Keturunan Ahlul Bait Rasulallah Telah Punah?

Keturunan Ahlul Bait Rasulallah Telah Punah?

Terdapat kecenderungan bahwa sebagian kelompok muslimin menyatakan bahwa dzuriyah (keturunan) Rasulallah Saw. telah punah. Mereka, memandang bahwa kini sudah tidak ada kelompok yang bergelar sayid/sayidah, syarif/ syarifah. Ahlul Bait sudah punah seiring dengan tewasnya cucu Rasullullah Saw.: Hasan dan Husain. Hal lain yang cukup mengagetkan, adalah pandangan sebagian kelompok muslimin yang cenderung tidak mau mengakui kemuliaan nasab Ahlul Bait. Bagi mereka, semua anak-cucu Adam a.s. adalah sama dan sederajat. Tak ada posisi khusus, apalagi kemuliaan tertentu.

 

Dalam bab ini, kami ingin mengutip dan mengumpulkan riwayat-riwayat mengenai kemuliaan nasab Ahlul-Bait atau keturunan Rasulallah Saw. Selain dikutipkan sejumlah pendapat dari para ulama klasik, dalam bab ini kami kutipkan juga perdebatan mengenai eksistensi dan kedudukan ahlul bait antara ulama golongan Pengingkar dan ulama golongan lainnya. Dari kelompok Pengingkar, ada ulama bernama Syaikh Ali Tanthawi. Dari penyanggahnya, kami kutipkan makalah yang  ditulis oleh Syaikh Segaf Ali Alkaff. Kami kutipkan pula, pendapat ulama asal Indonesia, Prof. Dr. HAMKA mengenai gelar Sayid atau Habib dan peran keturunan Rasulallah Saw (Kaum Alawiyin) dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, termasuk para Walisongo.

 

Pembahasan mengenai keturunan Rasulallah Saw. ini sama sekali tidak bermaksud hendak membuka perdebatan atau polemik. Tidak lain bermaksud menyampaikan wasiat Rasulallah Saw.. Karena semua yang diwasiatkan serta dianjurkan oleh Rasulallah Saw. harus kita terima dan amalkan. Allah Swt. berfirman,                                         

                    وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا                                           

“Apa yang diberikan Rasul (Muhamad) kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS Al-Hasyr [59]:7). Semua ucapan Rasulallah Saw. adalah kebenaran yang diwahyukan Allah Swt. pada beliau Saw., firman-Nya,

              وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَـوَى إنْ هُوَ إلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى                                                                      

“Dan dia (Muhamad Saw.) tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya bukan lain adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya”.(QS Surah An-Najm [53]:3-4)

 

Memandang ahlul bait dan keturunan Rasulallah Saw. sebagai orang-orang yang mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau firman Allah Swt. dalam surah Al-Hujurat [49 ]:13 berikut ini:

     يَآ اَيُّهَا النَّـاسُ إنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّ أنْثىَ وَجَعَلنَاكُمْ شُعُوبًا وَّ قَبَآئِل َلِـتَعَارَفُوْا, إنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أتقَاكُم          

“Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian terhadap Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”

 

Dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah Saw. yang mengatakan, “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena takwa”.

 

Juga tidak bertentangan dengan surah Al-Ahzab [33]: 33 yang menegaskan,

             إنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا   

“Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya” 

 

Kemuliaan yang diperoleh seorang beriman dari kebesaran takwanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah, kemuliaan yang bersifat umum, yakni hal ini dapat diperoleh setiap orang yang beriman dengan jalan takwa. Lain halnya dengan kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah Saw., mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian yang dilimpahkan dan dikarunia- kan Allah Swt. sebagai keluarga dan keturunan Rasulallah Saw.. Jadi, kemuliaan yang ada pada mereka bersifat khusus, dan tidak mungkin dapat diperoleh orang lain yang bukan ahlul bait dan bukan keturunan Rasulallah Saw..

 

Akan tetapi, itu bukan berarti bahwa keturunan Rasulallah Saw. tidak diharuskan bertakwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah umat Islam, menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan keturunan Muhamad Rasulallah Saw.. Tidak akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah Saw. menonjol-nonjolkan diri, menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syariat Islam pasti menempatkan mereka pada kedudukan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan syariat.

 

Bahkan, Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Ahzab [33]:30-31 bahwa bila mereka (ahlul-bait) berbuat maksiat akan dilipatkan dua kali dosanya dan bila mereka berbuat kebaikan akan dilipatkan dua kali pahalanya. Dengan memperbesar ketakwaan pada Allah dan Rasul-Nya mereka ini, memperoleh dua kemuliaan yaitu kemuliaan khusus dan kemuliaan umum. Adapun, orang-orang selain mereka, dengan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya hanya memperoleh kemuliaan umum. Itulah, yang membedakan martabat kemuliaan ahlul bait dan keturunan Rasulallah Saw. dengan martabat kemuliaan orang-orang selain ahlul bait dan keturunan Rasulallah Saw.. Ketinggian martabat yang diberikan Allah Swt. kepada mereka (ahlul bait) merupakan penghargaan Allah Swt. kepada Rasul-Nya Muhamad Saw..

 

As-Sayid Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad rahimahullah, seorang keturunan dari Rasulallah Saw.,yang digelari al-Ustaz oleh penduduk Hadhramaut, Yaman Selatan, mengatakan dalam kitab An-Nashaih, antara lain: “Memuji dan menyanjung diri sendiri, membanggakan leluhur dari ahli agama dan orang-orang utama serta menyombongkan nasab, semua itu merupakan perbuatan tercela dan sangat buruk sekali. Banyak sekali keturunan orang mulia yang tidak punya bashirah dan tidak tahu hakikat agama, mendapat cobaan seperti ini. Barangsiapa membanggakan nasab dan leluhurnya, seraya memandang rendah orang lain, maka dia akan kehilangan berkahnya para leluhur....” (Is’adur-Rofiq juz II, hal.85).

 

Dalam al-Fushuul al-Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyah bab  ke-25 hal. 88–91, Al-Habib Abdullah antara lain mengatakan,

” …Dan telah berkata sebagian orang, apabila dikatakan kepadanya, ‘seseorang dari kalangan ahlul bait An-Nabawi telah melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi ajaran agama, dan bercampur baur perbuatannya antara makrifat dan maksiat’. Mereka menjawabnya, ‘Mereka itu ahlul bait Rasulallah Saw., Rasulallah adalah pemberi syafaat bagi mereka dan barangkali dosa-dosa mereka tidak mencelakakan mereka’.

 

Ini, adalah ucapan yang amat buruk, yang mencelakakan diri orang yang berkata dan juga mencelakakan diri orang jahil yang dimaksud itu. Bagaimana seseorang boleh berkata demikian, sedangkan kitab Allah yang mulia telah menunjukkan bahwasanya ahlul bait dilipatkan bagi mereka pahala atas segala kebajikan mereka, dan demikian pula dilipatkan hukuman terhadap dosa kesalahan mereka. Sebagaimana firman Allah Swt., ‘Wahai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa diantaramu yang melakukan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa diantara kamu semua sekalian (isteri-isteri Nabi Saw) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat, dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.’ (al-Ahzab [33]:30-31).  

 

Dan para isteri junjungan Nabi Saw. adalah dari kalangan ahlul bait baginda Saw., barangsiapa yang berkata atau menyangka bahwa meninggalkan ketaatan dan melakukan maksiat tidak akan mencelakakan seseorang dikarenakan kemuliaan nasabnya dan karena kesalehan datuknya maka dia telah mendustai Allah Swt. dan menyalahi ijma’ kaum muslimin. 

 

 …Dan barangsiapa dari kalangan Ahlul-Bait yang tidak menjalani  jalan para salaf mereka yang suci, dimana mereka telah mencampur antara taat dan maksiat karena kejahilan, maka sewajarnya juga mereka ini dimuliakan dan dihormati karena hubungan kekerabatan mereka dengan junjungan Nabi Saw.. Barangsiapa yang mampu memberi nasihat (kepada mereka), hendaklah dia tidak meninggalkan menasihati mereka dan mendorong mereka untuk mengikuti jalan para pendahulu mereka yang saleh dari segi ilmu, amal-amal saleh, akhlak yang baik, sirah perjalanan hidup yang diridhai. Kabarkanlah kepada mereka, bahwasanya mereka paling utama dan lebih berhak  untuk berbuat demikian dibandingkan manusia lain. Dan maklumkan juga, bahwa nasab semata-mata tidak bermanfaat dan tidak menjadikan derajat seseorang itu tinggi, selagi dia mengabaikan ketakwaan, mencintai dunia, meninggalkan ketaatan dan mencemarkan diri dengan berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama. Para penyair dari kalangan para imam dan ulama telah memberi penekanan mengenai masalah ini dalam syair-syair mereka, sehingga sebagian dari mereka mengatakan:

Sungguh manusia anak agamanya

Maka jangan kau tinggal takwa demi mengunggulkan nasab

Dengan Islam telah ditinggikan derajat Salman orang Parsi

Manakala syirik merendahkan bangsawan  Abu Lahab”. Demikianlah  Alhabib Abdullah Alhaddad.

 

Keturunan Nabi Saw. merupakan orang-orang yang memiliki fadhilah dzatiyah (keutamaan dzat) yang dikaruniakan Allah Swt. kepada mereka melalui hubungan darah/pertalian nasab dengan manusia pilihan Allah Swt. dan paling termulia Rasulallah Saw.. Jadi, bukan pilihan mereka sendiri untuk menjadi keturunan Nabi Saw. dan bukan berdasarkan pahala atas amal baik mereka, melainkan telah menjadi qudrat dan kehendak Ilahi sejak mula.

Karena itu, tidak ada alasan apapun untuk merasa iri hati, dengki terhadap keutamaan mereka. Hal inilah, justru yang dipertanyakan Allah dalam firman-Nya,

                    اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ                       

“Ataukah (apakah) mereka (orang-orang yang dengki) merasa irihati (hasut) terhadap orang-orang yang telah diberi karunia oleh Allah.”  (QS. An-Nisa’ [4]: 54)                

 

Orang-orang yang menjadi sasaran iri dengki dan yang diberi karunia, dalam ayat tersebut, adalah ahlul bait (keturunan) Rasulallah Saw.. Untuk lebih mendalami masalah ini, dapat merujuk: (Syawahid at-Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, hal.143 hadis  ke 195, 196,197,198; Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Safi’i, hal.467 hadis ke 314; Yanabi al-Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.142, 328  dan 357; Al-Haidariyah hal.121, 274 dan 298, cet.Istanbul; Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, hal.150 cet.Al-Muhamadiyah, hal. 91 cet. Al-Maimaniyah, Mesir; Nurul Abshar oleh Asy-Syablanji hal.101 cet. Al-Usmaniyah, hal.102 cet. As- Sa’idiyah; Al-Ittihaf Bi Hubbil Asyraf, oleh Asy-Syibrawi Asy-Syafi’i, hal.76; Rasyafah Ash-Shadi, oleh Abu Bakar Al-Hadhrami, hal.37 dan masih banyak lagi lainnya).

                                                   

Siapakah Ahlul Bait?

Sejak masa lalu, terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya ahlul bait. Perbedaan pendapat berakar pada perbedaan pengertian dari istilah “Aali/alu” dari kata Aali Muhamad. Demikian pula dengan pemahaman dari istilah ahlu, dari istilah ahlul bait. Secara harfiah kata Aali//alu berarti “keluarga”.

 

Jadi, jika dikatakan ahlul bait adalah alu/Aali Muhamad, berarti keluarga Muhamad. Kata keluarga di sini karena menjadi padanan istilah ahlul bait yang secara harfiah berarti “penghuni rumah”,  maka ada perbedaan pengertian. Apakah yang dimaksud dengan alu/Aali Muhamad (ahlul bait) itu terbatas pada nasab keturunan Muhamad Rasulallah Saw. saja, atau juga mencakup anggota keluarga lainnya, seperti istri Nabi Saw.? Demikian pula dengan posisi menantu. Belum lagi, mencakup pengertian keluarga dalam pengertian ikatan persaudaraan atas nama iman yang membawa konsekuensi bahwa makna alu/ Aali Muhamad, berarti semua umat Muhamad Saw.. Disinilah letak perbedaan pemahaman mengenai siapa sesungguhnya yang disebut ahlul bait.  

 

Persoalannya menjadi pelik ,mengingat––sebagaimana akan dijelaskan nanti, terminologi ahlul bait menjadi masalah politik. Khususnya, bagi mereka yang berkeyakinan mengenai warisan estafet kepemimpinan politik Muhamad Saw. sebagai penguasa kota Madinah, sebagai khalifah. Demikian pula dengan nilai keagungan, kehormatan dan bahkan “kesakralan” posisi dan esksistensi ahlul bait. Kepelikan serupa juga akan terjadi jika dilihat dari perspektif hukum, khususnya berkenaan dengan hukum waris (fiqh mawarits).

 

Para ahli fiqih, tidak semuanya sepakat dalam memberikan makna Aali. Dengan adanya perbedaan tersebut mereka juga berbeda dalam menentukan hukum. Imam Hanafi, Maliki dan Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Aali dan Ahli adalah sama arti atau maknanya. Hanya saja masing-masing di antara mereka memberi ketentuan yang berlainan.

 

Imam Hanafi, berpendapat bahwa Ahli Bait seseorang, Aali dan jenisnya adalah satu, yakni setiap orang yang mempunyai pertalian nasab. Baik kepada nenek moyangnya yang Muslim maupun non-Muslim. Ada pula, yang mensyaratkan Islamnya ayah atau datuk yang paling tinggi. Maka semua anak yang dinasabkan kepada ayah ini termasuk lelaki, wanita dan anak-anak adalah ahli keluarganya.

Imam Malik, berpendapat lain lagi bahwa kata Aali adalah orang yang mendapat ‘asobah. Dan setiap orang yang mendapat ‘asobah dan setiap wanita jika ia bergabung dengan lelaki maka ia menjadi ‘asobah. Imam Hanbali berpendapat bahwa Aali seseorang dan Ahli Baitnya, kaumnya, keturunan dan kerabatnya adalah sama maknanya. Adapun, Imam Syafi’i berpendapat, Aali seseorang adalah kerabat dan keluarga yang ditanggung nafkah- nya, sedangkan Ahli Baitnya adalah kerabat dan istrinya.

 

Adapun, arti Aali dalam kalimat shalawat kepada Nabi Saw. dan arti kata ‘Ahlul-Bait’ dalam firman Allah Swt. QS Al-Ahzab [33] :33, mempunyai pengertian khusus: “Keluarga/kerabat Rasulallah Saw.”. Pendapat terbanyak dari ulama mengatakan, yang dimaksud di sini ialah kerabat beliau Saw. yang diharamkan kepada mereka menerima sedekah.  Ada lagi, yang mengatakan bahwa Aali (keluarga) Muhamad berarti semua umat Muhamad Saw.. Imam Malik dan Al-Azhari adalah orang yang cenderung dengan pendapat ini. Sedangkan, Baihaqi dan lain-lain menolak pendapat ini.  

 

Pendapat yang terbanyak mengenai Aali Muhamad Saw. dalam kalimat shalawat ialah, Rasulallah Saw. dan keturunannya. Termasuk di dalamnya, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib. Begitu juga yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam Harmalah yang dikutip dari Al-Azhari, Baihaqi dan lain-lain. Pendapat ini, juga dikemukakan oleh mayoritas sahabat-sahabat Rasulallah Saw. Mereka berdalil, hadis Rasulallah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa beliau Saw. bersabda, “Sesungguhnya sedekah diharamkan kepada Muhamad dan juga kepada Ali Muhamad”,(HR.Muslim). Secara keseluruhan, pendapat mengenai siapa sesungguhnya ahlul bait, dapat dikategorikan dalam enam kelompok pengertian:

 

Pengertian Pertama: yang dimaksud dengan Aali Muhamad Saw. ialah mereka yang oleh Rasulallah Saw. diharamkan menerima sedekah/. Mengenai siapa mereka ini terdapat tiga macam pendapat di kalangan ulama:

a. Mereka itu adalah anak-cucu keturunan Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib. Pendapat ini sesuai dengan mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali. Demikian juga menurut Ibnul-Qayim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain.

b. Yang dimaksud Aali Muhamad Saw. ialah khusus anak cucu keturunan Bani Hasyim, pendapat ini termasuk dalam mazhab Hanafi. Sebenarnya pendapat ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal berdasarkan ta’rif (kesimpulan) Abul Qasim, sahabat Imam Malik bin Anas.

 

c. Aali Muhamad ialah mereka anak cucu keturunan Bani Hasyim dan kaum kerabat dekat mereka, baik menurut garis silsilah ke atas maupun ke bawah hingga anak cucu keturunan Ghalib. Kesimpulan seperti ini dikemukakan oleh Asyhab, seorang sahabat Imam Malik. Demikian juga menurut penulis kitab Al-Jawahir dan menurut Al-Lakhmi dalam kitab At-Tabashshur. Riwayat ini sesungguhnya berasal dari Al-Ashba’, tetapi tidak disebut nama Al-Ashba’ sebagai salah satu sumbernya.

 

Pihak yang berpegang pada tiga macam pengertian  (a,b,c) tersebut sepakat menetapkan, Aali Muhamad Saw. diharamkan menerima sedekah. Mengenai ini, tidak ada perbedaan pendapat antara mereka, sebab nash mengenai itu berasal dari Rasulallah Saw. sendiri. Dalil-dalil yang digunakan pengertian pertama ini ialah:

a.Hadis yang diriwayatkan sahih Bukhari, Abu Hurairah r.a. sebagai berikut: “Pada musim panen kurma datanglah beberapa orang kepada  Rasulallah Saw. membawa buah kurma hingga terkumpul banyak di rumah beliau Saw.. Tidak lama kemudian datanglah Hasan dan  Husain. Ketika itu, mereka masih kanak-kanak. Kedua cucu Rasul ini kemudian bermain-main dengan beberapa buah kurma. Hasan r.a. memasukkan buah kurma yang diambilnya ke dalam mulut nya, hendak dimakan. Melihat itu, Rasulallah Saw. cepat-cepat mengeluarkan buah kurma itu dari mulut cucunya sambil berkata: ‘Apakah engkau tidak mengerti bahwa keluarga (Ali) Muhamad tidak makan sedekah?’” Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dengan susunan kalimat “Sedekah tidak dihalalkan bagi kami”.

 

b.Hadis sahih, dari Zaid bin Al-Arqam r.a., “Pada suatu hari   Rasulallah Saw. berkhutbah di depan kami, dekat sumber air bernama Khuma, terletak di antara Makkah dan Madinah. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah, mengingatkan dan memberi nasihat-nasihat kepada kami, beliau Saw. lalu menyatakan, ‘Amma ba’du, sesungguhnya aku adalah manusia. Tidak lama lagi, akan datang kepadaku utusan Allah (malaikat jibril) dan akan kuterima. Aku tinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah Kitabullah itu, dan berpeganglah teguh padanya.’ Kemudian beliau Saw. melanjutkan setelah berhenti sejenak; ‘dan ahlu-baitku…Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlu-baitku’–beliau mengulangi tiga kali”.

 

Mendengar hadis dari Zaid tersebut, Hashin bin Sarbah bertanya, “Hai Zaid, siapakah ahlu-bait (keluarga) Beliau Saw.? Bukankah para ummul mukminin (istri-istri beliau) ahlu-bait beliau? Zaid menjawab, ‘Para istri beliau termasuk ahlubaitnya, tetapi orang-orang selain beliau Saw. yang diharamkan menerima sedekah juga termasuk ahlubait beliau’. Hashin bertanya, ‘Siapa kah mereka itu?’ Zaid menjawab, ‘Mereka ialah keluarga Ali (bin Abi Thalib), keluarga Aqil (bin Abi Thalib), keluarga Jakfar (bin Abi Thalib) dan keluarga Al-Abbas (bin Abdul Muthalib)’. Hashin bertanya, ’Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah?’ Zaid menjawab, ‘Ya, itu telah menjadi ketentuan Rasulallah, karena beliau telah menyatakan bahwa sedekah tidak dihalalkan bagi Ali (ahlu-bait, keluarga) Muhamad’”.

 

Imam Muslim meriwayatkan nash yang serupa di atas ini, berasal dari sumber lain mengandung makna berlainan, yaitu sebagai berikut: “…Kami bertanya (kepada Zaid), ‘Apakah para istri beliau Saw. termasuk ahlubait Rasulallah Saw.?’ Zaid menjawab, ‘Tidak, demi Allah! Sebab istri mungkin hanya untuk sementara waktu saja hidup bersama suami. Bila terjadi perceraian, istri akan kembali kepada orang tua atau sanak familinya. Ahlubait beliau, ialah orang-orang dari mana beliau berasal, dan kaum kerabat beliau yang diharamkan menerima sedekah, seperti beliau Saw. sendiri!’”.

 

Imam Nawawi mengatakan, dua buah riwayat hadis di atas tampak berlawanan. Yang jelas, diketahui ialah bahwa dalam kebanyakan riwayat yang diketengahkan oleh (Imam) Muslim mengenai soal itu, Zaid bin Arqam mengatakan, “Para istri Rasulallah Saw. bukan ahlubait beliau.” Oleh karena itu, riwayat hadis yang pertama di atas harus ditakwilkan, bahwa dimasukkan- nya para istri Rasulallah Saw. ke dalam lingkungan Ahlul Bait, karena mereka itu tinggal bersama Rasulallah Saw., dan diperlakukan oleh beliau sebagai keluarga. Beliau Saw. memerintahkan supaya mereka itu dihormati dan dimuliakan serta disebut sebagai ‘tsaqal’. Beliau mengingatkan juga supaya hak-hak mereka dipelihara dan dipenuhi. Atas dasar pentakwilan itu, para istri Rasulallah Saw. memang termasuk dalam lingkungan Ahlul Bait, tetapi mereka tidak termasuk orang-orang yang diharamkan menerima sedekah. Dengan demikian, hilanglah sifat berlawanan antara dua riwayat hadis yang diketengahkan oleh Imam Muslim”.

 

c. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Az-Zuhri yang menerimanya dari Urwah dari Aisyah r.a. yang menuturkan:  “Pada suatu hari Fathimah r.a mengirim utusan kepada Abu Bakar As-Shiddiq r.a.untuk menanyakan warisan yang dapat diterima dari ayahnya (Rasulallah Saw.). Abu Bakar menjawab, ia mendengar sendiri Rasulallah Saw. pernah menyatakan, ‘Kami tidak mewariskan. Apa yang kami tinggal adalah sedekah. Keluarga Muhamad diharamkan menerima sedekah’ ” Dengan demikian, jelaslah bahwa ahlu-bait Muhamad Saw. mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu, antara lain: Diharamkan menerima sedekah, tidak mewarisi harta Nabi (jika ada), mereka berhak menerima seperlima bagian dari harta ghanimah (rampasan perang), dan berhak menerima ucapan shalawat.

 

d. Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibnu Syahab memberitakan atas anjuran beberapa orang sahabat, al-Fadhl bin Al-Abbas pernah datang menghadap Nabi Saw., minta kepada beliau agar dirinya diangkat sebagai petugas pengumpul zakat. Nabi  menjawab, “Sedekah bukan lain adalah kotoran, karenanya, tidak halal bagi Muhamad (Saw).dan ahlu-bait Muhamad  (Saw.)”.

 

e. Hadis riwayat Muslim dalam Sahih-nya berasal dari Aisyah r.a. yang menuturkan, “Pada suatu hari, ketika Rasulallah Saw. siap menyembelih seekor kambing, beliau bersabda: ‘Ya Allah, terimalah dari Muhamad, dari keluarga (ahlu -bait) Muhamad dan dari umat Muhamad’, setelah itu barulah kambing disembelih”. Hadis ini, menunjukkan kedudukan yang berlainan antara ahlul-bait Muhamad Saw. dan umat Muhamad Saw. Umat beliau adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau adalah khusus. Penafsiran kata Aali (ahlu-bait atau keluarga) Muhamad Saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah Saw. pasti lebih benar dan lebih utama dari  pada penafsiran orang lain.

 

Pengertian Kedua: yang dimaksud Ahlul-Bait hanya untuk lima orang saja. Mereka ini, dengan berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik [r.a.] bahwa surah Al-Ahzab [33]: 33, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dan kotoran (dosa) dari kalian, ahlul bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ ini turun hanya untuk lima orang saja yaitu: Rasulallah Saw., Amirul mukminin Ali k.w., Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain (r.a.). Rasulallah Saw. juga telah bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain: ‘Ya Allah mereka ini Ahli Baitku, hilangkan lah noda kotoran (ar-rijsa) dari  mereka  dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’. Hadis-hadis yang semakna di atas, silahkan rujuk:

Sahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul Bait Nabi,  jilid 2, hal.368, cet. Isa Al-Halabi, jilid 15 hal.194;

Syarah An-Nawawi,  cet. Mesir; Sahih At-Tirmidzi, jilid 5, hal.30, hadis ke 3258; hal. 328 hadis ke 3875, cet. Darul Fikr.;

Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.25, cet. Darul Ma’arif, Mesir; Musnad Ahmad jilid 3, hal.259 dan 285; jilid 4, hal.107; jilid 6 hal.292, 296, 298, 304 dan 306 , cet. Mesir.;

Mustadrak Al-Hakim, jld.3, hal.133, 146, 147, 158, jilid 2, hal.416  

 

Tafsir At-Thabari jilid 22 hal.6, 7 dan 8, cet.Al-Halabi Mesir;

Tafsir Al-Qurthubi jilid 14, hal. 182, cet. Kairo;

Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, hal.483, 494 dan 495, cet. Mesir;

Tafsir Al-Munir Lima’alim At-Tanzil, oleh Imam Nawawi Al-Jawi, jilid 2 hal.183;

Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh At-Thabarani jilid 1, hal. 65 dan 135 ; Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i hal.4, cet. At-Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir; cet.Beirut hal.8,cet.Al-Haidariyah hal. 49;

 

Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam Tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i jilid 1, hal. 185;

Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i, hal.45, 373-375; Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, hal. 12, 20; jilid 3 hal.413; jilid 5 hal. 521, 589;  

Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi jilid 5, hal.198, 199;

Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an jilid 4 hal. 240, cet.Mathba’ Al-Masyhad Al-Husaini, Mesir;

Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, hal.107, 108, 228, 229, 230, 244, 260 dan 294, cet.Istanbul ; cet.Al-Haidariyah hal.124, 125, 135, 196, 229, 269, 271, 272, 352 dan 353.

 

Sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri r.a. yang menuturkan bahwasanya Rasulallah Saw. menegaskan, “Ayat itu (QS Al-Ahzab [33]:33) turun mengenai lima orang: Aku sendiri, Ali (bin Abi Thalib r.a), (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain”. Atas dasar penegasan beliau itu, yang dimaksud ahlul-bait adalah lima orang keluarga nubuwwah tersebut. Kebenaran tersebut diperkuat oleh sebuah hadis sahih lainnya yang diketengahkan oleh banyak ulama hadis, yaitu hadis Al-Kisa.” (hadis Al-Kisa’, silahkan baca kajian selanjutnya).

 

Pengertian ketiga:  Yang dimaksud dengan Aali Muhamad Saw. adalah anak-cucu keturunan beliau Saw. dan khususnya para istri beliau Saw.. Hal itu, dikemukakan oleh Ibnu Abdul Bir dalam At-Tamhid. Dalam kitab ini, ia menguraikan sebuah hadis berasal dari Hamid As-Saidi yang menuturkan: “Ada sementara golongan yang menggunakan hadis sebagai hujjah/dalil, bahwa Aali Muhamad Saw. ialah para istri dan anak cucu keturunan (dzurriyah) beliau Saw. Hal ini, didasarkan pada pernyataan Rasulallah Saw. dalam hadis Malik yang berasal dari Nu’aim Al-Mujmar, dan dalam hadis lain yang tidak dikemukakan oleh Imam Malik. Yaitu sebuah hadis; ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad, kepada para istri dan anak cucu keturunanku’”.

 

Selanjutnya mereka berpendapat, kata Aali, ahlul-bait dan ahlu mempunyai arti yang sama. Keluarga dan anak cucu keturunan seseorang adalah sama artinya, yaitu para istri dan anak cucu keturunannya. Mereka juga mengajukan dalil-dalil lain sebagai berikut:

a. Ibnu Abdul-Bir menunjuk kepada hadis Ibnu Hamid As-Sa’idi sebagai berikut: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad, kepada istri-istrinya dan kepada anak-cucu keturunan- nya.” Sedangkan dalam hadis yang lain terdapat susunan kalimat: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad dan kepada Ali (ahlu-bait) Muhamad.” Maksud hadis yang terakhir ini, menyimpulkan makna hadis yang pertama.

 

b. Hadis Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Abu Hurairah r.a. menuturkan,  Rasulallah Saw. pernah menyatakan dalam doanya: “Ya Allah, anugerahilah Ali (keluarga) Muhamad rezeki berupa makanan sehari-hari.” Doa Beliau Saw. ini, benar-benar terkabul dan ternyata tidak meliputi semua anak cucu keturunan Bani Hasyim dan anak cucu keturunan Bani Abdul Muthalib. Di antara mereka itu, hingga sekarang banyak yang menjadi hartawan dan mendapat rezeki lebih dari sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Lain halnya, para istri Nabi dan anak-cucu keturunan Nabi Saw. yang hanya beroleh rezeki sekedar cukup untuk makan sehari-hari.

 

c.Terdapat sebuah riwayat yang menuturkan, istri Rasulallah Saw., Aisyah r.a., pernah menerima hadiah kekayaan cukup besar dari seorang penduduk. Akan tetapi, begitu menerimanya seketika itu juga dibagikan kepada kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, hingga habis semuanya. Melihat kenyataan itu pelayannya tercengang, lalu berkata, “Seumpama ibu tinggalkan barang satu dirham  tentu kita dapat membeli daging.” Aisyah r.a menjawab, “Seumpama engkau tadi mengingatkan, itu tentu kulakukan.”

d. Hadis sahih dari Aisyah r.a. yang pernah terus terang mengatakan: ”Aali (keluarga) Muhamad Saw. tidak pernah kenyang makan roti gandum berturut-turut selama tiga hari.”

 

Demikianlah keadaannya hingga saat beliau pulang keharibaan Allah Swt. Dari hadis ini, golongan faham ketiga menarik suatu pengertian, anak cucu keturunan Al-Abbas dan anak-cucu keturunan Abdul-Muthalib tidak termasuk di dalam makna ucapan Aisyah r.a. yakni tidak termasuk Aali (keluarga) Rasulallah Saw.

 

Mereka ini menegaskan, istri seseorang adalah keluarganya dan tidak diragukan lagi bahwa para Ummul Mukminin (para istri Rasulallah) adalah keluarga beliau Saw.. Mereka juga menegaskan, para istri Nabi Saw. adalah yang diharamkan dinikahi pria lain sepeninggal Rasulallah Saw.. Mereka adalah istri-istri beliau Saw. di dunia dan akhirat. Karena hubungan khusus mereka dengan Nabi Saw. inilah, para istri Rasulallah Saw. termasuk juga ahlul bait Nabi Saw..

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, para istri Nabi Saw. termasuk orang-orang yang diharamkan menerima sedekah karena sedekah adalah kotoran dari harta orang lain. Allah Swt. telah memelihara kemuliaan dan keagungan Nabi dan Rasul-Nya beserta segenap anggota keluarga beliau dari setiap kotoran yang diberikan kepada mereka sebagai sedekah. 

 

Hadis-hadis tersebut di atas ,menurut faham ketiga, menunjukkan bahwa para isteri Nabi Saw. berhak menerima shalawat. Selanjutnya mereka berkata, Alangkah anehnya, bila Rasulallah Saw. telah berdoa; ‘Ya Allah, anugerahi keluarga Muhamad rezeki berupa makanan sehari-hari’; ‘Ya Allah terimalah (sembelihan) ini dari Muhamad, dari keluarga Muhamad dan dari umat Muhamad’; ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad, kepada isteri-isteri Muhamad dan kepada anak cucu keturunan Muhamad’; tetapi bersamaan dengan semuanya ini,  ada orang yang berani menyimpulkan bahwa para isteri Nabi Saw. tidak termasuk dalam ucapan beliau Saw. ‘Sedekah tidak halal bagi Muhamad dan Ali (keluarga) Muhamad’. Padahal jelas, sedekah itu merupakan kotoran. Demikian, paham ketiga!

 

Ada pihak lain yang menyanggah paham ketiga ini, dengan mengatakan,“Jika para isteri Nabi diharamkan menerima sedekah, tentu mawali (budak-budak asuhan) mereka diharamkan juga menerima sedekah”. Sanggahan ini, sangat lemah, karena tidak bisa disamakan antara para isteri Nabi Saw. dan mawali mereka! Pengharaman menerima sedekah bagi para isteri Nabi Saw. sama sekali bukan karena pribadi mereka masing-masing, melainkan semata-mata karena terbawa oleh pengharaman sedekah bagi Rasulallah Saw.. Mereka sebelum menjadi isteri Nabi Saw., halal menerima sedekah.

 

Pengertian keempat.  Pihak ini berkata, yang dimaksud Ahlul-Bait adalah para istri Rasulallah Saw. saja, karena mulai dari ayat 28 sampai akhir ayat 34 Surah Al-Ahzab berkaitan dengan para istri Nabi Saw. Jadi bagaimana mungkin di tengah-tengah terselip persoalan lain? Tidaklah pada tempatnya, jika para Ummul Mukminin hendak dikeluarkan dari pengertian Aali Rasulallah Saw.. Penafsiran faham keempat ini, dibantah oleh para ulama tafsir lainnya.

Kalau yang dimaksud ahlul-bait hanya para istri Nabi Saw. saja, tentu dalam ayat itu tidak menggunakan dhamir (kata ganti nama) ’Kum’  (kalian lelaki dan wanita) melainkan menggunakan dhamir ‘Kunna’ (kalian wanita). Menurut pihak faham keempat ini, ‘Digunakannya dhamir Kum, karena ayat itu menunjuk kepada ‘Ahlu’. Menurut tata bahasa Arab kata ahlu adalah mudzakkar (menunjukkan lelaki), bukan muannats (menunjukkan wanita). Karena itulah Al-Quran menggunakan dhamir Kum tidak menggunakan dhamir Kunna!

 

Jumhurul-ulama  berpendapat, yang dimaksud dengan kata ahlul-bait dalam surah Al-Ahzab: 33 ialah dua pihak sekaligus yaitu Lima orang (yang tersebut di atas) dan para istri Rasulallah Saw.. Ibnu Athiyah misalnya berkata, “Para Ummahatul-Mukminin (para istri Nabi Saw) tidak berada diluar pengertian ahlul-bait. Sebab, kata ahlul-bait lazim berarti semua anggota keluarga, dan istri-istri adalah termasuk anggota keluarga”. An-Nafsi menegaskan, firman Allah yang menggunakan dhamir Kum mengandung petunjuk, bahwa para Ummahatul-Mukminin termasuk dalam pengertian kata ahlul-bait. Sebab dhamir kum berlaku bagi lelaki dan wanita bersama-sama. Demikian pula pendapat Zamakhsyari, Al-Baidhawi dan Abus-Saud.

Imam Fakhrur-Razi menyatakan, ”Dikalangan para ahli tafsir memang terjadi perbedaan pendapat mengenai arti kata ahlul-bait. Oleh karena itu, lebih baik dikatakan, mereka itu terdiri dari para Ummahatul-Mukminin, putri beliau Saw. (Siti Fathimah r.a) bersama suaminya (Imam Ali bin Abi Thalib k.w.) dan dua orang cucu beliau Saw. (Al-Hasan dan Al-Husain-radhiyallahu ‘anhuma). Ali bin Abi Thalib, termasuk ahlul-bait karena ia menjadi suami putri Rasulallah Saw. dan selalu bersama beliau”.

 

Pengertian kelima: Aali Muhamad Saw. ialah semua pengikut Muhamad Saw. hingga hari terakhir kelak (hari kiamat). Hal ini, dikemukakan oleh Ibnu Abdul-Bir dan sebagian ulama. Orang yang pertama-tama mengemukakan pendapat tersebut ialah Jabir bin Abdullah r.a. Dialah yang disebut oleh Al-Baihaqi dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri. Beberapa ulama sahabat Imam Syafi’i pun menetapkan penafsiran seperti itu, sebagaimana dikemukakan oleh At-Thabari yang dibenarkan oleh Syaikh Muhyiddin An-Nawawi dalam Syarh Muslim dan dibenarkn oleh Al-Azhari. Golongan faham kelima ini mengatakan, Keluarga Nabi dan Rasulallah yang diagungkan dan ditaati ialah semua orang yang mengikuti dan mentaati agama beliau Saw.. Termasuk ahlul bait adalah, mereka yang mematuhi perintah, larangan, petunjuk dan tuntunan beliau Saw.. Mereka itulah keluarga (Ali) beliau, tidak pandang apakah mereka itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau atau tidak.

 

Mereka mengatakan bahwa kata Aali dapat berarti pengikut, kata kerja ya-‘u-lu (fi’il mudhari’) yang berasal dari kata kerja a-la (fi’il madhi) dapat bermakna kembali (yakni kembali kepada yang diikutinya sebagai pemimpin). Para pengikut tentu kembali kepada yang di-ikuti, sebab yang di-ikuti itu dipandang sebagai pemimpin dan tempat bernaung.

 

Dengan pengertian itulah Allah Swt. berfirman “…kecuali Ali (keluarga) Luth, mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing”. Yang dimaksud Ali Luth ialah para pengikut Nabi Luth a.s. dan yang beriman kepada beliau, baik dari kaum kerabat Luth sendiri maupun dari kaumnya yang lain. Demikian pula firman Allah Swt.: “…Masukkanlah Ali (keluarga) Fir’aun ke dalam siksa yang berat”. Yang dimaksud dengan Ali Fir’aun adalah para pengikut Fir’aun. Pemahaman seperti ini ,menurut faham kelima, sesuai dengan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Watsilah bin Al-Ashqa’ sebagaimana diketahui oleh para ahli hadis, Watsilah adalah seorang dari kabilah Bani Laits bin Bakr bin Abdimanaf, ia bukan kerabat dekat Nabi, melainkan hanya pengikut beliau Saw. yang menuturkan sebagai berikut, “Bahwasanya Rasulallah Saw. pada suatu hari memanggil dua orang cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain–radhiyallahu ‘anhuma-. Dua-duanya beliau dudukkan di atas pangkuan beliau, kemudian minta agar Fathimah Az-Zahra r.a. bersama suaminya (Imam Ali bin Abi Thalib k.w.) mendekat. Setelah semuanya berkumpul beliau lalu menyelimutkan sehelai kain lebar pada mereka berempat seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (ahlî)’. Watsilah kemudian bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah aku termasuk keluarga anda?’ Rasulallah Saw. menjawab, ‘Engkau termasuk keluargaku (ahlî)’ “.

