Pembelaan Nashiruddin Albani kepada Syaikh Khajandi

Pembelaan Nashiruddin Albani kepada Syaikh  Khajandi

Akhirnya, Syaikh  Khajandi mendapatkan pembelaan dan dukungan datang dari Syaikh  Albani. Pembelaan Albani tidak lain karena Syaikh Khajandi ini sefaham dan satu kelompok golongan dengannya. Dalam pembelaannya, Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan umat Islam.

 

Albani mengatakan, “Sanggahan dan alasan yang di kemukakan Syeikh Said Ramdhan terhadap pendapat Syaikh Khajandi itu tidak benar. Albani menyatakan bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah  menetapi satu mazhab tertentu”.

 

Dr. Said Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang di kemukakannya itu ada lah benar. Syaikh  Said ini mengutip ucapan Ibnul Qayim dalam kitabnya I’laamul Muwaqi’in  jilid 1/21:

وَالدِّيْنُ وَالفِقْهُ وَالْعِلْمُ إِنْتَشَرَ فِى الأُمَّةِ عَنْ أَصْحَابِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَأَصْحَابِ زَيْدِ ابْنِ ثَابِتٍ وَ أَصْحَابِ عَبْدِالله ابْنِ عَبَّاسٍ فَعِلْمُ النَّاسِ 

  هَؤُلآءِ الأَرْبَعَةِ . فَأَمَّا أَهْلُ  الْمَدِيْنَةِ  فَعِلْمُهُمْ عَامَّةً عَنْ أَصْحَابِ زَيْدِ ابْنِ َابِتٍ وََعََبْدِالله ابْنِ عُمَرَ, وَاَمَّا اَهْلُ مَكَّةَ  فَعِلْمُعُمْ عَنْ أَصْحَابِ عَبْدِالله ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَاَمَّا اَهْلُ الْعِرَاقِ فَعِلْمُـعُمْ عَنْ أَصْحَابِ عَبْدِالله ابْنِ مَسْعُودٍ 

“..Ilmu agama, fiqh dan ilmu-ilmu lainnya tersebar ke tengah-tengah umat ini, melalui para pengikut Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Secara umum, umat Islam memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Penduduk Makkah memperolh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Irak memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Mas’ud”.

 

Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qayim. Bahkan, dalam sejarah perkembangan syariat Islam telah pula diketahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Makkah dalam waktu yang cukup lama. Dan penduduk Makkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini. Kondisi ini menjadikan khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi‘in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi mazhab  kedua imam tersebut.

 

Syaikh  Albani juga membela beberapa pendapat Syaikh Khajandi yang dinilai aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syaikh  Khajandi berikut ini:

Kata-kata Syaikh  Khajandi, “Adapun mazhab-mazhab  itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”. Menurut Albani, yang dimaksud ‘seseorang’ di atas  adalah, orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.

 

Kata-kata Syaikh  Khajandi, “Menghasilkan ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho, Sahih Bukhari-Muslim, Sunan Abi Daud, Jaami’ at-Tirmidzi dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah di peroleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini”. Menurut Albani, ucapan Syaikh  Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajat mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.

 

Kata-kata Syaikh  Khajandi, “Jika telah didapatkan nash dari Al-Quran, Hadis  dan ucapan para sahabat maka wajiblah mengambilnya, tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama”. Menurut Albani, ucapan Syaikh  Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syariat dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.

 

Pembelaan Albani kepada Syaikh Khajandi, selalu mengandalkan takwil agar tetap terkesan berada di atas kebenaran. Sedikitpun, Nashiruddin Albani tidak mau menyalahkan Syaikh Khajandi. Bahkan, ketika Syaikh Said Ramdhan berkata kepada Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya, “Bahwasanya, seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan zhahir pernyataan nya itu.”

Nashiruddin Albani menjawab, “Syaikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non Arab. Karenanya, dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang Arab. Dia sekarang sudah wafat dan karena dia seorang muslim haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes, kita harus selalu ber-husnud dhon (bersangka baik) kepadanya.

 

Syeik al-Albani berdalih husnuz dhon kepada seorang muslim dan dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi, walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain, karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, tentulah ,seperti sifat kebiasaan al-Albani, akan di bantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan, walaupun orangnya sudah wafat!  Andai saja, al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin A’robi  ,seperempat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi, tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikan mereka (para sufi) !

 

Walaupun sudah dibela sama al-Albani, Syeikh Said tetap membantahnya. Syeikh Said Ramdhan berkata: Coba saja, berikan kitab Bukhori Muslim kepada semua kaum muslimin, lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian, lihatlah kebodohan, kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi! Selanjutnya Syeikh Said ini mengatakan, Ibnul Qayim dalam kitabnya ‘I’lamul Muwaqqi’in 4/234 mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan Syeikh Khajandi, walaupun telah didukung/dibela oleh al-Albani.

