Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah

Pandangan Muhamad Abdul Wahab mengenai tauhid uluhiyah, ibadah semata-mata hanya untuk Allah jallajalaaluh dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan di utusnya para Nabi dan para Rasul. Kita semua tidak ada keraguan sedikitpun tentang pemahaman ini. Namun, disana terdapat kekaburan mengenai istilah. Karena didalam Al-Quran, Allah jallajalaaluhbukanlah berarti al-ma’bud.

 

Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid ibadah. Namun, tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah sepakat mengenai pemahamannya. Kaum Muslimin sepakat, akan wajIbnya menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah Swt. dan hanya semata-mata kepada-Nya kita beribadah. Namun, yang menjadi perselisihan, mengenai batasan pengertian ibadah. Dan ini, merupakan sesuatu yang paling penting didalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi tempat tergelincirnya kaki golongan muslimin yang melarang tawasul/tabaruk, takzim/penghormatan kepada para Rasul dan para sholihin, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Praktik tawasul, tabaruk dan takzim itu dalam pandangan Wahabi-Salafi sama dengan menyembah selain Allah, sebuah kemusyrikan.

 

Tauhid yang murni ialah, beribadah hanya semata-mata kepada Allah Swt. Ini tidak akan ada artinya jika kita tidak mendefenisikan terlebih dahulu pengertian ibadah, sehingga kita mengetahui batas-batasnya. Karena itu, akan menjadi tolok ukur untuk membedakan seorang muwahid (yang bertauhid) dan seorang musyrik.

 

Kaum Salafi-Wahabi menganggap, seluruh ketundukan, perendahan diri dan penghormatan adalah ibadah. Muhamad Ibnu Abdul  Wahab berkata pada salah satu risalahnya:

 “...Barangsiapa yang menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat atau para Rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau menghilangkan bahaya, dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Berarti dia, telah berdusta dengan ucapannya, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’. Dia harus diminta bertaubat. Jika dia bertaubat, dia akan dibebaskan; namun jika tidak, dia harus dibunuh.

 

Jika orang musyrik ini berkata, ‘Saya tidak bermaksud darinya kecuali hanya untuk bertabaruk, dan saya tahu bahwa Allah-lah yang memberikan manfaat dan mendatangkan madharat.’ Katakanlah kepadanya, ‘Sesungguhnya Bani-Israilpun tidak menghendaki kecuali apa yang kamu kehendaki’. Sebagaimana yang telah Allah jallajalaaluh beritakan tentang mereka. Yaitu manakala mereka telah berhasil menyeberangi laut, mereka mendatangi sebuah kaum yang tengah menyembah berhala mereka.

Kemudian Bani Israil berkata, ‘Hai Musa, buatkan lah untuk kami seorang Tuhan, sebagaimana Tuhan-Tuhan yang mereka miliki’, kemudian Musa berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.’” (‘Aqa’id al-Islam, kumpulan surat-surat Muhamad bin Abdul Wahab, hal. 26).

 

Muhamad bin Abdul Wahab berkata dalam risalahnya yang lain: “Barangsiapa yang bertabaruk kepada batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah dengan tujuan untuk bertabaruk (mengambil barokah) kepada mereka, berarti dia telah menjadikannya sebagai Tuhan-Tuhan yang lain”. (‘Aqa’id al-Islam Muhamad bin Abdul Wahab, hal.26).

 

Dalam Risalah Arba’ah Qawa’id (hal.4), Muhamad Abdul Wahab menulis: ’Sesungguhnya orang-orang musyrik dari kalangan kaum Muslim lebih keras kemusyrikannya dibandingkan kaum musyrik di zaman dulu. Karena kaum musyrik zaman dahulu hanya menyekutukan Allah di saat lapang, sementara di saat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini, sebagaimana firman Allah Swt.: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”(QS Al Ankabut [29]: 65).

 

Siapakah kaum Musyrik dari kalangan kaum Muslim? Muhamad Ibnu Abdul Wahab menulis: “Setiap orang yang bertawasul kepada Rasulllah shallahu 'alaihiwasallam dan para Ahlul-Baitnya, atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik. Kemusyrikan mereka jauh lebih besar daripada kemusyrikan para penyembah Lata,‘Uzza, Mana dan Hubal.”

 

Muhamad Sultan al-Ma‘shumi ,seorang ulama Wahabi-Salafi, memandang kaum Muslim yang sedang menziarahi kuburan Rasulallah shallahu'alaihi wasallam untuk bertabaruk kepada Nabi shallahu'alaihiwasallam sebagai berikut: “Pada kunjungan saya yang ke empat ke kota Madinah, saya menyaksikan di  Nabawi di sisi kuburan Rasulallah shallahu'alaihiwasallam yang mulia, banyak sekali terdapat hal-hal yang bertentangan dengan iman.