 

Menurut para ulama hadis, dalil pengertian pihak kelima ini sangat lemah, alasan-alasan kelemahannya, antara lain sebagai berikut:

Apakah benar Watsilah yang meriwayatkan atau yang menjadi sumber riwayat hadis tersebut? Sebab terdapat sumber riwayat yang lebih dapat dipercayai kebenarannya, yaitu hadis Al-Kisa’ (baca uraian selanjutnya mengenai hadis ini) yang bunyi kalimatnya (nash hadisnya) sama dengan hadis dari Watsilah di atas ini, hanya nama Ummu Salamah r.a. berubah menjadi Watsilah. Begitu juga hadis yang di tuturkan oleh istri Rasulallah Saw. Ummu Salamah r.a. ini kejadiannya (waktu Nabi Saw. menyelimuti dirinya dan keluarganya) berada dirumah Ummu Salamah r.a. sendiri.

 

Begitu juga, golongan yang berpegang pada faham kelima ini, bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang menuturkan bahwa keluarga (Aali) Muhamad Saw. haram untuk menerima sedekah. Bila yang dimaksud Aali Muhamad, ialah semua pengikut Muhamad Saw. niscaya sedekah atau zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka. Padahal, banyak para sahabat yang menerima zakat.

Hadis riwayat Imam Muslim, waktu Rasulallah menyembelih seekor kambing, beliau Saw. berdoa: ‘Ya Allah, terimalah (korban) dari Muhamad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhamad dan dari umat Muhamad’, setelah itu barulah kambing itu disembelih. Hadis riwayat imam Muslim ini, menunjukkan kedudukan yang jelas berlainan antara ahlu-bait Muhamad Saw. dan umat Muhamad Saw.. Umat beliau Saw. adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau Saw. adalah mempunyai makna yang khusus. Penafsiran kata aal Muhamad Saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah Saw. pasti lebih benar dan lebih utama daripada penafsiran orang lain.  

 

Pengertian keenam: Pendapat golongan ini, hampir sama dengan pengertian golongan kelima di atas. Hanya saja, golongan ini menambahkan, yang dimaksud dengan ahlul bait adalah umat Muhamad yang bertakwa. Pendapat demikian itu, diketengahkan oleh Al-Qadhi Husain dan Ar-Raghib bersama jamaahnya. Mereka ini berdalil kepada sebuah hadis yang dituturkan Jakfar bin Ilyas dan dikatakan berasal dari Anas bin Malik sebagai berikut:

“Rasulallah Saw. pernah ditanya oleh seseorang tentang siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan kata Ali Muhamad Saw.? Beliau Saw. menjawab, ‘Semua orang yang bertakwa’. Beliau lalu mengucapkan firman Allah Swt., ‘Sesungguh-nya para waliyullah itu tidak mengkhawatirkan sesuatu dan tidak pula mereka itu merasa sedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber takwa’ . (QS Yunus [10]: 62-63).”

 

Akan tetapi, Imam Thabrani meragukan kebenaran hadis tersebut. Sebab menurut Jakfar, hadis itu didapatnya dari Nuaim bin Hammad, didengar oleh seorang bernama Nuh bin Abi Maryam yang menurut dia berasal dari Yahya bin Said Al-Anshari, yang mendengarnya dari Anas bin Malik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thabrani, tidak ada yang meriwayatkan hadis seperti itu selain Nuh bin Abi Maryam. Hadis semakna berasal dari Nuaim. Imam Baihaqi mengetengahkan hadis ini dari Abdullah bin Ahmad bin Yunus, dari Nafi’ bin Hurmuz, oleh para ulama ahli hadis dipandang sebagai hadis yang tidak dapat diterima sebagai dalil, karena dua orang tersebut terkenal sebagai pembohong.

 

Alasan lain yang dikemukakan oleh pihak penganut faham keenam ini ialah firman Allah Swt. yang ditujukan kepada Nabi Nuh a.s. mengenai nasib anak lelakinya di saat banjir melanda bumi, “Hai Nuh, sesungguhnya dia (anak nabi Nuh itu) tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan keselamatannya). Perbuatan (dan sikap tingkah lakunya) bukanlah perbuatan baik.” (QS. Hud [11]: 46). Selanjutnya, golongan ini berkata, “Karena anak lelaki Nabi Nuh a.s. itu menyekutukan Allah (berbuat syirik), dia dikeluarkan dari lingkungan keluarga (Aali) Nabi Nuh a.s.. Dengan demikian, jelaslah ,kata golongan keenam ini, Ali Muhamad Saw. adalah para pengikut beliau Saw. yang bertakwa. 

 

Menghadapi masalah tersebut, Imam Syafi’i membantah  dalil di atas, dengan mengatakan, “Yang dimaksud dengan kalimat ‘sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (ahlimu)’ dalam ayat tersebut  ialah, anak lelaki Nabi Nuh a.s. itu tidak termasuk orang-orang yang harus diangkut dalam bahtera, yakni orang-orang yang hendak diselamatkan dari bencana banjir besar. Karena, sebelum ayat itu Allah Swt. telah memerintahkan Nabi Nuh a.s. sebagai berikut: ‘Angkutlah di dalamnya (bahtera) dua dari tiap pasang (jodoh) hewan dan (angkutlah juga) keluargamu kecuali yang terkena keputusan Allah (untuk dibinasakan).’ (QS. Hud [11]:40). Dengan demikian, anak lelaki Nuh a.s. termasuk orang-orang yang tidak dijamin keselamatannya.”

 

Ibnul-Qayim mengatakan, “Kalimat ayat itu sendiri, telah menunjukkan kebenaran jawaban Imam Syafi’i, karena ayat tersebut menyatakan lebih lanjut ‘dan barangsiapa yang beriman’ (QS. Hud [11]:40). Kalimat ini, menunjuk kepada orang-orang beriman diluar keluarga Nabi Nuh a.s.. Kalimat ‘dan barangsiapa yang beriman’ berdiri sendiri di samping kalimat ‘keluargamu (ahlaka) dan dua dari tiap pasang hewan’. Dengan demikian, kata ahlaka dalam ayat tersebut tidak mencakup pengertian pengikut yang beriman dan bertakwa”. 

 

Demikianlah, sebagian pengertian ulama ahli tafsir mengenai makna Ali Muhamad dan kalimat Ahlul-Bait dalam QS. Al-Ahzab [33]: 33. Kita bisa menarik garis besar bahwa golongan yang berpegang pada faham kelima dan keenam merupakan kelompok yang sangat lemah. Pendapat mereka bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang riwayatnya lebih banyak dan bisa lebih dipercaya.

 

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai masuk atau tidaknya para istri Rasulallah Saw. dalam pengertian Ahlu-Bait beliau Saw., yang sudah pasti dari segi kesahihan sanad hadis, disepakati oleh ahli hadis bahwa Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah Az-Zahra beserta kedua putranya Al-Hasan dan Al-Husain–radhiyallahu‘anhum–sebagai ahlul–bait Rasulallah Saw. dikenal dengan sebutan Hadis Al-Kisa. Hal ini, telah dengan bulat di benarkan oleh semua ulama Salaf dan Khalaf. Mereka inilah, yang dimaksud dengan ahlul bait yang tertera dalam surah Al-Ahzab [33]:33.

 

Pengertian mengenai kata dzurriyat (keturunan)

Dalam hal ini Ibnul-Qayim menjelaskan, “Di kalangan para ahli bahasa (Arab) tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna kata dzurriyat. Yang dimaksud dengan kata itu ialah, anak-cucu keturunan, besar maupun kecil. Kata tersebut dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat, antara lain, “....Sesunguhnya Aku hendak menjadikan dirimu sebagai Imam bagi umat manusia, (Ibrahim) bertanya; Dan anak-cucu keturunanku’ (apakah mereka juga akan menjadi Imam?)... sampai akhir ayat.’ (QS Al-Baqarah [2]:124). Dari pengertian ayat tersebut, pastilah sudah bahwa kata dzurriyat tidak bermakna lain kecuali anak-cucu keturunan.”

 

Ibnu Mandzur mengatakan, “Sesungguhnya ‘ithrah Rasulallah Saw. adalah keturunan Fathimah r.a.. Ini adalah, perkataan Ibnu Sayidah. Al-Azhari berkata, ‘Di dalam hadis Zaid bin Tsabit yang berkata bahwa Rasulallah Saw. bersabda, ...lalu dia menyebut hadis Tsaqalain. Maka, disini Rasulallah menjadikan itrah-nya sebagai ahlul bait.’

 

Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, ‘‘Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya.’ Ibnu Atsir berkata, ‘‘Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya.’ Ibnu Arabi berkata, ‘Itrah seorang laki-laki ialah, anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.’ Ibnu Arabi melanjutkan perkataannya, ‘Maka ‘itrah Rasulallah Saw. adalah keturunan Fathimah.’” (Lisan al-Arab  jilid 9, hal 34)            

Akan tetapi, apakah keturunan dari anak perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat? Mengenai ini, ada dua pendapat kalangan para ulama. Pendapat pertama, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa keturunan dari anak perempuan adalah termasuk dalam pengertian dzurriyat. Demikian pula menurut mazhab Imam Syafi’i.   

 

Pendapat pertama ini sepakat, semua anak cucu keturunan Siti Fathimah Az-Zahra r.a. binti Muhamad Saw. termasuk dalam pengertian dzurriyat yakni dzurriyatun-Nabi (Keturunan Rasulallah Saw.). Sebab, tidak ada putri Nabi Saw. selain Siti Fathimah r.a. yang dikarunia keturunan yang hidup hingga dewasa. Oleh karena itu, wajarlah jika Rasulallah Saw. menyebut Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu‘anhuma sebagai putra-putra beliau.

Banyak hadis yang memberitakan pernyataan beliau, antara lain: ‘Al-Hasan ini adalah anak lelaki-ku, ia seorang sayid’ (kelak akan jadi pemimpin). Juga ayat Mubahalah dalam surah Ali Imran [3]:61 ’....maka katakanlah marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu....’ sampai akhir ayat. Setelah itu, Rasulallah Saw. segera memanggil Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah Az-Zahrah, Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berangkat untuk bermubahalah dengan kaum musyrikin.

 

Ibnul Qayim berkata lebih jauh, bahwa Allah Swt. telah berfirman mengenai keturunan Ibrahim a.s. dalam surah Al-An’am [6]:84,’...Dan dari keturunannya (Ibrahim), Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami beri balasan kebajikan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (dari keturunan Ibrahim juga), Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyas.. .sampai akhir ayat’. Sebagaimana diketahui, Nabi Isa putra Maryam a.s. tidak mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Ibrahim a.s. selain dari ibunya, Maryam. Jelaslah, keturunan dari seorang perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat.

 

Adapun, pendapat kedua mengatakan, keturunan dari anak perempuan tidak termasuk dalam pengertian dzurriyat dengan berdalil: Keturunan dari seorang perempuan pada hakikatnya adalah keturunan dari suaminya. Karena itu, jika ada seorang wanita keturunan Bani Hasyim melahirkan anak dari suami bukan dari Bani Hasyim, maka keturunannya itu bukan keturunan Bani Hasyim. Pihak kedua ini, juga menyatakan, orang merdeka (bukan budak) keturunannya adalah mengikuti silsilah ayah, sedangkan budak keturunannya mengikuti silsilah ibu. Namun, dalam pandangan agama, yang terbaik di antara keduanya ialah yang terbesar ketakwaannya.

 

Mereka ini juga mengatakan, dimasukkannya anak-anak Fathimah Az-Zahra r.a. dalam  dzurriyat Nabi Saw. semata-mata (khusus) karena kemuliaan dan keagungan martabat ayahnya (Muhamad Saw), yang tiada tolok bandingnya di dunia. Jadi, dzurriyat (keturunan) Nabi dari putri beliau itu merupakan kelanjutan dari keagungan martabat Beliau Saw..

 

Kita mengetahui, keagungan seperti itu tidak ada pada orang-orang besar, raja-raja dan lain sebagainya. Karena itu, mereka tidak memandang keturunan dari anak-anak perempuan mereka (orang-orang besar dan lainnya) sebagai dzurriyat yang berhak mewarisi kebesaran atau kemuliaan mereka. Yang dipandang benar-benar sebagai dzurriyat oleh mereka adalah keturunan dari anak-anak lelaki mereka. Kalau keturunan dari anak perempuan dipandang sebagai dzurriyat, itu hanyalah disebabkan oleh faktor kemuliaan dan ketinggian martabat ayah anak perempuan itu.

 

Menanggapi dalil yang dikemukakan pendapat pihak kedua ini, Ibnul-Qayim berkata, pendapat pihak kedua ini, tidaklah pada tempatnya dan tidak dapat dibenarkan, sebab itu merupakan penyamaan antara soal-soal keduniaan dan soal-soal keagamaan Untuk lebih lengkap tanggapan Ibnu Qayim bisa dilihat dalam kitabnya Jala’ul-Afham halaman 177.

                                                      

Keturunan yang dijuluki Syarif/Sayid atau Syarifah/ Sayidah 

Nabi Saw. memuliakan anaknya Fathimah sebagai penerus nasabnya, sudah sering diceritakan dalam sejarah. Jadi jelas, nasab keturunan Rasulallah Saw. pada dasarnya semua keturunan Ahlul Bait Rasulallah Saw., khususnya adalah, yang dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallah‘anhuma. Bukan dari garis keturunan dua orang saudara perempuan mereka berdua, walaupun semuanya ini adalah putri-putri Siti Fathimah binti Rasulallah Saw, kepada mereka diharamkan menerima sedekah/zakat. Ketentuan seperti ini, berdasarkan beberapa hadis berikut ini;

 

Dari Jabir r.a. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadraknya dan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya. Menurut hadis tersebut, Siti Fathimah r.a. menuturkan bahwa ayahnya (Rasulallah Saw.) pernah berkata, “Setiap orang dari anak Adam (yang dilahirkan oleh seorang ibu) termasuk di dalam suatu ‘ashbah (kelompok dari satu keturunan), kecuali dua orang putra (Siti) Fathimah. Akulah wali dan ashobah mereka berdua”. Yang dimaksud dua orang putra Siti Fathimah di sini yaitu Al-Hasan dan Al-Husain. Juga dalam hadis lain, Rasulallah Saw. pernah bersabda, “Semua anak Adam bernasab kepada orangtua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah (Al-Hasan dan Al-Husain). Aku lah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka”.

 

Dua hadis diatas, diperkuat dengan sabda Rasulallah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya Al-Ahkam dan Imam Muslim dalam kitabnya Al-Imarah, yang mana beliau Saw. menyatakan, “Dua orang puteraku ini (beliau sambil menunjuk pada Al-Hasan dan Al-Husain) adalah Imam-Imam, baik disaat mereka sedang duduk atau pun sedang berdiri ”. 

Beliau Saw. juga bersabda; “Keturunanku adalah dari anak perempuan ku, Fathimah.” Atau hadis dari Umar bin Khatab r.a., Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Semua anak dari perempuan, bernasab kepada ayah mereka, kecuali yang dilahir kan Fathimah. Akulah ayah mereka”. (Kifayah at-Thalib, hal. 381 oleh  Allamah al-Kanji).

 

Dalam hadis dari Jabir bin Abdullah al-Anshari r.a., Rasulullah Saw. bersabda, “Allah azza wajalla menjadikan keturunanku dalam sulbi Ali bin Abi Thalib”. (Kifayah al-Thalib karya Allamah Kanji [Muhamad bin Yusuf al-Syafi’i]; Ibnu Hajar al-Makki dalam al-Shawaiq al-Muhriqah, hal.79 &94, dari At-Thabrani dari Jabir bin Abdulah al-Anshari; Riwayat Khatib al-Khawarizmi dalam Manaqib Ibnu Abbas).

 

Pada kesempatan lain, ketika Nabi Saw. sedang duduk dengan Abbas, Ali datang menemui Rasul. Setelah menjawab salam Ali, lalu Rasul merangkul dan mencium kening Ali. Melihat ini, Abbas bertanya pada Rasul, ’Apakah anda mencintainya’? Jawab Rasul Saw., ‘....Allah menjadikan keturunanku dalam sulbi orang ini (yakni Ali)’. (At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

 

Begitu pula, sabda Rasulallah Saw., “Setiap hasab dan nasab terputus pada hari kiamat kecuali hasab dan nasabku”. (Allamah al-Kanji dalam Kifayah at-Thalib, hal.380, at-Thabari dalam Tarjamah al-Hasan; Sulaiman Hanafi dalam Yanabi al-Mawaddah; Jalaluddin as-Suyuthi dalam Ihya al-Mayyit fi Fadhail Ahl Bayt; Abu Bakar bin Syihabuddin dalam Rasyfah al-Shadi fi Bahr Fadhail Bani al-Nabi al-Hadi, bab 3, cetakan Mesir; Ibnu Hajar Haitami dalam al-Shawaiq al-Muhriqah, Bab 9, Pasal 8, hadis No. 17; dan lain-lain).

 

Begitu pula,  dengan firman Allah Swt. dalam ayat mubahalah di Surah Ali Imrani [3]: 61. Peristiwa mubahalah terjadi pada tahun ke-10 H. Kejadian ini berkenaan dengan datangnya utusan kaum Nasrani dari daerah Najran. Maksud para utusan ini adalah untuk menyanggah kebenaran berita-berita Al-Quran mengenai Nabi Isa as. Pembicaraan itu tidak menghasilkan persetujuan apapun, selain kesepakatan bersama untuk bermohon kepada Allah Swt. untuk menurunkan kutukan dan siksa kepada pihak yang berdusta. Dalam hal itu, kedua belah pihak menentukan tempat dan waktu yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.             

 

Ketika waktu yang ditentukan tiba, Rasulallah Saw. mengajak orang-orang yang terdekat yaitu kerabat beliau Saw. yang dipandang paling mulia dan terhormat. Rasulallah Saw. berjalan menuju tempat tersebut dengan menggendong Al-Husain r.a. yang masih kanak-kanak dan menggandeng Al-Hasan r.a. yang sudah agak besar. Dibelakang beliau Saw. berjalan Siti Fathimah r.a. dengan kain kerudung, sedangkan Imam Ali k.w. berjalan di belakangnya.

 

Beliau Saw. bertemu dengan Kaum Nasrani tersebut sambil bersabda: “Mereka ini adalah anak-anak kami, diri kami, dan wanita kami, maka panggillah anak-anak kamu, diri kamu dan wanita-wanita kamu, kemudian mari kita bermubâhalah kepada Allah dan minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.

Menurut para ahli tafsir dan hadis, yang dimaksud kata anak-anak kami dalam ayat itu ialah Al-Hasan dan Al-Husain r.a., yang di maksud wanita-wanita kami  adalah Siti Fathimah r.a. dan yang dimaksud diri-diri kami dalam ayat tersebut yaitu Rasulallah Saw. dan Imam Ali k.w..

Masalah ini dapat dirujuk di antaranya dalam;

(Sahih Muslim; Al-Fadhail, bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, jilid 2 hal.360 cet. Isa Al-Halabi; Syarah An-Nawawi jilid 15 hal. 176 cet.Mesir;  Sahih At- Tirmidzi, jilid 4 hal. 293, hadis ke 3085; jilid 5 hal.301 hadis ke 3808; Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal.150; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1 hal.185 cet. Al-Maimaniyah, jilid 3 hal.97 hadis ke 1608, cet. Darul Ma’arif;  Tafsir Ath-Thabari jilid 3, hal.299, 330, 301, jilid 3 hal.192 cet. Al-Maimaniyah Mesir; Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal.370-371; Tafsir Al-Qurthubi jilid 4 hal. 104; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-kanji Asy-Syafi’i hal. 54, 85, 142 cet. Al-Haidariyah; hal.13, 28, 29, 55, 56 cet. Al-Ghira; Ahkamul Qur’an oleh Ibnu Al-‘Arabi jilid 1 hal. 275 cet.kedua Al-Halabi; jilid 1 hal.115, cet. As-Sa’adah Mesir; Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir, jilid 9 hal. 470). Dan masih banyak lagi lainnya.

 

Kalimat-kalimat hadis tersebut menunjukkan, bahwa  Rasul Saw. telah mengkhususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain sebagai keturunan beliau sendiri, meski pun keduanya adalah putra-putra pasangan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah binti Muhamad Saw.. Adapun, dua orang saudara perempuan Al-Hasan dan Al-Husain yaitu Siti Zainab dan Siti Ummu Kaltsum-radhiyallahuma-anak-anak mereka berdua ini, dikecualikan dari pengelompokan nasab dengan Rasulallah Saw., karena anak-anak dari dua orang putri Siti Fathimah r.a. ini akan bernasab kepada ayahnya (suami dua orang putri Siti Fathimah) masing-masing yang bukan dari keluarga Ahlul-Bait.

 

Ketentuan Rasulallah Saw. itu ditetapkan oleh beliau semasa hidupnya. Itulah, sebabnya kaum salaf (kaum dahulu) dan khalaf (kaum belakangan) memandang anak lelaki seseorang syarifah (wanita dari keturunan Rasulallah Saw.) tidak dapat disebut syarif atau sayid, jika ayahnya bukan dari golongan Ahlul-Bait (keturunan) Rasulallah Saw.. Karena itu, Rasulallah Saw. menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putra Siti Fathimah r.a. dan tidak berlaku bagi anak-anak yang dilahirkan oleh putri-putri Rasulallah Saw. selain Siti Fathimah r.a. Wallahua'lam.

 

Pada masa sekarang, bolehkah keturunan nabi Saw.menerima zakat?

Berikut. kami mengutip pendapat ulama tentang hadis, ‘semua ahlul bait diharamkan menerima sedekah atau zakat’ Memang pada dasarnya–menurut hadis–semua keturunan (ahlul-bait) Rasulallah Saw.(yang lazim disebut sayid atau syarif), diharamkan menerima sedekah atau zakat dalam bentuk apa pun, tetapi, mereka diberi hak untuk memperoleh bagian dari harta ghanimah (pampasan perang) atau dari harta kekayaan umum (baitul mal). Mereka, boleh menerima bagian dari harta warisan atau harta wakaf dengan syarat dalam wasiat atau wakaf tersebut jelas dan tegas menyebutkan hak mereka.  

 

Namun, pada masa sekarang tidak ada lagi ghanimah, tidak ada pula atau jarang sekali dana baitul mal sebagaimana yang dahulu pernah terjadi pada zaman pertumbuhan Islam. Dengan terjadinya perkembangan ini, akibatnya keturunan ahlul bait Rasulallah Saw. yang hidup kekurangan tidak dapat menerima tunjangan yang oleh syariat telah ditetapkan sebagai hak mereka. Dalam keadaan seperti itu, apakah menurut syari’at mereka diperkenankan menerima zakat dari orang-orang kaya untuk meringankan beban penghidupan sehari-hari? 

 

Menurut Imam Syafi’i, dalam keadaan bagaimana pun juga, mereka tidak boleh atau haram menerima sedekah atau zakat. Akan tetapi, menurut Imam Al-Qadhi Abu Said Al-Hurawi, para keturunan ahlul bait yang masuk dalam kategori penerima zakat diperbolehkan menerima sedekah atau zakat asal benar-benar mereka itu tidak mungkin lagi dapat memperoleh haknya dari bagian harta ghanimah (pampasan perang) atau baitul mal.

 

Demikian pula, fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Muhamad bin Muhamad bin Yahya dan Imam Fakruddin Ar-Razi dan dibenarkan juga oleh Abu Syakil. Dalam kitabnya yang berjudul Al-Khadim, Abu Syakil setelah mengutarakan pendapat Ar-Rafi’i mengenai masalah tersebut, ia pun mengemukakan pendapat Imam Al-Ashthakhri, Al-Hurawi dan Ibnu Yahya, yang semuanya memperbolehkan keturunan ahlul bait menerima sedekah atau zakat, jika mereka benar-benar tidak mungkin lagi memperoleh hak-haknya dari harta ghanimah. Abu Hafsh An-Narsami mengatakan, sedekah atau zakat boleh  diberikan kepada orang-orang yang menurut syariat berhak memperoleh bagian dari harta ghanimah.

Dan masih banyak lagi, pendapat para ulama yang semakna, di antaranya Syarif Abul Abbas Al-Fara dalam kitabnya  Mu’tamad at-Tanbih; Ibnu Nahwi dalam kitabnya Al-Ajalah dan lain-lain. Demikianlah, keterangan singkat dari para ulama mengapa sekarang keturunan Rasulallah Saw. mau menerima zakat dan sedekah.

 

Hadis Al-Kisa’

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS Al-Ahzab [33]: 33).

Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan, ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husin.” (Ash-Shawaiq, hal.143). 

Menurut para ulama tafsir, penafsiran atas ayat ini adalah, sebuah hadis yang dikenal di kalangan para ahli hadis dengan sebutan ‘Hadis Al-Kisa’’. Al-Kisa’ artinya ‘selendang’ atau ‘selimut’, karena Nabi Saw. menutupi dirinya beserta empat orang keluarganya.—Imam Ali bin Abi Thalib k.w., Siti Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [r.a.]—yang kemudian didefinisikan sebagai ahlul bait, dengan selimut tersebut. Baik ulama salaf maupun khalaf, menyepakati mengenai kesahihan dan kemutawatiran hadis ini. Nash-nash hadis ini, banyak diriwayatkan oleh berbagai sumber dan oleh banyak perawi dengan teks yang berbeda-beda, tetapi mempunyai makna yang sama.

 

Berikut dikutipkan beberapa teks Hadis Al-Kisa’:

Al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan dari Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib yang berkata, “Ketika Rasulallah Saw. memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulallah Saw. berkata, 'Panggilkan untukku, panggilkan untukku.' Shafiyah bertanya, 'Siapa, ya Rasulallah’? Rasulallah menjawab, 'Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husin’. Maka, mereka pun dihadirkan ke hadapan Rasulallah, lalu Rasulallah Saw. menyelimutkan pakaiannya ke atas mereka, kemudian Rasulallah Saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa, 'Ya Allah, mereka ini lah keluargaku (sampaikanlah shalawat kepada Muhamad dan keluarga Muhamad).' Lalu Allah Swt. menurunkan ayat, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya' (QS Al-Ahzab [33]: 33).” (Mustadrak al-Hakim, III:197–198. Al-Hakim berkata, hadis ini sahih sanadnya). 

 

Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang berkata, “Di rumah saya turun ayat, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya'. Lalu Rasulallah Saw. mengirim Ali, Fathimah, Hasan dan Husin, dan kemudian berkata, 'Mereka inilah Ahlul Baitku' ". (Mustadrak, III: 197-198. Al-Hakim berkata, ‘hadis ini sahih menurut syarat Bukhari’).

 

Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dalam Sahih-nya dari Aisyah r.a., “Rasulallah Saw. pergi keluar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan bergambar). Hasan bin Ali datang, Rasulallah Saw. memasukkannya ke dalam pakaiannya. Lalu  Husin datang,  Rasulallah Saw. memasukannya ke dalam pakaiannya, lalu datang Fathimah, Rasulallah Saw. pun memasukkannya ke dalam pakaiannya, berikutnya Ali juga datang, Rasulallah Saw. memasukkannya ke dalam pakaiannya, kemudian Rasulallah Saw. bersabda, ’Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.’ ” (Sahih Muslim, bab keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.)

Redaksi senada juga dapat ditemukan dalam; (Sunan al-Kubra al-Baihaqi; Sahih Tirmidzi; Musnad Ahmad, jilid 6, hal 292– 323; Tafsir ath-Thabari, jilid 22, hal 5; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal 485; Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 198–199).

 

Imam Muslim dalam Sahih-nya (1V:1883 hadis no.  2424) dari Umar bin Abu Salamah ,anak tiri Rasulallah Saw., sebagaimana dicantumkan dalam At-Tirmidzi (V:663). Redaksinya dari beliau dan lain-lainnya dengan isnad sahih. Dia berkata, “Ayat berikut ini, turun kepada Nabi Muhamad Saw., ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan, dosa dari kamu hai ahlul-bait dan membersihkan sebersih-bersihnya’ (QS Al-Ahzab [33]: 33). Ayat tersebut turun kepada Nabi Muhamad Saw. di rumah Ummu Salamah r.a. Lalu Nabi Muhamad Saw. memanggil Siti Fathimah r.a, Hasan dan Husin. Lalu Rasulallah Saw. menutupi mereka dengan kiswah (baju,kain) sedang Imam Ali k.w. ada dibelakang punggungnya (Nabi).

Beliau Saw. pun menutupinya dengan pakaian (kiswah). Kemudian beliau Saw. bersabda, ‘Allahumma (Ya Allah), mereka itu ahli-baitku, maka hilangkanlah dosa (kekejian dan kekotoran) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’ (bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya). Ummu Salamah r.a. berkata, ‘Dan (apakah) aku beserta mereka wahai Rasulallah’? Beliau Saw. bersabda, ‘Engkau mempunyai tempat tersendiri, dan engkau menuju kepada kebaikan’”.

 

Dalam satu riwayat yang dikatakan, setelah turunnya ayat ini, Nabi Saw. mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu shalat selama sembilan bulan berturut-turut dengan mengatakan: “Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul-Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan mensuci- kan kamu sesuci-sucinya’“. Itu dilakukan oleh Rasulallah Saw. sebanyak lima kali dalam sehari.  (Lihat Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 199.).

 

Riwayat yang dinukil oleh As-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya Ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata; "Dirumahku turun ayat, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Saat itu, di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fathimah, Hasan dan Husin, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, 'Ya Rasulallah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait’? Rasulallah Saw. menjawab; 'Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulallah Saw.'". (Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198)

 

Al-Hakim menyebutkan bahwa Ummu Salamah bertanya, “Ya Rasulallah, saya tidak termasuk Ahlul Bait?” Rasulallah Saw. menjawab, “Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah ahlul baitku. Ya Allah, mereka inilah ahlul baitku yang lebih berhak.” (Mustadrak jilid 2, hal. 416)

Imam Ahmad menyebutkan, “Saya (Ummu Salamah r.a.) mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun, Rasulallah Saw. menarik tangan (tidak memasukkan) saya sambil berkata, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan.’ (Musnad Ahmad, jilid 3, hal.292 - 323).

 

Ada pula riwayat hadis dari Ummu Salamah yang pada waktu terjadinya Hadis Al-Kisa’  beliau bertanya pada Rasulallah Saw., ‘Ya Rasulallah, bukankah aku dari mereka juga?’ Beliau menjawab, ‘Ya, benar’! Tetapi, hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis Al-Kisa’ lainnya , yang lebih kuat dan lebih dipercaya kalimat hadisnya, yang tidak memasukkan Ummu Salamah kedalam selimut tersebut.

Di dalam Sahih Tirmidzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim, Usud al-Ghabah, Tafsir ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan As-Suyuthi disebutkan,  Rasulallah Saw. mendatangi pintu rumah Fathimah selama enam bulan, setiap kali keluar hendak melaksanakan shalat Subuh dengan berseru, “Salat, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’”.

 

Riwayat hadis Al-Kisa’ lainnya yang senada atau semakna, hanya berbeda versinya saja, yaitu:  Hadis dari Zaid, dari Syahr bin Hausyab;  Hadis dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain yang mengatakan, menerima hadis dari Abdus-Salam bin Harb dari Kaltsum Al-Muharibi berasal dari Abu Ammar; Hadis dari Waki’ dari Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dari Fudhail bin Marzuq dari Athiyah dari Abu Said Al-Khudri berasal dari Ummu Salamah ra..; Hadis dari Zarbayi dari Muhamad bin Sirin dari Abu Hurairah dan berasal dari Ummu Salamah r.a.;

Hadis dari Ibnu Marzuq dari Athiyah dari Abu Said berasal dari Ummu Salamah; Hadis dari Hasyim bin Utbah bin Abi Waqash, berasal dari Abdullah bin Wahab bin Zam’ah; Hadis dari Muhamad bin Sulaiman Al-Ashbahani dari Yahya bin Ubaid Al-Makki dari Atha bin Abi Rabbah berasal dari Umar bin Abi Salamah; Hadis dari Bukair bin Asma dari Amir bin Sa’ad berasal dari Sa’ad;   Hadis dari Abdullah bin Abdul Qudus dari Al-A’masy dari Hakim bin Sa’ad berasal dari Ali bin Abi Thalib k.w. Dan masih banyak lagi, hadis Al Kisa’ yang tidak tercantum dalam site ini.

 

Hadis Tsaqalain (dua bekal berat)

Kita hanya sering mendengar hadis Rasulallah Saw. agar kita memegang dua bekal yaitu, Kitabullah wa sunnati, artinya (berpegang) Kitabullah dan Sunnah Rasulallah Saw. atau hadis lainnya yaitu, Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu. Tetapi, jarang sekali dikumandangkan hadis Nabi Saw. agar kita memegang dua bekal, ‘Kitabullah dan Itrah-ku (keturunanku) Ahlu baitku’. Padahal, hadis Kitabullah wa Sunnati menurut para ulama hadis, sanadnya masih diperselisihkan dan bukan termasuk hadis tsaqalain.

 

Syaikh Hasan Ali As-Saqqaf ,seorang ulama dari Jordania, pernah ditanya mengenai hadis Kitabullah wa Sunnati. Beliau menjawab:

“Sebenarnya sanad hadis yang tsabit dan sahih adalah, hadis yang berakhir dengan wa ahli baiti. Adapun, yang berakhir dengan kata wa sunnati itu bathil (salah) dari sisi matan dan sanadnya.

Hadis yang sahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim    (IV:1873 no.2408 cet..Abdulbaqi) dari Zaid bin Arqam r.a., ‘Suatu hari, Rasulallah Saw. pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah di suatu tempat (kebun) kosong di antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu, menasihati dan mengingatkan (umatnya) dengan sabdanya, Amma ba’du (adapun sesudah itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku (yang akan memanggilku kehadhrat-Nya), aku pun (pasti) mengabulkannya. Dan aku (akan) meninggalkan pada kalian dua pusaka.

 

Pertama, Kitabullah (Al-Quran), di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka, ambillah kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh’.  Beliau Saw. memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Quran sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian, beliau Saw. bersabda, ‘Dan (yang kedua) ahli baitku (keluargaku)’. Itulah lafaz atau redaksi dari Imam Muslim. Di antara perawi lainnya meriwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah, Al-Darimi dalam Sunan-nya (II:431-432) dengan isnad sahih, dan ada lagi perawi lainnya yang meriwayatkan seperti redaksi Imam Muslim itu.

 

Adapun, dalam riwayat Imam Tirmidzi terdapat kata-kata wa ithrati ahli-baiti  (dan keturunanku, yaitu ahli baitku). Hadis sahih dalam Sunan Tirmidzi (V:663 no.3788) menyebutkan, Rasulallah Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang  (erat-erat), pasti kalian tidak akan sesat sesudah aku (wafat). Salah satunya, lebih agung daripada yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia merupakan tali yang memanjang dari langit ke bumi. Dan keturunanku (yaitu) ahli-baitku. Kedua-duanya (dua pusaka) tidak akan berpisah sehingga kembali/ bertemu dengan aku di Haudh (telaga di surga). Perhatikanlah, (berhati-hatilah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukn  mereka sepeninggalku’”.

 

Info: Keterangan Syeik Hasan selanjutnya mengenai hadis, ‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu’, dan hadis ‘Kitabullah wa Sunnati’, silahkan baca kajian setelah riwayat hadis tsaqalain berikut ini.

Hadis tsaqalain (dua peninggalan yang berat) banyak dikutip oleh para perawi hadis dan beragam kalimatnya, tapi maknanya sama. Berikut, kami kutip beberapa hadis tsaqalain, yang sebagian telah kami kemukakan:

          يَا اَيُّهَا النَّاسُ اِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا اِنْ اَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أهْلَ بَيْتِي

Wahai manusia, sungguh kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat: ‘Kitabullah dan Ithrati Ahlu baitku’”. Hadis ini, bisa kita rujuk dalam: [Sahih Tirmidzi jilid 5, hal.328, hadis ke 3874 cet. Darul Fikr Beirut, jilid 13 hal.199 cet.Maktabah Ash-Shawi, Mesir, jilid 2 hal.308 cet. Bulaq Mesir; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal.182; Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal.149 ia mengatakan hadis ini sahih; Ad-Durrul Mantsur oleh Jalaluddin As-Suyuthi jilid 6 hal.7; Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami hal.184; Al-Fadhail, oleh Ahmad bin Hanbal hal.28; Tarikh Al-Khulafa oleh As-Suyuthi hal.109; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4 hal.113, cet.Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, Mesir.; Tafsir Al-Khazin jilid 1 hal.4, cet.Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, Mesir; Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i jilid 2 hal.12.]

 

Rasulallah Saw.bersabda:

     إنَّي تَارِكٌ فِيْكُمْ خَلِيْفَتَيْنِ : كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضِ وَعِتْرَتِي أهْلُ بَيْتِي وَإنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ 

“Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan, Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku Ahlul Baitku. Sesungguhnya, kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (telaga di surga)”. (Imam Ahmad bin Hanbal dari hadis Zaid bin Tsabit dan Sahih Bukhari-Muslim. Yang pertama, pada hal.182 dan yang kedua pada akhir hal.189 jilid V. Diriwayatkan juga oleh Abu Syaibah, Abu Ya’la dan Ibnu Sa’ad; Kanzul Ummal jilid 1, hal. 47 hadis no.945).

 

Hadis dengan makna serupa berbeda versi redaksinya dijumpai juga dalam Ad-Durrul Mantsur oleh As-Suyuthi Asy-Sayfi’i jilid 2, hal.60; Yanabiul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi hal.38 dan 183, cet.Istanbul, cet.Al-Haidariyah hal.42 dan 217; Majma’uz Zawaid oleh Al-Haitsmi jilid 9, hal.162; Abaqat Al-Anwar jilid 1, hal.16 cet.pertama Ishfahan; Al-jami As-Shaqhir oleh As-Suyuthi jilid 1, hal.353 cet. Mesir; Al-Fathul Kabir oleh An-Nabhani, jilid 1 hal. 451.]

