangan Hunain untuk menambah semangat para sahabat dan menakutkan para musuh. Pada hari itu, beliau shalllahu'alaihi wasallam bersabda: Aku adalah Rasulallah. Ini bukan bohong. Aku putra Abdal–Mutalib.! Beliau shalllahu'alaihiwasallam juga sering bersabda;
أنَا خَيْرُأصْحَابِ اليَمِيْنِ, أنَا خَيْرُالسَّابِقِيْن, أنَا أتْقَى ولَدِ آدَمَ وَأكْرَمُهُمْ عَلَى اللهِ وَلاَ فَخرْ ‘Saya Ashabul-yamin yang terbaik (Dalailun Nubuwah:5), Saya Khairus-sabiqin yang terbaik (dalam Syarhul Mawahib 1:62), Saya anak Adam yang paling bertakwa, paling mulia disisi Allah dan saya tidak sombong...’.(HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwah).
Beliau shalllahu'alaihiwasallam bersabda;
أنَا سَيْدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمِ القِيَامَةِ
‘Saya adalah sayid (orang yang paling mulia) anak Adam di hari Kiamat nanti’ (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Turmudzi) atau sabda beliau shalllahu'alaihi wa sallam: أنَا سَيْدُ النَّاس يَوْمِ القِيَامَةِ (Saya adalah paling mulia dari semua manusia di hari kiamat’) [HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim].
Hadis dari Abu Hurairah r.a, Nabi shalllahu'alaihiwasallam bersabda: ”Saya adalah penghulu putra Adam pada hari kiamat, saya adalah orang pertama yang keluar dari kubur (jasadnya), dan saya adalah orang pertama pemberi syafa’at dan orang pertama (di-izinkan Allah Ta'aala) memberi syafa’at” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Adapun, dalam redaksi Tirmidzi disebutkan: “Saya adalah penghulu putra Adam pada hari kiamat, di tanganku terdapat Liwaaul Hamdi/panji pujian, dan saya tidak sombong. Tidak seorang Nabi pun pada hari itu, baik Adam dan lainnya, terkecuali dibawah naungan panji-panjiku, dan saya adalah orang pertama yang keluar dari kubur dan saya tidak sombong”.
Masih banyak lagi sabda beliau shalllahu'alaihiwasallam untuk dirinya. Kalau semua pujian-pujian ini dilarang dan dikatakan berlebihan/ghuluw, maka tidak akan diucapkan dari lisan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, manusia yang paling takwa dan mulia, serta dari lisan para sahabat yang ditujukan kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam.
Tertera di batu nisan Hasan Ibnu Tsabit syair tentang Nabi shalllahu'alaihi wa sallam: “Bagiku, tiada siapa dapat mencari kesalahan di dalam diriku; Aku hanya seorang yang telah hilang segala derita rasa; Aku tidak akan berhenti dari pada memujinya (Nabi shalllahu'alaihiwasallam); Karena hanya dengan itu mungkin aku akan kekal di dalam surga bersama-sama 'Yang Terpilih'; yang daripadanya aku mengharapkan syafa’at; dan untuk hari itu, aku kerahkan seluruh tenagaku ke arah itu”.
Hasan bin Tsabit r.a. waktu membaca syair di masjid Nabawi ditegur oleh Umar bin Khatab r.a.. Lalu Hasan bin Tsabit berkata kepada Umar r.a., “Aku sudah baca syair nasyidah di sini, di hadapan orang mulia (yakni Nabi shalllahu'alaihi wasallam)”. Hasan pun berpaling kepada Abu Hurairah r.a. dan berkata; ‘Bukan kah engkau dengar bahwa Rasul shalllahu'alaihiwasallam menjawab syairku dengan doa 'Wahai Allah bantulah ia dengan ruhul kudus?'. Abu Hurairah r.a. menjawab: ‘Benar!’” (Sahih Bukhari, hadis no. 3040; Sahih Muslim, hadis no. 2485).
Jadi, tidak semua syair yang dibaca di dalam masjid semuanya haram, hadis yang meriwayatkan keharaman baca syair di dalam masjid yaitu syair-syair yang membawa kepada ghaflah (kelupaan), hanya bersifat keduniaan. Tetapi, syair yang memuji Allah Taáala dan Rasul-Nya itu diperbolehkan, bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau shalllahu'alaihiwasallam.
Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam mendirikan mimbar khusus di masjid agar ia (Hasan bin Tsabit r.a.) berdiri untuk melantunkan syair-syairnya (Mustadrak, hadis no. 6058; Sunan Tirmidzi, hadis no. 2846).
