Pengertian mengenai kata dzurriyat (keturunan)
Pengertian mengenai kata dzurriyat (keturunan)
Dalam hal ini Ibnul-Qayim menjelaskan, “Di kalangan para ahli bahasa (Arab) tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna kata dzurriyat. Yang dimaksud dengan kata itu ialah, anak-cucu keturunan, besar maupun kecil. Kata tersebut dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat, antara lain,
“....Sesunguhnya Aku hendak menjadikan dirimu sebagai Imam bagi umat manusia, (Ibrahim) bertanya; Dan anak-cucu keturunanku’ (apakah mereka juga akan menjadi Imam?)... sampai akhir ayat.’ (QS Al-Baqarah [2]:124).
Dari pengertian ayat tersebut, pastilah sudah bahwa kata dzurriyat tidak bermakna lain kecuali anak-cucu keturunan.”
Ibnu Mandzur mengatakan, "Sesungguhnya ‘ithrah Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam adalah keturunan Fathimah r.a.. Ini adalah, perkataan Ibnu Sayidah. Al-Azhari berkata, ‘Di dalam hadis Zaid bin Tsabit yang berkata bahwa Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-bersabda,...lalu beliau-shalllahu'alaihi wa sallam-menyebut hadis Tsaqalain. Maka, disini Rasulallah menjadikan itrah-nya sebagai ahlul bait.’"
Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, ‘‘Itrah seorang laki-laki adalah kerabat- nya.’ Ibnu Atsir berkata, ‘‘Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya.’ Ibnu Arabi berkata, ‘Itrah seorang laki-laki ialah, anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.’ Ibnu Arabi melanjutkan perkataannya, ‘Maka ‘itrah Rasulallah-shalllahu'alaihiwasallam-adalah ke turunan Fathimah.’” (Lisan al-Arab jilid 9, hal 34)
Apakah keturunan dari anak perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat? Mengenai ini, ada dua pendapat kalangan para ulama.
Pendapat pertama, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa keturunan dari anak perempuan adalah termasuk dalam pengertian dzurriyat. Demikian pula menurut mazhab Imam Syafi’i.
Pendapat pertama ini sepakat, semua anak cucu keturunan Siti Fathimah Az- Zahra r.a. binti Muhamad shalllahu'alaihiwasallam termasuk dalam pengertian dzurriyat yakni dzurriyatun-Nabi (Keturunan Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam). Sebab, tidak ada putri Nabi Saw. selain Siti Fathimah r.a. yang dikarunia keturunan yang hidup hingga dewasa. Oleh karena itu, wajarlah jika Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menyebut Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu‘an huma sebagai putra-putra beliau shalllahu'alaihiwasallam.
Banyak hadis yang memberitakan pernyataan beliau shalllahu'alaihiwasallam, antara lain: ‘Al-Hasan ini adalah anak lelaki aku, ia seorang sayid’ (kelak akan jadi pemimpin). Juga ayat Mubahalah dalam surah Ali Imran [3]:61 ’....maka katakan lah marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu....’ sampai akhir ayat.
Setelah itu, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam segera memanggil Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah Az-Zahrah, Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berangkat untuk bermubahalah dengan kaum musyrikin.
Ibnul Qayim berkata lebih jauh, bahwa Allah Ta'aala telah berfirman mengenai keturunan Ibrahim álaihissalaam dalam surah Al-An’am [6]:84,’...Dan dari keturunannya (Ibrahim), Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami beri balasan kebajikan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (dari keturunan Ibrahim juga), Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyas.. .sampai akhir ayat’. Sebagaimana diketahui, Nabi Isa putra Maryam álaihissalam tidak mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Ibrahim aálaihissalaam selain dari ibunya, Maryam. Jelaslah, keturunan dari seorang perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat.
Adapun, pendapat kedua mengatakan, keturunan dari anak perempuan (pada umumnya) tidak termasuk dalam pengertian dzurriyat dengan berdalil: 'Keturunan dari seorang perempuan pada hakikatnya adalah keturunan dari suaminya. Karena itu, jika ada seorang wanita keturunan Bani Hasyim melahirkan anak dari suami bukan dari Bani Hasyim, maka keturunannya itu bukan keturunan Bani Hasyim'. Pihak kedua ini, juga menyatakan, orang merdeka (bukan budak) keturunannya adalah mengikuti silsilah ayah, sedangkan budak keturunannya mengikuti silsilah ibu. Namun, dalam pandangan agama, yang terbaik di antara keduanya ialah yang terbesar ketakwa annya.
Namun, Mereka ini juga mengatakan, dimasukkannya anak-anak Fathimah Az-Zahra r.a. dalam dzurriyat Nabi shalllahu'alaihiwasallam semata-mata (khusus) karena kemuliaan dan keagungan martabat ayahnya (Muhamad shalllahu'alaihi wasallam), yang tiada tolok bandingnya di dunia.
Jadi, dzurriyat (keturunan) Nabi dari putri beliau itu merupakan kelanjutan dari keagungan martabat beliau shalllahu'alaihiwasallam. Kita mengetahui, ke agungan seperti itu tidak ada pada orang-orang besar, raja-raja dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, mereka tidak memandang keturunan dari anak perempuan mereka (orang-orang besar dan lainnya) sebagai dzurriyat yang berhak mewarisi kebesaran atau kemuliaan mereka. Yang dipandang benar-benar sebagai dzurriyat oleh mereka adalah keturunan dari anak-anak lelaki mereka. Kalau keturunan dari anak perempuan dipandang sebagai dzurriyat, itu hanya lah disebabkan oleh faktor kemuliaan dan ketinggian martabat ayah anak perempuan itu.
Menanggapi dalil yang dikemukakan pendapat pihak kedua ini, Ibnul-Qayim berkata, pendapat pihak kedua ini, tidaklah pada tempatnya dan tidak dapat di benarkan, sebab itu merupakan penyamaan antara soal-soal keduniaan dan soal-soal keagamaan Untuk lebih lengkap tanggapan Ibnu Qayim bisa dilihat dalam kitabnya Jala’ul-Afham halaman 177.
Wallhua'lam.
Silahkan ikuti kajian berikutnya
Maak jouw eigen website met JouwWeb