 

Rasulallah Saw. bersabda,

 إنَّي اُوْشَكُ اَنْ اُدْعَى فَاُجِيْبَ وَإنَّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعِتْرَتِي كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مِنَ السَّمَاءِ اِلَى الاَرْضِ وَعِتْرَتِي أهْلُ بَيْتِي وَإنَّ اللَّطِيْفَ الْخَبِيْرَ اَخْبَرَنِي اَنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوْا كَيْفَ تَخْلُفُوْنِي فِيْهِمَا

"Bahwasanya aku merasa hampir dipanggil, dan aku akan memenuhi panggilan itu. Sesungguhnya, aku tinggalkan kepada kamu dua pusaka (dua bekal [tsaqalain]) yang berharga (berat), Kitabullah Azza wa jalla dan Ithrahku (keturunanku). Kitabullah, adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan Itrahku ialah, Ahlu baitku. Sesungguhnya, Yang Maha Halus dan Maha Mengetahui (Allah Swt.) memberitakan kepadaku, keduanya tidak akan terpisahkan, sehingga keduanya kembali kepadaku di Haudh, perhatikan bagaimana kalian mempertentangkan aku terhadap keduanya”. (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 111 hal. 17-18).                          

Hadis yang serupa di atas, bisa kita rujuk juga dalam: (Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal.148, cet. Al-Muhamadiyah, di sini disebutkan ‘Lam Yaftariqa’ yang benar ‘Lan Yaftariqa’ ,sebagaimana yang terdapat pada cet. pertama hal.89, cet. Al-Maimaniyah Mesir; As-Sirah An-Nabawiyyah oleh Zaini Dahlan (catatan pinggir As-Sirah Al-Halabiyah jilid 3, hal.331 cet.Al-Bahiyah, Mesir; Al-Mu’jam Asy-Syaqir oleh Ath-Thabrani jilid 1, hal.131 cet.Dar An-Nashr, Mesir; Maqtal Al-Husain, oleh Al-Khawarizmi jilid 1, hal.104, cet.Mathba’ah Az-Zahra; Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir jilid 1, hal.187, cet. As-Sunnah Al-Muhamadiyah.)

 

Rasulallah Saw.bersabda,

      إنَّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابُ اللهِ وَاَهْلُ بَيْتِي وَإنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ          

“Kutinggalkan kepada kalian dua bekal (tsaqalain), ‘Kitabullah dan ahlu baitku’. Sesungguhnya, kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di haudh”.(Al-Hakim dalam Al-Mustadrak jilid,111 hal.148. Dikatakan olehnya, hadis ini mempunyai kebenaran  isnad yang diakui oleh Bukhari dan Muslim, tetapi tidak diriwayatkan oleh dua orang Imam ini. Diriwayatkan juga oleh Ad-Dzhahabi dalam Talkhishul Mustadrak, dinyatakan kebenarannya oleh Bukhari dan Muslim).

 

Hadis Rasulallah Saw. dari Zaid bin Arqam r.a., “Pada suatu hari Rasulallah Saw. berdiri sedang menyampaikan khutbahnya di hadapan kami disuatu telaga air bernama Khom, yang terletak antara Makkah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan memuji kepada Allah, memberi peringatan dan nasihat, lalu eliau Saw. bersabda, ‘Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah seorang basyar (manusia) dan tidak lama lagi aku akan menyahut seruan tuhanku (wafat), maka aku tinggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara yang berat (tsqalain): Pertama Kitabullah Ta’ala yang di dalamnya mengandung petunjuk dan cahaya, ambillah kitab Allah itu dan berpeganglah padanya, dan Ahli Baitku’. ‘Aku peringatkan kamu terhadap Ahli Baitku’. (kalimat terakhir ini diulangi oleh beliau Saw. tiga kali).

 

Husin bertanya (pada Zaid ini), ‘Siapakah Ahli Bait baginda wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau adalah Ahli Baitnya?’ Zaid menjawab, ‘Sesungguhnya istri-istri beliau Saw. bukanlah daripada Ahlil Baitnya, (yang tercantum dalam pidato beliau ini) akan tetapi, Ahli Bait beliau Saw. adalah orang-orang yang diharamkan pada mereka menerima sedekah selepas kewafatan beliau Saw.’. Ia bertanya lagi; ‘Siapakah mereka itu?’ Jawabnya: ‘Mereka itu adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Jakfar dan keluarga Al-Abbas [r.a.]’. Tanyanya lagi, ‘Apakah semua mereka itu diharamkan padanya sedekah?’ Jawabnya: ‘Ya’ ”. (HR. Muslim, Ahmad bin Hanbal,Tirmidzi dan Nasa’i).

 

Dengan demikian, jelaslah bahwa hadis  “Kamu harus berpegang teguh kepada Kitabullah wa Itrati (Kitab Allah dan Ahlul Bait)” adalah hadis sahih dan tsabit (kokoh). Ia, terdapat dalam Sahih Muslim dan kitab hadis sahih lainnya. Tidak kurang dari 23 sahabat yang meriwayatkan hadis ini, antara lain: 1. Zaid bin Arqam. 2. Abu Said al-Khudri. 3. Jabir bin Abdullah. 4. Hudzaifah bin Usaid. 5. Khuzaimah bin Tsabit. 6. Zaid bin Tsabit. 7. Suhail bin Sa'ad. 8. Dhumair bin al-Asadi, 9. Amir bin Abi Laila (al-Ghifari). 10. Abdurrahman bin Auf. 11. Abdullah bin Abbas. 12. Abdullah bin Umar. 13. Uday bin Hatim. 14. Uqbah bin Amir. 15. Ali bin Abi Thalib. 16. Abu Dzar al-Ghifari. 17. Abu Rafi'. 18. Abu Syarih al-Khazai. 19. Abu Qamah al-Anshari. 20. Abu Hurairah. 21. Abu Hatsim bin Taihan. 22. Ummu Salamah. 23. Ummu Hani binti Abi Thalib.  

 

Dari kalangan Tabi‘in yang meriwayatkan hadis “Kamu harus berpegang teguh kepada Kitabullah wa Itrati  (Kitab Allah dan Ahlul Bait)”, antara lain: 1.Abu Thufail Amir bin Watsilah. 2. Athiyyah bin Said al-Ufi. 3. Huns bin Mu'tamar. 4. Harits al-Hamadani. 5. Hubaib bin Abi Tsabit. 6. Ali bin Rabiah. 7. Qashim bin Hisan. 8. Hushain bin Sabrah. 9. 'Amr bin Muslim. 10. Abu Dhuha Muslim bin Shubaih. 11. Yahya bin Ju'dah. 12. Ashbagh bin Nabatah. 13. Abdullah bin Abirafi. 14. Muthalib bin Abdullah bin Hanthab. 15. Abdurrahman bin Abi Said. 16. Umar bin Ali bin Abi Thalib. 17. Fathimah binti Ali bin Abi Thalib. 18. Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. 19. Ali Zainal Abidin bin Husain.

 

Membantah syubhat lafazh ‘Bihi’ dalam kalimat hadis tsaqalain 

Diantara golongan pengingkar, yang mengingkari lafazbihi’, dalam kalimat hadis tsaqalain adalah Efendi, kemudian diikuti oleh para muqallidnya di forum-forum diskusi (baik yang berbahasa Arab atau Ingris). Syubhat ini, dilontarkan oleh orang yang menyebut dirinya Abul-Jauza’. Dalam salah satu artikel yang di ikuti dan disalin oleh para muqallidnya, sebuah hadis, “Telah menceritakan kepada kami Yahya, menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah  dari Abi Dhuha, dari Zaid bin Arqam yang berkata, Nabi Saw. bersabda, ‘Aku tinggalkan untuk kalian, apabila kalian berpegang-teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat, Kitab Allah azza wa jalla dan itrahku ahlul baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudh (Ma’rifat wal Tarikh Al-Fasawi 1/536)

 

Mereka mengatakan, lafazh ‘bihi’ (dengannya) pada ma in tamassaktum bihi (apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya), hanya merujuk pada Kitab Allah saja, karena kalau merujuk pada keduanya (kitab Allah dan ahlul bait) maka lafaz yang dipakai adalah ‘bihima’ (dengan keduanya).

Intinya, mereka mau menyimpangkan hadis tsaqalain, agar bermakna berpegang teguh kepada kitab Allah saja dan tidak kepada ahlul bait. Pendapat mereka ini, jelas  berlawanan dengan pendapat para pakar hadis, yang menyebutkan hadis tsaqalain (dua bekal berat) berlaku untuk kedua-duanya, Kitabullah dan ithrah Rasulallah Saw.

 

Sesungguhnya kata bihi [dengannya] merujuk pada kata ‘maa’ [apa], yakni sesuatu yang harus dipegang teguh. Jadi “nya” disitu kembali pada sesuatu. Sesuatu ini, jumlahnya bisa berapa saja tergantung lafaz selanjutnya.

Dalam hadis tsaqalain jelas disebutkan, sesuatu yang harus dipegang teguh itu ada dua, Kitab Allah dan itrah ahlul bait Rasulallah Saw.. Penggunaan lafaz seperti ini, adalah sesuatu yang dikenal dalam bahasa Arab, dan diriwayatkan oleh para pakar hadis. Mereka, yang mempermasalahkannya, hanya akan menunjukkan kelemahannya dalam berhujjah dan kurang memahami bahasa Arab. Silahkan perhatikan hadis berikut ini:

 

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayub, Qutaibah, dan Ibnu Hujr, semuanya dari Ismail bin Jakfar. Ibnu Ayub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail yang berkata telah mengabarkan kepadaku Al-Alaa’ dari ayahnya dari Abu Hurairah, Rasulallah Saw. bersabda, ‘Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan dengannya Allah mengangkat derajat’? Mereka berkata, ‘Tentu wahai Rasulallah’. Beliau Saw. bersabda, ‘Menyempurnakan wudu di saat kesukaran, banyak berjalan menuju masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat, itulah ribath’. (HR. Muslim 1/219 no. 251)

 

Perhatikan, dalam hadis diatas disebutkan, “ma yamhullahu bihi khathaya” dan “wa yarfa’u bihi darajat”. Lafazh ‘bihi’ ini, kembali pada “ma” atau sesuatu yang disifati oleh Rasulallah Saw., dengannya bisa menghapus kesalahan dan mengangkat derajat. Sesuatu itu, ternyata tidak tunggal atau satu, melainkan ada tiga hal yaitu,

1.Menyempurnakan wudu’ saat keadaan sukar

2.Banyak berjalan menuju masjid

3.Menunggu shalat berikutnya setelah shalat.

 

Tiga hal inilah yang dimaksud oleh Rasulallah Saw. dengan lafaz bihi. Lafazh ini, berlaku untuk ketiga hal itu. Karenanya itu, Allah Swt. akan menghapus kesalahan dan mengangkat derajat. Hadis Sahih Muslim di atas, jelas membantah syubhat Wahabi/ Salafi dalam mendistorsi hadis tsaqalain.

 

Penggunaan lafaz ‘bihi’ seperti dalam hadis tsaqalain, banyak ditemukan dalam Al-Quran, yaitu merujuk pada sesuatu yang ternyata sesuatu itu adalah objek yang jamak, sehingga yang dimaksud ‘nya’ itu berlaku pada masing-masing objek yang disebutkan. Firman Allah Swt:  

قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ َيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ             النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ                                                  

“Katakanlah [hai orang-orang mukmin], kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya`. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan [dengan kamu]. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 136-137)

 

Perhatikan lafaz “ma amantum bihi” (apa yang kamu telah beriman kepadanya). Lafaz ‘bihi’ kembali pada kata “ma” dimana dalam ayat sebelumnya apa yang di-imani itu adalah, beriman kepada Allah Swt., beriman kepada apa yang di turunkan kepada kami dan beriman kepada apa yang diturunkan pada Nabi-Nabi sebelum kami.

 

Firman Allah Swt.,

وَلاَ تَتَّخِذُوَاْ آيَاتِ اللّهِ هُزُواً وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ  

“Janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa yang telah Allah turunkan kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dengannya [apa yang di turunkan kepada kamu]. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 231)

 

Perhatikan lafaz ‘ya’izhukum bihi’ yaitu ‘memberikan pengajaran kepadamu dengannya’. Lafaz ‘bihi’ atau ‘dengannya’ itu merujuk pada ‘ma anzala ‘alaikum’ yaitu apa yang diturunkan Allah Swt kepadamu dan disebutkan bahwa itu adalah Al-Kitab dan Al-Hikmah.

Masih ada contoh lain, tetapi keterangan di atas cukup sebagai hujjah bagi mereka yang tunduk kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Sangat mengherankan, jika seorang yang punya ilmu seperti Efendi dan Abul-Jauza’ berhujjah dengan cara seperti itu. Jika kurang memahami masalah ini, sebaiknya memperdalam. Namun, jika berpura-pura bodoh, itu akan sangat berbahaya karena telah sengaja memelintir hadis Nabi Saw. dan membodohi orang lain (setidaknya dikalangan pengikutknya).  Wallahua’lam.

 

Keterangan hadis Kitabullah wa Sunnati 

Adapun, hadis yang memuat kalimat ‘wa sunnati’ (dan sunnahku), Syaikh Saqqaf melanjutkan, tidak meragukan ke-maudhu’-annya, karena kelemahan sanadnya dan faktor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya. Berikut ini isnad dan matan hadis tersebut:

Imam Al-Hakim meriwayatkan hadis (Kitabullah wa sunnah Rasulallah) ini, dalam kitab Al-Mustadrak (I:93) dengan isnadnya dari jalan Ibnu Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daili, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang di antara isinya sebagai berikut, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhamad Saw.) telah meninggalkan pada kamu, apa yang jika kamu pegang teguh, pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya…..”.

 

Dalam sanad hadis itu, terdapat Ibnu Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafiz Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (III:127), mengenai biografi Ibnu Abi Uwais,  mengutip perkataan orang yang mencelanya, “Berkata Muawiyah bin Saleh dari Yahya bin Muin, Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dhaif (lemah), dan dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadis (Mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadis)’”. Menurut Abu Hatim, “Dari segi kejujuran (mahalluhu as-shidq), Ibnu Abu Uwais terbukti lengah (mughaffa)”.  Imam Nasai menilai, “Dia dhaif/lemah, dan tidak tsiqah”. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alkai, “Imam Nasa’i sangat jelek menilai  Ibnu Abi Uwais sampai kederajat matruk (ditinggalkan orang)”. Menurut komentar Abu Ahmad bin Adi, “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya ,Malik, beberapa hadis gharib, yang tidak diikuti oleh seorangpun (dari periwayat lain, tidak ada mutaba’ah-nya)”.

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam muqadimah Fathul Bari hal.391, Dar Al-Ma’rifah, berkomentar, mengenai Ibnu Abi Uwais, “Atas dasar hadis tersebut, dia tidak dapat dipakai hujjah/dalil, selain yang terdapat dalam As-Sahih, karena celaan dari  Imam Nasai  dan lain-lainnya”.  Al-Hafizh Sayid Ahmad bin As-Shiddiq dalam Fath Al-Mulk Al-Ali hal.15 mengatakan, “Berkata Salamah bin Syabib, saya pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan ‘Mungkin saya (Ismail bin Abi Uwais) membuat hadis (adha’u al-hadis) untuk penduduk Madinah, jika diantara mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu’ ”.

Jadi, Ibnu Abi Uwais dituduh suka membuat hadis (maudhu’) dan Ibnu Muin menilainya sebagai pembohong. Dan hadisnya, yang mengandung kalimat…wa sunnati tidak terdapat dalam salah satu dari Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim)!

 

Al-Hakim sendiri telah mengakui hadis tersebut dha’if, sehingga dia tidak mensahihkan. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut, akan tetapi, tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadis tersebut.

Al-Hakim (I:93) berkata, “Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut, dari hadis Abu Hurairah r.a., kemudian diriwayatkan dengan sanadnya melalui Ad-Dzahabi, Tsana (telah meriwayatkan kepada kami), Saleh bin Musa At-Thalhi dari Abdul Aziz bin Rafi dari Abu Saleh dari Abu Hurairah r.a. secara marfu’ Rasulallah Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan pada kamu sekalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat setelah keduanya. Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya, tidak akan berpisah sehingga keduanya kembali (bertemu) kepadaku di Haudh.’”

 

Menurut saya (syeikh Saqqaf), hadis ini juga maudhu’ (dibuat-buat). Di sini, yang dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Saleh bin Musa At-Thalhi. Berikut ini, penilaian para imam pakar hadis yang mencela Saleh bin Musa Ath-Thalhi:

Dalam Tahdzib Al-Kamal XIII: 96, ‘Berkata Yahya bin Muin, Laisa bi-syai’in (riwayat hadis tersebut tidak ada apa-apanya)’. Abu Hatim Ar-Razi berkata, ‘Dha’if Al-Hadis (Hadis itu lemah)’. Dia sangat mengingkari hadis dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah.

Menurut penilaian Imam Nasai, hadisnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan lain Imam Nasai berkata: ‘Dia itu matruk al-hadis (hadisnya ditinggalkan)’. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam Tahdzib At-Tahdzib IV:355 menyebutkan, “Ibnu Hibban berkata, Saleh bin Musa meriwayatkan dari Tsiqat, apa yang tidak menyerupai hadis itsbat (yang kuat), (orang) yang mendengarkan  bersaksi, riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau makbulah (diterima), akan tetapi, tidak dapat di pakai untuk ber-hujjah. Abu Nu’aim berkata, ‘Dia itu matruk al-hadis sering meriwayatkan (hadis-hadis) munkar’ “.

 

Al-Hafizh dalam At-Taqrib juga menghukuminya sebagai rawi matruk (perawi yang harus ditinggal- kan). (Tarjamah : 2891).

Demikian pula Ad-Dzahabi dalam Al-Kasyif : 2412 yang menyebutkan, dia wahin (lemah). Menurut Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan II:302, hadis Saleh bin Musa tersebut, termasuk dari kemungkaran yang dilakukannya.

Al-Hafizh Ibnu Abdilbar, dalam At-Tamhid XXIV: 331 menyebutkan, sanad ketiga mengenai hadis dhaif tersebut, “Dan telah meriwayatkan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dari Ahmad bin Said, dari Muhamad bin Ibrahim Al-Daibali, dari Ali bin Zaid Al-Faraidhi, dari Al-Hanini dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf, dari ayahnya, dari kakeknya (mengenai hadis kitabullah wa sunnati).”

 

Terdapat dalam sanad hadis tersebut, Katsir bin Abdullah, Imam Syafi’i berkata, “Dia (Katsir bin Abdullah), salah satu punggung kebohongan”. Adapun,, menurut Abu Dawud, “Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu pembohong”. Ibnu Hibban berkata, “Dia (Katsir bin Abdullah) meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (teks) yang maudhu’, yang tidak halal atau tidak pantes, dicantumkan dalam berbagai kitab, dan tidak perlu diriwayatkan, kecuali untuk ta’ajjub (aneh karena keberaniannya, dalam berbohong).

 

Imam Nasai dan Al-Daraquthni berkata, “Dia (Katsir bin Abdullah) matruk al-hadis (hadisnya ditinggalkan orang)”. Imam Ahmad berkata, “Dia itu pengingkar hadis, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa”. Demikian pula, menurut penilaian Yahya bin Muin, “Dia (Katsir bin Abdullah) tidak (bukan) apa -apa (tidak berarti)”.

 

Imam Malik menyebutkan hadis tersebut dalam Al Muwatha’ (I:899,no.3), tanpa menyebutkan sanad.  Akan tetapi, hal ini bukan suatu soal, karena mengenai kelemahannya hadis itu sangat jelas.

Menurut pendapat Mutanaqidh (penentang) [yang dimaksud, syeikh Al-Albani—pen.] dalam Dha’i-faitih IV:361, hadis sahih dan tsabit yang menyebutkan wa itrati ahli baiti (dan keturunanku, ahli baitku), sebagai syahid (saksi) atas (kebenaran dan kesahihan) hadis yang menyebut,  wa sunnati (dan sunnahku). Yang demikian itu, menurut Syeikh Saqqaf, termasuk layak untuk ditertawakan. Hanya Allah, yang memberi hidayah kepada kita semua. 

Selanjutnya Syeikh Saqqaf mengatakan, sabda Rasulallah Saw., itrati ahli baiti, adalah isteri-isterinya, keturunannya (dzurriyah) dan yang paling terkemuka, Siti Fathimah, Sayidina Ali semoga Allah memuliakannya di surga, Sayidina Hasan dan Sayidina Husin dan semoga mereka mendapat keridhaan-Nya.

 

Keterangan mengenai hadis,Berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin’

Selanjutnya, Syeikh Seggaf berkata: Adapun, hadis: “Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin…,” terdapat dalam Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibnu Majah. Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya.

Dalam riwayat Tirmidzi: Hadis ini berasal dari Bughyah bin Walid. Para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tentang Bughyah bin Walid sebagai berikut:

Ibnu Jauzi berkata, “Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul dan orang-orang lemah. Mungkin saja, dia tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya.” (Al-Mawdhu'at,I:109).

 

Ibnu Hiban berkata,  “Tidak bisa berhujjah (berdalil) dengan Bughyah.” “Bughyah seorang penipu. Dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah, dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataannya dan membuang orang-orang yang lemah dari mereka”. (Al-Mawdhu'at, I:151, 218).

Abu Ishaq al-Jaujazani berkata, "Semoga Allah merahmati Bughyah, dia tidak peduli jika dia menemukan khurafat pada orang tempat dia mengambil hadis”. (Khulashah Abagat al-Anwar, II: 350).

 

Dalam riwayat Abu Dawud: Walid bin Muslim meriwayatkan hadis dari Tsaur an-Nashibi. Ad-Dzahabi berkata, “Abu Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu  dan mungkin dia telah menyembunyikan cacat para pendusta” (Mizan al-I'tidal, IV: 347). Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Ayah saya ditanya tentangnya (tentang Walid ini), dia menjawab, ‘Dia seorang yang suka mengangkat-angkat’”. (Tahdzib at-Tahdzib, XI:145).

 

Dalam riwayat Ibnu Majah: Pada sanad hadis terdapat Abdullah bin Ala. Ad-Dzahabi berkata tentangnya, “Ibnu Hazm berkata, 'Yahya dan yang lainnya telah mendaifkannya/ melemahkannya.’” (Mizan al-I'tidal, jld. 2, hal.343). Dia, telah meriwayatkan hadis dari Yahya, dan Yahya adalah seorang yang majhul dalam pandangan Ibnu Qaththan (Tahdzib at-Tahdzib, jilid.1, hal.280). Hadis ini, juga diriwayatkan dari Tsaur—seorang nashibi—Abdul Malik bin Shabbah. Di dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan, "Dia dituduh mencuri hadis." (Tahdzib at-Tahdzib, jilid. 2, hal. 656). Begitu juga, hadis tersebut sebagai hadis ahad/ tunggal. Seluruh riwayatnya kembali kepada seorang sahabat, Urbadh bin Sariyah. Hadis ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah/dalil.

 

Oleh karena itu, para ahli hadis sepakat, (dua) hadis dengan kalimat, ‘berpegang teguh sunnahku’ dan ‘sunnah khulafa Rasyidin’, merupakan hadis dhaif. Hadis ini, tidak bisa dijadikan dalil/hujjah.

 

Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan, hadis “Kamu harus berpegang teguh kepada Kitabullah wa Sunnati (Kitab Allah dan Sunnahku)” dan hadis yang memuat  kalimat,  “Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin…”, bukan termasuk hadis tsaqalain. Dari penjelasan tadi, Syeikh Saqqaf menganjurkan pula kepada para khatib, imam dan muballigh agar tidak segan-segan untuk mengungkapkan wasiat Rasulallah Saw. dalam hadis sahih ,'Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa ahli baiti’, tersebut. Demikianlah keterangan dari Syaikh Saqqaf. Wallahua’lam.

 

Kita umat muslimin terutama para ulama, para ahli fiqih dan para imam, justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban memperhatikan wasiat Nabi Saw. Tidak diragukan diantara para hadirin saat itu—yang mendengarkan khotbah Rasulallah Saw., mengenai hadis tsaqaain—, pasti terdapat orang-orang yang sudah lebih mendalam ilmu pengetahuannya tentang Fiqih dibandingkan dengan kebanyakan anggota ahlul-bait dan anak-anak mereka.  Apakah ,saat itu, diantara ribuan para hadirin tidak faham yang dimaksud ‘itrah’, ‘ahlul bait’ itu ialah ‘keluarga keturunan Rasulallah Saw. dan bukan orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah dengan beliau Saw.?  Apakah saat itu beliau Saw. berwasiat bahwa ahlul bait beliau Saw. adalah: Abu Bakar As-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Abdullah bin Salam [r.a.h.] atau para sahabat lainnya, baik yang berasal dari kaum Muhajirin maupun kaum Anshor? Sudah tentu khotbah wasiat Rasulallah Saw. itu cukup jelas dimengerti oleh para hadirin bahwa arti ‘itrah’ atau ‘ahlul-bait’ Rasulallah Saw. tidak bisa diartikan kecuali keluarga Rasulallah Saw. dan keturunan beliau Saw.!

Kita sering bertanya-tanya, Ada gerangan apakah sebagian ulama tidak mau menerangkan atau mengumandangkan dalam pidatonya atau ceramahnya hadis tqalain ini?, padahal kita semua dianjurkan untuk menerangkan semua firman Allah Swt. dan Sunnah Rasul-Nya dan tidak boleh menyembunyikannya !   

 

Hadis Safinah (perahu)

Selain hadis-hadis di atas, ada juga riwayat mengenai kemuliaan ahlul bait, yang dikenal dengan hadis safinah  (perahu). Rasulallah Saw. bersabda;

      اَلاَ إِنَّ مَثَلَ أَهْلَ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجًا, وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ                                                       

Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan ahlu baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam.” Hadis ini, bisa kita temukan di dalam: [Al-Mustaddrak Al-Hakim jilid 3, hal.151; Nizham Durar As-Samthin oleh Az-Zarnadi al-Hanafi hal.235; As-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar hal.184 dan 234, cet. Al-Muhamadiyah, Mesir, hal. 111 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, Mesir; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 30 dan 370 cet.Al-Haidariyah, hal. 27 dan 308 cet.Istanbul; Tarikh al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i;  Is’afur Raghibin oleh As-Shabban Asy Syafi’i hal.109 cet.As-Sa’idiyah, hal.103 cet. Al-Usmaniyah; Faraid As-Samthin jilid 2 hal. 246 hadis ke 519].

 

Sabda beliau Saw:

إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجًا, وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ وَ إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ مَثَلُ بَابِ حِطَّةٍ فِيْ بَنِى إِسْرَائِيْلَ منْ دَخَلَهُ غُفِرَ لَهُ.

"Sungguh perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian, seperti bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya selamat, dan siapa yang tertinggal akan tenggelam. Dan, perumpamaan Ahlu-Baitku bagi kalian seperti pintu Hith-thah Bani Israil, siapa yang memasukinya ia akan diampuni”.

 

Hadis ini, bisa kita jumpai  dalam: [Al-Mu’jam As-Shaqir oleh Ath Thabrani jilid 2, hal.22; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.378, cet.Al-Haidariyah, hal. 234, cet. Al-Ghira; Majma’uz Zawaid oleh Al-Haitsami Asy-Syafi’i jilid 9, hal.168; Ihyaul Mayat oleh As-Suyuthi (catatan pinggir); Al-Ittihaf oleh Syibrawi hal.113; As-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal.91 cet.Al-Maimaniyah, hal.150 cet. Al-Muhamadiyah Mesir; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.28, 298, cet. Istanbul, hal. 30, 358, cet. Al-Haidariyah]. 

 

Makna perumpamaan Ahlul Bait sebagai pintu pengampunan, Allah Swt. telah menjadikan pintu itu sebagai perwujudan sikap merendahkan diri terhadap keagungan-Nya. Sikap seperti ini, akan menyebabkan datangnya maghfirah atau ampunan-Nya. Demikian pula, bila umat ini dengan segala keikhlasan, mau mengikuti petunjuk penerus Nabi Saw. yaitu para Imam dan Ulama dari kalangan keturunan Rasulallah Saw. merupakan perwujudan sikap patuh serta tunduk pada kehendak Allah Swt.

 

Sabda Rasulallah Saw. yang lain,

 اَلنُّجُوْمُ أَمَانٌ ِلأَهْلِ الأَرْضِ مِنَ الْغَرَقِ وَ أَهْلُ بَيْتِي أَمَانٌ ِلأُمَّتِي مِنَ أَ لإِخْتِلاَفِ (فِي الدِّيْنِ) فَإِذَا خَالَفَتْهَا قَبِيْلَةٌ مِنَ الْعَرَبِ (يَعْنِىْ فِي أَحْكَامِ اللهِ تَعَالَى إِخْتَلَفُوْا فَصَارُوْا حِزْبَ إِبْلِيْس

“Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (di dasar laut), dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi umatku dari perselisihan (masalah hukum hukum Allah Swt.). Apabila, ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku, mereka akan berselisih, kemudian akan menjadi kelompok iblis”. (HR.Al-Hakim dan dibenarkan oleh Bukhari dan Muslim).

 

Hadis ini, bisa kita rujuk didalam; [As-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar hal.91 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, hal.150 dan 234 cet. Al-Muhamadiyah; Muntakhab Kanzul Ummal (catatan pinggir), Musnad Ahmad jilid 5 hal.93; Jawahirul Bihar oleh An-Nabhani jilid 1, hal. 361 cet. Al-Halabi Mesir dan lain-lainnya].

 

Sanggahan Imam Tirmidzi mengenai hadis Safinah

Hadis yang menyatakan, ‘ahlul baitku adalah keselamatan bagi umatku’, mengundang perhatian beberapa ulama. Salah satunya adalah,  Imam Tirmidzi. Dalam kitabnya Nawadirul-Ushul, Imam Tirmidzi menerangkan:

Ahlul-bait Rasulallah Saw. yang dimaksud dalam hadis tersebut, “Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah Saw. setelah beliau wafat. Mereka, adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. dengan ucapannya, ‘Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di Syam. Mereka, berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka, Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka, Allah memenangkan mereka atas musuh musuhnya, dan karena kekeramatan mereka, Allah menyelematkn  penghuni bumi dari mala-petaka..”

 

Mereka itulah, ahlul-bait Rasulallah Saw. yang menjadi sebab keselamatan umat ini. Bila, mereka itu lenyap, rusaklah bumi ini dan hancurlah dunia. Selanjutnya Imam Tirmidzi mengatakan:

Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa didasarkan pada makna hadis yang berbunyi, “Manakala ahlulbaitku lenyap, datanglah kepada umatku apa (bencana) yang dijanjikan”. Bagaimana dapat dibayangkan, kalau Ahlul Bait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorangpun dari umat Muhamad Saw. yang masih tinggal? Jumlah umat Muhamad, jauh lebih banyak daripada Ahlul Bait yang dapat dihitung, dan Allah Swt. senantiasa melindungi mereka (umat Muhamad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai Ahlul Bait, juga tidak dapat di dasarkan pada hadis yang berbunyi, ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.

 

Menurut hadis tersebut, Ahlul Bait Rasulallah Saw. ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib. Akan tetapi, mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan umat Islam, sehingga orang boleh berkata, “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini!” Dikalangan mereka pun, terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat pada golongan lain. Di antara mereka ada yang baik (muhsin), dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu, bagaimana dapat dikatakan, mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah, yang dimaksud (ucapan) Rasulallah Saw. ialah: orang-orang yang karena mereka itu, dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…

 

Imam Tirmidzi melanjutkan:

Kalau ada yang mengatakan, kemuliaan Ahlul Bait dan dekatnya hubungan mereka dengan Rasulallah Saw. itu, yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawab, “Kehormatan dan kemuliaan Rasulallah Saw. jauh lebih agung!”  Di bumi ini, ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung dibandingkan dengan keturunan Rasulallah Saw. yaitu Kitabullah (Al-Quran), walau tidak disebut dalam hadis di atas tadi. Selain itu, kehormatan dan kemuliaan ada juga pada para ahli takwa.   

 

Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah Saw. adalah berkat kenabian dan kemuliaan yang dilimpahkan Allah Swt. kepada beliau. Sebagai dalil mengenai hal itu, dapat dikemukakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Pada suatu hari Rasulallah Saw. mendatangi (Siti) Fathimah. Di tempat kediaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyah (bibi Rasulallah Saw). Beliau Saw. kemudian bersabda,

“Hai Bani Abdu Manaf, Hai Bani Abdul Mutthalib, Hai Fathimah binti Muhamad, Hai Shafiyah bibi Rasulallah. Di hadirat Allah, aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat, mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian denganku, di saat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan, lalu, kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan di leher kalian.

Kemudian memanggil-manggil , ‘Hai Muhamad’, aku menjawab dengan memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi, ‘Hai Muhamad’. Aku pun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata, ‘Hai Muhamad, Aku ini si Fulan bin Fulan’. Aku menjawab, ‘Tentang nasab kalian, aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andalkan) antara aku dan kalian’. ‘Di antara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku, bukanlah mereka yang berkata, ayahku si Fulan’, tetapi, di antara kalian yang memperoleh perlindunganku, ialah mereka yang bertakwa siapapun mereka itu dan bagaimanapun keadaan mereka’”.

 

Jawaban para ulama terhadap pendapat imam Tirmidzi

Penafsiran Imam Tirmidzi mengenai hadis di atas, mendapat tanggapan dari para ulama yang lain, di antaranya: Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya As-Syaraful Muabbad li Ali Muhamad, Ibnu Taimiyah dalam Al-Aqidatul-Washiyah dan lainnya. Dalam kitab As-Syaraful Muabbad li Ali Muhamad, Yusuf bin Ismail An-Nabhani menuturkan:

{“Sementara jamaah ahli hadis meriwayatkan sebuah hadis (hadis safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi Saw. bahwasanya Rasulallah Saw. bersabda, ‘Ahlu baitku di tengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan,…ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan , .... ia digiring ke neraka)’.

 

Abu Dzar Al-Ghifari berkata, Aku mendengar Rasulallah Saw.bersabda, Jadikan lah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh, dan seperti ke dudukan dua mata bagi kepala’.  

Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang dibenarkan oleh Bukhari dan Muslim, ‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (di dasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi umatku dari perselisihan. Apabila, ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih, kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.

 

Hadis yang lain dikemukakan pula oleh jamaah ahli hadis, ‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit, dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi umatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa), maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Quran akan tiba (yaitu bencana)’. Hadis seperti itu, diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bin Hanbal: ’Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apabila ahlul- baitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.

 

Setelah mengemukakan hadis-hadis tersebut diatas, al-Nabhani kemudian mengatakan;

Bagaimanapun juga, Ahlul Bait Rasulallah dan keturunan beliau Saw. dipermukaan bumi ini, merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan umat manusia, dan pada khususnya merupakan syarat keselamatan umat Muhamad Saw. dari azab/siksa neraka. Yang dimaksud oleh hadis itu, bukan hanya khusus anggota keluarga yang saleh saja. Sebab ciri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau Saw. sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka.  

 

An-Nabhani menunjuk pernyataan As-Shabban di kitab is’afur Raghibin mengatakan, bahwa pengertian tersebut dari isyarat yang terkandung dalam surah Al-Anfal [8]:33; “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka”. Sekalipun, ayat ini ditujukan kepada Rasulallah Saw., namun ahlul bait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh beberapa hadis.

 

Lalu An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Tirmidzi, ‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya Ahlul Bait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari umat Muhamad yang tinggal? Padahal, jumlah umat Muhamad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya’. Kata Al-Nabhani;

 

Tidak ada halangan, dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Apalagi, Rasulallah Saw. sendiri telah menegaskan, ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlul baitku...’ (Riwayat lain, mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlul baitku melainkan Bani Hasyim). Hadis ini, merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang dilimpahkan Allah Swt. kepada keluarga dan keturunan Rasulallah Saw.

 

Para ahli syarah ilmu hadis, al-Manawi dan lain-lain menjelaskan, makna hadis tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasulallah Saw. adalah (keturunan) orang-orang baik’. 

 

Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut, An-Nabhani mengatakan, ‘Rasanya penjelasan Al-Manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi hadis tersebut di atas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian, teranglah bahwa penafsiran Tirmidzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyah (keturunan) Rasulallah Saw. dengan abdal (orang-orang keramat), sebagaimana yang terdapat di dalam hadis dari Imam Ali bin Abi Thalib r.a.’

 

An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Tirmidzi, tentang hadis yang mengatakan, ‘Semua sebab dan nasab akan terputus, kecuali sebab dan nasabku’. An-Nabhani berkata,

Kata putus (dalam hadis ini), tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah Saw.. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis sahih. Kata putus, juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah Swt. dalam surah Al-Mukminun [23]:101, ‘Maka tiada lagi hubungan nasab di antara mereka pada hari itu’.

 

Hanya Rasulallah Saw. sajalah, yang memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui keturunan). Bagi beliau Saw. kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan, baik di dunia maupun di akhirat. Hal itu, diperkuat (dalam hadis lainnya) di mana Rasulallah Saw. bersabda di atas mimbar, ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah Saw. tidak bermanfaat  pada hari kiamat? Aku tegaskan, kekerabatanku berkesinambungan di dunia dan akhirat’.

 

Terhadap uraian Imam Tirmidzi yang mengatakan, ‘Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib, bukan merupakan syarat bagi keselamatan umat Muhamad Saw. dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia, bila mereka lenyap’.

 

An-Nabhani menjawab:

Mereka itu syarat bagi keselamatan umat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka di dunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka telah punah, penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran, tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini.

Terhadap uraian Imam Tirmidzi yang mengatakan: ‘Di antara mereka (keturunan Rasulallah Saw) juga terdapat kerusakan (fasad)…’. An-Nabhani menjawab,

 

Mereka (keturunan Rasulallah Saw), menjadi syarat bagi keselamatan umat ini dan penghuni bumi ini, bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian, yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka. Sejak semula, mereka dianugerahi keistemewaan, yakni Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota Ahlul Bait Rasulallah Saw.. Di tengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu, mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota Ahlul Bait)”.       

 

Terhadap uraian Imam Tirmidzi yang mengatakan: ‘Di bumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah Saw., yaitu Al-Quran…’ An-Nabhani menjawab:

Tidak ada keharusan bagi Rasulallah Saw., untuk menyebut di dalam sebuah hadis (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Quran, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Quran jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah Saw. Kendati hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadis tsaqalain. Lagi pula, di antara Ahlul Bait Rasulallah Saw. tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah. Mereka pun, tidak beranggapan bahwa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (Ahlul Bait).  

