Awalan Sayidina atau Maulana untuk Nama Rasulallah Saw.

Awalan Sayidina atau Maulana untuk Nama Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

Ada golongan muslimin membid‘ahkan panggilan Sayidina atau Maulana di depan nama Muhamad Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, karena dianggap sebagai pelecehan terhadap kenabian beliau. Ini juga berkaitan dengan lemahnya kesediaan golongan ini untuk melihat sisi batin tentang penghormatan kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

Allah Subhaanahuuwata'aala berfirman, “Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhamad) seperti kalian memanggil sesama orang di antara kalian”. (QS. An-Nur [24] : 63).

 

Didalam Al-Quran banyak ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah subhaanahuuwataáala. dalam surat Al-A’raf: 157; Al-Fath: 8-9; Al- Insyirah: 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah subhaanahuuwataáala memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung.

 

Allah subhaanahuuwata'aala telah mengajarkan kepada kita tatakrama, bahwa dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhamad, tetapi memanggil beliau  dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi. 

 

Firman-firman Allah Jallaajalaaluh tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah Jallaajalaaluh mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi hingga layak kita sebut sayidina atau junjungan kita Muhamad Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Menyebut nama beliau tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti sayidina, maulana tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau shalllahu'alaihiwasallam.

 

**Dalam tafsirnya mengenai ayat An-Nur:63, Ash-Shawi mengatakan,

“Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam cukup dengan nama beliau saja, seperti ‘Hai Muhamad’ atau cukup dengan nama julukannya saja ‘Hai Abul Qasim.' Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau shalllahu'alaihiwasallam tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau shalllahu'alaihiwasallam, baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah shalllahu'alaihiwasallam. Yang sudah jelas ialah, orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut, berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Quran. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.”

 

**Syeikh Muhamad Sulaiman Faraj dalam risalahnya  Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam an Sayidil-Anam dengan tegas mengatakan, “Menyebut nama Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan tambahan kata Sayidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau shalllahu'alaihiwasallam.

Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah Jallaajalaaluh memerintahkan umat Islam supaya menjunjung tinggi, menghormati dan memuliakan martabat Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Bahkan, melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita.               

Larangan tersebut tidak berarti lain, kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Allah subhaanahuuwata'aala berfirman (QS.An-Nur [24]:63) ‘Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhamad) seperti kalian memanggil sesama orang di antara kalian’”.

 

**Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil  Imam Suyuthi menulis, “Dengan turunnya ayat tersebut, Allah melarang umat Islam menyebut atau memanggil beliau shalllahu'alaihiwasallam hanya dengan namanya. Tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau shalllahu'alaihiwasallam telah wafat.”

 

**Dalam kitab Fathul Bari syarh Sahih Bukhari juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas. Keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu Abbas r.a. menegaskan hal ini: “Sebelum ayat tersebut turun, kaum Muslimin memanggil Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam hanya dengan ‘Hai Muhamad,’ ‘Hai Ahmad,’ ‘Hai Abul-Qasim’ dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah Jallajalaaluh melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dengan ucapan ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata: Ya Rasulallah dan Ya Nabiyullah.”

 

Beberapa ayat dan hadis yang berkaitan gelar sayid untuk pribadi seseorang, antara lain:

**Allah subhaanahuuwata'aala menyebut Nabi Yahya 'alaihissalaam dengan predikat sayid, “…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang saleh”. (QS Ali-Imran[3]:39)

 

**Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah Saadat (jamak dari kata sayid) “Dan mereka (penghuni neraka) berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa jamak dari sayid) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.’” (QS. Al-Ahzab [33]:67).

 

**Seorang suami dapat disebut dengan kata sayid, sebagaimana firman Allah subhaanahuuwata'aala, “Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayid (suami) wanita itu didepan pintu”. (QS Yusuf [12] :25).

 

Dalam hadis, antara lain disebutkan:

**“Setiap anak Adam adalah Sayid. Seorang suami adalah sayid bagi istrinya dan seorang istri adalah sayidah bagi keluarganya  (rumah tangganya)”. (HR. Bukhari dan Adz-Dzahabi). 

 

Kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayid, maka sangat aneh sekali anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya di sisi Allah ,yaitu junjungan kita Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam, tidak boleh disebut sayid ?