Hal-hal yang menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan ibadah. Yakni kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap berlebihan, kebodohan, taklid buta dan ta’asub yang batil. Sebagian besar yang melakukan kemunkaran-kemunkaran ini, orang-orang asing yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat agama. Mereka telah menjadikan kuburan Rasulallah shallahu'alaihiwasallam sebagai berhala disebabkan cinta yang berlebihan.”(Al–Musyahadat al-Ma‘shumiyah Inda Qabr Khair al-Bariyyah, hal.15).  

 

Golongan Wahabi-Salafi, menganggap bahwa setiap bentuk ketundukan atau perendahan diri seorang pada sesuatu (Nabi Allah, para sholihin dan sebagainya), orang tersebut dianggap sebagai hamba sesuatu tersebut, di lain kata dia telah  menyembahnya dan menyekutukan Allah. Menurut golongan ini, bila seorang yang menempuh perjalanan yang jauh dengan tujuan untuk menziarahi Rasulallah shallahu'alaihiwasallam, sehingga dapat mencium dan menyentuh makamnya yang suci, dengan tujuan bertabaruk (baca bab Tabaruk), maka dia terhitung sebagai orang kafir dan orang musyrik.

 

Sudah jelas, bagi orang yang berpendidikan agama akan menolak tegas pikiran si Syekh Muhamad bin Abdul Wahab dan Muhamad Sultan al-Ma’shumi ini. Dengan omongannya itu, mereka tidak bisa membedakan antara ibadah dan takzim/ penghormatan. Baik menurut syariat maupun akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata ketundukkan (khudhu’) dan perendahan diri (tadzallul) sebagai ibadah. Kita melihat banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia didalam kehidupan sehari-harinya yang disertai dengan ketundukkan dan perendahan diri. Contohnya; ketundukkan seorang murid kepada gurunya,  ketundukkan seorang prajurit yang berdiri hormat dan sebagainya dihadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang berani mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu sebagai ibadah.

 

Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menampakkan diri kepada kedua orang tua ketundukkan dan perendahan. Sebagaimana firman-Nya: “Dan turunkanlah sayapmu (rendahkan lah dirimu) di hadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang”. Kata “penurunan sayap” disini, merupakan kiasan dari ketundukan yang tinggi. Bahkan, pedoman seorang muslim adalah, “Tunduk dan merendahkan diri di hadapan seorang Mukmin, serta congkak dan meninggikan diri dihadapan orang kafir”. Sebagaimana Allah jallajalaaluh berfirman, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir”.

 

Jika semua perendahan diri dikatakan sebagai ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil !

 

Banyak ayat ilahi, dengan jelas berbicara tentang hal ini, antara lain ayat yang menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam álaihissalaam. Sujud adalah merupakan peringkat tertinggi dari khudhu’ (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan  diri). Allah  jallajalaaluh berfirman: “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada  para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam’”.(QS. al-Baqarah: 34).

 

Jika sujud kepada selain Allah jallajalaaluh dan penampakan puncak ketundukkan, perendahan diri itu disebut ibadah, tentu para malaikat ,na’udzubillah, telah musyrik dan kafir. Banyak ahli tafsir menulis, makna sujud di ayat tersebut, sujud penghormatan (takzim) tinggi  terhadap Adam álaihissalaam, bukan sujud ibadah. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa kata ‘sujud’ didalam ayat ini, berarti makna hakiki yakni penyembahan. Seandainya arti sujud kepada Adam sebagai penyembahan maka tidak ada alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes.

Iblis memahami perintah Allah Swt. tersebut, sujud kepada diri Adam itu sendiri (sebagai takzim). Karena itu, dia protes dengan mengatakan,  ‘saya lebih baik/utama darinya’ atau ‘Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?’. (QS. al-Isra: 61). Bagaimana mungkin seorang yang merasa dirinya lebih utama (sombong) harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama ?

 

Berikut, kami nukil dialog mengenai sujudnya Malaikat untuk Nabi Adam, ”Pada suatu hari seorang ulama Wahabi-Salafi ,pemimpin jama’ah Ansharus-Sunnah dikota Barbar kawasan utara Sudan, pernah memprotes seorang mazhab ahlus sunnah berkenaan dengan pembahasan ini. Dia (pemimpin jama’ah) mengatakan; ‘Sesungguhnya sujudnya malaikat kepada Adam di karenakan perintah Allah jallaajalaaluh’. Seorang ahlus sunnah bertanya padanya, ‘Jika demikian, berarti anda tetap bersikeras bahwa sujud tersebut termasuk kategori syirik, namun Allah jallaajalaaluh memerintahkannya’. Syekh ini menjawab: ‘Ya’.