 

Kitabullah, menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud r.a. mengatakan, ‘Bacalah Al-Quran sebelum diangkat! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Quran diangkat!’ Seorang sahabat bertanya, ‘Hai Abu Abdur-Rahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagaimanakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap di dalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita?’ Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Kitabullah memang tetap di dalam dada, tetapi tidak diingat dan dibaca orang’. Tidak diragukan lagi, Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada di luar pikiran orang.

 

Dari keterangannya itu, jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan umat manusia. Selama Kitabullah masih berada di tengah-tengah umat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah Saw. tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan.

 

Mengenai penegasan Imam Tirmidzi, ‘Kemuliaan hanya ada pada para ahli takwa…’ dengan merujuk sebuah hadis tentang kedatangan Rasulallah Saw. di kediaman (Siti) Fathimah r.a., saat itu Shafiyah (bibi beliau) berada di tempat itu, kemudian Rasulallah Saw. bersabda, ‘Hai Bani Abdu-Manaf, hai Bani Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhamad, hai Shafiyah…....dan seterusnya (baca hadis terdahulu)’.

 

An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Tirmidzi ini, sebagai berikut:

Mengenai soal itu, At-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, ‘Benarlah bahwa Rasulallah Saw. tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatangkan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah Swt) bagi orang lain. Hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan, bagi semua umatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau Saw. tidak mempunyai suatu apa pun, selain yang dikaruniakan Allah kepadanya, yaitu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadis Al-Bukhari, ‘Kalian ,yang pria maupun yang wanita, mempunyai hubungan silaturrahmi (denganku), akan kusambung hubungannya ..’.

 

Demikian pula, dengan sabda Rasulallah Saw., ‘Di hadirat Allah, aku tidak berguna apa pun bagi kalian’. Maknanya (hadis ini) ialah, ‘Kalau hanya diriku sendiri, tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepadaku, aku tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada kalian.’ As-Shabban mengatakan, ‘Konon hadis tersebut diucapkan oleh Rasulallah Saw. sebelum beliau diberitahu Allah, mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau.

 

Tampaknya, bahasa Arab kurang membantu At-Tirmidzi dalam menafsirkan hadis-hadis tentang ahlu bait. Adakah, orang yang mengartikan Ahlul Bait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah, tidak ada! Tidak ada seorang pun, yang mendengar kata Ahlul Bait Rasulallah Saw. memahaminya dengan makna, selain Ahlul Bait yang bernasab kepada beliau Saw.. Memang, hanya itu sajalah maknanya dalam bahasa Arab, bahasa beliau Saw. sendiri!

 

Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka, dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada, seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun, orang keramat itu sendiri, tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah Saw.

 

Saya (As-Shabban) yakin, Imam Al-Hakim At-Tirmidzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu, saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai Ahlul Bait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:

Pertama,–dan ini yang paling besar kemungkinannya–tulisan tersebut di palsukan oleh orang yang dengki kepada Imam Tirmidzi, dan kepada Ahlul Bait Rasulallah Saw.. Hal seperti itu, sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti yang terjadi pada Syaikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al-Arabi, Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani dan lain lain….

 

Kedua, kemungkinan Imam Tirmidzi, pernah bergaul dekat dengan kaum Syiah ekstrem, yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) Ahlul-Bait Rasul Saw, mereka tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi Saw. terutama Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dan Umar Ibnul Khatab r.a.

Dengan uraiannya itu, mungkin Tirmidzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu, dituangkan olehnya dalam uraian mengenai Ahlul Bait, tetapi bersamaan dengan itu, ia tetap mencintai Ahlul Bait dan memberikan penilaian yang baik, serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (Ahlul-Bait)”}. Demikianlah jawaban Imam An-Nabhani.

                                

Terhadap pendapat Imam Tirmidzi tadi, Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Aqidatul-Washiyah memberi tanggapan antara lain;

{Hadis yang berasal dari Zaid bin Arqam, “…Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlul baitku...sampai akhir hadis” (silahkan rujuk kembali hadis-nya). Dari hadis ini, kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah Saw. pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Quran al-Karim.

Hikmah mengenai hal itu, beliau menyebutnya dengan kata-kata, ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang.’ Setelah itu, barulah beliau menyebut ahlul bait (keluarga, keturunan) dengan ucapan ‘kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu baitku’. Pesan beliau itu diucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka, sebagai keluarga keturunan beliau Saw..

 

Dalam pesan beliau itu sama sekali tidak terdapat pengistemewaan seseorang dibanding yang lain di antara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah Saw. atau ahlul bait ialah, mereka semua yang diharamkan menerima sedekah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadis tsaqalain. Hadis tsaqalain ini, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah Saw. saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau Saw., baik yang awam mau pun yang khawash (khusus), yang menjadi imam maupun yang tidak.

Oleh Rasulallah Saw., mereka itu disebut secara beriringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti, itu bermaksud menghormati kedudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau, agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baiknya oleh kaum muslimin. 

 

Pernyataan Rasulallah Saw. yang menegaskan, ‘Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi Saw) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Tirmidzi mengatakan, ‘diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau yang amalan baiknya bercampur-aduk dengan amalan buruknya…

Perumusan Imam Tirmidzi yang berbunyi: ‘Apabila, orang-orang yang tidak seunsur atau seasal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlul bait) benar -benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, kita pun wajib meneladani mereka, sama seperti kita meneladani orang-orang (imam-imam) terkemuka yang berasal keturunan Rasulallah Saw..’

 

Ibnu Taimiyah merasa aneh dan heran, mengenai uraian Imam Tirmidzi ini. Perumusan kalimat Tirmidzi seperti itu, oleh Ibnu Taimiyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah Saw. dan orang-orang dari keturunan lain, yang bukan keluarga keturunan Rasulallah Saw.. Jadi, tidak ada keistemewaan apa pun pada orang-orang keturunan Rasulallah Saw.. Yang dipandang oleh Tirmidzi sebagai ciri istimewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasulallah Saw.. Dengan demikian, yang diartikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadis Nabi Saw) ,menurut Tirmidzi, tidak lain hanyalah para ulama, para imam dan para ahli fiqih dikalangan umat Islam. Benarkah itu yang dimaksud oleh Rasulallah? Sudah tentu tidak!

 

Yang dimaksud oleh Rasulallah Saw. ialah, keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli fiqih, para ulama dan para imam, mereka itu memang teladan bagi umat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah Saw. Para ulama, para ahli fiqih dan para imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi Saw., yakni secara umum, mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasulallah Saw. dengan sebaik-baiknya.

 

Firman Allah dalam surah Ad-Dhuha [93]:5: “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhamad) menjadi puas”

Al-Qurthubi dalam tafsir-nya, yang dikutip dari Ibnu Abbas r.a., mengatakan, ‘Kepuasan Muhamad Rasulallah Saw. ialah, karena tidak ada seorangpun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadis mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah Saw., ‘Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya, karena itu, dia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka’ (Al-Hakim menegaskan,hadis ini sahih). Dalil hadis lainnya, berasal dari Imran bin Hashin r.a.. Dia mengatakan, Rasulallah Saw. pernah bersabda, ‘Aku telah mohon kepada Tuhanku, supaya tidak memasukkan seorangpun dari keluargaku (ahlu-baitku) kedalam neraka, dan Dia mengabulkan permohonanku.’}. Demikianlah antara lain yang ditulis Ibnu Taimiyah.

 

Dengan adanya keterangan diatas, jelas bagi kita bahwa para ulama–antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhamad  dan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Aqidatul-Washi–menyanggah pendapat Imam Tirmidzi tersebut di atas. Apa yang dikatakan Imam Tirmidzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu dihargai. Tetapi sayangnya, beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah Saw. dalam hadis Tsaqalain, hadis Safinah itu, sebagaimana yang beliau kemukakan tadi. Imam Tirmidzi ini, membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadis tersebut hanya kepada para pemuka atau imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah Saw. saja, berdasarkan  pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketakwaan.

 

Lepas dari penafsiran di atas, jelas Allah Swt. dalam firman-firmanNya––baik untuk Ahlul Bait Rasulallah Saw. (misalnya QS Al-Ahzab [33]:33), maupun untuk para sahabat beliau Saw (misalnya dalam QS. Al-Fath [48]:18, QS At-Taubah [9]: 100), menunjukkan kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan Allah Swt. kepada mereka.

 

Hanya saja sebagai manusia, para Ahlul Bait dan keturunan Rasulallah Saw. adalah sama dengan para sahabat Nabi Saw. serta keturunannya, yakni bisa berbuat kesalahan. Mereka ini, bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa, karena bukan orang-orang ma‘shum, yakni yang terpelihara dari kemungkinan berbuat kekeliruan. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlul bait Rasulallah Saw. dan sebaliknya.

 

Hal itu, bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia, selain Rasulallah Saw, dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan. Orang-orang yang ma‘shum menurut ahlus sunnah wal jamaah hanyalah para Nabi dan Rasul. Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadhail) dan ketakwaan keluarga keturunan Nabi Saw. dan para sahabat, sebagai manusia mereka tetap menghadapi kemungkinan berbuat kekeliruan.

Kaum Muslim wajib melaksanakan wasiat Nabi Saw: untuk mencintai dua golongan tersebut–ahlul bait, keturunan Nabi Saw khususnya dan para sahabat Nabi Saw–agar kita Insya Allah dapat memperoleh keridhoan Allah, kebajikan didunia dan akhirat. Kita memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada umat Islam. Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderungan nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat, tidak akan membiarkan dirinya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulallah Saw.

 

Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, pokok pertama adalah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah Saw. adalah kesinambungan dari keridhoan Allah Swt., kedua-duanya tidak dapat dipisahkan! Tidak mungkin seorang beriman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, demikian juga sebaliknya. Hal ini, ditegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain: “Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah”. (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak didambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat yang semakna..                                                                        

 

Kewajiban Mencintai Ahlul Bait

Allah Swt. berfirman, “Katakanlah (hai Muhamad): ‘Aku tidak minta upah apa pun dari kalian kecuali kasih sayang dalam (hubungan) kekeluargaan (yakni keluarga / ahlul-bait Muhamad Saw.)’”. (QS. Asy-Syura [42]: 23).

Menurut penafsiran Al-Khatib dan Al-Khazin makna kata minta dalam ayat Asy-Syura tersebut harus ditafsirkan seruan, yakni seruan Rasulallah Saw. kepada umatnya agar menjunjung tinggi dan melaksanakan prinsip kekeluargaan dan kasih sayang diantara sesama kaum muslimin, khususnya kasih sayang terhadap ahlul bait beliau Saw..

 

At-Thabrani dan lain-lain juga mengetengahkan beberapa hadis Nabi Saw. mengenai kecintaan kepada ahlul bait Rasulallah Saw. antara lain: “Seorang hamba Allah belum sempurna keimanannya, sebelum kecintaannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada diri sendiri, sebelum kecintaannya kepada keturunanku, melebihi kecintaannya kepada keturunannya sendiri, sebelum kecintaanya kepada ahlul baitku (keluargaku), melebihi kecintaan kepada keluarganya  sendiri dan sebelum kecintaannya kepada Zat-ku melebihi kecintaan kepada zat-nya sendiri.

Ahlu-baitku dan para pencintanya dikalangan umatku akan bersama-sama masuk surga seperti dua jari telunjuk ini.

 

Hendaklah kalian tetap memelihara kasih-sayang dengan kami–ahlu bait–sebab (pada hari kiamat kelak) orang yang bertemu dengan Allah dalam keadaan mencintai kami, akan masuk surga dengan syafa’at kami. Demi Allah, yang nyawaku berada ditangan-Nya, amal seorang hamba Allah tidak bermanfaat baginya tanpa mengenal hak-hak kami.”

Para ahli tafsir, banyak membicarakan ayat tersebut, terutama mengenai kata al-qurba (orang-orang terdekat), yakni keluarga, ahlul bait, Aali dan kerabatnya. Ibnu Abbas r.a. menyatakan, makna al-qurba dalam ayat itu, adalah ahlul-bait Muhamad Saw.. Makna umum dari kata tersebut adalah, para isteri Rasulallah Saw., anak cucu beliau Saw. dan kerabat beliau (Bani Hasyim), mereka yang diharamkan menerima sedekah.

 

Makna khususnya, menurut Imam As-Suyuthi, al-qurba adalah, Imam Ali bin Abi Thalib k.w., Siti Fathimah Az-Zahra r.a. dan dua orang putranya (Al-Hasan dan Al-Husain) radhiyallahu ‘anhuma.

Atas pertanyaan Thawus, Ibnu Abbas r.a. menjawab,  yang dimaksud Al-qurba dalam ayat tersebut, ahlul-bait Muhamad Saw.

Al-Muqrizi menafsirkan ayat diatas, “Aku tidak minta imbalan apa pun kepada kalian atas agama yang kubawakan kepada kalian itu, kecuali agar kalian berkasih-sayang kepada keluargaku (keluarga Rasulallah Saw.)”.

 

Abu Aliyah mengatakan, Said bin Jubair r.a. menafsirkan kata al-qurba dalam ayat tersebut ialah kerabat Rasulallah Saw..

Abu Ishak mengatakan, ketika ia menanyakan makna al-qurba dalam ayat itu kepada Amr bin Syuaib, ia beroleh jawaban, yang dimaksud ialah kerabat Rasulallah Saw.

Imam Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf meriwayatkan sebuah hadis panjang, yang dikutip oleh Imam Al-Fakhrur-Razi dalam Al-Kabir. Rasulallah Saw. mengingatkan umatnya agar mencintai keluaga Muhamad Saw.. Dalam hadis itu menuturkan, “Barangsiapa wafat dalam keadaan mencintai keluarga (Aal) Muhamad, ia mati syahid. Sungguhlah, siapa yang wafat dalam keadaan mencintai keluarga Muhamad, orang itu beroleh ampunan atas dosa-dosanya.. …dan seterusnya”.

 

At-Thabrani dalam Al-Ausath mengetengahkan hadis dari Ibnu Umar r.a. mengatakan: “Perkataan terakhir yang diucapkan Rasulallah Saw. adalah, ‘Teruskan lah perlakuan yang telah kuberikan kepada ahlu-baitku.’”

 Dari sumber yang sama, At-Thabrani meriwayatkan  hadis berikut: “Allah Swt. menetapkan tiga hurumat (hal-hal yang wajib dihormati dan tidak boleh dilanggar). Barangsiapa menjaga baik-baik tiga hurumat itu, Allah akan menjaga urusan agamanya dan dunianya. Dan barang siapa tidak mengindahkannya, Allah tidak akan mengindahkan sesuatu baginya. Para sahabat bertanya, ‘Apa tiga hurumat itu ya Rasulallah?’ Beliau Saw. menjawab, ‘hurumatul Islam; hurumatku; dan hurumat kerabatku’ ”.               

 

At-Thabrani dalam Al-Ausath juga meriwayatkan sebuah hadis berasal dari Jabir bin Abdullah r.a., Rasulallah Saw. dalam suatu khutbah bersabda, Hai manusia, barangsiapa membenci kami, ahlu-bait, pada hari kiamat Allah akan menggiringnya sebagai orang Yahudi”.

Abu Said Al-Khudri r.a. meriwayatkan, ia mendengar Rasulallah Saw. tegas berkata, “Orang yang membenci kami ahlul-bait pasti akan di masukkan Allah ke dalam neraka”.

Ad-Dailami mengetengahkan sebuah hadis, Rasulallah Saw. bersabda, “Barang-siapa yang hendak bertawasul (berwasilah) dan ingin mendapat syafa’atku pada hari Kiamat kelak, hendaklah ia menjaga hubungan silatur-rahmi dengan ahlu-baitku dan berbuat menggembirakan mereka”.

 

Imam Ahmad bin Hanbal mengetengahkan sabda Rasulallah Saw., “Empat golongan yang akan memperoleh syafa’atku pada hari kiamat: ‘Orang yang menghormati keturunanku, orang yang memenuhi kebutuhan mereka, orang yang berusaha membantu urusan mereka pada saat diperlukan dan orang yang mencintai mereka dengan hati dan lisannya.’”

 

Imam Ahmad juga meriwayatkan dua hadis; ‘Barangsiapa mencintaiku dan mencintai keduanya itu,  yakni Al-Hasan dan Al-Husain, serta mencintai ibu dan bapak mereka, yakni [Siti] Fathimah Az-Zahra dan [Imam] Ali bin Abi Thalib [r.a] kemudian ia wafat sebagai pengikut sunnahku, ia bersamaku di dalam surga yang sederajat.’

‘Pada hari kiamat, aku akan menjadi syafi’ (penolong) bagi empat golongan; yang menghormati keturunanku; yang memenuhi kebutuhan mereka; yang berupaya membantu urusan mereka pada waktu diperlukan, dan yang mencintai mereka sepenuh hati.

 

Imam Ahmad bin Hanbal mengetengahkan lagi hadis marfu’, bahwasanya Rasulallah Saw. bersabda, ‘Siapa yang membenci ahlul-bait ia adalah orang munafik’; ‘Surga diharamkan bagi orang yang berlaku zalim terhadap ahlu-baitku dan menggangguku melalui keturunanku’.

Al-Hakim dari Zaid bin Arqam r.a., Rasulallah Saw. bersabda, “…Mereka (ahlu-bait beliau) adalah keturunanku, dicipta kan dari darah-dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah, orang dari umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Kepada orang-orang seperti itu, Allah tidak akan menurunkan syafa’atku (pertolongan Aku)”.

 

Abu Said dalam kitab Syarafudin Nubuwah mengetengahkan sebuah hadis, Rasulallah Saw. berkata kepada Siti Fathimah r.a, “Hai Fathimah, engkau marah Allah marah, dan engkau ridha (puas) Allah ridha”.

Ibnu Hajar dalam kitabnya As-Shawaiqul-Muhriqah menerangkan sebagai berikut:

“Barangsiapa mengganggu salah seorang putra (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah (Siti) Fathimah r.a. Sebaliknya, barang siapa mencintai putra-putra (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhaannya. Para ulama khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus) merasa di dalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna, karena kecintaan mereka kepada Rasulallah Saw., dan ahlul-bait serta keturunannya atas dasar pengertian, ahlul-bait dan keturunan beliau Saw. adalah orang-orang suci (dimuliakan oleh Allah Swt.).

 

Selain itu, mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang (sahabat Nabi Saw.) yang telah dijanjikan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain. Mereka, memandang semua keturunan sahabat Nabi, sebagaimana mereka memandang para orang tua mereka.

Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan, ’Orang harus menahan diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait dan keturunan Rasulallah Saw.). Jika ada seorang di antara mereka yang berbuat fasik berupa bid‘ah, yang harus di kecam hanya lah perbuatannya, bukan zatnya, karena zatnya itu merupakan bagian dari Rasulallah Saw., sekali pun antara zat beliau dan zat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)’”.

 

Semua pemimpin dan para ulama kaum Salaf (generasi terdahulu) dan Khalaf (generasi belakangan/berikutnya) memupuk kecintaan masing-masing kepada ahlu-bait Rasulallah Saw..

Imam Bukhari dalam Sahihnya, mengetengahkan ucapan khalifah Abu Bakar r.a. ”Jagalah baik-baik wasiat Muhamad Saw. mengenai ahlu-bait beliau”; “Kerabat Rasulallah Saw. lebih kucintai daripada kerabatku sendiri”.

 

Al-Mala dalam kitab Sirah-nya mengetengahkan sebuah hadis, Rasulallah Saw.mewanti-wanti: “Wasiatkan lah kebajikan bagi ahlu-baitku. Pada hari kiamat besok kalian akan kugugat mengenai ahlu-baitku. Orang yang kelak menjadi lawanku ia menjadi lawan Allah dan siapa yang menjadi lawan Allah ia akan dimasukkan ke dalam neraka”.

 

Ibnu Taimiyah, mengenai hak-hak ahlul bait

Dalam pembicaraannya mengenai hak-hak ahlu-bait Rasulallah Saw., Ibnu Taimiyah ,imam panutan golongan Wahabi-Salafi, mengatakan;

“Demikianlah, para anggota keluarga (ahlu-bait) Rasulallah Saw. mempunyai beberapa hak yang harus dipelihara dengan baik oleh umat Muhamad. Kepada mereka Allah Swt. telah memberi hak menerima bagian dari seperlima ghanimah (harta rampasan perang), yang ketentuannya telah ditetapkan Allah Swt. dalam Al-Quranul Karim (QS Al-Anfal [8]:41).

Selain hak tersebut mereka juga mempunyai hak lain lagi, yaitu hak beroleh ucapan shalawat dari umat Muhamad Saw., sebagaimana yang telah diajarkan oleh beliau Saw. kepada umatnya, agar senantiasa berdoa sebagai berikut:  ‘Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhamad dan kepada Aal (ahlu-bait, keluarga) Muhamad, sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan Aal Ibrahim. Sesungguhnya,  Engkau Maha Terpuji lagi maha Agung. Berkatilah Muhamad dan Aal Muhamad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan Aal Ibrahim’ ”. (Ibnu Taimiyah, Al-Washiyatul-Kubra, hal. 297).

 

Dalam kitabnya yang sama diatas, sehubungan dengan hak atas ucapan shalawat untuk ahlu-bait Rasulallah Saw., Ibnu Taimiyah mengetengahkan sebuah hadis riwayat Ka’ah bin Syajarah beberapa saat setelah turunnya QS Al-Ahzab [33]:56.

Kata Ka’ah, “Kami para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, kami telah mengetahui bagaimana cara mengucapkan salam kepada anda, tetapi bagaimanakah cara kami mengucapkan shalawat kepada anda’? Rasulallah Saw. menjawab, ‘Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad dan kepada Ali Muhamad’ ”.

 

Ibnu Taimiyah mengemukakan juga hadis lain yang berasal dari para sahabat Nabi Saw, Rasulallah Saw. mengingatkan para sahabatnya, “Janganlah kalian bershalawat untukku dengan shalawat Batra, (yakni shalawat terputus tanpa lanjutan). Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah yang dimaksud shalawat batra’? Beliau Saw. menjawab, ‘Kalian mengucapkan, Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhamad, lalu kalian berhenti disitu’! Ucapkanlah, ‘Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhamad dan kepada Ali Muhamad’”. (lihat Mahmud Syarqawi, Sayidatu Zainab, hal. 21).

 

Didalam Risalah Al-Aqidah Al-Washithiyah, Ibnu Taimiyah mengecam kaum rawafidh (kelompok yang mengkultuskan Imam Ali bin Abi Thalib k.w.) dan kaum nawashib (kelompok yang memusuhi keluarga dan kerabat Rasulallah Saw.), dan dia berkata antara lain, “Mereka (kaum Ahlus-Sunnah) mencintai Aal Rasulallah Saw.. Mereka memandang Aal beliau Saw. sebagai para pemimpin agama yang wajib dihormati, dan dijaga baik-baik kedudukan dan martabatnya. Itu, sesuai dengan wasiat yang diucapkan Rasulallah Saw. di Ghadir Khum, ‘…Kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu baitku.’ (hadis tsaqalain—pen).

 

Ibnu Taimiyah, dalam Risalatul-Furqan halaman 163 mengetengahkan pembahasan mengenai Aali (ahlul-bait) Muhamad Rasulallah Saw. Banyak hadis sahih yang dikemukakan sebagai dasar dan sekaligus juga sebagai dalil. Salah satu di antaranya, hadis Tsaqalain, yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam r.a., “...Dan kutinggalkan kepada kalian dua bekal (berat). Yang pertama, Kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah (terimalah) Kitabullah itu dan berpegang lah teguh padanya… dan (yang kedua) Ahlu-Baitku. Kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku...kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku! Kalian Aku ingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku”. Hadis ini, oleh Ibnu Taimiyah disebut dalam pembahasannya mengenai ta’rif (definisi) Aali Muhamad Saw.

 

Mengenai kewajiban mencintai ahlul bait, Ibnu Taimiyah menyebut dua bait sya’ir dari Imam Syafi’i rahimahullah:

Hai ahlu-bait Rasulallah, bahwa kecintaan kepada kalian. Kewajiban dari Allah yang diturunkan dalam Al-Quran. Cukuplah bukti betapa tinggi nilai martabat kalian. Tiada sempurna shalat tanpa shalawat bagi kalian.

Ibnu Taimiyah, juga menyebut jawaban Rasulallah Saw. kepada pamannya ,Al-Abbas, ketika ia mengadu kepada beliau adanya perlakuan kasar dari sementara orang terhadap dirinya.

Dalam jawabannya itu, Rasulallah Saw. menegaskan:

‘Demi Allah yang nyawaku berada ditangan-Nya, mereka tidak akan masuk surga selama mereka belum mencintai kalian karena aku. Hadis semakna, juga diketengahkan oleh Tirmidzi dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal berasal dari Mutthalib bin Rabi’ah yang menuturkan, jawaban Rasulallah Saw. kepada Abbas r.a., ‘Demi Allah iman tidak akan masuk ke dalam hati seseorang selama ia belum mencintai kalian karena Allah dan karena kalian itu kerabatku.’

 

Dalam kitabnya, Darajatul-Yaqin, hal.149, Ibnu Taimiyah menyatakan, “Dalam kehidupan umat manusia tidak ada kecintaan yang lebih besar, lebih sempurna dan lebih lengkap daripada kecintaan orang-orang beriman kepada Allah, Tuhan mereka. Di alam wujud ini, tidak ada apa pun yang berhak dicintai tanpa karena Allah. Kecintaan kepada apa saja harus dilandasi kecintaan kepada Allah Swt.. Muhamad Saw. dicintai umatnya demi karena Allah, ditaati karena Allah dan di ikuti pun karena Allah. Sebagaimana firman Allah Swt., ‘Katakanlah’, (hai Muhamad) ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian!’ (Ali Imrani [3]: 31)

 

Sebagai bukti tentang betapa hormat dan betapa besar kecintaan para sahabat Nabi, kepada ahlu-bait beliau Saw., Ibnu Taimiyah dalam Al-Iqtidha hal. 79 berkata;

“Lihatlah ketika khalifah Umar r.a. menetapkan daftar urutan pembagian jatah tunjangan dari harta Allah (Baitul-Mal) bagi kaum Muslim. Banyak orang yang mengusulkan agar nama Umar bin Al-Khatab ditempatkan pada urutan pertama. Umar dengan tegas menolak.

Umar kemudian memulai dengan para anggota ahlu-bait Rasulallah Saw. Kemudian menyusul orang-orang lain, hingga tiba urutan orang-orang Bani Adi kabilah Umar r.a. sendiri. Mereka itu (para penerima tunjangan), adalah orang-orang Quraisy yang sudah jauh terpisah hubungan silsilahnya. Namun, urutan seperti itu tetap dipertahankan oleh Khalifah Umar dalam memberikan hak-hak tertentu kepada mereka. Pada umumnya, ia lebih mendahulukan orang-orang Bani Hasyim daripada orang-orang Quraisy yang lain.

 

Mengapa demikian?  Karena kaum Bani Hasyim adalah kerabat Rasulallah Saw.. Mereka diharamkan menerima sedekah atau zakat, dan hanya diberi hak menerima seperlima jatah pembagian ghanimah. Mereka, adalah orang-orang yang termasuk dalam lingkungan ahlu-bait Rasulallah Saw. Dan ahlu-bait beliau adalah, orang-orang yang dimaksud dalam firman Allah Swt. (QS Al-Ahzab [33]: 33):

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak melenyapkan kotoran (rijs)  dari kalian, hai ahlul-bait, dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya”. Karena sedekah atau zakat itu merupakan kotoran (dari harta orang lain), para ahlul bait diharamkan menerimanya. Sebagai gantinya, mereka dihalalkan menerima bagian dari seperlima pembagian ghanimah.

 

Ibnu Taimiyah, menyebut pula sebuah hadis yang menerangkan, Rasulallah Saw. pernah bersabda kepada para sahabat, ‘Cintailah Allah, karena Allah mengaruniai kalian berbagai nikmat, hendaklah kalian mencintaiku karena kecintaan kalian kepada Allah, dan cintailah anggota-anggota keluargaku (ahlu-bait dan keturunanku) demi kecintaan kalian kepadaku’. Demikianlah, Ibnu Taimiyah.

 

Syaikh Ibnu Qayim Al-Jauziyah ,murid Ibnu Taimiyah, dalam kitab Jalaul-Afham membicarakan ahlubaitun-nubuwah (keluarga para Nabi) secara menyeluruh. Berikut kami kutipkan bagian terpenting dari karya Ibnu Qayyim:

“Dari mulai nabi Ibrahim a.s. hingga ahlu-bait Muhamad Saw. dan keluarga silsilah keturunan Nabi Ibrahim a.s. adalah, keluarga yang diberkati dan disucikan Allah Swt. Mereka adalah silsilah keluarga yang paling mulia di antara semua umat manusia. Allah Swt.  menganugerahkan berbagai keistimewaan dan keutamaan kepada mereka ini. Allah Swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim a.s. dan keturunannya sebagai Imam (pemimpin) bagi seluruh umat manusia sebagaimana firman Allah Swt. (QS. Al-Baqarah: 125) Nabi Ibrahim dan putranya Ismail membangun Ka’bah, kemudian Allah tetapkan sebagai kiblat kaum mukmin dan untuk menunaikan ibadah haji.

 

Begitu juga Allah Swt. telah memerintahkan semua orang yang beriman, bershalawat pada Nabi Muhamad Saw. dan keluarga (Aali) beliau seperti shalawat yang diucapkan bagi Nabi Ibrahim dan Aali beliau. Allah Swt. telah menjadikan baitun nubuwah (keluarga Nabi Ibrahim a.s. dan keturunannya hingga Nabi Muhamad Saw. dan keturunannya) sebagai furqan (batas pemisah kebenaran dan kebatilan).

Bahagialah, manusia yang mengikuti seruan dan jejak mereka dan celakalah mereka yang memusuhi dan menentangnya.

 

Allah Swt. telah menciptakan dua umat manusia terbesar di dunia, umat Musa a.s dan umat Muhamad Saw. sebagai umat terbaik dalam pandangan Allah Swt.. Guna melengkapi jumlah tujuh puluh umat yang diciptakan-Nya, Allah Swt. melestarikan kemuliaan baitun nubuwah sepanjang zaman, disebut-sebutnya keagungan mereka, keluarga serta keturunan mereka, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Ash-Shaffat [37]:108-110. Kesemuanya itu, merupakan berkah dan rahmat Allah Swt. yang telah di limpahkan kepada baitun-nubuwah.

 

Di antara mereka itu, ada yang memperoleh martabat tinggi dan keutamaan-keutamaan lain, seperti Nabi Ibrahim, sebagai Khalilullah; Nabi Ismail, diberi gelar Dzabihullah, Nabi Musa, didekatkan kepada-Nya dan dianugerahi gelar Kalimullah, Nabi Yusuf, dianugerahi kehormatan dan paras indah yang luar biasa, Nabi Sulaiman, dianugerahi kerajaan dan kekuasaan yang tiada bandingnya, Nabi Isa, diangkat kedudukannya ke martabat yang setinggi-tingginya dan Nabi Muhamad Saw., diangkat sebagai penghulu semua Nabi dan Rasul.

 

Mengingat kemuliaan martabat baitun-nubuwah  sejak nabi Ibrahim a.s. secara turun-temurun hingga Nabi Muhamad Saw., tidaklah heran jika beliau Saw. mewanti-wanti umatnya supaya menghormati, mengakui kemuliaan ahlubait dan keturunannya. Ini, bukan semata-mata hanya karena keagungan martabat beliau Saw. sendiri sebagai Nabi dan Rasul, melainkan juga karena kemuliaan baitun-nubuwah yang telah ditetapkan Allah Swt. sejak nabi Ibrahim a.s.. Itulah, rahasia besar yang terselip dalam hadis tsaqalain dan hadis-hadis lainnya yang berkaitan dengan kedudukan ahlubait keturunan Rasulallah Saw.”. Demikianlah Ibnu Qayim.

 

Tidak diragukan lagi, banyak hadis Nabi Saw. menyatakan, mencintai ahlu-bait (keluarga atau Aali) beliau Saw. adalah wajib hukumnya. Mencintai sesama Muslim, sudah merupakan kebajikan yang harus ditaati, apalagi mencintai keturunan Rasulallah Saw. lebih ditekankan lagi oleh syari’at!Bagaimanakah sekarang orang yang bersikap membenci, mendengki atau mencerca Ahlu-bait Rasulallah Saw?, dan mengaku dirinya beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, Muhamad Saw.? Mengingkari keutamaan mereka saja sudah merupakan kesalahan besar, apalagi membenci dan melecehkan mereka ! 

 

Tuduhan kepunahan Ahlul Bait dan sekelumit sejarah dinasti Bani-Umayah/ Abbasiyah

Sejarah mencatat bahwa kehidupan ahlul bait Rasulallah Saw. penuh dengan kisah duka. Kebencian kepada ahlul bait Rasulallah Saw. tidak sekadar hadir dalam panggung penghinaan kata, tetapi hingga pembantaian. Peristiwa Karbala, adalah puncaknya. Atas fakta sejarah ini, minoritas golongan muslimin ada yang menyatakan, mata rantai keturunan Rasulallah Saw. telah putus. Mereka yang kini bergelar sayid, habib, syarif, syarifah dan kelompok kaum Alawiyin, tidak diakui oleh golongan ini sebagai dzuriyah Rasulallah, para penerus ahlul bait.

 

Mereka, menanamkan keraguan fakta sejarah mengenai selamatnya putra Al-Husain r.a.,bernama Ali Zainal Abidin, dari pembantaian pasukan Bani Umayah di Karbala  berkat ketabahan dan kegigihan bibinya Zainab r.a. dalam menentang kebengisan penguasa Kufah, Ubaidillah bin Ziyad. Ketika itu, Ali Zainal Abidin r.a masih kanak-kanak, berusia kurang dari 13 tahun. Sejarah kehidupan Ali Zainal-Abidin bin Al-Husain, cikal-bakal keturunan Rasulallah Saw. hingga kini, disembunyikan riwayat hidupnya  oleh golongan pengingkar, dengan maksud hendak  memenggal tunas-tunas keturunan Rasulallah Saw.

 

Sebenarnya, penghulu dan pemimpin golongan pengingkar, yang mayoritas berkebangsaan Arab, amatlah mengerti mengenai kesinambungan dzuriyah Rasulallah Saw. Hanya saja, atas dorongan maksud tertentu mereka tidak mau mengerti. Secara terus-terang, mereka berkeinginan agar jangan ada orang di dunia ini, khususnya di Indonesia yang menyebut nama orang-orang keturunan Ahlul-Bait dengan kata Habib, Sayid atau Syarif—julukan kehormatan habib yang diberikan oleh kaum Muslim.

 

Kebencian dan kedengkian sebagian orang kepada keturunan Ahlul-Bait Rasulallah Saw., mengingatkan kita kepada sejarah peradaban Islam semasa dinasti Bani Umayah dan dinasti Bani Abbasiyah. Lebih jauh dari itu, menurut riwayat, kaum Muslimin mulai dilanda perselisihan, pertengkaran dan perpecahan sejak masa-masa terakhir kekhalifahan Usman bin Affan r.a., kurang lebih di periode terakhir dasawarsa keempat Hijriah. Kala itu, perang saudara terus berkecamuk, di antaranya:

 

Peperangan antara kekuatan trio Aisyah, Thalhah, Zubair [radhiyallahu‘anhum] melawan kekuatan Amirul-Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Perang saudara ini, berkobar di Bashrah. Sejarah Islam, menyebutnya dengan nama Waqatul-Jamal. Disusul kemudian oleh perang saudara yang tidak kalah hebatnya, yaitu perang Shiffin, antara kekuatan Khalifah Ali r.a. melawan kekuatan pemberontak dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kemudian disusul dengan perang yang berkobar di kawasan terkenal dengan sebutan Bainan Nahrain (Di antara dua Bengawan), yakni daerah antara dua bengawan Tigris dan Eferat (Dajlah dan Al-Furat).

Pertengkaran dan perpecahan yang diakibatkan oleh perang saudara Bainan-Nahrain ini jauh lebih parah daripada yang diakibatkan perang saudara yang sebelumnya. Dalam perang saudara ini kekuatan Imam Ali ra, terpecah dan sempal menjadi dua. Sebagian, tetap setia kepada Amirul Mukminin Ali dan yang sebagian lainnya memberontak dan memerangi sayidina Ali r.a.. Sempalan atau pecahan inilah, yang dalam sejarah Islam terkenal dengan kaum Khawarij, dibawah pimpinan Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi.

 

Disusul kemudian perang saudara yang berkobar dalam rangka kebijakan Imam Ali r.a. menumpas pemberontakan kaum Khawarij, di Nahrawand. Perang saudara ini, lebih memperparah lagi perpecahan kaum muslimin. Dalam perang saudara di Nahrawand ini, kekuatan Imam Ali r.a. unggul dan berhasil menghancurkan kekuatan bersenjata kaum Khawarij, yang sejak terjadinya pembangkangan sudah mengkafir-kafirkan Imam Ali r.a.

 

Kekuatan-kekuatan anti Bani Hasyim, yang sudah ada sejak sebelum Islam, dengan kemenangan Imam Ali itu, mereka makin bertambah dendam. Adapun, dalam perang Shiffin, kekuatan Imam Ali r.a. mundur teratur akibat pertengkaran dan pertikaian intern mengenai masalah Tahkim bi Kitabillah (Penyelesaian secara damai berdasarkan Kitabillah).  Setelah kekuatan Imam Ali r.a. mundur dan kembali ke Kufah, di sana Imam Ali r.a. menjadi sasaran pembunuhan gelap yang dilakukan oleh komplotan Khawarij.

 

Beliau tewas ditikam Abdurrahman Muljam. Kekhalifahannya diteruskan oleh putranya, Al-Hasan r.a. Sayangnya, sisa-sisa kekuatan pendukung ayahnya, sudah banyak mengalami kemerosotan mental dan patah semangat. Bahkan, terjadi penyeberangan kepihak Muawiyah untuk mengejar kepentingan-kepentingan materi. Termasuk di dalamnya Ubaidillah bin Al-Abbas (saudara misan Imam Ali r.a.), yang oleh Al-Hasan r.a. diangkat sebagai panglima perangnya!