 

**Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Janganlah kalian berkata (kepada budak kepada majikannya),  ‘beri makan Rabmu!’, ‘wudukan Rab mu!’, tapi ucapkanlah ‘Sayidi dan Maulaya (tuanku dan junjunganku)’. Jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka, ‘wahai Hambaku’, tapi ucapkanlah: ‘wahai anak’, ‘wahai pembantu’” (Sahih-Bukhari hadis no.2414). Hadis semakna juga ada dalam Sahih Muslim hadis no. 2249. 

 

Rasulallah shalllahu'alaihiwasallammembolehkan ucapan sayidi (tuanku) atau maulaya (tuan muliaku) seorang budak terhadap tuannya. Berkata para ahli hadis: “Kalau antara tuan yang memiliki budak saja boleh menggunakan sayidi wa maulaya atau sayidina wa maulana, maka sungguh Nabi shalllahu'alaihi wasallam jauh lebih berhak dari semua pemilik budak itu!”.

 

**Dalam Sahih Muslim terdapat hadis bahwa Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam memberitahu para sahabatnya, “Bahwa pada hari kiamat kelak Allah Jallaajalaaluh akan menggugt hamba-hambaNya, ‘Bukankah engkau telah Kumuliakan dan Kujadikan Sayid?’”

 

**Imam Bukhari dan Muslim dalam Sahihnya meriwayatkan, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Aku sayid anak Adam…”. Ibnu Abbas r.a mengatakan, makna sayid dalam hadis ini ialah orang yang paling mulia di sisi Allah. Qatadah r.a. mengatakan, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam adalah seorang sayid yang tidak pernah dapat di kalahkan oleh amarahnya.

 

**Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Aku adalah sayid anak Adam pada hari kiamat”. Sumber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Aku sayid semua manusia pada hari kiamat”.

 

**Sebuah hadis yang jelas mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam diawali dengan kata sayidina diketengahkn

oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadis yang mempunyai isnad sahih ini berasal dari Jabir bin Abdullah r.a. yang mengatakan sebagai berikut: “Pada suatu hari, kulihat Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhaanahuuwata'aala, beliau shalllahu'alaihiwasallam bertanya, ‘Siapakah aku ini?’ Kami menyahut, ‘Rasulallah!’ Beliau bertanya lagi, ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini?’. Kami menjawab, Muhamad bin Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf!’ Beliau shalllahu'alaihiwasallam kemudian menyatakan, ‘Aku sayid anak Adam’.”

 

**Ibnu Athaillah dalam kitabnya Miftahul-Falah mewanti-wanti pembacanya, “Hendaknya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafaz sayidina dalam bershalawat, karena dalam lafaz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya.”

 

Beberapa firman Allah Jallaajalaaluh dan hadis diatas cukup gamblang dan jelas kata-kata sayid ditujukan pula kepada setiap manusia. Apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya di sisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhamad shalllahu'alaihiwasallam tidak boleh disebut sayid?

 

Demikian pula kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa dan penolong. Banyak terdapat dalam Al-Quran kata-kata ini, antara lain: “…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang di lindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”. (QS Ad-Dukhan [44]:41).

 

Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadis, bahwa Rasulallah shalllahu'alaihi  wasallam bersabda, “Man kuntu maulahu fa Aliyun maulahu” (Barangsiapa aku menjadi maula-nya [pemimpinnya], Ali [bin Abi Thalib] adalah maulanya…”

 

Dari riwayat semuanya ini, kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam adalah sayidina dan maulana. Demikian pula para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayidina.

 

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah r.a.:  

          يَا فَاطِمَة أمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأُمَّةِ                                         

Hai Fatimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayidah kaum mukminin (kaum wanita orang-orang yang beriman) atau sayidah kaum wanita umat ini?”

 

Dalam Sahih Muslim disebutkan sabda Nabi shalllahu'alaihiwasallam:

       يَا فَاطِمَة أمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِناَتِ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأُمَّةِ                                        

“Hai Fatimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayidah mukminat (kaum wanita orang-orang yang beriman) atau sayidah kaum wanita umat ini ?”

 

Demikian pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu‘anhuma. Imam Bukhari dan At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis yang berisnad sahih bahwa pada suatu hari Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bersabda,

         الحَسَنُ وَ الحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ               

“Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayid pemuda ahli surga”.

 

Didalam Al-Mustadrak, Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadis dengan isnad sahih, “Abu Hurairah r.a. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin Ali r.a. selalu mengatakan, ‘Alaikas salam ya sayidi’. Atas pertanyaan seorang sahabat, ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menyebutnya (Al- Hasan)  sayid’ ”.

Wallahua'lam.

Silahkan ikuti kajian berikutnya.