Di dalam kitab Madarij al-Salikin, Ibnu Qayim (murid Ibnu Taimiyah) menulis, Nabi shalllahu'alaihiwasallam memberi izin untuk menyanyi pada hari perkawinan dan membenarkan syair dipersembahkan untuk beliau shalllahu 'alaihiwasallam. Beliau mendengar Anas dan para sahabat memujinya dan membaca syair ketika beliau shalllahu'alaihiwasallam sedang menggali parit semasa peperangan Khandaq.
Menurut riwayat, yang berasal dari Abu Bakar Ibnul Anbari, ketika Ka’ab bin Zuhair dalam mendendangkan syair pujiannya, sampai kepada kata-kata, ‘beliau shalllahu'alaihiwasallam adalah sinar cahaya yang menerangi dunia, maka beliau shalllahu'alaihiwasallam menanggalkan kain burdahnya (kain penutup punggung) dan diberikan pada Ka’ab. Muawiyah bin Abi Sufyan pada masa kekuasaannya, berusaha membeli burdah itu dari Ka’ab dengan harga sepuluh ribu dirham, akan tetapi Ka’ab menolaknya. Setelah Ka’ab wafat, Muawiyah membeli burdah Nabi shalllahu'alaihiwasallam tersebut dari ahli waris Ka’ab dengan harga dua puluh ribu dirham.
Ibnu Qayim menceritakan, Abdullah Ibnu Rawaha membaca syair yang panjang memuji-muji Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam ketika penaklukan kota Makkah, Nabi pun berdoa untuk beliau r.a. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah meminta Aswad bin Sarih untuk mengarang syair pujian untuk Allah Taáala dan beliau shalllahu'alaihiwasallam. Begitu pula, beliau shalllahu'alaihi wasallam pernah meminta seseorang untuk membaca syair puji-pujian untuk beliau shalllahu'alaihiwasallam,memuat seratus halaman, dikarang oleh Umaya Ibnu Abi Halh.
Seorang ahli hadis, Ibnu Abbad telah memberikan fatwa tentang hadis Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam berikut ini, “Seorang wanita telah datang menemui Nabi di waktu beliau shalllahu'alaihiwasallam baru pulang dari medan peperangan, dan wanita itu berkata, ‘Ya Rasulallah, aku telah bernazar jika sekiranya, Allah menghantarkan engkau kembali dalam keadaan selamat, aku akan bermain gendang di sebelahmu.’ Nabi pun bersabda, ‘Tunaikanlah nazarmu.’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Imam Ahmad)
Bila hal tersebut dilarang, beliau shalllahu'alaihiwasallam pasti akan melarang-nya, walaupun hal itu sebagai nazar. Karena nazar tidak boleh dilaksanakan bila bertentangan dengan syariat Islam!
Kita akan bertanya lagi kepada golongan Pengingkar, Alasan apa orang menyalahkan dan mengharamkan pembacaan syair atau qosidah pujian untuk Allah Taáala, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam atau untuk para ahli takwa dalam kumpulan majlis zikir? Bila menulis, melagukan syair pujian didepan para hadirin tersebut haram, haram pula lah perkara-perkara dan beberapa hadis yang telah dikemukakan dalam site ini.
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam khususnya, para sahabat, para tokoh Salaf Saleh, begitu juga para Shalihin melakukannya, mengapa golongan pengingkar ,yang mengaku pengikut Salaf Saleh, justru melarangnya dan mengatakan sebagai perbuatan qhuluw dan pengkultusan? Wallahu'alam
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam Insan (manusia) Kaamil (sempurna)
Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bukanlah manusia biasa. Akan tetapi, beliau shalllahu'alaihiwasallam adalah insan kamil (manusia sempurna). Ke- yakinan ini, berbeda dengan pandangan mazhab Wahabi-Salafi, yang menyatakan, Muhamad shalllahu'alaihiwasallam adalah manusia biasa. Mereka mengambil beberapa dalil berikut ini; "Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS Al-Kahfi [18]:110). “Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman tatkala datang kepada mereka petunjuk kecuali perkataan mereka: ‘Apakah Allah mengutus Rasul dari golongan manusia?’” (QS.17:94). Akan tetapi, orang-orang beriman berkata, “Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami" (QS.3:7). dan ayat-ayat senada.
Atau hadis dari Abdullah bin Amr, yang berkata: “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, aku bermaksud menghafalnya. Akan tetapi, orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata, ‘Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, padahal beliau hanya lah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang?’....”.
Karena itu, mazhab Salafi menganggap mengagungkan dan memuji Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan pengkultusan yang tidak perlu, serta dapat membawa orang kepada perbuatan syirik. Mereka menafsirkan firman Allah Taáala di atas secara tekstual. Jika kita telusuri dengan seksama semua ayat-ayat di site ini maupun di site lain yang menyinggung sifat-sifat Nabi shalllahu'alaihiwasallam atau yang berkenaan dengan Nabi shalllahu'alaihiwasallam, maka kita akan menganut pandangan para pakar islam yang menyimpulkan bahwa Nabi Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam memang bukan manusia biasa tapi insan kamil.