 

Hilanglah sudah, imbangan kekuatan antara pasukan Al-Hasan r.a. dan pasukan Muawiyah. Akhirnya, diadakanlah perundingan secara damai antara kedua belah pihak. Dalam perundingan itu, Al-Hasan r.a. menyerahkan kekhalifan kepada Muawiyah atas dasar syarat-syarat tertentu. Berakhirlah, sudah kekhalifahan Ahlu-Bait Rasulallah Saw.. Seluruh kekuasaan atas dunia Islam, jatuh ketangan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan hilangnya kekhalifahan dari tangan Ahlul-Bait, dimulailah masa pembasmian, pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan pendukung-pendukungnya, yang dilancarkan oleh Daulat Bani Umayah.

 

Dalam sebuah risalah  khusus mengenai tragedi pembantaian Al-Husain r.a. di Karbala oleh pasukan daulat Bani Umayah, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Iqtidha hal. 144, menulis:

{“Allah memuliakan Al-Husain bersama anggota-anggota keluarganya, dengan jalan memperoleh kesempatan gugur dalam pertempuran membela diri, sebagai pahlawan syahid. Allah telah melimpahkan keridhaan-Nya kepada mereka,  mereka itu, orang-orang yang ridha bersembah sujud kepada-Nya. Allah, merendahkan derajat mereka yang menghina Al-Husain r.a. beserta kaum keluarganya. Allah menimpakan murka-Nya kepada mereka dengan menjerumuskan mereka ke dalam tingkah laku durhaka,perbuatan-perbuatan zalim dan memperkosa kehormatan martabat Al-Husain r.a. dan kaum keluarganya, dengan jalan menumpahkan darah mereka.

 

Peristiwa tragis yang menimpa Al-Husain r.a, pada hakikatnya bukan lain adalah, nikmat Allah yang terlimpah kepadanya, agar ia beroleh martabat dan kedudukan tinggi sebagai pahlawan syahid. Suatu cobaan yang Allah tidak memperkenankan terjadi atas dirinya pada masa pertumbuhan Islam (yakni masa generasi pertama kaum muslimin). Cobaan berat pun sebelum Al-Husain r.a. telah dialami langsung oleh datuknya, ayahnya dan paman-pamannya (yakni Rasulallah Saw., Ali bin Abi Thalib, Jakfar bin Abi Thalib, dan Hamzah bin Abdul Mutthalib [r.a].

 

Didalam kitabnya Al-Iqtidha ini, Ibnu Taimiyah tersebut lebih menekankan, ‘Allah melimpahkan kemuliaan besar kepada cucu Rasulallah Saw., Al-Husain r.a, dan pemuda penghuni sorga bersama keluarganya, melalui tangan-tangan durhaka. (Itu merupakan pelajaran) musibah apa pun yang menimpa umat ini (kaum muslimin) wajib mereka hadapi dengan sikap seperti yang diambil oleh Al-Husain r.a dalam menghadapi musibah’”}.

 

Semua orang dari ahlul-bait Rasulallah Saw. direnggut hak-hak asasinya, di rendahkan martabatnya, dilumpuhkan perniagaan nya, dan diancam keselamatannya jika mereka berani menyanjung atau memuji sayidina Ali r.a., dan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Bani Umayah.

 

Imam Muslim dan Imam Tirmidzi dari Saad Ibnu Waqqash yang mengatakan: “Ketika Muawiyah menyuruh aku untuk mencaci-maki Abu Thurab (julukan untuk Imam Ali), aku katakan kepadanya (kepada Muawiyah), adapun, jika aku sebutkan padamu tiga perkara yang pernah diucapkan oleh Rasulallah Saw. untuknya (untuk sayidina Ali r.a.), sekali-kali aku tidak akan mencacinya. Jika salah satu dari tiga perkara itu aku miliki,  hal itu lebih aku senangi dari pada unta yang bagus. (Pertama), ketika Rasulallah Saw. meninggalkannya (meninggalkan Ali r.a.) di dalam salah satu peperangannya,.  ia (Ali r.a.) berkata, ‘Wahai Rasulallah, mengapa engkau tinggalkan aku bersama kaum wanita dan anak-anak kecil?’ Pada waktu itu, aku (Sa’ad Ibnu Abi Waqqash) mendengar Rasulallah Saw. bersabda, ‘Apakah engkau tidak cukup puas jika engkau disisiku seperti Harun disisi Musa? Hanya saja tidak ada kenabian sepeninggalku.’

 

(Kedua), aku pun mendengar beliau Saw. bersabda pada hari Khaibar, ‘Aku akan berikan panji-panji ini pada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya’. Pada waktu itu, kami sama-sama penuh berharap (agar dipilih oleh Nabi Saw.), tetapi beliau Saw. bersabda: ‘Panggilkan Ali kepadaku!’  Ali  dihadapkan pada beliau Saw. sedang ia sakit kedua matanya. Nabi Saw. meludah pada mata Ali, kemudian beliau Saw. memberikan panji-panji perang padanya sehingga Allah Swt. memberi kemenangan kepadanya. (Ketiga), ketika Allah Swt. menurunkan ayat Mubahalah (QS Ali Imrani [3]:6), Rasulallah Saw. memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau Saw. berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah keluargaku’”. (Dikutip dari ,terjemahan, kitab At-Taj Al-Jami’ Lil Ushuli Fi Ahaditsir Rasuli, jilid 3 hal. 710 cet. pertama th.1994, oleh Syaikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini).

 

Dalam kitab yang sama (hal. 708) dikemukakan, sebuah hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Sahal Ibnu Sa’ad r.a., “Ketika kota Madinah dipimpin oleh seorang dari keluarga Marwan (baca:  Marwan Ibnu Hakam), sang penguasa memanggil Sahal Ibnu Sa’ad dan menyuruhnya untuk mencaci maki Ali.  Ketika Sahal tidak mau melakukannya, sang penguasa berkata kepadanya, ‘Jika engkau tidak mau mencaci-maki Ali, maka katakan semoga Allah Swt. mengutuk Abu Thurab’. Kata Sahal, ‘Bagi Ali, tidak ada suatu nama yang disenangi lebih dari pada nama Abu Thurab (panggilan Rasulallah Saw. kepada Imam Ali r.a.—pen.), dan ia amat bergembira jika dipanggil dengan nama itu’…sampai akhir hadis’ ”.

 

Dan masih banyak lagi, riwayat  tentang pelaknatan, pencacian terhadap sayidina Ali r.a. dan penyiksaan kepada para pendukung dan pencinta ahlul-Bait, yang tidak kami cantumkan di sini. Keadaan seperti itu ,menurut sejarah, berlangsung selama masa kekuasaan Daulat Bani Umayah yang berkuasa kurang lebih selama satu abad, kecuali beberapa tahun saja selama kekuasaan berada di tangan Umar bin Abdul Aziz r.a.

 

Kehancuran Daulat Bani Umayah diujung pedang kekuatan orang-orang Bani Abbas, ternyata tidak menghentikan gerakan kampanye ‘anti Ali dan anak-cucu keturunannya’. Demikianlah, yang terjadi hampir selama kejayaan Daulat Abassiyah, lebih dari empat abad!

Perpecahan politik, perang saudara, dan keruntuhan Daulat Abbasiyah, tidak hanya memporak-porandakan kesatuan dan persatuan umat Islam, tetapi juga tidak sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Berbagai macam pandangan, pemikiran dan aliran saling bermunculan. Hampir semuanya, tak ada yang bebas dari pengaruh politik yang sedang berkuasa.

 

Selama kurun kekuasaan Daulat Bani Umayah dan Daulat Bani Abasiyah, sukar sekali dibayangkan adanya kebebasaan dan keleluasaan menuturkan hadis-hadis Rasulallah Saw. tentang ahlul-bait. Apalagi berbicara tentang nilai dan perilaku kebijakan sayidina Ali k.w.. Banyak ulama kala itu, yang sengaja menyembunyikan hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan ahlul-bait. Ada juga, sebagian dari mereka yang sengaja melakukan dengan maksud politik untuk ‘mengubur’ nama-nama keturunan Rasulallah Saw.. Selain untuk tujuan politik, cara itu dipakai juga demi menyelamatkan diri dari siksaan penguasa. Selain itu, di masa ini juga bermunculan hadis-hadis palsu, khususnya berkenaan dengan tema ahlul bait, yaitu mengubah dan mengganti kalimat hadis dari sumber aslinya (sabda Rasulallah Saw. atau ucapan keluarga beliau Saw.).

 

Kita ambil contoh, hadis Al-Kisa’. Sumber pertama hadis ini, diriwayatkan oleh isteri beliau Saw. sendiri yang bernama Ummu Salamah r.a., menuturkan peristiwanya sebagai berikut;

“Pada suatu hari Rasulallah Saw. berada di tempat kediamanku bersama Ali, Fathimah, Hasan dan Husin. Bagi mereka, kubuatkan khuzairah (makanan terbuat dari tepung gandum dan daging). Usai makan, mereka tidur, kemudian Rasulallah menyelimutkan di atas mereka Kisa’ (jenis pakaian yang lebar) atau qathifah (semacam kain halus). Beliau lalu berdoa, ‘Ya Allah, mereka itulah ahlul baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’” (HR. At-Thabari dalam ‘Tafsir-nya’).

 

Penuturan Ummu Salamah r.a. ini, diriwayatkan juga oleh sumber-sumber lain dengan beberapa perubahan kalimat dan tambahan pada bagian terakhir kalimat (yaitu setelah akhir kalimat ‘mereka sesuci-sucinya’), contohnya berikut ini:

Ketika itu, Ummu Salamah bertanya: ’Apakah aku tidak termasuk mereka?’ Rasulallah Saw. menjawab, ‘Engkau berada dalam kebajikan.’;

Hadis lain, dengan tambahan pada bagian akhir kalimat sebagai berikut: Ummu Salamah bertanya: ‘Aku, ya Rasulallah, apakah aku tidak termasuk ahlul-bait’? Rasulallah Saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi’; 

 

Hadis lain lagi, dengan tambahan kalimat terakhir: Ummu Salamah berkata: ‘Ya Rasulallah, masukkan aku bersama mereka’. Rasulallah Saw menjawab: ‘Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’; 

Hadis lain lagi dengan tambahan, Ummu Salamah bertanya: ‘Apakah aku bersama mereka?’ Rasulallah Saw. menjawab: ‘Engkau berada ditempatmu, engkau berada dalam kebajikan’;

 

Hadis lain yang agak panjang, dengan tambahan, Ummu Salamah bertanya: ‘ya Rasulallah, dan aku’?...Demi Allah, beliau Saw. tidak menjawab; ’Ya’. Beliau Saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan’.

Demikianlah, kita mengetahui dengan jelas, hadis-hadis tersebut di atas ada kesamaan dalam menyebutkan, Ali, Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husin [r.a.] sebagai ahlul bait Rasulallah Saw.. Akan tetapi, dalam ‘Apakah Ummu Salamah (isteri Nabi Saw) termasuk ahlul bait Rasulallah Saw.’, tidak terdapat kesamaan. (Tafsir At-Thabari jilid XXII; 5,6,7,8; Tuhfatul-Ahwadzi jilid IX;66 dan Keutamaan Keluarga Rasulallah Saw. oleh K.H.Abdullah bin Nuh). 

 

Perbedaan kedudukan isteri Nabi Saw. Ummu Salamah r.a. yang diriwayatkan oleh hadis-hadis di atas masih tidak seberapa mencolok. Sebab, bagaimana pun juga, isteri Nabi Saw. adalah termasuk keluarga beliau Saw., kendati tidak disebut ahlul bait.

 

Berikut, hadis semakna yang sangat mencolok dan mengejutkan, yang memasukkan orang lain kedalam ahlul bait Rasulallah Saw..

Abu Ammar berkata, “Aku duduk di rumah Watsilah bin Al-Asqa, bersama beberapa orang lain yang sedang membicarakan Ali r.a. dan mengecamnya. Ketika mereka berdiri (hendak meninggalkan tempat), Watsilah segera berkata, ‘Duduklah, kalian hendak kuberitahu tentang orang yang kalian kecam itu (Ali r.a.). Di saat aku sedang berada di kediaman Rasulallah Saw., datanglah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Beliau kemudian melemparkan Kisa’-nya (jenis pakaian yang lebar) kepada mereka, seraya bersabda, ‘Ya Allah, mereka ini ahlu-baitku. Ya Allah, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’

Aku (Watsilah) bertanya, ‘Ya Rasulallah, bagaimanakah diriku’? Beliau menjawab, ‘Dan engkau’! Watsilah bin Al-Asqa melanjutkan kata-katanya, ‘Demi Allah, bagiku peristiwa itu merupakan kejadian yang sangat meyakinkan.’” (Hadis ini tercantum dalam Tafsir At-Thabari jilid XXII: 6, hadis dari Abu Nuaim Al-Fadhl bin Dakkain. Ia menerimanya, dari Abdussalam bin Harb. Abdussalam menerimanya dari Kaltsum Al-Muharibi yang menerimanya dari Abu Ammar).

 

Periwayatan para perawi yang berbeda-beda dari peristiwa/ kejadian yang sama itu menunjukkan dengan jelas, bahwa “kelainan tidak terletak pada peristiwanya, melainkan pada orang-orang yang meriwayatkannya (para perawi)”. Sadar atau tidak sadar, masing-masing terpengaruh oleh suasana persilangan sikap dan pendapat akibat pertikaian politik masa lalu. Kenyataan yang memprihatinkan itu mudah dimengerti karena ,menurut riwayat, pencatatan atau pengkodikasian hadis-hadis baru dimulai kurang lebih pada tahun 160H, yakni setelah keruntuhan kekuasaan daulat Bani Umayah dan pada masa pertumbuhan kekuasaan daulat Abbasiyah.

 

Ada sebagian orang dari keturunan ahlul-bait Nabi Saw., dan para pengikutnya menempuh jalan yang dipandang termudah yaitu, menerima dan meyakini kebenaran hadis-hadis yang diberitakan dari kalangan ahlul-bait sendiri. Cara demikian ini dapat dimengerti, karena bagaimana pun juga orang-orang dari kalangan ahlul-bait pasti lebih mengetahui peri kehidupan Nabi Saw. Mereka ini, tinggal seatap dengan beliau Saw. dan langsung beroleh pendidikan dan pengajaran dari beliau Saw., sejak kecil hingga dewasa. Demikianlah pandangan para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah Saw. pada mulanya.

 

Dalam perkembangan zaman-zaman berikutnya, karena adanya pengejaran dan penindasan yang dialami para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi Saw., mereka berusaha mengkonsolidasi kekuatan, baik mental maupun fisik. Untuk mengimbangi ekstremitas pihak-pihak yang membenci dan mengejar-ngejar mereka, pada akhirnya ada sebagian para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi Saw. terperosok pula kedalam ekstremitas yang sama, khususnya dalam hal mengkultuskan pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Ahlul-Bait R.asul-allah Saw.. Mereka menciptakan teori ajaran tambahan dalam agama Islam ,diluar pengetahuan para Imam mereka (dari ahlul-bait) yang telah wafat, untuk meningkatkan semangat dan kesetiaan kepada ahlul-bait.

 

Lebih jauh lagi, merekayang ekstremitassama sekali tidak mau menerima penafsir.an apa pun atau hadis apa pun yang diriwayatkan oleh pihak selain pihak ahlul-bait Rasulallah Saw. Demikianlah pula sebaliknya, pihak lawan punyang ekstremitas tidak mau menerima penafsiran dan hadis apa pun yang diberitakan oleh pencinta dan pengikut ahlul bait itu. Hadis yang bersumber dari Imam Ali bin Thalib k.w. pun kadangkala masih mereka tolak, kecuali yang diberitakan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dan rekan-rekannya. Demikianlah sekelumit sejarah Islam mengenai ahlul-bait pada zaman Bani Umayah dan Bani Abasyiyah.

 

Tafsir Surah Al-Kautsar

Dinasti Bani Umayah dan Bani Abbas kini sudah punah. Akan tetapi, rupanya pengaruh politiknya masih berpengaruh sampai zaman kita sekarang. Salah satu buktinya adalah, jarang sekali di kumandangkan atau dikenal dengan merata oleh kaum Muslim hadis-hadis mengenai keturunan/nasab (Ahlul-Bait) Rasulallah Saw.. Demikian pula, dengan banyaknya ulama yang yang memutar balik, menggeser dan menakwil makna hadis-hadis mengenai ahlul-bait, hadis tsaqalain, dan hadis safinah berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Demikian juga, cukup banyak pakar ulama, yang sengaja menyembunyikan riwayat-riwayat mengenai keutamaan Ahlul-Bait dan keturunannya.

 

Yang lebih jauh dan aneh, adanya kelompok yang  menyatakan dengan seenaknya sendiri, bahwa keturunan Nabi Saw. (dzuriyah nabi) telah punah. Semuanya, telah terbantai di peperangan antara Sayidina Husin bin Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya [ra] dengan golongan Yazid bin  Muawiyah di Karbala.

 

Begitu pula ada golongan yang mengatakan, kita semua keturunan Nabi Adam a.s., jadi tidak ada perbedaan antara keturunan Rasulallah Saw. dengan keturunan lainnya, kecuali orang yang paling bertakwa dan sebagainya. Sebagian golongan Pengingkar menggunakan argumen ini untuk menghapus jejak dan eksistensi Ahlul Bait. Ada lagi, yang lebih parah. Karena tidak senang atau dengki kepada keturunan Nabi Saw., mereka berani mengatakan bahwa keturunan ini telah putus dan tidak ada sama sekali atau masih belum konkret adanya nasab tersebut. Omongan mereka ini, menjiplak omongan orang kafir Quraisy kepada Rasulallah Saw. waktu putra beliau Saw. yang terakhir wafat dan belum sempat memiliki keturunan. Mendengar bisikan-bisikan golongan pengingkar ini, kita teringat akan peristiwa nyata pada masa-masa kelahiran agama Islam.

 

Kisah ringkasnya seperti berikut:

“Ketika putra Rasulallah Saw. yang bernama Qasim wafat di usia belia, salah seorang tokoh musyrikin Quraisy bernama Ash bin Wail bersorak-sorak gembira. Ia bersorak bahwa Rasulallah Saw. tidak akan mempunyai keturunan lebih lanjut.

Ulah-tingkah dan ucapan Ash bin Wail inilah yang menjadi sebab turunnya wahyu Ilahi Surah Al-Kautsar kepada Rasulallah Saw. Ayat terakhir surah Al-Kautsar menegaskan: ‘Sungguhlah, orang yang membencimu itulah yang abtar (putus keturunan)’. Firman Allah Swt. terbukti dalam kenyataan, bahwa keturunan Rasulallah Saw. berkembang-biak dimana-mana, sedangkan keturunan Ash bin Wail putus dan hilang ditelan sejarah! Ash bin Wail sudah tiada bersisa, tetapi teriakannya masih mengiang-ngiang di telinga golongan pengingkar, pembenci keturunan Rasulallah Saw. tersebut.  

 

Kini, kita rujuk kitab-kitab tafsir yang menjelaskan Surah Al-Kautsar. Selengkapnya surah ini berbunyi:

         إنَّاأعْطَيْنَاكَ  الكَوْثرَْفَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْح

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.  Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorban lah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus ”. (QS Al-Kautsar [108]: 1-3).

 

Surah ini, diturunkan sebagai jawaban terhadap tuduhan bahwa keturunan Rasulallah Saw. telah terputus dengan wafatnya Qasim. Jadi, yang dimaksud kalimat Nikmat yang banyak dalam ayat itu, menurut ahli tafsir adalah bahwa Rasulallah Saw. memiliki keturunan yang banyak dan baik, melalui pernikahan antara Siti Fathimah Az-Zahra dan Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w..

Kebanyakan dari keturunan Siti Fathimah ini menjadi para Imam yang memberi petunjuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ketaatan kepada Allah Swt. dan keridhaan-Nya. Adapun, yang dimaksud kalimat "Orang yang membencimu dialah yang terputus" dalam ayat itu adalah orang yang beranggapan bahwa Rasulallah Saw. tidak memiliki keturunan!

 

Penjelasan seperti itu, dapat dibaca di antaranya dalam kitab-kitab berikut: [Tafsir Fathul Qadir, oleh Asy-Syaukani, jilid 30, hal.504; Tafsir Gharaibul Quran (catatan pinggir) Majmaul Bayan, jilid 30, hal.175; Tafsir Majmaul Bayan, oleh Ath-Thabrasi, jilid 30, hal.206, cet. Darul Fikr, Beirut; Nurul Abshar, oleh Asy-Syablanji, hal.52, cet. Darul Fikr, tahun 1979 Miladiyah; Al-Manaqib, oleh Syahrasyub, jilid 3, hal.127].

 

Menurut Ustaz Quraish Shihab, dalam bukunya Tafsir Atas Surah-Surah Pendek.., surah Al-Kautsar ini diturunkan di Makkah dan merupakan surah ke-14 dalam turunnya wahyu serta surah ke-108 dalam urutan mushaf. Al-Kautsar, menurut arti kata berasal dari akar kata yang sama dengan ‘Katsir’ yang berarti ’Banyak’. Jadi Al-Kautsar berarti, sesuatu nikmat yang banyak.  Ustaz Quraish Shihab mengemukakan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam mengartikan ‘Al-Kautsar’ pada surah ini:

Pendapat pertama, sebagian berpegang pada hadis nabi Saw.dari Anas bin Malik (HR Muslim dan Ahmad) yang menceritakan ‘Al-Kautsar’ sebagai sebuah nama telaga yang ada disurga, yang dianugerahkan oleh Allah kepada Nabi. Menurut Ustaz Quraish Shihab, hadis ini ditolak oleh Muhamad Abduh sebagai penjelasan terhadap surah Al-Kautsar.

 

Pendapat kedua, sebagian lagi berpegang sejarah pada hadis lainnya mengenai ejekan Abtar yang berarti ‘terputus keturunan’. Sehingga Al-Kautsar berarti Allah menganugerahkan keturunan yang banyak kepada Rasulallah Saw.. Pendapat kedua ini, dikutip juga oleh Imam Suyuthi dalam bukunya Asbab Annuzul serta Addur Al-Mantsur, serta ulama pakar tafsir lainnya seperti Al-Alusi, Al-Qasimi,Al-Jamal, Abu Hayan, Muhamad Abduh, Thabathabai dan lain lain. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang paling banyak dipercaya oleh para ulama ahli tafsir.

 

Pendapat ketiga, sebagian lagi menganggap bahwa Al-Kautsar berarti keduanya, yaitu nikmat Allah yang banyak, yang diberikan kepada Nabi Muhamad Saw.. Salah satunya berupa keturunan yang banyak, telaga di surga serta nikmat-nikmat lainnya.

 

Sejarah meriwayatkan juga, waktu putra beliau Saw. yang terakhir wafat dan belum sempat memiliki keturunan, sedangkan saat itu nabi Saw. serta Khadijah r.a. dalam usia yang telah cukup tua. Waktu Khadijah sedang hamil, semua orang menunggu apakah Khadijah akan memberikan seorang anak lelaki atau perempuan. Ketika ternyata Khadijah melahirkan seorang puteri (yang kemudian diberi nama Fatimah Az-Zahra), maka orang-orang Quraisy bersorak dan mengatakan bahwa Muhamad "Abtar". Kata-kata Abtar ini adalah, ejekan yang diberikan kepada orang yang terputus keturunannya.

 

Pendapat terbanyak dari ahli tafsir mengenai sebab-sebab turunnya surah Al-Kautsar ialah, Allah Swt. memberikan nikmat kepada Nabi Saw. berupa keturunan yang sangat banyak. Jika riwayat dari berbagai pakar tafsir ini diterima, itu berarti Al-Quran telah menggaris bawahi sejak dini, tentang akan berlanjutnya keturunan Nabi Muhamad Saw., dan bakal banyak dan tersebarnya mereka itu.

Allah menurunkan wahyu kepada nabi Muhamad Saw. berupa surah Al-Kautsar ini, menunjukkan bahwa Allah Swt. sesungguhnya telah memberikan nikmat yang banyak dengan kelahiran sayidah Fatimah r.a. tersebut, dan dari rahim Siti Fatimah r.a. akan lahir keturunan yang banyak. Selanjutnya, dalam ayat tersebut, Rasulallah diperintahkan untuk bershalat dan berkurban (akikah sebagai wujud rasa syukurnya). Dan pada ayat yang ketiga disebutkan, musuh-musuh Rasulallah yang mengejek itulah yang kemudian diejek oleh Al-Quran sebagai ‘Abtar’ (terputus).

 

Surah ini dimulai, dengan kata ‘Inna/Sesungguhnya’ yang menunjukkan bahwa berita yang akan diungkapkan selanjutnya adalah sebuah berita yang besar yang boleh jadi lawan bicara atau pendengarnya meragukan kebenarannya.”

Ustaz Quraish Shihab juga mengutip pendapat lainnya, bahwa penggunaan kata "kepadamu" pada ayat ketiga menunjukkan, bahwa anugerah Allah tersebut (berupa keturunan yang banyak) tidak terkait dengan kenabian melainkan merupakan pemberian Allah kepada pribadi Nabi Muhamad Saw. yang dikasihi-Nya.

 

Dalam buku tersebut, juga dikemukakan beberapa argumen yang mendukung bahwa dzurriyah/keturunan Rasulallah Saw. memang dilanjutkan melalui rahim Fatimah r.a. dan bukan melalui anak lelakinya. Di antaranya, dalam surah Al-An‘am [6]: 84-85, bahwa Al-Quran menganggap nabi Isa a.s. sebagai dzurriyah Ibrahim meski pun beliau a.s. lahir dari Maryam (seorang perempuan keturunan Ibrahim a.s). Juga banyak hadis yang mengutarakan bahwa Rasulallah memanggil Al-Hasan dan Al-Husain sebagai "anakku".

 

Sejarah juga membuktikan, dari rahim Siti Fatimah, Rasulallah Saw. memperoleh dua orang cucu (putra) yang sangat dicintai beliau yaitu Al-Hasan dan Al-Husain r.a. Kemudian setelah peristiwa Karbala, satu-satunya anak lelaki yang tersisa dari keturunan Al-Husin yaitu Ali Ausath yang bergelar "Zainal Abidin" atau "Assajad" (ahli sujud), kemudian beliau ini meneruskan keturunan Nabi Saw. dari Imam Husin. Demikian juga, keturunan dari Imam Hasan.

Imam Husin sendiri, memiliki enam anak lelaki, dan hanya satu yang selamat setelah peristiwa Karbala. Sedangkan, Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib k.w. memiliki sebelas anak lelaki, beberapa di antaranya meneruskan keturunan. Hingga saat ini, alhamdulillah ada banyak sekali dzurriyah (keturunan) Nabi Saw. dari Siti Fatimah r.a. melalui Ali Zainal Abidin Assajjad bin Husin bin Ali bin Abi Thalib [r.a.] dan kemudian menyebar di seluruh muka Bumi. Bahkan, menurut Ustaz Quraish Shihab, dzurriyah (keturunan) Nabi Saw. ini begitu banyaknya dibandingkan keturunan manusia lainnya. Demikianlah sedikit keterangan dari bukunya Ustaz Quraish Shihab.

 

Pernah juga di Indonesia, berita yang dimuat dikoran-koran beberapa silang waktu lalu, pernyataan salah seorang ulama Indonesia yang menyatakan bahwa Hasan bin Ali bin Abi Thalib tidak punya keturunan. Semua keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib sudah dibantai di Karbala, pernyataan seperti ini sering diutarakan pada hari ulang tahun Al-Irsyad. Pernyataan seperti itu, sudah tentu tidak ada dalilnya sama sekali baik secara aqli (akal) maupun naqli (nash). Ungkapan ini, tidak lain karena ketidak-senangannya atau kedengkian pada golongan Alawiyin (salah satu julukan keturunan Nabi yang dari Hadramaut/ Yaman Selatan).

 

Bila Ali bin Husin bin Ali bin Abi Thalib r.a. dianggap tidak ada dalam sejarah, maka akan fiktif pulalah teman-teman beliau seperti Az-Zuhri dan Said bin Musayab yang kedua tokoh ini merupakan sumber banyak hadis sunni. Begitu pula, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab fiqih serta sejarah Islam yang memuat banyak nama-nama cucu dari sayidina Hasan dan sayidina Husin bin Ali bin Abi Thalib, semuanya ini harus dihapus atau dibuang!

Begitu juga, cucu keempat Rasulallah Saw. ,Imam Jakfar As-Shadiq r.a., yang terkenal dalam sejarah dan dikenal oleh empat Imam juga (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal [r.a.] ) dan pengikutnya. Imam Jakfar As-Shadiq, adalah nama yang sangat dikenal oleh semua mazhab baik itu Ahlus-sunnah wal jamaah, Syiah, Zaidiyyah, Salafi/Wahabi  dan lainnya.

 

Dari nasab Imam Jakfar As-Shadiq banyak juga melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam. Nama dan nasabnya ialah, Jakfar As-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husin bin Ali bin Abi Thalib k.w..  Beliau lahir tahun 80 H/699 M dan wafat tahun 150 H/765M. Ibu beliau ialah, cucu dari khalifah Abu Bakar As-Shiddiq r.a. yang bernama Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhamad bin Abu Bakar As-Siddiq. Menurut riwayat, yang pernah berguru juga dengan Imam Jakfar ini yaitu, Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767M) dan Imam Malik bin Anas (93-179H/712-795M).

 

Kalau kita ziarah ke kuburan Baqi’ di Madinah, di sana akan kita dapati kuburan secara berurutan yang telah dikenal baik di kalangan para ulama. Masing-masing kuburan Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Imam Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib, Imam Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib k.w. dan kuburan Imam Jakfar As-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib.

 

Segala sesuatu, baik Al-Quran dan Sunnah Rasulallah Saw. serta sejarah, disampaikan melalui riwayat yang ditulis oleh para perawi dan diteruskan serta dikembangkan oleh para ulama pakar baik dari zaman dahulu sampai akhir zaman nanti. Begitupun juga mengenai nasab keturunan manusia banyak kita ketahui dengan melalui riwayat yang ditulis dari zaman dahulu sampai akhir zaman. Karena semua itu anjuran agama agar manusia selalu menulis hal-hal yang dianggap penting. Dengan adanya riwayat-riwayat ini, kita bisa mengenal sejarah Islam, datuk-datuk dan keturunan Rasulallah Saw., para Nabi dan Rasul lainnya, para sahabat dan para tabi’in dan para ulama atau suku-suku lainnya.

 

Bantahan atas fitnah golongan Pengingkar 

Syaikh Segaf Ali Alkaff dari Jeddah/Arab Saudi, menjawab makalah yang ditulis oleh seorang ulama bernama Syaikh Ali Tantawi. Hal ini, dimuat di surat kabar As-Syarqul Ausat tanggal 20/12/1406H bertepatan dengan tanggal 05 september 1985 nomer edisi 2483 dengan judul ‘Peringatan-peringatan Syaikh At-Tantawi’.

Syaikh Ali Tantawi menulis: “Dan orang-orang Hadramaut berperingkat-peringkat di antara mereka terdapat Alawiyin yang menamakan dirinya sebagai sadah yang mulia. Ada pula yang tidak mengaku demikian. Padahal, nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan takwanya bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya. Sedangkan orang yang mulia itu adalah orang yang bertakwa dan orang yang agung itu adalah, orang yang baik dalam perbuatan dan perilakunya. Kemudian kebanyakan nasab-nasab yang dikatakan bersambung dengan Rasulallah Saw. tidak dapat dibuktikan dan dipertanggung -jawabkan melainkan semata-mata adalah anggapan orang-orang yang mempunyai nasab itu dan saya tidak menuduh nasab seseorang, tetapi, saya ingin menerangkan suatu kenyataan yang konkret…”

 

Berikut sebagian tanggapan Syaikh Segaf Ali  Alkaff:

Syaikh Tantawi ini tidak hanya mengemukakannya dalam surat kabar, tetapi mengulangi perkataan yang sama dalam suatu siaran radio ketika ditanya tentang syarat-syarat kafaah dalam nasab dan hukum nikah. Tujuannya hendak menyebarluaskan pandangannya yang kontroversial/menimbulkan fitnah. Alangkah baiknya, kalau Syaikh ini menjawab pertanyaan yang diajukan padanya–mengenai kafaah (sederajad atau sepadan) nasab–tersebut dengan merujuk pendapat para ulama yang sudah dikenal di dunia yaitu Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal [r.a.], yang menjadikan kafaah nasab sebagai syarat dalam pernikahan, sementara Imam Malik tidak mensyaratkan- nya. Dalam kegigihan beliau (Tantawi) menyebarluaskan makalahnya itu, Syaikh Ali Tantawi mengulangi kata-kata yang sama lagi dalam peringatannya pada bagian keenam halaman 133 baris ke 18.

 

Syaikh ini, mengatakan; “Orang-orang Hadramaut (Yaman selatan) mempunyai tingkat-tingkat, di antara mereka terdapat golongan Alawiyin yang mengaku sebagai bangsawan dan di antara mereka ada yang tidak mengaku demikian”. Juga beliau berkata, “nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan takwanya serta orang yang mulia bukan karena ayah atau datuknya…” dan katanya lagi, “Saya tidak menuduh nasab seseorang akan tetapi saya menerangkan suatu kenyataan yang konkret”.

 

Kata-kata yang keluar dari mulut orang alim, biasanya akan diterima dan ditelan oleh orang-orang awam atau jahil tanpa dikaji lagi, sehingga dosanya akan ditanggung oleh si alim itu. Dengan perkataan di atas ini, beliau tidak mengetahui tentang susunan masyarakat Hadramaut. Orang-orang Hadramaut mempunyai silsilah dan nasab bagi kabilah-kabilahnya, disana terdapat golongan  Masyaikh dari keluarga Al-Amudi yang terkenal nasabnya, Bafadal, Baabad, Al-Khatib, Al-Katiri, Tamim, Syaiban, Nahd dan lainnya dari kabilah-kabilah Hadramaut yang terpelihara nasabya dan dihormati seperti kabilah-kabilah yang terdapat di jazirah Arab.

 

Dan tingkat-tingkat masyarakat yang beliau maksudkan, bukan pada tempat-nya, karena pengertian tingkatan ialah, suatu perbedaan antara tingkatan masyarakat dalam segi kemasyarakatan, umpamanya terdapat di antara mereka:  a) masyarakat tingkatan buruh, b) tingkatan kapitalis/majikan, c) tingkatan lainnya.

Adapun yang ada pada orang-orang Hadramaut adalah tingkatan dalam segi kesukuan atau marga. Dengan demikian, seorang bangsa Alawi dapat tergolong dalam tiga kelompok tingkatan di atas (a,b,c ) ini, tapi bangsa Alawi ini tidak dapat digolongkan kepada kabilah selain dari kabilahnya, dan tidak pula di golongkan pada marga selain marganya.

 

Sebenarnya, Syekh Tantawi sendiri tahu, orang-orang Arab sejak permulaan Islam sangat fanatik dengan nasab keturunan mereka, sehingga Rasulallah Saw. pernah menyebutkan nasab dirinya dan khalifah Abu Bakar r.a. dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan tentang nasab, hingga digelari sebagai pakar nasab Arab. Kemudian, terdapat puluhan kitab yang dikarang mengenai ilmu nasab dan ratusan kitab mengenai nasab dan silsilah keluarga Rasulallah Saw.. Semua orang tahu, nasab keturunan keluarga Rasulallah Saw. terutama Alawiyin telah terbukti beritanya dengan luas dan mutawatir, tersusun dari ayah hingga kedatuk mereka, dari zaman kita hingga kezaman Rasulallah Saw., adapun orang yang mengingkari berita mutawatir jelas hukumnya dalam Islam.

 

Benar kata Syaikh ini, nilai seseorang itu dalam agama Islam terletak pada ilmu dan takwanya, dan bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya, tetapi ini adalah pengertian secara umum. Adapun orang yang mulia yang dimaksudkan Syaikh disini, bukanlah orang mulia yang termasuk dalam pengertian umum di atas. Karena, yang dimaksud orang-orang mulia adalah orang yang mempunyai pertalian nasab dengan keluarga Muhamad Saw., yang kecintaannya adalah sebagian dari agama dan kebenciannya adalah keluar dari agama. Agama tidak pernah melarang seseorang menasabkan kepada ayah dan datuk, bahkan diakuinya. Rujuklah kitab Thabaqat, yang menyebut nasab bagi setiap biografi seseorang, demikian juga kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab para perawi lainnya, dan tidak ada orang yang mencelanya.

 

Kalau begitu, mengapa golongan pengingkar ini selalu menuntut keturunan Rasulallah Saw. agar tidak menasabkan dirinya kepada ayah-ayah dan datuk mereka? Padahal, banyak kaum Alawiyin yang berilmu, bertakwa, mempunyai kemuliaan serta memberi petunjuk, dan mempunyai kelebihan yang diberikan Allah Swt. pada mereka. Demi Allah, ini suatu ke tidakadilan.

 

Islam tidak menafikan pertaliannya dengan seseorang, bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang di terangkan dalam kitab-kitab fiqih para ulama, di antaranya Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang berkenaan dengan orang yang mempunyai pertalian nasab dengan Rasulallah Saw.. Sejak permulaan abad hingga ke abad ini, kitab-kitab fiqih mereka diabadikan oleh para imam kenamaan lainnya, dan mereka tidak pernah menafikan atau mencelanya, bahkan mereka menyediakan bab-bab khusus dalam kitab mereka ini. Begitu juga, para pakar ini belum pernah menulis dan menyatakan ketiadaan keturunan Rasulallah Saw. didalam kitab-kitabnya, tidak lain karena wujudnya keturunan tersebut.

 

Syaikh ini mengatakan, “Kebanyakan nasab-nasab ini yang dikatakan berhubungan dengan Rasulallah Saw. tidak ada yang membuktikan dan menguatkannya, selain dari kata-kata mereka sendiri”. Bagaimana beliau bisa mengatakan seperti ini, padahal banyak para ahli hadis dan fiqih serta ahli sejarah dan biografi telah menerangkan nasab keluarga Bani Alawi dengan sejarah kewafatan mereka sekali, yang penulisnya bukan dari golongan Bani Alawi seperti Imam As-Sakhawi, Ibnu Hajar Al-Haithami dan lain-lain.

 

Mari kita rujuk salah satu hadis Rasulallah Saw., tentang kemuliaan bangsa Quraisy saja, yang diriwayatkan oleh Tabarani dalam kitabnya Al-Kabir dari Abu Hurairah yang Rasulallah Saw. bersabda: ‘Utamakanlah orang-orang Quraisy dan jangan kamu mendahului mereka, belajarlah kamu dari orang-orang Quraisy dan jangan mengajari mereka, kalau tidak karena aku khawatir kelak orang Quraisy menjadi sombong, pasti telah kuberitahukan kedudukan mereka, dan orang-orang yang baik dikalangan mereka disisi Allah Ta’ala’.