 

Dia bertanya lagi kepadanya, ‘Apakah perintah Ilahi ini telah mengeluarkan sujudnya malaikat kepada Adam dari katagori syirik?’.Si Syekh menjawab, ‘Ya’.  Orang tersebut berkata, “Ini perkataan yang tidak berdasar, tidak akan diterima oleh orang yang bodoh sekalipun, apalagi oleh orang yang berilmu. Karena, perintah Ilahi tidak dapat mengubah esensi sesuatu. Sebagai contoh, esensi dari celaan dan caci maki ialah penghinaan. Jika Allah memerintahkan kita untuk mencela Fir’aun, perintah Ilahi ini tidak dapat mengubah esensi celaan menjadi pujian dan penghormatan bagi Fir’aun. Demikian juga sujud yang dikarenakn perintah Allah akan berubah (dari kemusyrikan) menjadi tauhid yang murni. Ini mustahil !

 

Dengan perkataan ini berarti anda telah menuduh para malaikat telah berbuat syirik, namun perbuatan syirik yang telah di izinkan dan di perintahkan oleh Allah jallaajalaaluh! ” Perkataan semacam ini, tidak mungkin dikatakan oleh seorang Muslim yang berakal sehat, dan jelas-jelas tertolak berdasarkan firman Allah jallaajalaaluh, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?’” (QS. al-A’raf (7):28). Dengan jawaban seorang tersebut, si Syekh ini tidak berkomentar lagi.

 

Al-Qur’an al-Karim juga telah memberitahukan kita akan sujudnya saudara-saudara Yusuf (QS. Yusuf [12]:100) dan juga ayahnya kepada dirinya. Sujud yang mereka lakukan ini bukan karena perintah Allah Swt. dan Allah Swt. tidak menyebutnya sebagai perbuatan syirik atau menuduh saudara-saudara Yusuf,  ayahnya telah melakukan perbuatan syirik. Jelas sudah, arti sujud diayat ini yaitu perbuatan yang menampakkan ketundukkan, perendahan diri dan pengagungan, jadi bukanlah ibadah.

 

Atas dasar ini pula, kita tidak bisa menuduh atau menjuluki seorang Muslim muwahhid (bertauhid) yang tunduk dan merendahkan diri dihadapan makam Rasulallah, para imam dan  para wali, sebagai orang musyrik yang menyembah kuburan. Karena, ketundukkan bukanlah berarti ibadah atau penyembahan! Bila perbuatan yang semacam ini dikatagorikan sebagai perbuatan ibadah kepada kuburan, kita juga harus konsekwen mengatakan, amal perbuatan kaum muslimin pada manasik haji–tawaf mengelilingi Ka’bah, melakukan sa’i antara shafa-marwa, mencium  batu hajar aswad dan lain sebagainya–termasuk ibadah dan perbuatan syirk. (Na’udzu billahi). Karena dilihat dari bentuk zahir/ lahir perbuatan-perbuatan ini tidak berbeda dengan perbuatan mengelilingi, mencium, menyentuh kuburan Rasulallah Saw. dan  para waliyullah.

 

Terdapat kecenderungan kuat, bagi kaum Wahabi-Salafi definisi ibadah hanya berurusan dengan bentuk lahiriyahnya saja. Ketika mereka melihat seorang peziarah kuburan Rasulallah Saw. menciumi makam Rasulallah Saw. atau makam para waliyullah, dengan serta merta terbayang di dalam benak mereka, seorang musyrik yang menciumi berhalanya. Lalu, dengan segera mereka memvonis, seorang Muslim yang menciumi kuburan sebagai seorang musyrik. Pikiran seperti itu adalah keliru. Jika semata-mata bentuk lahiriyah menjadi sandaran utama untuk menetapkan kesyirikan atau kekufuran, tentu kaum Wahabi pun harus mengkafirkan pula seluruh kaum Muslim yang mencium hajar aswad. Tentu kenyataannya tidak demikian! Kaum Muslim yang mencium hajar aswad, perbuatannya itu dihitung sebagai salah satu bentuk eskpresi tauhid murni.

 

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis:

Usamah bin Zaid r.a. telah membunuh seorang pimpinan laskar kafir yang telah terjatuh pedangnya. Si kafir kala itu dengan wajah tidak serius mengucap syahadat. Namun Usamah tetap menebas lehernya. Mendengar kejadian itu, Rasulallah shallahu'alaihiwasallam sedemikian murka. Lalu memanggil Usamah, seraya bersabda: “Apakah engkau membunuhnya padahal dia telah berucap la ilaha illallah?” Usamah r.a. menjawab: “Kafir itu hanya bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulallah.” Beliau shallahu'alaihiwasallam bangkit dari duduknya dengan wajah merah padam dan membentak Usamah: “Apakah engkau telah belah sanubarinya, hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan ini diulangi tiga kali)? … sampai akhir hadis.

 

Wallahua’lam. Silahkan ikuti kajian berikutnya.