Berikut adalah beberapa contoh keagungan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam yang tidak dimiliki oleh manusia biasa:
*Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib k.w. berkata; “Setiap kali Allah Taáala mengutus seorang nabi, mulai dari nabi Adam sampai seterusnya, kepada nabi- nabi itu Allah Taáala menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama”.
Hal ini, sebagaimana firman Allah Taáala, “Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: ‘Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhamad shalllahu'alaihiwasallam) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepada nya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: ’Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini’? Mereka berkata: ‘Ya, kami berjanji untuk melakukan itu’. Dia berkata: ‘Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian’”. (QS Al- Imran [3]:81).
*Al-Quran menjelaskan bahwa para penganut Ahlul-Kitab tahu betul tentang kedatangan Rasul shalllahu'alaihiwasallam, sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Bahkan, mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS Al-Baqarah [2]: 89,146). Dan, itu pula yang di mohonkan Nabi Ibrahim 'alaihissalaam dalam doanya, ‘Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhamad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Maha- bijaksana’ (QS.Al-Baqarah [2]: 129).
*Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara dirinya dengan manusia. Bahkan, merupakan salah satu syarat terkabul- nya doa. Firman Allah Taáala: “Kami tidak utus seorang Rasul kecuali untuk di- taati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih”. (QS An-Nisa [4]:64).
Bahkan, sebagai perantara tawasul kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ini, sudah dilakukan para nabi dan orang-orang saleh jauh sebelum kelahiran beliau shalllahu'alaihiwasallam. Kita dapat membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawasul kepada Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan, tatkala nabi Adam 'alaihissalaam dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah Taáala atas perbuatannya. (selengkapnya baca bab tawasul disite ini)
*Penciptaan Nabi shalllahu'alaihiwasallam lebih dahulu daripada nabi Adam 'alaihissalaam hanya beliau shalllahu'alaihiwasallam masih dalam wujud ‘nur’ atau cahaya. Ketika Allah menciptakan Adam, Dia menitipkan nur itu pada sulbi Adam 'alaihissalaam, kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi Abdullah, ayah nabi shalllahu'alaihiwasallam.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdur-Razaq dari Jabir bin Abdullah al-Anshari r.a. bahwasanya dia pernah bertanya kepada nabi shalllahu'alaihi wa sallam “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulallah, beritahukanlah padaku tentang suatu yang di ciptakan Allah sebelum segala sesuatu. Jawab beliau shalllahu 'alaihiwasallam, ‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah sebelum menciptakan segala sesuatu, telah menciptakan Nur Nabimu, Muhamad dari Nur-Nya’ ”.
Dan hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya nabi shalllahu'alaihiwasallam telah bersabda, “Aku adalah yang pertama di antara para Nabi dalam penciptaan, namun yang terakhir dalam kerasulan…”.
*Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Allah telah menciptakan aku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah arasy, dua belas ribu tahun sebelum (Allah Taáala) menciptakan Adam 'alaihis salaam. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Dia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah Abdul Muthalib. Aku ke sulbi Abdullah dan Ali ke sulbi Abu Thalib”.
*Al-Quran menyebutkan, sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang ahli sujud (ahli takwa). Ini berarti, orang-tua dan nenek-moyang Rasulallah sampai ke nabi Adam dalam istilah Al-Quran di sebut As-Sajidin (orang-orang yang sujud). Sebagaimana firman-Nya, ‘Dan bertakwa- lah kepada Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang..Yang melihat kamu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang sujud (patuh/takwa).’ (QS As-Syuaraa’ [26]: 217-219).
*Ibnu Abbas r.a. dalam menafsirkan firman Allah Taáala diatas;
وَتَقَلُّبَكَ فِى السَّاجِدِيْنَ
“Dia (Muhamad) bergerak-gerak (berpindah-pindah) dalam sulbi-sulbi para nabi, sampai dilahirkan oleh ibundanya (Aminah).” (HR. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduyah, dan Abu Nuaim dalam ad-Dalail). Demikian pula, disebutkan dalam ad-Durrul Mantsur jilid 5 hal. 98 dan lain-lain.
*Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam adalah manusia suci, tidak pernah ber- buat dosa (ma‘shum). Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam secara biologis tidak ada perbedaan antara Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam dengan yang lain.
*Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam adalah teladan yang sempurna (uswatun hasanah) (QS Al-Ahzab [33]: 21). Oleh karena itu, “Apapun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).