 

Selanjutnya Syaikh Segaf mengatakan:

Syaikh Tantawi ini mengatakan juga, “Saya ini tidak menuduh nasab, tetapi hanya menerangkan sesuatu yang konkret.” Apa yang dimaksud dengan hakikat konkret ini? Padahal, masalah nasab Alawi ini sudah banyak ditulis para perawi dan terbukti dengan bukti-bukti dalil yang pasti. Bagaimana Syaikh ini bisa menerangkan sesuatu yang konkret ini, sedangkan beliau sendiri tidak mengemukakan alasan (dalil) yang kuat dan hakikat yang beliau katakan ini, dan darimana datangnya hakikat yang konkret itu?

 

Segala sesuatu ajaran dalam Islam disampaikan dengan jalan riwayat, misalnya Al-Quran dan sunnah Rasulallah Saw., disampaikan kepada kita melalui pertalian riwayat dan begitu juga sejarah, tempat-tempat peperangan serta nasab keturunan. Kalau kita biarkan, setiap orang dengan seenaknya melepaskan kata-katanya, karena tidak sefaham atau karena tidak dia senangi tentang perkara-perkara yang sudah terbukti kebenarannya, akan timbul banyak tuduhan-tuduhan bohong terhadap peristiwa-peristiwa sejarah atau hukum syar’i.

 

Dalam hukum Islam, barangsiapa terbukti kebenaran nasabnya, kemudian ada orang lain yang menuduh sebaliknya, maka penuduh ini harus mengemukakan bukti dalam hal itu. Bila, penuduh ini tidak bisa mengemukakan bukti, dia harus dijatuhi hukum Had sebagai Qazif karena menuduh tanpa bukti (seperti halnya si Syaikh ini). Padahal, Syaikh ini juga mengetahui hukum syar’i karena beliau pernah menjabat sebagai hakim/qadi selama beberapa tahun.

 

Ulama Hadramaut, Yaman, dan Al-Haramain Asy-Syarifain telah bersepakat mengenai kebenaran nasab Bani Alawi yang bersambung kepada Rasulallah Saw.. Mereka semuanya menyebutkan dalam tulisan-tulisan mereka tentang Bani Alawi dan memberikan catatan tentang biografinya sekali dengan sempurna, bahkan sebagian mereka menulis secara khusus tentang pribadi-pribadi mereka. Tidak seorang pun mengatakan ketidakbenaran nasab mereka, semuanya menerima nasab keluarga ini dengan penerimaan yang mutlak, karena hal ini sudah termasyhur dan mutawatir. Sehingga, orang yang mencela kepada keturunan Nabi Saw. ini, tidak akan mencela pada nasab mereka, tapi mencela (yang tidak mereka senangi) kedudukan yang mereka (Bani Alawi) peroleh ditengah-tengah masyarakat Hadramaut.

 

Barangsiapa ingin meneliti kitab-kitab yang tersebut berikut ini, bisa didapati di perpustakaan umum atau khusus di Hadramaut, Yaman, Al-Haramain As-Syarifain, Kuwait, Darul Kutub di Mesir atau diperpustakaan manuskrip-manuskrip Arab.

Nama-nama (sebagian) penulis dari kalangan ulama Hadramaut, Yaman dan Al-Haramain As-Syarafain dan Sejarah wafat mereka, antara lain sebagai berikut:  

Tabaqat Fugahail Yaman oleh Bahauddin Abu Abdillah Muhamad bin  Yusuf Bin Ya’kub Al-Jundi, wafat tahun 732H 

At-Tuhfatun Nuraniyyah oleh Abdullah bin Abdurrahman Bawazir, wafat tahun 850 H;

At-Tarfatu Gharbiyah Bi Akhbar Hadramaut Al-Ajibah oleh Al-Maqrizi, wafat tahun 845 H;  

Manaqib Al-Faqih Al-Muqaddam Muhamad bin Ali Ba’Alawi dan Wafayat A’yanil Yaman oleh Abdurrahman bin Ali Hasan tinggal di Raidah Almasyqa Hadramaut, wafat tahun 818 H;

 

Al-Jauharus Sayafaf Fi Fadhail Wa Manaqibis Sadah Al-Asyraf oleh Abdurrahman Sohibul Wa’al Al-Khatib Al-Ansari Al-Hadrami, wafat 855 H;

Tabaqatul Khawas Ahlis-Sidqi Wal Ikhlas oleh Ahmad bin Ahmad Abdul Latif As-Syarji Az-Zubaidi Al-Yamani, wafat tahun 893 H;

Al-Barqatul Masyiqah oleh Ali bin Abu Bakar As-Sakran bin Abdurrahman Assegaf, wafat tahun 895 H;

Mawahibul Qudrus Fi Manaqib Abu Bakar bin Abdullah Alaydrus oleh Muhamad bin Omar bin Mubarak Al-Hadrami terkenal dengan sebutan Bahriq, wafat tahun 930 H;

 

Tarikh Syambal oleh Ahmad bin Abdullah bin Alwi dikenal dengan Ibnu Syambal Al-Hadrami wafat tahun 945 H;

Tarikh Thaghri And Wa-Qalaidin Nahr oleh Muhamad At-Tayyib Ba-Makhramah wafat tahun 947 H;

Tuhfatul Muhibbin Wal Ashab Fi Makrifati Ma Lil-Madaniyina Minal Ansab oleh Abdurrahman Al-Ansari,wafat tahun 1195H 

Nasyrun Nuri Wazzahr Fi Tarajim Al-Qarnil Asyir Ilal Qarni Rabi’ Asyar oleh As-Syaikh Abdullah Murad Abul Khair, wafat tahun 1343 H;

Siyar Wa Tarajim Ba’dhi-Ulamana Fil Qarnir Rabi’ Asyar oleh Omar Abdul Jabbar, wafat tahun 1391 H.

Demikianlah, sebagian jawaban saudara Segaf Ali Alkaff terhadap Syaikh Tantawi! (Sebenarnya saudara Segaf Ali Alkaff mencatat nama-nama kitab dan penulis yang tercantum di atas ini jumlah semuanya adalah 26, tapi kami hanya mengutip sebagian saja karena takut sipembaca jenuh—pen.).

 

Imam Al-Mahdi 

Berikut hadis-hadis Rasulallah Saw. mengenai keturunan beliau Saw. ,Imam Al-Mahdi, yang akan lahir di akhir zaman. Dengan demikian, insya Allah lebih jelas  buat para pembaca bahwa keturunan beliau ini masih wujud sampai akhir zaman. 

Al-Mahdi, menurut bahasa artinya petunjuk jalan, pemimpin. Imam Muhamad Al-Mahdi adalah, pemimpin yang akan lahir atau datang di dunia apabila hari kiamat hampir tiba (kamus besar bahasa Indonesia 1990, halaman 543). Mahdi dari bahasa Arab (Al-Mahdiy) artinya orang yang dipimpin Allah kepada kebenaran.

 

Banyak di kitab para perawi dan ulama pakar yang mengutip hadis Rasulallah Saw., baik dari mazhab Ahlus-Sunnah, mazhab Syiah mau pun mazhab lainnya, meriwayatkan Al-Mahdi ini, misalnya tentang namanya, gelarnya, nasabnya dan sifat-sifatnya. Begitu juga tentang apa yang akan dilakukannya, imamah dan khilafahnya serta kemunculannya dan sebagainya.

 

Hadis-hadis mengenai Imam Mahdi 

Hadis yang menjelaskan secara implisit bahwa Nabi Isa a.s. akan turun setelah Imam Mahdi r.a. muncul dan beliau a.s. shalat dibelakang Imam Mahdi, bisa dirujuk dalam Shahih Bukhari 2 : 256 cet. Dar Al-Fikr.

 

Didalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 3:345 telah diriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir, dia telah mendengar Nabi Saw. bersabda, “Senantiasa segolongan dari umatku berperang di atas kebenaran, mereka menang hingga hari kiamat tiba, lalu turunlah Isa putra Maryam, kemudian berkatalah pemimpin  mereka (Imam Mahdi); ‘Mari Shalat (sebagai Imam) bagi kami’. Dia (Nabi Isa a.s.) bersabda, ‘Tidak, sesungguhnya engkau (Imam Mahdi) pemimpin bagi mereka, sungguh Allah telah memuliakan umat ini.’”

 

Didalam Al-Shawaiq Al-Mughirah hal.98, Ibnu Hajar telah berkata, At-Thabrani telah mengeluarkan hadis secara marfu’. Rasulallah Saw. bersabda, “Al-Mahdi akan memperhatikan ketika Isa bin Maryam telah turun, seolah air menetes dari rambutnya, kemudian Al-Mahdi akan berkata, ‘Silahkan kedepan shalat (sebagai imam) bagi manusia’. Isa a.s. berkata, ‘Shalat telah di iqamahkan untukmu’. Kemudian dia (Isa a.s.) shalat di belakang seorang lelaki (Imam Al-Mahdi) dari keturunanku’ ”.

 

Hadis yang sanadnya dari Ashim bin Bahdhalah dari Abdullah yang berkata, Rasulallah Saw. bersabda, “Dunia tidak akan lenyap sampai seorang lelaki dari Ahlul baitku yang namanya sama denganku menguasai bangsa Arab”.  (HR. Tirmidzi 2:36 cet. Bulaq).

 

Juga hadis Rasulallah Saw.,“Tidak akan terjadi saat (kiamat) hingga berkuasa seorang lelaki dari ahli baitku yang namanya sama dengan namaku.” (HR. Ahmad bin Hanbal 1: 376).

Hadis dari Ummu Salamah, Rasulallah Saw. bersabda, “Al-Mahdi berasal dari umatku dari keturunan anak cucuku.” (HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Imam Suyuthi, menunjukkan akan kesahihannya dalam kitab Al-Jami’, begitu juga Al-Albani mengakui kesahihan hadis ini.

 

Hadis dari Ibnu Mas’ud, sabda Rasulallah Saw., “Akan tampil seorang lelaki dari ahli baitku yang namanya sama dengan namaku, dan perawakannya menyerupai perawakanku, lalu ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebenaran, sebagaimana sebelumnya bumi ini telah diliputi kezaliman dan kesesatan”. (HR. At-Thabrani, Kanzul Ummal 7: 188).

 

Hadis dari Hudzaifah, sesungguhnya Nabi Saw. telah  bersabda, “Seandainya usia dunia tinggal satu hari lagi, niscaya Allah akan memperpanjang hari itu sampai Dia membangkitkan seorang lelaki dari (keturunan) anakku yang namanya seperti namaku”. Salman berkata: ‘Dari anakmu yang mana ya Rasulallah?’ Beliau bersabda: “Dari keturunan anakku in”, sambil beliau Saw. menepukkan tangan-nya kepada Al-Husain r.a.’” (Dakhair Al-‘Uqba).

 

Abu Daud dalam Sunan-nya dari jalur Asim Bin Ibnun Nujud dari Zar bin Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulallah Saw. sabdanya, “Sekiranya tidak tinggal melainkan sehari umur dunia, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu, sehingga dibangkitkan padanya seorang dariku atau dari keluargaku, yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku, ia akan memenuhi bumi dengan keseksamaan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” Hadis ini, disahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah an-Nabawiyah.

 

Abu Daud dalam Sunan-nya mengatakan, “Telah    memberitahu saya Ahmad bin Ibrahim dari Abdullah bin Jakfar Ar-Rugi, dari Abul Malij Hasan bin Omar dari Ziyad bin Bayan dari Ali bin Nufail dari Said bin Al-Musayib dari Ummu Salamah: “Aku mendengar Rasulallah Saw. bersabda, ‘Al-Mahdi adalah dari keturunanku dan dari cucu Fathimah,’”  

 

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari Said bin Musayib katanya, “Kami pernah berada di rumah Ummu Salamah r.a. dan kami menyebut-nyebut Al-Mahdi, maka katanya, ‘Aku mendengar Rasulallah Saw. bersabda, ‘Al-Mahdi dari keturunan  Fathimah.’ ”  Hadis ini juga disahihkan oleh As-Suyuthi, dalam kitab Al-Jami’ As-Saghir. 

 

Begitu juga Abu Daud meriwayatkan lagi dalam Sunan-nya, “Telah memberitahuku Suhail bin Tamam bin Badi’ dari Imaran Al-Qattan dari Abi Nadrah dari Abi Said Al-Khudri katanya, telah bersabda Rasulallah Saw., ‘Al-Mahdi dari keturunanku, lebar dahinya dan mancung hidungnya, ia memenuhi bumi dengan keseksamaan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan dan akan berkuasa selama 7 tahun.’” Hadis ini, disahihkan oleh Ibnul Qayim dalam kitabnya Al-Manar dan As-Suyuthi dalam Al-Jami’ As Saghir.

 

Selain riwayat-riwayat di atas, masih banyak lagi riwayat mengenai akan munculnya Imam Al-Mahdi dari keturunan Rasulallah Saw. pada akhir zaman. Silahkan rujuk kitab-kitab berikut ini: [Sunan Abu Dawud dalam Al-Mahdi;  Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 1:99, 376-377, 430, 448; jilid 2: 336; jilid 3: 17, 28, 98-99, 317, 345, 367, 384; Sahih Ibnu Majah dalam Abwab Al-Jihad dan Abwab Al-Fitan; Al-Mustadrak 4: 460, 463, 502, 514, 554, 557-558;  Majma’ Al-Zawaid 7: 314-317;  Kanzul Ummal 7: 189, 260-261; Sahih Muslim dalam kitabnya Al-Fitan; Qashash Al-Anbiya hal.554; Hilyah Al-Auliya 3: 184; Usud Al-Ghabah 1: 259 dan lain lain].

 

Semoga firman Allah Swt., hadis-hadis dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan di atas cukup menjelaskan pembaca dan sebagai bukti, bahwa keturunan Nabi Saw. itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Adapun, yang berpendapat bahwa nasab keturunan Nabi Saw. sudah punah/putus sama sekali tidak memiliki dasar. Semoga Allah Swt. memberi hidayah kepada kita semua. Amin.Wallahua’lam

                 

Hadis dari Cucu Rasulallah yang Keenam

“Dua orang ahli hadis, yaitu Abu Zar’ah Ar-Rozi dan Muhamad bin Aslam At-Thusi bersama para penuntut ilmu dan ahli  hadis yang tidak terhitung jumlahnya menemui salah satu cucu Ali bin Husin bin Ali bin Abi Thalib yaitu, Imam Ali Ridha bin Musa Al-Kazhim bin Jakfar As-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husin bin Ali bin Abi Thalib k.w. (keturunan keenam dari Rasulallah Saw.) yang sedang memasuki kota Naisabur melewati sebuah pasar. Kedua tokoh hadis ini, menghadang beliau dan minta padanya untuk meriwayatkan hadis yang beliau dengar dari ayah atau kakeknya"..

 

Imam Ali Ridha r.a. menghentikan kereta tunggangannya, lalu berkata, “Ayahku Musa Al-Kazhim memberiku sebuah hadis dari ayahnya Jakfar As-Shadiq, dari ayahnya Muhamad Al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin dari ayahnya, Al-Husin dari ayahnya Ali bin Abi Thalib r.a. Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Kekasihku dan penyejuk hatiku Rasulallah Saw., memberiku sebuah hadis. Beliau Saw. bersabda, ‘Jibril berkata kepadaku, Aku mendengar Allah yang Mahaagung berfirman; La ilaha illallah adalah benteng-Ku. Barangsiapa mengucapkannya, ia masuk ke dalam benteng-Ku. Dan barangsiapa memasuki benteng-Ku, selamat dari siksa-Ku’ “.

 

Setelah itu, Imam Ali Ridha r.a. pergi meneruskan perjalanannya. Menurut riwayat, lebih dari 20 ribu orang yang menulis hadis di atas ini. Kesahihan riwayat ini, membuktikan bahwa keturunan Rasulallah Saw. masih sinambung, melaui kesaksian para ahli hadis bertemu dengan cucu Rasulallah Saw. yang keenam ini.

Riwayat yang semakna, tetapi berbeda versinya diketengahkan juga oleh Ibnu Hajar dalam As-Shawa’iq al-Muhriqah” hal. 310 pasal ketiga. Hal ini, juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab Nur al-Abshar hal.168, bab ‘Manaqib Sayid Ali Ar-Ridho bin Musa al-Kazim.’

 

Pengakuan Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Seorang Mufti resmi kerajaan Arab Saudi ,salah satu ulama kaum Wahabi-Salafi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, pernah ditanya oleh saudara kita dari Irak mengenai anak cucu Rasulallah Saw. yang memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak semestinya mereka lakukan.

Jawaban Syaikh terhadap pertanyaan saudara dari Irak ini dimuat dalam majalah ‘Al-Madinah’  hal. 9 nomer 5692 tanggal 07 Muharram 1402 H bertepatan tanggal 24 oktober 1982 sebagai berikut:

“Orang-orang seperti mereka (cucu Nabi Saw.) itu, terdapat diberbagai tempat dan negeri. Mereka, terkenal juga dengan gelar Syarif. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang mengetahui, mereka itu berasal dari keturunan Ahlul Bait Rasulallah Saw. Di antara mereka itu, ada yang silsilahnya berasal dari Al-Hasan r.a. dan ada pula yang berasal dari Al-Husin r.a. Ada yang dikenal dengan gelar ‘Sayid’ dan ada juga yang dikenal dengan gelar ‘Syarif’.

 

Itu merupakan kenyataan yang diketahui umum di Yaman dan di negeri-negeri lain. Mereka itu, sesungguhnya wajib bertakwa kepada Allah dan harus menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah bagi mereka. Semestinya, mereka itu harus menjadi orang-orang yang paling menjauhi segala macam keburukan.

 

Kemuliaan silsilah mereka wajib dihormati, dan tidak boleh disalahgunakan oleh orang yang bersangkutan. Jika mereka diberi sesuatu dari baitul mal, itu memang telah menjadi hak yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Pemberian halal lainnya ,yang bukan zakat, tidak ada salahnya kalau mereka itu mau menerimanya. Akan tetapi, kalau silsilah yang mulia itu disalah gunakan, lalu ia beranggapan bahwa orang yang mempunyai silsilah itu dapat mewajibkan orang lain supaya memberi ini dan itu, sungguh itu merupakan perbuatan yang tidak patut.

 

Keturunan Rasulallah Saw. adalah keturunan yang termulia, dan Bani Hasyim adalah yang paling afdhal/utama dikalangan orang-orang Arab. Oleh karena itu, tidak patut kalau mereka melakukan sesuatu yang mencemarkan kemuliaan martabat mereka sendiri ,baik berupa perbuatan, ucapan ataupun perilaku yang rendah.

 

Adapun, soal menghormati mereka, mengakui keutamaan mereka dan memberikan kepada mereka apa yang telah menjadi hak mereka, atau memberi maaf atas kesalahan mereka terhadap orang lain, dan tidak mempersoalkan kekeliruan mereka yang tidak menyentuh soal agama, semuanya itu adalah kebajikan  Dalam sebuah hadis Rasulallah Saw. berulang-ulang mewanti-wanti, ‘Kalian kuingatkan kepada Allah akan Ahlul Baitku…kalian kuingatkan kepada Allah akan Ahlul Baitku’. Jadi, berbuat baik terhadap mereka, memaafkan kekeliruan mereka yang bersifat pribadi, menghargai mereka sesuai dengan derajatnya, dan membantu mereka pada saat-saat membutuhkan, semuanya itu merupakan perbuatan baik dan kebajikan kepada mereka”.

Demikianlah pengakuan Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang masih wujudnya cucu/ keturunan Nabi Saw.

                                                           

Habib Ali Kwitang Menurut HAMKA

Rifai, seorang Indonesia Islam yang tinggal di Florijn 211, Amsterdam Bijlmermeer, Belanda, pada tanggal 30 desember 1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A. Mukti Ali dimana ia mengajukan pertanyaan, “Benarkah habib Ali Kwitang dan habib Tanggul keturunan Rasulallah Saw.? Mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal.“

Oleh Menteri Agama, surat itu diserahkan kepada Prof. DR.H.Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) untuk menjawabnya melalui Panji Masyarakat, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya lebih merata.

 

Sebagian isi yang kami kutip mengenai penjelasan Prof.Dr.Hamka, tentang gelar Sayid yang dimuat dalam majalah tengah bulanan ‘Panji Masyarakat’ No.169 tahun ke XV11, 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) hal.37-38 sebagai berikut:

“Rasulallah Saw. mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil, dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini, hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau Saw. dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husin, dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘Kedua anakku ini menjadi Sayid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya, memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husin Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh, telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Filipina.

 

Harus diakui, banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Di antaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah, bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayid Al-Qadri. Di Siak, oleh keluaga Sayid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia, Sayid Putra adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.

 

Kedudukan mereka di negeri ini turun temurun yang menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka, datang dari Hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Faqih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abu Bakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, AlmuSawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.

Yang terbanyak dari mereka adalah, keturunan dari Al-Husin dari Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid, mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini, telah tersebar di dunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang, umumnya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayidati Fathimah Az-Zahra [r.a.]

 

Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia, pihak Al-Irsyad yang menantang dominasi kaum Ba’alwi (Alawiyin), menganjurkan agar yang bukan keturunan Al-Hasan dan Al-Husain memakai juga titel Sayid dimuka nama nya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Akan tetapi, setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, dengan pimpinan A.R. Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan Al-Akh artinya Saudara.

Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Basrah/Irak ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh  dari cucu Rasulallah Saw. Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”  Demikianlah Hamka.

 

Peran Kaum Alawiyin di Nusantara  

Pemusnahan peran bangsa Arab, khususnya kaum sayid Alawiyin, dalam penyebaran Islam di Indonesia, merupakan agenda utama pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan berbagai cara, pemerintah kolonial Belanda menghilangkan peran kaum Alawiyin (julukan keturunan Nabi Saw. yang berasal dari Hadramaut/Yaman selatan) membumikan Islam di Nusantara. Anehnya, beberapa sejarawan Indonesia ikut terpengaruh dengan isu tersebut dengan tulisannya yang terdapat dalam buku-buku sejarah, yang beredar dikalangan umum maupun pelajar. Mereka ini menyatakan, Islam yang datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang Gujarat atau dari Negara Cina, bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah. Pendapat mereka ini, bertentangan dengan pendapat para sejarawan, baik yang ditulis oleh penulis Barat maupun penulis Timur.

 

Mayoritas sejarawan, mengatakan bahwa para pedagang Arablah, khususnya kaum Alawiyin dari Hadramaut, yang menyebarkan agama Islam di kepulauan Hindia Timur (Indonesia). Teori ini, dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Hollander. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XV11 dan XV111). Teori Arab, yang di kemukakan oleh Niemann dan de Hollander (Azyumardi Azr.a, loc cit, hal.27),keduanya mengatakan bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadramaut (Yaman Selatan).

 

Teori Gujarat ini, sejak tahun 1958 sudah mendapat koreksi dan kritik dari HAMKA, yang melahirkan teori baru yakni teori Makkah. Koreksi tersebut, dikuatkan dalam sanggahannya dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di Medan tahun 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab, sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Hal itu, sesuai pula dengan pendapat Keijzer, yang memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan budaya penduduk muslim di kedua wilayah, yang berpegang kepada mazhab imam Syafi’i.

 

Kini, banyak sudah dilakukan penelitian intensif oleh beberapa sejarawan Indonesia. Hasil penelitian itu, menyatakan adanya para pedagang Arab di Sumatera Utara atau lebih tepatnya di Aceh, sebelum lahirnya Islam. Penelitian ini, menamakannya sebagai ‘Wajah Arab di Indonesia’. Bangsa Arab mempunyai pengaruh kuat dalam kebudayaan Indonesia yang memantul juga dalam sastra dan bahasanya. Sebelum penjajahan Belanda memasukkan huruf latin, sebagian besar bahasa di Indonesia menggunakan bahasa Arab. Kata-kata bahasa Arab hingga kini banyak yang diterima sebagai resmi Indonesia. Sudah tentu. pengaruh Arab itu terutama dalam bidang kebudayaan terlihat makin kuat sesudah masuknya Islam keseluruh kepulauan ini.

 

Kedatangan para syarif Hadramaut ke India, dan dari sana ke Asia Tenggara, merupakan sebab dari ketidak fahaman sebagian sejarawan, khususnya sejarawan Eropa. Kesalahan mereka adalah, mereka menganggap para dai yang datang ke Asia Tenggara adalah dari India. Dalam kitab Hadhir al-Alam al-Islami, karya Amir Syakib Arsalan disebutkan, bahwa (sebagian) para sejarawan Eropa menerangkan secara serampangan. Satu ketika sejarawan Eropa mengatakan, para dai ini berasal Gujarat dan pada kesempatan lain mengatakan, para dai ini adalah orang-orang Parsi. Jadi, dalam masalah ini mereka (sejarawan Eropa) hanya berputar-putar dan tidak lepas dari kebodohan.

 

Seorang penulis sejarah penduduk pulau Jawa yang bernama Haji Ali bin Khairuddin, di dalam bukunya Keterangan-Keterangan Kedatengan Bongso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadhramaut hal.113 mengatakan, kedatangan orang-orang Arab di kepulauan ini (Indonesia) terjadi pada akhir abad ke-7 H. Mereka datang dari India, terdiri dari sembilan orang yang oleh penduduk Jawa disebut Walisongo yakni Sembilan Waliyullah.

Mereka adalah bersaudara, yaitu: Sayid Jamaluddin Agung, Sayid Qamaruddin, Sayid Tsana’uddin, Sayid Majduddin, Sayid Muhyiddin, Sayid Zainul Alam, Sayid Nurul Alam, Sayid Alawi dan Sayid Fadhl Sunan Lembayung. Mereka semua ini adalah, putra-putra dari Ahmad bin Abdullah bin Abdulmalik  bin Alawi bin Muhamad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhamad bin Alawi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Al-Bashiri bin Muhamad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam Ali bin Abi Thalib k.w. dan Fathimah Az-Zahra r.a. binti Muhamad Rasulallah Saw. Mereka semua adalah dzurriyatun-Nabi (keturunan Nabi Saw).

 

Datuk ketiga sembilan orang waliyullah tersebut adalah, Sayid Abdul Malik bin Alawi, lahir dikota Qasam, sebuah kota di Hadramaut/Yaman Selatan, sekitar tahun 574 H. Beliau meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama rombongan para Sayid dari kaum Alawiyin. Di India, beliau bermukim di kota  Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, di antaranya ialah, Sayid Amir Khan Abdullah bin Sayid Abdul Malik ,lahir dikota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan dia lahir disebuah desa dekat Nashr Abad. Dia anak kedua dari Sayid Abdul Malik. Sayid Amir Khan ini, mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’adzdzam Syah Maulana Ahmad.

 

Maulana Ahmad Syah Muadzdam ini, mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari anak lelaki itu, meninggalkan India berangkat mengembara. Ada dari mereka ini, yang kenegeri Cina, Kamboja, Siam (thailand) dan ada pula yang pergi kenegeri Anam dari Mongolia Dalam (negeri Mongolia, termasuk wilayah Cina). Di antara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah, Sayid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayid Ahmad.

Di Kamboja Sayid Jamaluddin ini, nikah dengan anak perempuan salah seorang Raja dinegeri itu (menurut versi lain yang nikah dengan anak Raja Kamboja ialah putra Jamaluddin Al-Akbar, yaitu Ibrahim Asmoro). Dari istrinya ini, dia mempunyai dua anak lelaki yang bernama Sayid Ibrahim Al-Ghazi dan Sayid Jalal Al-Mu’adzdzam Maulana Zahid Alhakim Abdul Malik. Sayid Al-Ghazi seorang pejuang besar yang berhasil mengislamkan beberapa daerah di Cina, Melayu dan Sumatera. Sedangkan saudaranya, Sayid Jalal, tidak diketahui riwayat hidupnya dan tidak pernah ada berita tentang nasibnya.

 

Maulana Sayid Al-Ghazi ini meninggalkan India pergi ke Siam, kemudian bersama ayahnya ,Sayid Jamaluddin, ia mendarat di Aceh (Sumatera Utara). Disana, ia menggantikan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan agama Islam. Adapun ayahnya ,Sayid Jamaluddin, bersama beberapa orang saudara sepupunya berangkat naik perahu menuju pulau Jawa. Mereka mendarat dikawasan pesisir Semarang, kemudian melalui jalan darat tibalah di Pajajaran. Di sinilah, Sayid Jamaluddin bertempat tinggal.

Hal ini, terjadi pada masa akhir kekuasaan raja-raja di Pajajaran, yakni beberapa tahun sebelum kekuasaan Raja Jawa di Pajajaran berpindah ketangan Majapahit. Sayid Jamaluddin lalu berangkat ke Jawa Timur, dan tibalah di Surabaya. Pada waktu itu, Surabaya merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduk, dikelilingi hutan-hutan dan sungai-sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel, di sinilah Sayid Jamaluddin bertempat tinggal.

 

Satu setengah tahun kemudian, Sayid Jamaluddin ini bersama lima belas pengikutnya dan beberapa pembantu–yang semuanya terdiri dari kaum muslimin yang baru saja memeluk agama Islam–berangkat kepulau Sulawesi di Makassar (Ujung Pandang). Dia tinggal ditanah Bugis, dan tidak lama kemudian dia wafat dikota Wajo. Sedangkan tentang anak lelakinya ,Sayid Al-Ghazi Maulana Ibrahim Alhakim, masih selalu pulang pergi dari Aceh ke Kamboja. Di Kamboja, ia nikah dengan wanita Cina, yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki, yang bernama Maulana Ishak dan Maulana Rahmatullah.

Atas didikan ayah mereka ,baik dalam hal agama maupun amal penerapannya, kedua-duanya menjadi Imam dan Alim (luas pengetahuan agama- nya). Maulana Ishak kemudian berangkat seorang diri ke Malaka (Tanah Melayu), lalu tinggal di Riau dan menyebar luaskan agama Islam dikalangan penduduk.

 

Sayid Maulana Ishak ini, cukup lama tinggal di Pulau Pinang. Sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli tasawuf di sana, ia mengajarkan Tarekat Syathariyah, suatu tarikat yang dihayati oleh para orang tuanya pada masa itu, dan yang mereka ambil dari ajaran-ajaran datuknya, yang diberikan kepada para ulama Islam di India. Kemudian, Maulana Ishak  pindah ke Banyuwangi dengan tujuan untuk berdakwah disini.

Di Banyuwangi, dia memperoleh sambutan kehormatan dari penduduk, sehingga Raja Blambangan ,Menakjinggo, mengundangnya datang di istananya. Blambangan terletak dikawasan pesisir utara Banyuwangi. Maulana Ishak ini nikah dengan putri Menakjinggo, yang konon putrinya sudah memeluk agama Islam, dan ayahnya pun telah memeluk Islam, tetapi ia menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi serangan orang-orang Budha (Hindu).

 

Dari perkawinannya ini, Maulana Ishak dikarunia seorang anak lelaki, yang diberi nama Sayid Muhamad Ainul Yakin. Sayid Muhamad oleh orang-orang Jawa, disebut dengan nama Pangeran Prabu, sedangkan penduduk Banyuwangi menamainya Raden Paku. Dialah Sunan Giri yang mendirikan zawiyah (pondok khusus bagi para penganut aliran tasawuf) dan dialah datuk (kakek) Sunan Perapen.

 

Adapun Maulana Rahmatullah bin Ibrahim Alhakim yang dijuluki dengan nama Zainal Akbar Jamaluddin Alhusain, disebut juga dengan nama Sunan Ampel  ,lahir dikota Champa, sebuah kota dinegeri Kamboja. Atas perintah ayahnya ,Maulana Ibrahim, dia datang kekepulauan Hindia Timur (Indonesia) pada tahun 751 H. Ia tiba di Jawa dan bermukim di Surabaya dan mempunyai hubungan baik dengan raja Prabu Wijaya V yang beragama Hindu Brahmana. Prabu Wijaya berhubungan intim dengan budak perempuan berkebangsaan India, yang pada akhirnya budak ini hamil.

 

Karena Prabu takut diketahui istrinya, budak ini dibawa ke Palembang dan meminta kepada saudaranya ,Raden Damar, di Palembang agar sudi mengakui bahwa budak itu hamil dari Raden Damar ini. Anak yang lahir dari budak ini, diberi nama Raden Joyowisnu. Anak ini, setelah dewasa ia pergi ke Jawa dan berhubungan baik dengan Imam Rahmatullah (Sunan Ampel) dan sekaligus menjadi muridnya. Pada akhirnya, Raden Joyowisnu ini memeluk agama Islam, dan oleh Sunan Ampel diganti namanya dengan Abdul Fattah (dikenal dengan Raden Patah). Dia mengetahui, ayahnya itulah yang mengusir ibunya, yang sedang hamil ke Palembang.

 

Raden Fattah melancarkan balas dendam untuk memerangi ayahnya sendiri yang masih beragama Hindu Brahmana. Gurunya ,Sunan Ampel, telah mencegahnya dengan keras untuk memerangi kerajaan ayahnya dan menasihatinya, bahwa agama Islam adalah agama akal yang mengutamakan kebijaksanaan, bukan agama perang atau agama kekerasan. Akan tetapi, Abdul Fattah tetap melaksanakan peperangan dengan kerajaan ayahnya, sehingga ia dijauhi oleh gurunya karena tidak mentaati petunjuk dan nasihatnya. Dua tahun kemudian, Sunan Ampel menyaksikan sendiri ketabahan dan kemantapan Abdul Fattah dalam membela dan menegakkan agama Islam, barulah ia di biarkan mendekatinya kembali.

 

Raden Abdul Fattah mendirikan kesultanan Islam pertama, terpisah dari kerajaan Majapahit, di Demak dekat Kudus, tidak jauh dari Semarang. Panji dan bendera kesultanan Demak pada masa itu berwarna dasar hitam dan bertuliskan kalimat: “La ilaha illallah Muhamad Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, Radhina billahi Rabban wa bil Islami dinan wa bi Muhamadin Nabiyan”.

 

Melihat kenyataan tersebut, ayah Raden Fattah sangat gusar. Sebagai Raja Majapahit, ia mengeluarkan keputusan untuk memerangi melawan kaum Muslimin. Bertahun-tahun Raden Abdul Fattah berkecimpung dalam peperangan melawan kerajaan Majapahit, sehingga ayahnya raja Prabu Wijaya bersama pasukannya meninggalkan istananya menuju pulau Bali. Di Bali ini, dia mendirikan kerajaan Hindu yang baru bertempat di sebuah kota bernama Kelungkung. Sejak dahulu sampai detik ini, sebagian besar penduduknya beragama Hindu.

 

Adapun, anak lelaki Sunan Ampel yang bernama Maulana Ibrahim Al-Ghazi, oleh kaum muslimin Jawa disebut dengan nama Sunan Bonang selalu menyertai Raden Abdul Fattah dalam peperangan. Setelah Maulana Ibrahim ini wafat, ia dimakamkan di Bonang. Namun, oleh orang-orang Madura kuburannya dibongkar dan kerangka jenazahnya diangkut ke Madura untuk dimakamkan dipulau itu. Baru saja perahu yang mengangkutnya sampai kepesisir (pantai Tuban), tiba-tiba pecah. Jenazahnya, dibawa kedarat dan dimakamkan kembali di Tuban, disebuah tempat terkenal dengan nama Istanah. Ia wafat tidak meninggalkan keturunan karena selama hidupnya tetap membujang, tidak pernah nikah sama sekali. Ia seorang yang gemar ber’uzlah, menjauhkan diri di tempat-tempat terpencil. Silahkan ikuti kajian berikutnya

 

Tulisan-tulisan para sejarawan dalam penyebaran Islam di Indonesia dan negeri Timur lainnya.

Berikut, catatan para pakar sejarah tentang pengaruh bangsa Arab ,khususnya kaum Alawiyin, dalam penyebaran Islam di Nusantara dan negeri Timur lainnya.

Para pakar sejarah menjelaskan, penyebaran agama Islam di kepulauan Hindia Timur (Indonesia) terdiri dari  golongan pedagang Arab dan ada pula dari mereka khusus datang untuk menyebarkan agama Islam dikalangan penduduk setempat.

 

Gustave Le Bon, dalam bukunya La Civilisation des Arabs, menceritakan tentang perjalanan bangsa Arab kedaerah-daerah lain, ia berkata bahwa bangsa Arab dahulu adalah kaum pelancong terkemuka. Mereka tidak gentar dengan jauhnya jarak yang akan mereka tempuh. Selanjutnya ia berkata, kita belum pernah melihat dalam sejarah ada satu bangsa yang mempunyai pengaruh yang nyata seperti bangsa Arab. Kebudayaan Arab diterima, walaupun dalam beberapa waktu saja, oleh semua bangsa yang berhubungan dagang dengan mereka. Setelah bangsa Arab lenyap dari panggung sejarah, bangsa-bangsa yang menaklukkan bangsa Arab seperti bangsa Turki dan Mongol mengambil adat istiadat mereka dan menyebarkan pengaruh mereka di dunia. (Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal.31).

 

Van Rijck Vorsel, dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu ‘Riwayat Kepulauan Hindia Timur’, menyebut bahwa orang-orang Arab sudah datang dipulau Sumatera 750 tahun lebih dulu sebelum orang-orang Belanda. Akan tetapi, kedatangan orang-orang Arab untuk menyebarkan agama Islam dikepulauan itu, baru terjadi dalam tahun 1292 M dan penyebaran agama tersebut dilakukan dikalangan kerajaan-kerajaan Pasai.

 

Pakar sejarah asing, seperti Rowland Son, Sturrock, dan Francis Dai mengatakan, semenjak abad ke 7 M, bahkan sebelumnya, orang-orang Arab telah bermukim di Hindia Barat, kemudian mereka keberbagai tempat. Namun, mereka lebih mengutamakan tempat tinggal di Malabar.

 

Di dalam Encyclopedie Van Nederlandsche Indie vol.II P.P. 5769, Doktor Snouck Hurgronje menyebut, pengaruh orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam lebih besar daripada (bangsa) yang lain. Pakar sejarah, Prof. Husain Jayadiningrat di dalam majalah ‘Bahasa dan Budaya’ menunjuk kepada Encyclopedie tersebut, dalam pembicaraannya mengenai Syarif Hidayatullah.