 

Ibnul Qayim berkata:

الفَائِدَةُ الثَّامِنَةُ وَالأَرْبَعُوْنَ) إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ الصَّحِيْحَانِ اَوْاَحَدُهُمَا اَوْ كِتَابٌ مِنْ سُنَنِ رَسُولِ اللهِ (ص) مُوْثَقٌ بِمَا فِيْهِ, فَهَلْ) لَهُ أَنْ يُفْتِيَ بِمَا يَجِدُهُ فِيهِ؟..... وَالصَّوَابُ فِى هَذِهِ المَسْأَلَةِ  التَّفْصِيل فَإِنْ  كَانَتْ  دَلاَلَـةُ الحَدِيْثِ ظَاهِرَةً بَيِّنَةً لِكُلِّ مَنْ سَمِعَهُ لاَيَحْتَمِلُغَيْرَ الْمُرَادِ فَلَهُ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ وَيُفْتِيَ بِهِ وَلاَ يَطْلُبُ  التَّزْكِيَةَ  لَهُ مِنْ قَوْلِ فَقِيْهٍ اَوْ إِمَامٍ بَلِ الْحُجَّــةُ  قَوْلُ رَسُولِ اللهِ(ص). وَ إِنْ كَانَتْ دَلاَلتُهُ خَفِيَّةً لاَ يَتَبَيَّنُ الْمُرَادُ  لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ  يَعْمَلَ وَلاَ يُفْتِيَ بِمَا يَتَوَّهَّمُهُ مُرَادًا حَتَّى يَسْأَلَ وَ يَطْلُبَ بَيَانَ الْحَدِيْثِ وَوَجْهَهُ

“(Faidah ke 48): Apabila seseorang memiliki dua kitab sahih (Bukhori & Muslim), atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulalillah Saw., yang terpercaya, bolehkah ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil).

 

Bila makna yang dikandung oleh hadis itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya, dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomendasi lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan, dalil/hujjah yang harus diambil, sabda Rasulalillah shallahu'alaihiwasallam.

Akan tetapi, bila kandungan hadis tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang), dia tidak boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya, sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadis itu”

 

Selanjutnya, Ibnul Qayim berkata;

وَهَذَا كُلُّهُ إِذَا ثَمَّةَ نَوْعُ أهْلِيَّةٍ  وَلَكِنَّـهُ  قَاصِرٌ  فِى مَعْرِفَةِ الفُرُوْعِ وَ قَوَاعِدِ الأُصُوْلِيِّيْنَ وَالْعَرَبِيَّةِ. وَإِذَا لَمْ تَكُنْ ثَمَّةَ أهْلِيَّة ٌقَطُّ فَفَرْضُهُ مَا قَالَهُ اللهُ تَعَالَى فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ       

ُ“Semua yang dibicarakan diatas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi, apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah Swt.: ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’ (QS.An-Nahl :43)“.

 

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Syaikh  Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Insyaf, ‘Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Syeikh Said Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar. Tujuan Syaikh Said Ramdhan membongkar ketidakbenaran ucapan yang diatas- namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syaikh  Khajandi) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini.

 

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syaikh Said Ramdhan lakukan, yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka malah bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syaikh Khajandi itu.

 

Pada akhirnya, mereka (gologan Wahabi) ini berkata, “Kami telah memeriksa risalah al-Insyaf karangan Imam ad-Dahlawi rahimahullah. Ternyata di dalam-nya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syaikh  Khajandi.

 

Dikitab itu disebutkan, ‘Ketahuilah bahwa kaum Muslim di abad pertama dan kedua hijriah, tidak menyepakati taklid kepada satu mazhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Quutul Qulub mengatakan, kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan satu mazhab kemudian mengambil ucapan itu dan menyampaikannya menurut mazhab tersebut.

Ketika itu, hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas mujtahidin. Tidaklah mereka itu taklid kecuali kepada pemegang syariat yakni Nabi Muhamad Saw. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa mazhabnya.’ ”

 

Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi, golongan wahabi juga mengatakan, ‘Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatullaahil Baalighah jilid1/154-155.

Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazm;

قالَ إِبْنُ حَزْمٍ: إِنَّ التَّقْلِيْدَ حَرَامٌ وَلاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ اَنْ يَأخُذَ قَوْلَ أَحَد غَيْرِ رَسُوْلِ اللهِ (ص) بِلاَ بُرْهَانٍ   ٍ

Ibnu Hazm berkata, “Taklid itu haram dan orang–dengan tanpa dalil– tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah Saw’. Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya, sebagai hasil kutipan dari ibnu Hazm.