*Dibukakan rahasia kegaiban kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sebagaimana firman Allah Taáala; “Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang di kehendaki” (QS Al-Jin [72]: 26-27). Tentu saja, Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam berada di urutan paling atas di antara para Rasul, beliau penghulu dari semua Nabi dan Rasul, yang menerima anugrah utama ini. Oleh karena itu, kaum beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam harus dengan suara yang pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan menghapus pahala amal mereka (QS Al-Hujurat [49]: 2-3).
*Allah Taáala akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam: “Dan Tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini, menunjukkan betapa Allah Taáala amat mencintai Rasul-Nya. Allah akan memberikan apa saja yang di-inginkan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.
*Allah Taáala memuji Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan berbagai pujian, karena keluhuran akhlaknya (QS.68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS.9:128); dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagian orang lain (QS. [20] 2-3).
*Selain itu, Allah Taáala memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam jika ada sedikit saja masalah yang dihadapi nya (QS.93:1-3 & QS 94:1-4).
*Siapa saja, yang berhadapan dengan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam maka berhadapan dengan Allah Taáala. Sebaliknya, siapa saja yang membelanya, Allah berada di belakangnya (QS. 9:61).
*Salah satu anugerah Allah Taáala yang paling besar kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. ialah, wewenang memberi syafa’at terbesar kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan doa yang disampaikan oleh Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam untuk umatnya, baik ketika Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam masih hidup mau pun sesudah wafatnya (baca bab Tawasul di site ini).
*Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dapat menembus Sidratul Muntaha (waktu peristiwa Mikra’), sementara Jibril 'alaihissalaam akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkahkan kaki meskipun hanya setapak. Padahal, Jibril adalah penghulu para malaikat. Tidak lain, karena Nabi Muhamad shalllahu 'alaihiwasallam telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani (Insan Kaamil).
*Coba perhatikan ayat shalawat (QS.[33]:56). Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat, selain shalawat kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam? Tidak ada! Ayat shalawat ini, didahului dengan pernyataan, Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih dahulu, karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukannya. Perintah ini, berarti kita harus selalu melihat Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan penuh takzim/hormat dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya. Karena itu pula, Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir.
Masih banyak lagi yang tidak tercantum disini tentang pribadi habibullah Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, sebagai Insan Kamil.
*Riwayat-riwayat yang telah dikemukakan, yang berkaitan dengan pribadi junjungan kita Nabi besar Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, kita tidak akan menyangkal atau meragukan lagi bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bukan manusia biasa melainkan Insan Kaamil, dalam arti bahwa kedudukannya paling tinggi dan mulia dari semua makhluk di sisi Allah Taáala. Beliau shalllahu'alaihiwasallam telah diciptakan Allah Taáala sebelum menciptakan yang lainnya. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam telah dipersiapkan membawa amanat-Nya, jauh sebelum para Rasul lainnya. Bahkan, para Rasul itu di- perintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia tentang kedatangannya.
Akan tetapi, semua ini tidak harus menempatkan beliau shalllahu'alaihi wa sallam sebagai anak Tuhan, Tuhan dibumi/didunia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa 'alaihissalaam, atau bukan dari golongan manusia. Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam tetap manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat Al-Quran dalam beberapa ayatnya. Pada diri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis (basyar) manusia. Karena itu, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam makan, minum, sakit, tidur, berdagang, senang, sedih, berkeluarga, dan sebagainya, seperti umumnya manusia.
Allah Taáala memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya. Akan tetapi, pada manusia, Allah Taáala ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah Taáala yang justru dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk mana pun, termasuk malaikat, karena melalui ruh itu manusia mampu mengatasi unsur biologisnya. Karena itu, mengapa malaikat dan iblis diperintahkan untuk sujud (penghormatan tinggi) kepada Adam (manusia) álaihissalaam. Itulah pula nabi Muhamad shalllahu 'alaihi wasallam dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril 'alaihis salaam akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkahkan kakinya, walau pun setapak.
Kesalahan terbesar, golongan yang menolak kesempurnaan Rasul shalllahu 'alaihiwasallam dan menolak memujinya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan! Golongan ini, tidak lain melihat Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan kacamata materi. Mereka, hanya melihat Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sebagai makhluk biologis. Mereka, lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan, dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Sebenarnya, ini semua bukan kultus, karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam justru mendudukkan posisi Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sebagaimana mestinya, seperti yang di perintahkan Al-Quran.
Sudah tentu kita semua sadar, yakin dan mengetahui bahwa pemuliaan dan pengagungan terhadap Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam sebagai hamba Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan dan pengagungan kita terhadap Allah Taáala sebagai Pencipta (Al-Khalik). Bila ada pikiran yang memandang makhluk setaraf dengan Khalik, itulah baru dikatakan syirik! Wallahua’lam
Semoga Allah Taáala memberi hidayah dan taufik kepada semua kaum muslimin. Aamiin
Maak jouw eigen website met JouwWeb