 

Snouck Hurgronje dalam Encyclopedie van Nederlandsche Indie vol.II XV P.P.567-569 mengatakan, sebagian besar penyebar  agama Islam datang dari negeri jauh. Mereka datang dari negeri Arab. Mereka, digelari Sayid karena mereka dari keturunan Al-Husin bin Ali, cucu Nabi Muhamad Saw. Orang-orang Persia dan India (Malabar dan Krumendal) mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di negeri ini (Hindia Belanda). Kendati demikian, tidak ada yang dapat mengingkari betapa besar pengaruh orang-orang Arab yang datang dari Makkah, khususnya dalam kehidupan keagamaan Islam.

 

Pengaruh mereka jauh lebih besar dari pengaruh Turki, atau India atau Bukhara. Pengaruh mereka itu, sangat terang dalam abad-abad ke 18 dan ke 19 M yaitu, pada masa-masa mulai berkobarnya semangat melawan kolonialisme, yakni ketika imprealisme Belanda berusaha memperkokoh kekuasaannya di Indonesia, dan imperialisme Inggris di Malaya. Dalam menghadapi imperialisme, tumbuh rasa keagamaan sangat kuat dalam berhubungan dengan orang-orang Arab.

 

R.O.Winstedt, misalnya, ia mengatakan, mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) itu datang dari Gujarat. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, ia menunjuk kepada orang-orang Arab yang menuju Kedah, di Semenanjung Melayu, dengan maksud berniaga. Bahkan, ia mengatakan juga, agama Islam tersebar dikawasan tersebut pada tahun 915 M.

 

Von Ronkel dan G.E.Marrison, keduanya berpendapat,  mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) datang dari India Selatan, tetapi keduanya tidak dapat menentukan nama tempat dari mana aslinya mereka itu datang. Bahkan, Marrison mengatakan, peranan orang-orang yang datang dari Gujarat baru terjadi setelah agama Islam tersebar di Samudera, yakni Aceh. Kaum orientalis yang mengatakan demikian itu, tidak memperhatikan kenyataan bahwa kaum muslimin gujarat bermazhab Hanafi, sedangkan kaum muslimin dinegeri-negeri Timur tidak demikian (bermazhab Syafi’i).

Jones, di dalam bukunya Sufisme Merupakan Bagian Sejarah di Indonesia berpendapat, orang-orang Arab dan lainnya memulai kunjungan mereka secara teratur ke Indonesia sejak abad ke-8 M.

 

Diago De Couto,  pakar sejarah berkebangsaan Portugal dapat memastikan, bahwa Aceh pada zaman dahulu sudah mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. 

Wilbers, mengatakan, para penyebar agama Islam datang dari negeri Arab.

Robertson mengatakan, para penyebar agama Islam datang dari Makkah dan dari daerah pantai Laut Merah.

 

Hendrik Kern mengatakan, para pedagang Arablah yang menyebarkan agama Islam. Di sana terdapat pedagang-pedagang Muslimin Arab, dan merekalah yang menyebarkan agama Islam. Pedagang-pedagang Muslimin, yang sebagian besar terdiri dari orang Arab menempati pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan pulau-pulau yang berdekatan. Mereka itulah yang menabur benih-benih agama Islam. Demikian juga, yang dikatakan oleh Thomas Arnold dan sejarawan sebelumnya ,Fransisco Geiter, bahwa orang-orang Arab bermukim didaerah selatan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat.

 

Van den Berg, seorang penulis berkebangsaan Belanda, ia menyebut bahwa pengaruh Islam terbesar dikalangan pribumi bersumber dari orang-orang Arab yang bergelar Sayid dan Syarif (yakni kaum Alawiyin). Berkat upaya dan kegiatan mereka itulah, agama Islam tersebar dikalangan raja-raja Hindu di Jawa dan dipulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya (selain kaum Alawiyin) yang berasal dari Hadramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh Islami. Kenyataan besarnya pengaruh kaum Sayid dan kaum Syarif kembali  kepada martabat mereka sebagai keturunan seorang nabi dan rasul pembawa agama Islam, yakni Muhamad Saw.

 

Begitu pula, menurut penelitian Van den Berg, orang Arab memang sudah lama hadir dan bermukim di Nusantara, tetapi orang Hadramaut secara massal datang ke Nusantara pada tahun-tahun ter.akhir abad ke 18 M (LWC Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Ar.ab di Nusantar.a hal.72). Setelah setengah abad, pada tahun 1844 koloni Arab di Batavia merupakan koloni terbesar di Nusantara, sehingga pemerintah Belanda mengharuskan adanya kepala koloni atau disebut Kapten Arab.

 

Di Batavia penduduk Arab terus bertambah, mereka tinggal dikampung-kampung yang dekat dengan pemukiman orang pribumi atau Betawi. Dalam hubungannya dengan aktivitas dakwah Islamiyah, golongan alawiyin/sayid dan golongan syeikh banyak memainkan perannya, tetapi golongan sayid jauh lebih menonjol. Kelompok elite yang dikenal orang Betawi hanya berkaitan dengan agama, yaitu guru mengaji, para haji dan orang Arab keturunan Nabi, yang disebut Sayid atau Habib. Para sayid atau habib sangat dihormati bukan hanya karena dipandang keturunan Nabi yang sudah selayaknya menerima penghormatan, melainkan juga mengingat jasa kelompok ini yang sejak lama sebagai penyebar Islam dan sumber kader ulama ((ibid, hal.39).

 

Para sejarawan Cina, bangsa Arab sudah mendarat di pesisir pantai Sumatra sebelum lahirnya Islam. Dari hasil-hasil barang galian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, telah ditemukan tiga ribu tulisan pada batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian diukir dengan huruf Himyar, sebagian lainnya dalam bentuk syair Arab pada batu-batu nisan dengan mencantumkan tahun hijrahnya.

 

Ahli sejarah dari Hadramaut ,Sholah al-Bakri, dalam kitabnya Tarikh Hadramaut tahun 1936 mengatakan, tidak diragukan lagi bahwa hijrahnya orang Arab Hadramaut ke Jawa dan ke pulau-pulau sekitarnya adalah hijrah terbesar dalam sejarah mereka. Mereka, memasuki Timur jauh pada masa lautan penuh dengan bahaya. Lalu, mereka turun di pulau-pulau yang subur itu. Di antara hasil tersebar hijrah ini adalah, lenyapnya agama Hindu/ Budha dan tegaknya agama Islam.

 

Dalam surat kabar Samarat al-Funun tanggal 10 Sya’ban 1315H tertulis, “Syarif-syarif ini adalah ulama, dan mereka mengantarkan penduduk kawasan ini kepada agama Muhamad yang mulia. Sementara itu, agama ini sudah mantap, kecuali di kalangan beberapa suku kecil di pulau Bali, dan beberapa daerah pegunungan di Sumatera dan Borneo”.

 

Buku Sejarah Serawak di Perpustakaan ‘Rafles’ di Singapura menyebutkan bahwa Sultan Barakat adalah keturunan Al-Husin bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‘anhuma. Diterangkan bahwa ia datang dari Tha’if dengan sebuah kapal perang yang sangat terkenal pada masa itu. Dijelaskan lebih jauh, orang itu bernama Barekat bin Thahir bin Ismail (terkenal dengan nama julukan ‘Al-Bashri’, bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Muhamad An-Naqib…dan seterusnya sampai kepada Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib k.w.–red.).

Kaum Syarif di Makkah pada umumnya adalah, keturunan Al-Hasan r.a. (bin Ali bin Abi Thalib), sedangkan Barekat adalah keturunan Al-Husin r.a. Kaum Syarif di Makkah tidak melakukan penyebaran agama ke seberang lautan. Yang melakukan kegiatan demikian adalah kaum Sayid keturunan Al-Husin r.a. yang bermukim di Hadramaut/Yaman Selatan. Kegiatan itu, mereka lakukan terutama setelah terjadinya penyerbuan kaum Khawarij sekte Abadhiyah terhadap Hadramaut. Kota tempat mereka bermukim adalah Bait-Jabir, termasuk pusat perniagaan di negeri itu. Mereka mengumpulkan bekal dari Marbath, kemudian diangkut dengan kafilah ke Yaman.

 

Dalam sejarah kaum muslimin Filipina, dan dalam sejarah Sulu disebutkan, mereka berasal dari keturunan Abdullah bin Alwi bin Muhamad (penguasa Marbath) bin Ali Khali’ Qasam...dan seterusnya sampai Imam Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra binti Muhamad Saw.

 

Nageeb M.Saleeby di dalam bukunya yang berjudul ‘Department of The Interior Ethnological Survey Publication Studies in More History Law Relegion’ (Manila Bureau of Republic Printing 1905) dalam menyebut sejarah Mindanau mengatakan antara lain: “Sebelum kedatangan Islam tidak terdapat data sejarah yang akurat, dan tidak terdapat pula kisah atau cerita-cerita yang di-ingat orang. Setelah kedatangan Islam, barulah tampak penyebaran ilmu (pengetahuan), peradaban, dan berbagai kegiatan. Undang-undang dasar yang baru ditetapkan bagi Negara, ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditetapkan dan silsilah serta cabang-cabang keturunan dari orang-orang besar dibakukan  kemudian dengan hati-hati dan dijaga baik-baik oleh semua Sultan dan para bangsawan”.

 

Silsilah tersebut, dibakukan dalam sebuah catatan sejarah yang tertulis dengan bahasa Melayu Tinggi, terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut: “Alhamdulillah, saya yakin sepenuhnya bahwa Allah menjadi saksi atas saya. Buku catatan ini, berisi silsilah Rasulallah Saw. (yaitu mereka) yang tiba di Mandanau. Sebagaimana diketahui, Rasulallah Saw. mempunyai seorang putri bernama Fathimah Az-Zahra. Putri ini, melahirkan dua orang syarif, Al-Hasan dan Al-Husain. Tersebut belakangan (Al-Husain) itulah yang beranak Syarif (Ali) Zainal Abidin...”dan seterusnya.

 

Keturunan dari Muhamad (Al-Baqir) putra Zainal Abidin (yakni mereka yang datang dari Johor) ialah Ahmad bin Abdullah bin Muhamad bin Ali bin Abdullah bin Alwi (Ammul Faqih) bin Muhamad (Shahib Marbath) bin Ali (Khali’ Qasam) bin Alwi bin Muhamad bin Alwi (orang yang pertama disebut Alawi dan darinya berasal semua kaum sayid Al-Alawiyin di Hadramaut) bin Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa….dan seterusnya sampai kepada Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin.

 

Musyawarah kaum muslimin yang berlangsung di Sidogiri pada tanggal 30-april-1962, dihadiri oleh 165 orang ulama. Setelah mendengarkan, membahas, dan mencari bukti-bukti, memutuskan bahwa yang pertama menyebarkan Islam ke Indonesia adalah para syarif Alawiyin dari Hadramaut yang bermazhab Syafi’i. Naskah keputusan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Musyawarah, Haji Ahmad Khalil Nawawi, dan wakil Sekretaris Abdulgani Ali.  

 

Adapun mengenai orang-orang yang menyebarkan agama Islam di negeri-negeri Timur pada umumnya, dapat dituturkan sebagai berikut: Menurut beberapa buku sejarah Jawa dan menurut sementara kaum orientalis (ahli ketimuran) Barat, dinyatakan bahwa orang-orang Arablah yang membawa benih-benih agama Islam kenegeri-negeri Timur. Akan tetapi, beberapa orang dari kaum orientalis zaman belakangan masih tetap mengikuti pendapat Snouck Hurgronje yang berpendapat, penyebar agama Islam datang dari India. Meskipun begitu, mereka sendiri berbeda pendapat mengenai tempat (di India) darimana (aslinya) para penyebar agama Islam itu datang.  

 

Kesimpulan seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia yang dihadiri oleh jumlah besar budayawan dan sejarawan Indonesia, di antaranya memutuskan bahwa Islam untuk pertama kali masuk ke Indonesia pada abad pertama hijrah dan langsung dari Arab. Daerah pertama yang didatangi agama Islam adalah pesisir Sumatera (Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, hal.265).

 

Profesor Qaishar Makhul mengatakan, orang-orang yang datang dari Gujarat, dan yang datang dari India Selatan memainkan peranan bersama-sama. Akan tetapi, menonjol-nonjolkan peranan mereka dapat meniadakan peranan yang dimainkan oleh kaum Syarif, para ulama dan para pedagang Arab. Selain itu, dapat juga meniadakan peranan kaum muslimin Melayu dalam menyebarkan agama Islam. Ia mengatakan juga, tidaklah bertentangan dengan pemikiran kami sendiri jika kami mengatakan, sebagian besar penyebar agama Islam di Malaysia (Semenanjung Melayu) yang datang melalui India adalah orang-orang Arab atau orang-orang India peranakan Arab.

 

Lebih lanjut, ia mengemukakan, tidaklah mustahil bahwa sebagian penduduk setempat (kaum pribumi) memeluk agama Islam berkat kegiatan individual yang dilakukan oleh kaum Syarif berkebangsaan Arab, dari keturunan Sayidina Ali (bin Abi Thalib) dan sejumlah kaum pedagang yang bertakwa.

 

Prof. Abdul Mun’im Al-Adwi di dalam majalah Al-Arab yang terbit di Karaci (Pakistan) mengatakan, “Kita mempunyai kenangan indah tentang saudara-saudara kita orang-orang Hadramaut dan Yaman, yang telah memasukkan agama Islam ke Indonesia, Malaysia, Thailand dan negeri-negeri dikawasan Timur Jauh lainnya. Mereka, telah meninggalkan berbagai pusaka yang baik dikerajaan Ashifiyah (Emirat Haidarabad), Malabar (India bagian Selatan) dan di Kitiyawara.  Lebih lanjut ia mengatakan, orang-orang Arablah yang pertama masuk ke Citagong, di Teluk Benggala. Kemudian, nama tersebut mereka gunakan untuk menyebut nama sungai Qani’. Oleh orang-orang Inggris nama ‘Citagong’ dirubah menjadi ‘Cinagong’ dan dalam bahasa Benggali disebut sungai Syanjim.

 

Penduduk pulau Akyah dekat perbatasan Burma (Myanmar), hingga sekarang penduduknya masih berbicara dengan bahasa Arab di antara sesama mereka. Selain itu, mereka juga hingga sekarang masih tetap menjaga baik-baik nasab dan asal-usul, serta tradisi mereka. Mereka adalah, keturunan orang-orang Arab Hadramaut dan Yaman. Demikian juga, penduduk dipulau-pulau Maladef, hingga sekarang masih tetap mempertahankan ke-arab-an tradisi mereka yang asli.

 

Doktor Hamka mengatakan, kaum pendatang itu adalah orang-orang Arab atau asal keturunan Arab. Di antara mereka, ada yang datang dari Gujarat, dari Persia dan ada pula yang dari tanah Melayu. Pada bagian lain dari bukunya ‘Sejarah Ummat Islam’, Doktor Hamka menegaskan, agama Islam datang langsung (di Indonesia) dari negeri Arab. Orang-orang Indonesia berkeyakinan kuat, dan secara turun-temurun percaya bahwa mereka menerima agama Islam dari orang-orang Arab, ada yang sebagai guru yang mendakwahkan agama, dan ada pula orang-orang sayid dan syarif dari keturunan Rasulallah Saw. Lebih jauh Hamka mengemukakan, tidak sedikit orang-orang keturunan Sadah (kaum sayid) dan keturunan para sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Mereka, mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. Beliau mengetahui bahwa seorang guru tasawuf, Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi, mengajar sebagai guru dinegeri Arab.

 

Di antara murid-muridnya ialah, seorang ulama Sufi (ahli tasawuf) bernama Abdullah Al-Yafi’i (1300-1376M), penulis buku ‘Riyadhur-Rayyahin fi Hikayatis-Shalihin’. Disebut juga, Syarif Ali Ad-Da’iyah nikah dengan puteri saudara Sultan Muhamad, Sultan Brunai. Setelah wafat, kesultanan diserahkan kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Sebagaimana diketahui Syarif Ali adalah, Sultan ke tiga di Brunai. Beliau wafat pada permulaan abad ke 15, dan kesultanannya diserahkan kepada putranya yang bernama Sulaiman.

 

Doktor Hamka mengatakan juga, orang-orang keturunan Arab ,khususnya kaum Sayid, beroleh kedudukan dan martabat sangat terhormat. Keturunan mereka memegang tampuk kesultanan Aceh. Sultan yang pertama ialah, Sultan Badrul-Alam Asy-Syarif Hasyim Jamalullail (1699-1702M), kemudian Sultan Perkasa Alam Asy-Syarif Lamtsawi Asy-Syarif Ibrahim Abri. Hingga tahun 1946 M, beberapa orang perwira yang memimpin pasukan bersenjata di Aceh terdiri dari keturunan Arab. Sultan-sultan Perlis dari keluarga Jamalullail dan Sultan yang sekarang (yakni pada masa Hamka menulis bukunya) ialah, Tuanku Sayid Putra bin Almarhum Hasan Jamalullail.

 

Sebagai pembuktian tentang ke-arab-an para penyebar agama Islam, beliau mengemukakan bahwa di antara mereka itu adalah, Syaikh Islamil dan Sayid Abdulaziz, yang telah berhasil mengislamkan ‘Prameswara’. Sedangkan, Syaikh Abdullah Arif dan Malik Ibrahim sendiri adalah keturunan (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib bermukim di Gresik. Demikian juga, Syarif Hidayatullah adalah keturunan Muhamad Rasulallah Saw. Kedatangan para sayid dari kaum Alawiyin dari Hadramaut terjadi pada masa hidupnya Sultan Iskandar Muda di Aceh. (semua uraian yang bersumber dari Hamka ini di dasarkan buku beliau Sejarah Umat Islam jilid 4 hal. 21,42,46,47 dan buku beliau Tuanku Rau Antara Fakta dan Khayal, hal. 332).

 

Dalam bukunya Seminar Sejarah (Islam) hal. 75 mengatakan, harus diakui bahwa kaum Sayid dan kaum Syarif (kaum Alawiyin) sudah sejak semula telah mengambil bagian dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.

 

Doktor Hamka di dalam bukunya Sejarah Umat Islam jilid 4 juga mengatakan, di dalam cerita-cerita rakyat yang tertulis, banyak disebut tokoh-tokoh penting yang berasal dari keturunan Rasulallah Saw. Raja-raja dikepulauan Maluku, misalnya, disebut bahwa mereka itu berasal dari keturunan Jakfar As-Shadiq (cicit Rasulallah Saw). Disebut juga bahwa seorang sayid dari kaum Alawiyin datang dibeberapa daerah Timur Indonesia, untuk menyebarkan agama Islam. Banyak pula dibicarakan orang bahwa seorang sayid lainnya yang berada dikerajaan Kutai, datang dari Demak. Cerita-cerita seperti itu, meskipun tidak ditunjang oleh data tertulis atau tidak diperkuat dengan hujjah (argumentasi), bagaimanapun juga pasti mempunyai asal kenyataan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar cerita yang menunjukkan betapa besar peranan orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam dinegeri Melayu. Peranan yang tidak dapat kita lupakan.

 

Di Pariaman ,menurut Doktor Hamka, dan Sumatera Barat terdapat banyak keturunan raja-raja yang mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Pagaruyung. Mereka bergelar ‘Sultan’. Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah dengan kesultanan di Aceh bergelar ‘Bagindo’. Keturunan para sayid bergelar ‘Sidi’. Saudara Syaaf, pemimpin redaksi surat kabar Abadi adalah, seorang dari keturunan mereka, raut mukanya masih tetap seperti orang Arab. Hamka menyebut juga, seorang sayid yang datang ke kerajaan Riau beroleh kedudukan terhormat. Ia bernama sayid Zainal Husaini Al-Qudsi (Engku Kuning) [tidak ada silsilahnya, yakni tidak tercatat di dalam daftar silsilah yang dihimpun oleh Rabithah Alawiyah, Jakarta]. Keturunannya, masih terdapat di Daik dan Lingga.

 

Mengenai hubungan antara pulau Jawa dan negeri-negeri Arab ,menurut sumber berita sejarah dari negeri Cina, Hsin Tang Shu, sudah terjadi semenjak abad ke 7 M. Hal itu, dibenarkan oleh para pengembara Arab sendiri. Tidak diragukan lagi, pada masa itu pelabuhan-pelabuhan dikawasan Asia Tenggara menjadi tujuan kaum pedagang Arab. Bahkan, disemua kota perniagaan terdapat pedagang-pedagang beragama Islam. Demikianlah, menurut penuturan Prof.Gabril Feyrand di dalam bukunya (edisi Arab) Ashlun-Nassh Al-Arabi. Apa yang dikatakan olehnya itu disebut juga oleh Prof.Paul Weathley dalam bukunya The Golden Khersonese. Dua naskah dari buku Feyrand itu masih tersimpan di dalam museum Inggris.

 

Prof. Abdulmun’im An-Namr dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam di India mengatakan, pada zaman dahulu orang-orang Arab pergi ke Teluk Benggala, kenegeri Melayu dan kepulauan Indonesia. Di antara mereka, terdapat sejumlah pedagang dan pelaut-pelaut Hadramaut dan lain-lain. Mereka datang ke negeri-negeri tersebut membawa agama mereka yang baru (Islam) dan bermuamalat dengan kaum pribumi. Sumber-sumber yang terkenal dari penduduk setempat menuturkan, bahwa agama Islam sampai ke Filipina dibawa oleh tujuh orang Arab bersaudara, semuanya berasal dari Semenanjung Arabia.

 

Di antara mereka yang paling terkenal bernama Abu Bakar. Ia datang sekitar tahun 1450M. Kemudian ia oleh penduduk setempat diberi gelar Paduka Maha Sari Maulana Sultan Syarif Al-Hasyimi, sebagaimana tertulis pada pusaranya. Kesultanannya, diwarisi secara turun-temurun. Salah satu di antara tujuh orang bersaudara tersebut di atas ialah, Sayid Ali Al-Faqih, penyebar agama islam dipulau Tawai-Tawai dan sekitarnya. Di Budi Datu, dipulau Julu (Jolo), terdapat pusara seorang dari mereka tertulis di atasnya tahun 710H. Mungkin, ia orang pertama yang datang kepulau Sulu untuk menyebarkan agama Islam dikalangan penduduk tempat.

 

Prof. Husain Naimar, setelah tinggal di Indonesia selama kurun waktu tertentu, menulis sebuah buku mengenai hubungan India dengan Indonesia dan penyebaran agama Islam dikalangan penduduknya. Ia berpendapat, para penyebar agama Islam adalah kaum Sayid dari Alawiyin yang datang dari India. Ia pulang ke India untuk menerbitkan bukunya dalam bahasa Inggris.

Salim Harahap, berdasarkan penuturan Dauzi, menyebutkan bahwa agama Islam masuk ke Kalimantan melalui sekelompok orang Arab dari Palembang. Sebagaimana diketahui Palembang adalah tempat hijrah kaum Alawiyin dan tempat permukiman mereka. Sebagian besar kaum Alawiyin yang menuju ke Indonesia pada umumnya datang di Palembang. Kemudian, ada sebagian yang menetap di sana dan ada pula yang berpencar dipulau-pulau lainnya. Karena itu, di Palembang kita temukan keluarga-keluarga kaum Alawiyin lebih banyak daripada yang kita temukan dikawasan-kawasan lain.

 

Tabloid kebudayaan Al-‘ILM, yang terbit di Rabat (Marokko) pernah menyebut, agama Islam masuk ke Filipina pada pertengahan kedua abad ke 14 M, melalui sekelompok kaum Syarif Alawiyin yang datang kenegeri itu. Lebih lanjut dikatakan,  merekalah yang telah membawa panji dakwah islam kesana dan turut aktif dalam pembangunan negeri, turut mengembangkan lembaga-lembaga sosial, kebudayaan dan politik.

 

Buku Sejarah Alam Melayu menuturkan, di Hadramaut terdapat golongan kaum Sayid dan kaum Syarif. Merekalah, yang disebut ‘kaum Alawiyin’. Dari golongan itu, banyak bermunculan orang-orang besar, datang kepulau Jawa dan tanah Melayu. Mereka beroleh kedudukan tinggi di Perak. Sebagian dari mereka berkedudukan sebagai Sultan di Perlis dan di Siak. Pada masa-masa berikutnya jumlah orang Arab pendatang semakin banyak dan menjadi lebih banyak lagi, karena mereka melahirkan banyak keturunan, sehingga jumlah haji di tanah Melayu makin bertambah banyak juga.

 

Di Brunei, terdapat beberapa pusara kuno, antara lain sebuah pusara yang di atasnya tertulis dengan huruf-huruf Arab sebagai berikut: “Al-Alawi Al-Bulqiyah Ad-Dahriyah Sulthan Umar Ali Saifuddin”. Pada pusara yang lain tertulis: “Hijrah 836 Jumadil-Ula Dahri Ali Sulthan Syarif Ali Sulthan Brunai”. Pada pusara yang lain lagi tertulis: “Muhamad Alwi Raja Junjungan”.

 

Prof. Al-Qari bin Haji Saleh, setelah membuktikan betapa lama sudah hubungan orang-orang Arab dengan negeri-negeri Timur (berdasarkan buku-buku sejarah yang ditulis oleh berbagai pihak), menyebutkan bahwa kedatangan orang-orang Arab Alawiyin dari Hadramaut kenegeri kita (yakni ditanah Melayu) membawa agama Islam, membuat sebagian dari mereka beroleh kedudukan tinggi ditengah masyarakat. Demikianlah, yang dikatakan olehnya di dalam bukunya, Pengkajian Sejarah Islam hal. 315.

 

Seorang penulis wanita bernama Nia Kurnia Solihat dalam makalah-nya menyebut adanya pusara Fatimah binti Maimun yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H (02-12-1083 M). Kenyataan itu, menunjukkan adanya masyarakat Islam pada zaman kerajaan Penjalu di Kediri. Karenanya, tidak anehlah jika dalam buku-buku cerita rakyat banyak terdapat kata-kata Arab, seperti buku-buku yang disusun oleh Panuluh. Penulis wanita ini menyebutkan, surat kabar Indonesia Berita Yuda tanggal 13-10-1980 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Suwarno, dibawah judul Raja Jayabaya.

 

Dikatakan, Raja Jayabaya telah memeluk agama Islam. Pernyataan itu, didasarkan pada buku-buku cerita yang menyebut keislaman Jayabaya di tangan seorang Arab bernama Maulana Ali Syamsu Zain. Penulis ini mengatakan lebih lanjut, meski apa yang ditulis dalam buku-buku cerita itu belum dapat dipastikan kebenarannya, namun banyak sekali cerita-cerita di dalamnya yang benar-benar berasal dari sejarah yang menunjukkan, agama Islam sudah masuk ke Jawa pada masa kerajaan Penjalu. Tidaklah sulit bagi kita untuk sampai kepada kesimpulan, bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada abad ke 12 dan ke 13 M, yakni pada masa kerajaan Singosari dan kerajaan Majapahit.

 

Hal itu diperkuat lagi oleh petunjuk-petunjuk sejarah yang lain, yaitu adanya pusara-pusara di Taralaya, dekat Trowulan. Pada kuburan-kuburan itu, terdapat tulisan-tulisan Arab dan ayat-ayat Al-Quran. Sejarah pusara-pusara itu, telah diteliti dan dipelajari oleh Prof.L.C.Damais. Ternyata, terdapat juga petunjuk berupa penanggalan tahun Saka, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masa itu.

 

Selain itu, terdapat satu bukti yang tertulis dengan penanggalan hijriyah, yaitu tahun 874 H (1469 M). Yang dimakamkan di kuburan tersebut bernama Zainuddin. Tahun-tahun Saka yang tertulis di atas kuburan-kuburan di Taralaya, menurut penanggalan hijriyah adalah tahun 680 H atau tahun 1281 M, yakni pada zaman raja Kartanegara, salah seorang dari raja-raja Singosari.

 

Cho Fan Cho ,penulis kebangsaan Cina, mengatakan banyak pedagang asing yang menuju ke Penjalu. Mata uang emas dan perak sudah dipergunakan dipasar-pasar. Wallahu’alam. 

                       

Walisongo: Para Sayid Tanah Jawa dan Ajarannya

Kaum muslimin di Jawa pada umumnya yakin, tersebar luasnya agama Islam di Jawa adalah berkat kegigihan, keuletan, dan kesabaran sejumlah ulama yang terkenal dengan sebutan, Walisongo atau Sembilan orang Wali. Ada sementara pendapat yang mengatakan, jumlah wali pada masa itu hanyalah sembilan orang. Adapula yang berpendapat, jumlah mereka lebih dari sembilan namun, yang sembilan orang itulah yang terkenal luas.

 

Sebutan Wali, sesungguhnya adalah singkatan dari kata waliyullah, yakni orang yang beroleh limpahan karunia dari Allah Swt, karena ketinggian mutu ketakwaan mereka kepada Allah dan kemantapan mereka dalam mengabdikan seluruh hidupnya demi kebenaran Allah dan keridhaan-Nya.

Para waliyullah adalah hamba-hamba ,diluar para Nabi dan Rasul, yang dicintai Allah Swt., sebagaimana firmanNya, “Ingatlah, bahwa sesungguhnya para Wali Allah itu, tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka, adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa” (QS Yunus [10]:62-63).

 

Allah Swt. menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan, menurut kehendak-Nya, kepada siapa saja dari kalangan hamba-hambaNya yang saleh, baik mereka dari kalangan umat Muhamad Saw. maupun dari kalangan pengikut para Nabi dan Rasul sebelum beliau Saw.. Allah Swt. memberi ampunan pihak yang satu demi kemaslahatan pihak yang lain, memaafkan kesalahan pihak yang satu untuk kebaikan pihak yang lain, dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan yang lain. Demikianlah, sebagaimana yang terdapat dalam hadis-hadis Arafat (ditulis oleh Al-hafizh Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Targhib bab Ibadah Haji jilid III hal.323). 

 

Bahkan, ada pula hadis-hadis yang menegaskan, di antara para hamba Allah yang saleh, ada yang justru karena kemuliaan (karamah) para waliyullah itu, Allah menurunkan rezeki dalam kehidupan di alam wujud. Karena mereka, Allah menurunkan air hujan, memberikan pertolongan kepada para hamba-Nya, mencegah datangnya bencana, mendatangkan kebajikan, serta menyayangi semua penghuni bumi (hadis-hadis semacam itu antara lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan diriwayatkan oleh para perawi hadis sahih dan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik r.a. dan Thabrani dalam Al-Ausath.). 

 

Dakwah Walisongo adalah teladan luar biasa. Mereka dengan sabar, tabah, dan hati-hati mengikuti keadaan; mengindahkan tradisi yang sedang berlaku, serta memperhatikan sungguh-sungguh tabiat dan jiwa orang-orang yang hendak diberi pengertian. Dengan cara demikian, mereka berhasil baik dalam menjalankan tugas dakwah yang diwajibkan agama. Faktor utama lainnya yang menyebabkan keberhasilan mereka ialah: Mereka berakhlak mulia, berbudi luhur, berbicara lembut, bersabar, dan tidak menyentuh adat-istiadat setempat, di mana mereka (orang-orang yang hendak di islamkan) tumbuh dan dibesarkan.

 

Walisongo memahami benar, tradisi dan kebiasaan yang sudah berlaku secara turun-temurun tidak mungkin dapat dihapus dengan perdebatan atau dilawan dengan berdialog. Lembaran-lembaran buku sejarah ,sebagian telah kami kemukakan dibuku ini, banyak memberitakan penyebaran agama Islam dikepulauan Indonesia, tanah Melayu dan kawasan sekitarnya, termasuk cara-cara yang ditempuh para dai pada masa dahulu. Di antara cara-cara yang ditempuh dan kegiatan yang dicurahkan untuk berdakwah ialah, menggunakan bentuk-bentuk kesenian indah yang sangat digemari penduduk.

 

Ke dalam bentuk-bentuk kesenian itu, para dai memasukkan unsur-unsur ajaran Islam dengan mengubah beberapa kata dan kalimat (dalam liriknya) dan di-isi dengan ajaran-ajaran Islam yang mudah diserap. Hingga sekarang, nyanyian dan tarian masih tetap dilakukan, sebagai pusaka peninggalan para dai zaman dahulu, karena para dai bekerja atas dorongan hati yang ikhlas dan semangat tasawuf yang tinggi. Dengan kesabaran luar biasa, mereka berpegang pada metode tut wuri handayani, yakni ‘mengikuti sambil menarik perlahan-lahan’. Dengan tekun, tahap demi tahap, mereka mengubah dan mengisi lirik nyanyian, lagu-lagu yang digemari penduduk, dengan untaian kata dan kalimat yang mengandung pengarahan akidah dan pendekatan diri kepada Allah Swt, serta pendidikan akhlak Islam.

 

Misalnya, cara yang ditempuh oleh seorang waliyullah terkenal dengan nama Joko Said, menggunakan pagelaran ‘wayang’, suatu kesenian Jawa yang sangat digemari penduduk pada masa itu. Beliau, menggubah cerita-cerita pewayangan dengan di isi prinsip-prinsip ajaran Islam secara luwes. Kemudian dipagelarkan (dipentaskan) di depan khalayak ramai. Pementasan ini, banyak digunakan untuk menyebarkan pengertian tentang agama Islam. Lirik nyanyian dan lagu-lagu yang biasanya digunakan untuk mengiringi tarian Srimpi, yang lazim dipentaskan di istana-istana kerajaan, diubah demikian rupa menjadi hikayat kepahlawanan paman Nabi Muhamad Saw. ,Sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib r.a.,  dalam membela agama Islam.

 

Sayid Ishak bin Ibrahim bin Al-Husin, menempuh cara penyebaran Islam  dengan pengobatan untuk menolong penduduk yang sakit. Ada lagi di antara para dai lainnya, Sayid Abu Bakar di Filipina, yang menempuh cara dengan mendekati penguasa dan bangsawan yang berpengaruh untuk membantu mereka dalam pekerjaan mengelola pemerintahan atau kesultanan, sambil berdakwah mengajak mereka masuk agama Islam.

 

Ada lagi cara umum yang bercorak kesenian, yang ditempuh oleh para dai. Di berbagai tempat yang telah direncanakan, diselenggarakan hiburan semacam ‘pesta’, di isi dengan nyanyian dan lagu-lagu keagamaan (umpama shalawatan, mengucapkan kalimat-kalimat tauhid dan lain-lain yang serupa), dengan di iringi rebana. Pesta demikian itu dihadiri oleh banyak orang, ada yang telah masuk Islam dan ada juga yang belum. Mereka datang berduyun-duyun tertarik oleh suara rebana dan nyanyian-nyanyian. Usai pesta demikian itu, orang-orang yang belum memeluk Islam, makin dekat hubungannya dengan mereka yang telah memeluk Islam.  

 

K.H.Raden Abdullah bin Nuh ,rahimahullah, mengatakan di dalam bukunya Walisongo, “Sembilan orang Wali ini, semuanya mengajarkan agama Islam secara murni, bermazhab Syafi’i dan termasuk Ahlus Sunnah wal jama’ah”.

Ada sementara pihak yang mengatakan, ajaran diantara Walisongo itu mengawinkan atau mengasimilasikan ajaran Islam dengan seni budaya lama (Syiwa Budha) di Jawa. Jelas, ini tidak mungkin, karena Walisongo adalah para ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah Swt. dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh syariat Islam.

 

Di dalam Majalah Islam Al-Jamiah nomer 5, tahun 1, bulan Mei 1962 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji Saksono dengan judul Islam Menurut Wejangan Walisongo Berdasarkan Sumber Sejarah, menuturkan beberapa hal, antara lain:

“Dari sembilan orang wali itu, hanya Sunan Bonang sajalah yang hingga dewasa ini dapat diketahui dengan jelas pokok-pokok ajarannya dan dapat dijadikan pegangan atau sumber rujukan. Adapun ajaran para Wali yang lain masih sangat samar dan belum terungkapkan. Banyak sekali yang telah ditulis orang tentang ajaran Walisongo, tetapi belum dapat dinilai sebagai sejarah dalam arti yang yang sebenarnya.

Meski demikian, apa yang terdapat di dalam ajaran-ajaran Sunan Bonang itu sudah dapat dipastikan dan dijadikan ukuran untuk dapat diketahui corak ajaran Islam yang pertama masuk dipulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia lainnya. Apabila kita menelaah dan mempelajari naskah-naskah dan mempelajari naskah-naskah Primbon wejangan Sunan Bonang, kita akan menjumpai nama-nama judul Kitab dan nama-nama tokoh sebagai sumber pemikiran Walisongo.”

 

Nama-nama dan judul-judul kitab yang dimaksud ialah: Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali; Talkhish Al-Minhaj karya Imam Nawawi; Qut Al-Qulub karya Abu Thalib Al-Makki (salah satu kitab rujukan bagi kitab Ihyanya Al-Ghazali). Beberapa nama yang disebut dalam Primbon tersebut ialah: Pikantaki (Daud Al-Anthaki); Abu Yazid Al-Busthani; Muhyiddin Ibnu Arabi; Seh (Syaikh) Samangu Asarani (?); Abdul Qadir Al-Jailani; Syaikh Rudadi (?); Syaikh Sabti (?); Pandita Sujadi wa Kuwatihi (?); Tamhid Fi Bayanit-Taudih karya Abu Syukur As-Salami.

 

Fiqh, tasawuf, dan tauhid tersusun lengkap dan rapih dalam Primbon Sunan Bonang sesuai dengan ajaran akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan mazhab Syafi’i. Dalam primbon tersebut, disamping terdapat ajakan kepada tauhid, juga terdapat seruan kepada pembacanya agar menjauhkan diri dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah Swt. dengan yang lain).

 

Sunan Bonang juga menegaskan adanya beberapa pemikiran sesat mengenai soal ketuhanan, antara lain :

Faham atau pemikiran yang menganggap Zat Allah adalah kekosongan hampa semesta.

Faham atau pemikiran yang beranggapan bahwa yang ada (maujud) adalah Allah, dan yang tidak ada (‘adam) pun Allah juga.

Faham atau pemikiran yang menganggap asma Allah itu adalah kehendakNya dan juga ZatNya. Demikian sebaliknya.

Faham atau pemikiran kaum Batiniyah yang antara lain mengatakan, semua makhluk adalah sifat Tuhan.

Faham atau pemikiran Kawula Gusti, yaitu yang menganggap manusia dan Tuhan adalah bersatu.

Faham atau pemikiran Wahdatul-Wujud (Pantheisme) yang mengatakan Tuhan itu identik dengan makhlukNya.