 

Namun demikian, apabila kita perhatikan dengan saksama, ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapan Syaikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi.

 

Ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya ,sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazm, bukanlah seperti itu. Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi:

 إِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْمَذَاهِبَ الأَرْبَعَةَ المُدَوَّنَةَ المُحرَّرَةَ  قَدِ اجْتَمَعَتِ الأُمَّةُ اَوْ مَنْ يُعْتَـدُّ بِهِ مِنْهَا عَلَى جَوَازِ تَقْلِيْدِهَا إِلَى يَوْمِنَا هَذَا وَ فِي ذَلِكَ مِنَ المَصَالِحِ مَالاَ يَخْفَى لاَ سِيَّمَا فِى هَذِهِ الاَيَّامِ الَّتِى قَصُرَتْ فِيْهَا الهِمَمُ جِدًّا وَ أُشْرِبَتِ النُّفُوسُ الهَوَى وَ اَعْجَبَ كُلُّ ذِى رَأْيٍ بِرَأْيِهِ     

“Ketahuilah! Sesungguhnya umat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaklid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara autentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat mazhab tersebut, terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah di campuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri.”

 

Selanjutnya, imam ad-Dahlawi berkata;

  فَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ  إِبْنُ حَزْمٍ حَيْثُ قَالَ : إِنَّ التَّقْلِيْدَ حَرَامٌ وَلاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ اَنْ  يَأخُذَ قَوْلَ أَحَدٍ غَيْرِ رَسُوْلِ اللّهِ (ص) بِلاَ بُرْهَانٍ ....إِنَّمَا يَتِمُّ فِيمَنْ َ لَهُ ضَرْبٌ مِنَ الإِجْتِهَادِ وَلَوْ فِي مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ                           

“Maka pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan, “Sesungguhnya taklid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang ,dengan tanpa dalil, mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah shallahu'alaihiwasallam ….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun, pada satu masalah”.

 

Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalam Hujjatulloohil Baalighah. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata, ...Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah shallahu'alaihi wasallam dan mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting  dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah.

 

Begitulah kefanatikan. Ia menghalangi diri untuk bersikap objektif. Atas dasar fanatik golongan, mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka. Para pengikut mazhab yang empat, betapapun fanatiknya mereka, tidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka.

 

Nashiruddin Albani ,dalam rangka menyalahkan pendapat Syaikh  Said Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi dua kelompok yaitu Mujtahid dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau Al-I’tisham.

 

Albani mengutip sebagai berikut:

اَلْمُكَلَّفُ بِأَحْكَامِ الشَّرِيْعـَةِ لاَ يَخْلُوا مِنْ أَحَدٍ أُمُوْرٍ  ثَلاَثَةٍ  اَحَدُهَا اَنْ يَكُونَ مُجْتَهِدًا فِيهَا فَحُكْمُهُ مَا أَدّاَهُ إِلَيْهِ إِجْتِهَادُهُ فِيهَا.وَالثَّانِي أنْ  يَكُونَ  مُقَلِّدًا  صِرْفًا خَلِيًّا مِنَ العِلْمِ الحَاكِمِ جُمْلَةً فَلاَ بُدَّ لَهُمِنْ قَائِدٍ يَقُـودُهُ. وَالثَّالِثُ اَنْ يَكُونَ غَيْرَ بَالِغٍ مَبْلَغَ المُجْتَهِدِينَ لَكِنَّهُ يَفْهَمُ الدَّلِيْلَ وَمَوْقِعَهُ وَيَصْلُحُ فَهْمُهُ لِلتَّرْجِيْح   

“Orang yang terkena beban hukum syariat (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara: Pertama, ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syariat maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.

 

Sampai disini, Albani dan kawan-kawannya menyudahi keterangan Imam as-Syatibi. Padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’. Dr. Sa’id Ramdhan al-Bûthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 111 hal.253 guna melihat bagian terpenting, yang sengaja dibuang oleh Albani dan kawan-kawannya.

 

Berikut keterangannya: (Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia, haruslah memperhatikan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka, siapa yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu, jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya"

 

Dengan keterangan di atas,  jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi, kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya. Dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi, sayang sekali, Albani dan kawan-kawannya justru membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu. Akhirnya Dr. Said Ramdhan berkomentar: “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagaimana anda sendiri telah melihatnya? Bagaimana seorang Muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syariat dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid?”

Silahkan ikuti kajian berikutnya.

 

Maak jouw eigen website met JouwWeb