 

Semua faham, pemikiran, aliran atau ajaran-ajaran seperti yang dikemukakan tadi, oleh Sunan Bonang dinyatakan sesat dan kufur. Dasar-dasar akidah yang ditegakkan dan harus dipelihara, menurut ajaran Sunan Bonang, antara lain:

 Allah adalah Al-Khaliq yang Maha Esa, mandiri, tidak tergantung pada apa pun juga dan Maha Kuasa. Ini merupakan asas Tauhid.

Manusia beroleh kebebasan berikhtiar, ini merupakan asas tanggung jawab insani. Pada penutup primbon tersebut, Sunan Bonang menyerukan: “Hendaklah perjalanan lahir batinmu sesuai dengan jalan syari’at, mencintai dan berteladan kepada Rasulallah Saw.”

 

Dari sekelumit isi Primbonnya Sunan Bonang itu, jelas tergolong Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan serupa itulah, ajaran para Walisongo atau para dai lainnya yang tersebar di Hindia Timur dan kepulauan lainnya. Demikianlah riwayat singkat para Walisongo dan para dai serta ajaran-ajaran pokoknya.

Wallahua’lam

 

Nama-nama Walisongo dan silsilah mereka

Nama-nama sembilan orang Wali yang sangat dikenal oleh kaum Muslim di Pulau Jawa ialah: 1. Maulana Malik Ibrahim, 2. Sunan Ampel, 3. Sunang Bonang, 4. Sunan Giri, 5. Sunan Drajat, 6 Sunan Kalijaga, 7. Sunan Kudus, 8. Sunan Muria, 9. Sunan Gunung Jati. Riwayat hidup singkat Walisongo ini, sebagai berikut:

 

Maulana Malik Ibrahim

Beliau, adalah Wali pertama dalam jajaran sembilan orang Waliyullah di Jawa. Nama lengkap dan silsilah nasabnya: Maulana Malik Ibrahim bin Barokat Zainul-Alam bin Jamaluddin Al-Husain (Jamaluddin Al-Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhamad Shahib Marbath bin Ali bin Alawi bin Muhamad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhamad bin Ali bin Jakfar As-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam Ali bin Abi Thalib k.w. dan Fathimah Az-Zahra r.a. binti Muhamad Rasulallah Saw. Tidak diragukan sama sekali, Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Alawiyin, yakni keturunan ahlu-bait Rasulallah Saw.

 

Amat besar jasa dan pengabdian beliau kepada masyarakat, dan mengeluarkan penduduk pulau Jawa yang pada zamannya masih banyak terbenam di dalam kekufuran, yaitu penganut agama Hindu dan Budha atau dua-duanya sekaligus Syiwa Budha. Dari penganut agama Hindu, hanya golongan Waisya, Sudra, dan Paria yang dapat diajak memeluk Islam. Sedangkan, dari kaum Brahma dan Kesatria pada umumnya sukar menerima dakwah Islam, karena agama Islam akan menyamakan kedudukan sosial mereka dengan rakyat biasa, yakni kaum Waisya, Sudra, dan Paria. Karena itu, banyak dari mereka ini yang hijrah ke Pulau Bali untuk mempertahankan agamanya, yang hingga sekarang dikenal dengan agama Hindu Bali.  

 

Ada yang mengatakan, Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia, bahkan dikatakan juga bahwa beliau nikah dengan saudara wanita Raja Cermin. Akan tetapi, riwayat seperti itu tidak mempunyai dasar yang kuat. Stamford Raffles ,seorang politikus Inggris, dalam bukunya History of Java yang ditulis tahun 1817 M menegaskan bahwa Maulana Malik Maghribi (julukan Maulana Malik Ibrahim) seorang dari keturunan dari (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, yakni suami Siti Fathimah binti Muhamad Saw. Mengenai negeri Cermin hingga sekarang tidak dapat dipastikan letak geografisnya.

Menurut Raffles, terletak di Hindustan, sedangkan pakar sejarah yang lain mengatakan terletak dikepulauan Indonesia. Beberapa riwayat menuturkan,  Maulana Malik Ibrahim datang dari Gujarat, India. Menurut petunjuk yang terdapat pada batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim, beliau wafat dalam tahun 882 H, bertepatan dengan tahun 1419 M dikota Gresik, sebuah desa yang bernama Gapura (sekarang namanya jalan Malik Ibrahim).

 

Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel dilahirkan sekitar tahun 1381 M di Champa. Mengenai nama Champa, para pakar sejarah berbeda pendapat. Menurut Encyclopaedia Van Nederlandsche Indie, Champa adalah nama sebuah negeri kecil di Kamboja. Akan tetapi, Stamford Raffles mengatakan,negeri Champa bukan di Kamboja, melainkan di Aceh (Sumatera) dan yang sekarang bernama Jeumpa. Pendapat Raffles tampaknya lebih mendekati kebenaran, karena Aceh dalam sejarah terkenal sebagai daerah islam pertama di Indonesia.

Sunan Ampel (Raden Rahmat), adalah saudara sepupu dengan Maulana Malik Ibrahim, di Gresik. Nama asli dan silsilahnya ialah; Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro (Sunan Nggesik, Tuban) bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Syah Jalal …dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Malik Ibrahim.

 

Beliau menikah dengan puteri tumenggung (hampir sama dengan bupati) Tuban Arya Teja, yang bernama Nyai Ageng Manila. Dari perkawinannya ini, ia beroleh empat orang anak, ialah: Puteri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makhdum Ibrahim (dijuluki Sunan Bonang), Syarifuddin (Hasyim) yang dijuluki Sunan Drajat, yang keempat ialah seorang puteri.

Sunan Ampel dalam upayanya mengembangluaskan pemeluk agama Islam di pulau Jawa, menyelenggarakan pondok pesantren di Ampel, Surabaya. Di sanalah, ia mendidik pemuda-pemuda Muslim sebagai calon-calon dai dan mubaligh yang akan menyebar keberbagai daerah.

Di antara mereka adalah: Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri; Raden Patah (Abdul Fattah) yang kemudian menjadi sultan Bintoro Demak yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah, kerajaan Islam yang pertama di Jawa; Raden Makhdum Ibrahim putra Sunan Ampel sendiri, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Bonang; Syarifuddin (Hasyim, yang juga putra Sunan Ampel sendiri) yang terkenal juga dengan sebutan Sunan Drajat; Para dai mubaligh yang pernah diutus ke Blambangan untuk mengislamkan rakyat di sana; dan para pejuang Islam lainnya. Semuanya itu,  mantan-mantan murid gemblengan Sunan Ampel. Beliau wafat di Surabaya dan dimakamkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur.

 

Sunan Bonang (Maulana Makhdum Ibrahim)

Beliau, adalah putra Sunan Ampel dan silsilah nasabnya sekaitan dengan silsilah nasab ayahnya. Sunan Bonang sangat giat dan semangat tinggi menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, terutama di Tuban dan sekitarnya. Beliau juga menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan menempa calon-calon dai serta muballigh yang akan bertugas menyebarkan agama Islam keseluruh pelosok pulau Jawa.

Konon, Sunan Bonang inilah yang menciptakan gending Dhurmo yang menghilangkan kepercayaan tentang adanya hari-hari sial menurut ajaran Hindu dan menghapus nama dewa-dewa sakti. Sebagai penggantinya, Sunan Bonang menanamkan pengertian dan kepercayaan tentang adanya para Malaikat dan para Nabi. Apa saja yang tidak bertentangan dengan ajaran dan kepercayaan Islam, oleh Sunan Bonang ditempuh sebagai jalan untuk mendekatkan rakyat kepada agama Islam. Dimasa hidupnya, beliau turut berperan dan membantu penyelesaian pembangunan Masjid Agung Demak.

 

Ini merupakan kenyataan yang membuktikan dukungan Sunan Bonang kepada kerajaan Islam yang pertama di Demak. Menurut makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji Saksono yang berjudul Islam Menurut Wejangan Walisongo berdasarkan Sumber Sejarah mengetengahkan, bahwa Sunan Bonang yang bergelar Prabu Hanyakrawarti dan berkuasa di dalam Sesuluking Ngelmi lan Agami sama kedudukannya dengan seorang Mufti besar, yang berwenang memecahkan masalah-masalah keagamaan (Islam) dan ilmu. Ajaran-ajaran Sunan Bonang sedikit atau banyak mewakili ajaran ayahnya ,Sunan Ampel, dan saudaranya Sunan Drajat. Sunan Bonang juga seperguruan dengan Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati, yaitu berguru kepada Maulana Ishak. Sunan Bonang adalah, guru pertama dari Sunan Kalijaga.

 

Sunan Giri (Raden Paku)

Nama asli dan silsilah nasabnya adalah: Muhamad Ainul Yakin bin Makhdum Ishak bin Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Syah Jalal dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Maulana Malik Ibrahim. Beliau ini, keturunan Rasulallah Saw. sebagaimana Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel dan lain-lain.

Sebagaimana yang telah dikemukakan, Sunan Giri adalah salah satu murid Sunan Ampel. Waktu Sunan Giri berguru kepada Sunan Ampel, beliau bertemu dengan Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), putra Sunan Ampel. Beberapa lama kemudian, Sunan Ampel menyuruh putranya ini bersama Sunan Giri berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji, sambil menuntut ilmu lebih dalam lagi. (info; di Makkah waktu itu, banyak sekali para Pakar Islam yang bermazhab Syafi’iyah, bukan aliran Wahabi-Salafi). 

 

Sebelum berangkat menuju Tanah Suci, mereka berdua singgah di Pasai untuk menambah bekal ilmu. Yang dimaksud ilmu dalam hal ini, ialah ilmu ketuhanan menurut ajaran tasawuf. Pada masa itu, konon banyak ulama berdatangan dari Persia dan India ke Pasai. Usai menunaikan ibadah haji, dua orang muda itu pulang ke Jawa. Sunan Giri berhasil memperoleh ilmu ladunni, sehingga gurunya di Pasai memberinya nama Ainul Yakin.

 

Yang menakjubkan banyak orang, ialah Sunan Giri justru lebih tersohor daripada gurunya. Dari berbagai pelosok, orang berdatangan untuk berguru kepadanya. Bahkan, ada pula yang datang dari kepulauan Maluku. Beberapa daerah di bagian timur Indonesia seperti Madura, Lombok, Makassar, dan lain-lain, bangga memperoleh ilmu dari Sunan Giri. Hingga abad ke 17 M, semua perguruan agama Islam yang diselenggarakan oleh anak cucu keturunan Wali ini–kendati mereka tidak disebut sebagai wali–terkenal dengan nama perguruan ‘Giri’.

 

Perguruan-perguruan tersebut, banyak dikunjungi oleh anak-anak para pembesar dan tokoh-tokoh terkemuka di Maluku. Di Hitu pernah terjadi upacara penghormatan besar untuk menyambut kedatangan sepucuk surah dari sang Raja Bukit—demikianlah sebutan masyarakat di Hitu kepada salah seorang keturunan Sunan Giri (Giri dari bahasa Sansekerta, artinya Bukit).

Sungguh benar, keturunan Sunan Giri banyak yang beroleh kekuasaan politik penting. Pengaruhnya dalam penobatan raja-raja dipulau Jawa dan sekitarnya amat besar. Sunan Giri dimakamkan dibukit Giri (Gresik). Sepeninggalnya, kegiatan menyebarkan agama Islam diteruskan oleh Sunan Dalem, Sunan Sedam margi dan Sunan Prapen.

 

Sunan Drajat (Maulana Syarifuddin)

Maulana Syarifuddin terkenal dengan sebutan Sunan Drajat (di Sedayu-Lamongan, Jawa Timur,). Ia putra dari Sunan Ampel. Silsilah nasabnya juga sama dengan silsilah ayahnya sendiri yakni Sunan Ampel, sebagai keturunan dari Rasulallah Saw. Dia juga seorang dai yang gigih dan tekun menyebarkan kebenaran agama  Islam kepada rakyat. Beliau juga termasuk pendukung setia Raden Patah dan turut serta mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak (Jawa).

Tidak banyak riwayat yang menuturkan kehidupan Sunan Drajat, kapan dilahirkan dan kapan dia wafat. Akan tetapi, beliau dikenal sebagai waliyullah dan orang yang berjiwa sosial. Kasih sayang dan bantuannya kepada orang-orang yang hidup serba kekurangan, orang-orang sengsara, anak-anak telantar dan yatim piatu menjadi buah bibir masyarakat luas. Kekhususan Sunan Drajat, ia memberikan apa saja yang di milikinya bila diminta oleh orang yang membutuhkan. Terdapat juga, riwayat yang mengatakan, bahwa Sunan Drajat itulah yang menciptakan tembang ‘Pangkur’.

 

Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)

Nama aslinya, Raden Mas Syahid (R.M.Syahid) putra Ki Tumenggung Wilatikta, bupati Tuban. Tentang nasab atau silsilah Sunan Kalijaga, terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar sejarah Walisongo. Sebagian mengatakan, dia seorang dari suku Jawa Asli. Sebagian lagi dari pakar sejarah menegaskan, nama asli Sunan Kalijaga ialah Zainal Abidin dan ia putra Sunan Ampel yakni bersaudara dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang, dan Sunan Kudus. Jika itu benar, berarti silsilah nasabnya sama dengan ayahnya yaitu Sunan Ampel yang bersambung sampai Imam Ali bin Abi Thalib k.w. istri Fathimah Az-Zahra binti Muhamad Saw.

 

Ada sementara penulis yang mengatakan, dia berdarah keturunan Arab yang berpuncak kepada Sayiduna Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulallah Saw.). Menurut penulis riwayat ini, Sunan Kalijaga adalah anak Tumenggung Wila Tirto, gubernur Jepara, bin Ario Tejo Kusumo, gubernur Laku, bin Ario Nembi bin Lembu Suro, gubernur Surabaya, bin Tejo Tuban bin Khurames bin Abdullah bin Abbas bin Abdullah bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin bin Arifin bin Ma’ruf bin Abdullah bin Muzakir bin Wakhis bin Abdullah Azhar bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim dan seterusnya.

Akan tetapi, pembuktian si penulis seperti itu sukar diterima kebenarannya, dan nama-nama yang disebutnya pun janggal. Sunan Kalijaga kawin dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak dan beroleh seorang putra dan dua orang puteri, yaitu: Raden Umar Said, kemudian disebut Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.

 

Sunan Kalijaga seorang waliyullah yang sangat besar toleransinya, seorang pujangga (ahli hikmah) dan seorang filosof. Penulis Belanda, menyebutnya Reizende Mubalig (Mubaligh Keliling). Tiap pergi untuk bertabligh selalu di ikuti oleh beberapa orang ningrat (kaum bangsawan Jawa) dan cendekiawan. Mereka ini menaruh simpati besar kepada Sunan Kalijaga, bukan karena Wali ini orang Jawa Asli, melainkan karena ia berpikir kritis, cermat dan berpandangan jauh kedepan.

Dia termasuk Wali yang sangat dihormati dan disegani. Sampai zaman sekarang ini, dia dikenal oleh semua lapisan masyarakat Jawa dari lapisan atas (bangsawan) sampai lapisan bawah (rakyat jelata). Beliau tidak hanya mengislamkan rakyat saja, tetapi juga mahir mengislamkan (memasukkan unsur-unsur dan pandangan Islam) keberbagai cabang kebudayaan Jawa seperti seni musik (gamelan dan gending), seni drama (dalam pementasan wayang kulit) dan kesusasteraan.

 

Kendati bukan penggemar kesenian, Sunan Kalijaga menguasai dengan baik ilmu karawitan (gending-gending dan lagu Jawa termasuk teori musik gamelan). Dia memesan serancak (seperangkat) gamelan dari seorang empu terkenal. Gamelan itu diberi nama Kyai Sekati, kemudian ditempatkan di serambi masjid Demak. Media dakwah yang bercorak seni rebana dan lagu-lagunya yang berirama Arab, yang sudah mulai dikenal oleh sebagian kaum Muslimin Jawa, dibiarkan terus berlangsung dan Sultan Kalijaga menambah media dakwahnya dengan gamelan. Rebana dan gamelan dihidupkan bersama, terutama pada tiap tahun memperingati hari lahir Nabi Muhamad Saw. Gamelan yang berada di bawah tarub (atap terbuka) di depan serambi masjid Demak, dihiasi dengan berbagai bunga agar menarik perhatian orang banyak, dan gamelan itu ditabuh tiada henti-hentinya.

 

Sunan Kalijaga, adalah seorang ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah Swt. dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh syariat Islam. Mengenai kapan Sunan Kalijaga dilahirkan dan kapan wafatnya, tidak diketahui dengan pasti oleh pakar sejarah Islam di Indonesia. Yang sudah pasti, ialah Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, masih termasuk Kabupaten Demak, disebelah Timur Laut kota Demak.

 

Sunan Kudus (Jakfar Shadiq)

Jakfar Shadiq atau yang terkenal dengan nama Sunan Kudus, adalah putra Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan letaknya diutara kota Blora). Ada lagi sebagian pakar sejarah Islam di Indonesia yang mengatakan, Sunan Kudus adalah putra Sunan Ampel. Jika ini benar, maka nasab silsilahnya sama dengan nasab silsilah Sunan Ampel dan termasuk keturunan Rasulallah Saw. atau kaum Alawiyin sama dengan tiga saudaranya Sunan Drajat, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.

 

Sunan Kudus, disamping kegiatannya sebagai dai penyebar agama Islam yang teguh berpegang pada ketentuan hukum syariat, seperti halnya para wali lainnya, ia pun mempunyai kedudukan resmi sebagai senopati (Panglima Perang) kerajaan Islam Demak.  Peninggalan Sunan Kudus yang paling menonjol adalah Masjid Agung di kota Kudus. Bahkan, menara yang berada di depan masjid Agung pun diberi nama Kudus. Nama Kudus, diambil dari nama kota Baitul Makdis, yang oleh orang-orang Arab disebut juga dengan nama Al-Quds (bermakna Suci). Beliau  wafat dan dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

 

Sunan Muria (Raden Umar Said)

Nama aslinya Sunan Muria, adalah Raden Umar Said (ada yang menulis Raden Umar Syahid), termasuk Walisongo yang kondang ditanah Jawa. Beliau, dijuluki Sunan Muria karena ia hidup dilereng gunung Muria dan jenazahnya dimakamkan di sana. Dalam riwayat disebut, Sunan Muria putra Sunan Kalijaga. Dengan demikian, nasab silsilahnya ada dua versi. Versi pertama yaitu yang meriwayatkan Sunan Kalijaga orang Jawa Asli. Versi kedua meriwayatkan, Sunan Kalijaga berdarah keturunan Arab (silahkan rujuk kembali riwayat Sunan Kalijaga).

Sunan Muria, menikah dengan puteri Sunan Ngudung yang bernama Dewi Sujinah. Dari perkawinannya, beroleh seorang putra yang bernama Pangeran Santri, kemudian mendapat nama julukan Sunan Ngadilangu. Sunan Muria termasuk pendukung setia Kerajaan Islam Demak, bahkan bersama-sama Raden Patah dan lainnya, dia turut serta dalam mendirikan kerajaan tersebut dan ikut serta dalam penyempurnaan pembangunan Masjid Agung Demak.

 

Dalam kegiatan mendakwahkan kebenaran agama Allah ,Islam, ia lebih suka bergerak di desa-desa pedalaman yang letaknya jauh dari keramaian kota. Ia sendiri lebih senang tinggal di desa, dan bergaul sehari-hari dengan rakyat jelata untuk ditarik masuk ke dalam agama Islam. Meski demikian, dia tidak menolak siapa saja yang datang untuk menuntut agama Islam. Kawasan tempat ia berdakwah terletak dilereng gunung Muria, 18 km dari kota Kudus. Dalam mempertahankan kelestarian seni budaya Jawa sebagai media dakwah, dia menciptakan gending (lagu-lagu) Sinom dan Kinanti, yang liriknya antara lain berbunyi: “Islam ageming urip, tan kena tininggala” (Agama Islam adalah busana kehidupan, tidak boleh ditinggalkan).

 

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Sunan Gunung Jati mempunyai banyak nama, antara lain Syarif Hidayatullah, Makhdum Gunung Jati dan masih banyak nama lainnya, yang paling terkenal ialah dengan nama Faletehan atau Fatahillah. Nasab silsilahnya ialah: Syarif Hidayatullah bin Abdullah (Umdatuddin) bin Ali Nur Alam bin Maulana Jamaluddin Al-Akbar Al-Husain bin Sayid Ahmad Syah Jalal bin Amir Abdul Malik bin Alwi bin Muhamad Shahib Marbath...dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Maulana Malik Ibrahim. Dengan demikian Sunan Gunung Jati, adalah keturunan ahlu-bait Rasulallah Saw, yakni termasuk kaum Alawiyin.

 

Silsilah dan Nasab Sunan Gunung Jati ini dipandang absah, karena sudah dicocokkan dengan naskah yang ada di Palembang, yaitu silsilah nasab Sunan Palembang dan dengan silsilah nasab yang berada di Banyuwangi. Menurut riwayat, Sunan Gunung Jati datang dari Pasai (Sumatera utara) dan masa itu Pasai diduduki oleh orang-orang Portugis yang datang dari Malaka. Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511 M.

 

Sunan Gunung Jati, pernah menuntut ilmu dikota Makkah, kemudian nikah dengan adik perempuan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke tiga). Sultan-sultan Banten, adalah keturunan beliau. Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono ,berkat kegiatan dan jasa-jasa Sunan Gunung Jati, banyak daerah Jawa Barat berhasil di Islamkan, kemudian dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Demak. Untuk mempertahankan keislaman daerah-daerah itu, Sunan Gunung Jati tetap berada di Jawa.

 

Pada masa itu, Jawa Barat masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Hindu. Demikian pula Banten dan Sunda Kelapa. Atas izin dan persetujuan Sultan Demak, Trenggono, berangkatlah sebuah ekspedisi Islam ke Banten dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati. Setelah berjuang sekian lama dengan gigih dan tabah, pada akhirnya Banten jatuh ketangan Muslimin dan Sunda Kelapa pun dapat direbut dari kekuasaan Pajajaran.

Dalam tahun 1526 M kolonial Portugis menginjakkan kaki di Sunda Kelapa, tetapi tak lama kemudian mereka dengan kekerasan diusir oleh Sunan Gunung Jati dan para pengikutnya. Serangan Franciso De Sa pun oleh Sunan Gunung Jati dipukul mundur, kemudian mereka lari meninggalkan Sunda Kelapa kembali ke Malaka (1527 M). Demikianlah, perjuangan beliau terhadap golongan kolonial Portugis yang berani mengacak-acak tanah tumpah darahnya di Pasai. Sunan Gunung Jati, wafat dalam tahun 1570 M dan dimakamkan didaerah Cirebon (Jawa Barat).

 

Dari semua uraian tadi ini, dapat kita ambil kesimpulan bahwa  yang mendakwahkan agama Islam pada umumnya orang-orang Arab atau keturunan Arab, yang datang melalui India atau negeri lain. Mereka bertebaran diberbagai kawasan di Timur dan melalui mereka inilah agama Islam tersebar. Dari semuanya itu, dapat diketahui bahwa para penyebar agama Islam itu banyak terdiri dari kaum Sayid Alawiyin dari Hadramaut.

 

Sebagaimana diketahui, para Sayid itu pada umumnya dipandang sebagai sumber pemikiran dan sumber kehidupan spiritual dari pusat-pusat agama Islam, baik yang berada dinegeri-negeri Arab, di India maupun dikawasan Timur Jauh. Sedang ada orang yang mengatakan, penyebaran agama Islam yang pertama adalah dari orang-orang keturunan Cina atau keturunan Hindia, adalah tidak benar!  

 

Adapun, nama-nama yang didahului dengan sebutan Sunan semuanya adalah nama-nama julukan atau gelar yang berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang Mulia. Demikian pula gelar Maulana yang bermakna Pemimpin kita. Semua nama julukan atau nama gelar tersebut, diberikan oleh masyarakat muslimin di Jawa pada masa dahulu, karena ketika itu mereka belum mengenal sebutan Sayid, Syarif, dan Habib yang lazim digunakan untuk menyebut nama-nama keturunan ahlu-bait Rasulallah Saw.

 

Nama julukan suku Alawiyin (keturunan Rasulallah Saw. dari Hadramaut/ Yaman selatan)  diambil dari nama datuknya, yaitu Sayid Alwi bin Abdullah. Nasab atau silsilahnya sebagai berikut: Alwi bin Abdullah alias Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Al-Naqib bin Muhamad al-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jakfar As-Sadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib k.w. suami Sayidah Fathimah Az-Zahra binti Muhamad Saw.

 

Di Indonesia, kaum Alawiyin telah banyak berkembang. Sebagian nama suku dari kaum Alawiyin yang terkenal di Indonesia, antara lain: Ahmad Hamid Munfar; Ba Abud; Ba Ali; Ba Aqil As-Saqqaf; Ba Bareyk; Bafaqih; Bafaraj; Baharun; Ba Hasyim; Al-Bahr; Ba Husein; Al-Baiti; Balakhi; Albar; Barakwan; Barakbah; Basyiban; Basurrah; Ba Umar; Bilfaqih; Bin Abbad; Bin Ahsan; Bin Qutban; Bin Sahl; Bin Syuaib; Bin Thahir; Bin Yahya; Barum; Bu Futim; Bu Numay; Taqawi; Jamal Al-Lail; Alhamid; Alhasni; Alhaneman; Al-Khird; Az-Zahir; As-Sumeyt; As-Saqqaf; As-Sakran; Al-Safi; Al-Masyhur; Maula Al-Dawilah; Maula Khailah; Almuhdhar; Almudhir; Almunawar Al-Saqqaf; Muqaibil; Musawa; Muthabar; Wahth; Alhaddar; Alhadi; Hinduan; As-Sri; As-Syatri; As-Syihab; Syaikh Abu Bakar; Aidid; Aqil bin Salim; Al-Attas; Al-Aydarus; Fad’aq; Fakhr; Alqadri; Aljufri; Al-Junaid; Alhabsyi; Alhaddad; Alkaf; Madehi; Maghribi; Mahdali, Marzaq dan lainnya.     

 

Para pelopor dakwah Islam di Nusantara, selain Walisongo:

Selain Walisongo, terdapat juga tokoh lain yang bisa disebut sebagai para pelopor dakwah Islam di Nusantara. Nama-nama mereka, antara lain:

 

Abu Salam Jumad gelar Sunan atau Susuhunan Atas Angin bin Makhdum Kubra bin Jumad Al-Kubra bin Abdallah bin Tajadin bin Sinanaddin bin Hasanuddin bin Hasan bin Samaun bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zaid Zain Al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain Al-Hakim bin Walid Zain al-Alim Al-Makki bin Walid Zain Al-alim bin Ali Zainal Abidin al-Madani bin Al-Husain bin Al-imam Ali (bin abi Thalib) k.w.

 

Na’im gelar Sunan Wali Allah bin Abdul-Malik Asfarani bin Husain Asfarani bin Muhamad Asfarani  bin Abibakar Asfarani bin Ahmad bin Ibrahim Asfarani bin Tuskara ,imam Yaman, bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddin Al-Kabir bin Zain al Kubra bin bin Zaid Zain Al-Kabir Al-Madani .. dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.

 

Sunan Tembayat bin Muhamad Maula Al-Islam bin Ishaq gelar ,Wali lanang dari Blambangan, bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad Al-Kabir bin Mahmud Al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain Al-kabir al-Madani ... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.

 

Hasanuddin gelar Pangeran Sabakingking bin Ibrahim ,gelar Sunan Gunung Jati, bin Ya’qub ,gelar Sutomo Rejo, bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad Al-Kabir bin Mahmud Al-Kubra bin Mahmud Al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain Al-Kubra bin Zaid Zain Al-kabir al-Madani ... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.

 

Kiyahi Ageng Lurung Tengah bin Syihabuddin bin Nuraddin Ali bin Ahmad Al-Kubra Al-Madani bin Hamid bin Jumad Al-Kabir  bin Mahmud Al-kubra bin Mahmud Al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain Al-Kubra bin Zaid Zain Al-kabir Al-Madani...dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.

 

Sunan Kalinyamat  bin Haji Usman bin Ali ,gelar Raja Pendeta Gresik, bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad Al-Kabir bin Mahmud Al-Kubra bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain Al-Kubra bin Zaid Zain Al-kabir Al-Madani.....dan silsilah seterusnya sekaitan dengan  silsilah Abu Salam Jumad.

 

Ibrahim yang bergelar Sunan Puger, bin Askhian bin Malik bin Jakfar Al-Sadiq bin Hamdan Al-Kubra bin Mahmud  Al-Kabir Mahmud Al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain Al-Kubra bin Zaid Zain Al-kabir al-Madani ....dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.

Sunan Pakala Nangka dari Banten bin Makhdum Jati ,Pangeran Banten, bin Abrar bin Ahmad Jumad Al-Kubra bin Abid Al-Kubra bin Wahid Al-Kubra bin Muzakir Zain Al-Kubra bin Ali Zain Al-Kubra bin Muhamad Zain Al-Kabir bin Muhamad Al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain Al-Kubra bin Zaid Zain Al-kabir Al-Madani dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.

 

Sunan Geseng  bin Husain bin Al-Wahdi. bin Hasan bin Askar bin Muhamad bin Husain bin Askib bin Muhamad Wahid bin Hasan bin Asir bin ‘Al  bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Jakfar Al-Sadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zain Al-Abidin al-Madani bin Al-Husein bin Al-Imam Ali (bin Abi Thalib).

Sunan Pakuan bin Al-Ghaibi bin Al-Wahdi dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Sunan Geseng.

 

Jamaluddin Al-Husain gelar Wajuk Makassar  bin Imam Ahmad Syah bin Amir Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhamad Sahib Marbat bin Ali Khaliq Qasam bin Alwi bin Muhamad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa bin Muhamad bin Ali Al-Uraidhi bin Jakfar As-Sadiq bin Muhamad Al-Baqir  bin Ali Zainul-Abidin bin Al-Husain bin Al-Imam Ali (bin Abi Thalib) k.w.  

 

Baabulloh bergelar Sunan Ternate bin Abdullah dari Kamboja (Campa) bin Ali Nurul Alam dari Siam bin Jamaluddin Al-Husain.....dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain  di atas.

Zainal Abidin (Demak-Jawa Tengah) bin Ahmad Hisam bin Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Al-Husain .......dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain

 

Ali Murtadho gelar Raden Santri (Bedilan Gresik Jawa Timur) bin Ibrahim Asmoro gelar Sunan Nggesik (Tuban) bin Jamaluddin Al-Husain.....dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain.

 

Hasanuddin (Banten) bin Hidayatullah (sunan Gunung Jati) bin Abdullah (kamboja) bin Ali Nurul Alam (Siam) bin Jamaluddin Al-Husain…...dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain di atas. .

Kerajaan-kerajaan Islam yang didirikan di Pulau Jawa, keturunannya dan tokoh-tokoh Islam yang ternama. Yang terdapat hingga kini, adalah para Sultan Cirebon, keturunan langsung dari Sunan Gunung Jati. Hanya kepada para Alawi (sayid) diperkenankan ziarah makam moyangnya. Belanda melarang gelar sultan digunakan.

 

Keluarga para sultan Banten, keturunan langsung dari seorang putra Sunan Gunung Jati, dibuang oleh Belanda ke Surabaya. Suatu cabang dari keluarga para sultan Banten, adalah para Regen Cianjur, kedudukan mana ditetapkan pada th.1815 .

Keturunan Sunan Kalijaga, adalah Pangeran Kadilangu dekat Demak, sedangkan keturunan Sunan Drajat tinggal di atas tanah milik Drajat, sebesar lebih kurang 9 hektar dekat Sedayu, inilah yang merupakan sisa dari Kerajaan Drajat.

 

Keluarga Ba-Syaiban: Pada permulaan abad ke 18, datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) ke Cirebon adalah Sayid Abdurrahman bin Muhamad. Beliau menikah dengan puteri Sultan Cirebon. Kedua putranya, Sulaiman dan Abdurrahman memperoleh gelar Kiyahi Mas, semula tinggal di Surabaya dan kemudian di Krapyak (Pekalongan). Suatu cabang dari keluarga ini menetap di Surabaya. Seorang putra dari Abdurrahim bernama Said, menikah dengan puteri Raden Adipati Danu Rejo, pengurus kerajaan Yogyakarta. Dari ketiga putranya, yang tertua Hasyim bergelar Raden Wongso Rojo; yang kedua Abdallah bergelar hanya Raden; sedangkan yang ketiga Alwi kemudian, pada tahun 1813, menjadi Regen Magelang dengan nama dan gelar Raden Tumenggung Danu Ningrat 1. Pada tahun 1820, beliau bergelar  Raden Adipati.

 

Keturunan dari Hasyim dan dari Abdallah tinggal di Yogyakarta, dan beberapa daripada mereka memangku jabatan-jabatan penting pada ke Sultanan. Pada tahun 1826, Hamdani bin Alwi menggantikan ayahnya sebagai Regen Magelang dan bergelar Raden Tumenggung Ario Danu Ningrat II. Pada tahun 1862, beliau diganti oleh putranya Said, yang bergelar Raden Tumenggung Danu (Kusomo) Ningrat III. Pada tahun 1879, beliau diganti oleh putranya Sayid Ahmad bin Said, yang bergelar Raden Tumenggung Danu Kusomo. Sayid Said bin Hamdani balik dari haji (Makkah) pada tahun 1881, seorang sayid dari keturunan para pangeran Jawa kuno.   

 

Keluarga pelukis terkenal Raden Saleh. Nama aslinya, adalah Sayid Saleh bin Husain bin Yahya. Kakeknya Awad, datang dari Hadramaut ke Jawa pada permulaan abad ke 19 dan menikah dengan puteri Regen Lasem, kiayahi Bostam. Putranya, sayid Husain bin Awad tinggal di Pekalongan, dimana beliau menikah dengan puteri Regen Wiradesa. Beliau memperoleh dua putra dengan gelar Sayid dan dua puteri dengan gelar Syarifah. Putra yang kedua, bergelar pula Raden. Seorang putrinya dinikahkan dengan patih Galuh.

 

Suatu cabang dari keluarga bin Yahya, tiba di Pulau Pinang pada permulaan abad ke 19, namanya Tahir. Beliau menikah dengan seorang putri dari keluarga Sultan Yogyakarta. Sultan ini, dibuang ke pulau Pinang selama 1812-1816. Sayid Tahir, datang ke Jawa tinggal di Semarang. Putranya yang ketiga, Ahmad Raden Sumodirjo, tinggal di Pekalongan dan memperistri seorang syarifah dari keluarga Ba’abud. Putranya sayid Saleh, bergelar Raden Sumo Di Putro. Satu-satu putrinya menikah dengan seorang syaikh dari Hadramaut.    

 

Keluarga Al-Ba’abud: Sayid Ahmad bin Muhsin Ba’abud tiba dari Hadramaut di Pekalongan pada permulaan abad ke 19, dan menikah dengan seorang putri Regen Wiradesa. Seorang anak cucunya Sayid Muhsin bin Husin bin Ahmad Ba’abud bergelar Raden Suro Atmojo, dan saudaranya yang bernama Ahmad bergelar Raden Suro Di Putro.

Keluarga Jamal-al-Lail: Di Pariaman (Sumatera Barat) ada suatu cabang dari keluarga Jamal-al-Lail, dan kepada para keluarganya penduduk memberi gelar Sidi.

 

Pada kerajaan Jambi, banyak terdapat anggota keturunan Barakbah dan Al-Jufri, begitu pula di Aceh ada keluarga dari keturunan Jamal-al-Lail.

Di Kesultanan Pontianak dan di Kubu, banyak sekali terdapat keturunan Al-Qadri, Al-Alydrus, Ba-Abud, Mutahhar, Al-Hinduan, Al-Habsyi, Al-Haddad, Al-Saqqaf dan keturunan Alawiyin lainnya. Semua ini, bersanak saudara dengan keluarga sultan Al-Qadri. Para Sayid, digelari Wan ringkasan dari Tuan dan untuk kaum wanitanya, digelari Wan Ipa ringkasan dari Tuan Syarifah.

 

Keluarga para Sultan Siak dan keluarga penguasa Palalawan, semua Alawiyin, begitu pula di Palembang. Keluarga-keluarga para Alawiyin yang terkemuka di Palembang, adalah bangsa Syaikh Abu Bakar, Al-Habsyi, Bin Syahab, Al-Saqqaf, Barakbah, Alkaf, Al-Munawar dan Al-Jufri. Antara mereka, ada yang berkeluarga dengan sultan-sultan dahulu. Banyak sekali, terjadi percampuran darah antara keluarga-keluarga Alawiyin dengan para terkemuka bangsa Indonesia, seperti putri sultan dari Pulau Bacan.

 

Pendiri kesultanan Siak, adalah Sayid Ali bin Usman bin Syihab, dari Palalawan adalah, Sayid Abdurrahman bin Usman bin Syihab dan dari Pontianak adalah, Sayid Abdurrahman bin Husain Al-Qadri.

 

Pendiri Kesultanan Sulu, adalah Sayid Abu Bakar dari Palembang dengan gelaran Sultan Sharif (penduduk Sulu menyebutnya  Al-Sultan Al-Syarif Al-Hasyimi). Urutan para sultan adalah sebagai berikut: Maharaja Upu–Pangeran Budiman– Sultan Tanga–Sultan Bungsu–Sultan Nasiruddin–Sultan Karamat –Sultan Syahabuddin–Sultan Mustafa gelar Sapiuddin–Sultan Muhamad Nasaruddin–Sultan Alimuddin I–Sultan Muhamad Muizziddin–Sultan Israil–Sultan Muhamad Alimuddin II–Sultan Muhamad Sarapuddin–Sultan Muhamad Alumuddin III.

 

Sumber catatan keturunan (ahlul bait) Rasulallah Saw. diambil antara lain dari:

Berg L.W.C.van den, ‘Le Hadramout Et Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien’, Batavia 1886.

Al-Haddad, Sayed Alwi b.Tahir, (Mufti Kerajaan Djohor Malaya) ‘Sedjarah Perkembangan Islam Di Timur Djauh’, Maktab Addaimi, Jakarta 1957.

Salim Harahap A., ‘Sedjarah Penyiaran Islam Di Asia Tenggara’, tjetakan ke dua. Penerbit Islamiyah, Medan 1951.

Saleeby, Najeeb M., ‘The History of Sulu’, Manila 1963.

Risalah Seminar  ‘Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia’, diterbitkan oleh Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, Medan , Maret 1963.

Wallahua'lam. silahkan ikuti bab 12 berikutnya

'

Maak jouw eigen website met JouwWeb