Ayat Al-Quran dan hadis mutasyabihat yang ditakwil

Sebagian Ayat Al-Quran dan hadis mutasyabihat yang ditakwil

Para ahli tafsir mentakwil ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Quran, yang disesuaikan dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya, untuk menjauhkan makna dari segi zahirnya, kepada makna yang lebih layak bagi Allah Subhaanahuwata'aala. Karena makna zahir nash al-Mutasyabihat tsb., jelas mempunyai unsur persamaan Allah dengan makhluk-Nya. Diantara sahabat besar yang berjalan diatas kaidah takwil, Sayiduna Ibnu Abbas r.a, anak paman Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam dan murid utama Sayidina Ali k.w.

 

Para ahli tafsir mengartikan makna ayat Allah: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi.“, kata Kursi dalam ayat ini berarti Ilmu. Jadi ayat ini diartikan sebagai berikut:Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”. Begitu juga firman-firman Allah subhaanahuwata'aala, seperti:  Wajah Allah berarti Dia Allah, Tangan Allah berarti Kekuasaan Allah, Mata Allah berarti Pengawasan Allah dan lain sebagainya. Takwil ini, jelas dilakukan para Salaf demi menjaga kesucian Allah Jallajalaaluh, sebuah upaya yang sering dituduh sebagai bid‘ah oleh kaum wahabi-salafi..

 

Firman Allah dalam surah Ali-Imran [3]:7, ‘Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalami’. Diriwayatkan oleh Mujtahid dari Ibnu Abbas yang berkata: ‘Saya termasuk dari orang yang mengetahui takwilnya’. (Ad-Durrul Manshur 2/152 dan Zadul Masir 1/354). Begitu pula doa Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam untuk Ibnu Abbas: ‘Ya Allah ajarkanlah kepadanya hikmah dan takwil Al-Quran’ (HR Ibnu Majah dalam Sunannya).

 

Al-Hafidh Ibnu Jauzi Al-Fagih Al-Hanbali dalam kitab Al-Majalis hal.13, antara lain berkata: “Dan bagaimana bisa di katakan sesungguhnya salaf tidak memakai takwil? Sesungguhnya Abdullah bin Abbas waktu menyediakan air wudu untuk Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam , beliau bersabda; ‘Siapa yang melakukan itu?’ Saya (bin Abbas) berkata; ‘Saya wahai Rasulallah’. Rasulallah bersabda:  ‘Ya Allah, pahamkanlah dia dalam agama dan ajarkan lah dia takwil’. Apabila takwil itu dilarang dalam agama, tidak mungkin Rasul shallallahu 'alaihiwasallam berdoa kepada Ibnu Abbas agar Allah Swt. mengajarinya ilmu takwil. Dengan demikian jelas,, orang yang tidak membolehkan takwil, adalah orang yang kurang mendalami ilmu agama, dan bertentangan dengan pendapat para salaf ”.

 

Ibnu Abbas r.a. mentakwil ayat: يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ

“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.Al-Qalam [68]:42) dengan, “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).” Disini kata سَاقٍ (betis) ditakwil dengan makna  شِدَّةٌ (kegentingan). Takwil ayat di atas ini, telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bari, 13:428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29:38. Dia mengawali tafsirnya dengan mengatakan,“Berkata sekelompok sahabat dan tabi’in dari para ahli takwil, makna (takwil)nya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari dimana disingkap (diangkat) perkara yang genting.” Takwil ini, juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said Ibnu Jubair, Qatadah dan lain-lain. 

 

Ibnu Hajar dalam syarah Bukhori (fathul bari 13:428) berkata, “Adapun (masalah) betis, Ibnu Abbas dalam firman Allah yang Maha Tinggi ‘Pada hari betis disingkapkan’ berkata, ‘Karena dahsyatnya urusan (waktu itu) bangsa Arab berkata, peperangan berkecamuk diatas betis. Bila peperangan itu dahsyat,….Kawan-kawanmu telah mengadakan pemukulan (ke) leher-leher dan peperangan berkecamuk diatas betis (dengan dahsyat)’”.

 

Al-Muhallab berkata, ‘Penyingkapan betis untuk orang-orang beriman, adalah rahmat dan untuk selain mereka adalah siksa’.

Al-Khothobi dalam Asma wash Shifat karangan al-Baihaqi hal. 345, berkata, “Kebanyakan para guru besar merasa segan untuk mendalami tentang arti betis. Arti perkataan Ibnu Abbas, ‘sesungguhnya Allah menyingkap kekuasaan-Nya, karenanya tampak kedahsyatan.’”

 

Ibnu Abbas r.a. juga mentakwil beberapa ayat berikut:

               وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَّ إِنَّا لَمُوْسٍعُوْنَ                      

‘Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.’(QS Ad-Dzariyat [51]: 47). Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah, telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jamak dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamus al Muhith dan Taj al Arus,10/417). Ibnu Abbas r.a. mentakwil arti kata tangan dalam ayat Ad-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ artinya dengan kekuatan. Demikian yang diriwayatkan al-Hafizh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27.

 

Ibnu Abbas r.a. mentakwil –firman Allah Swt.,

               فَاليَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوْا لِقَاءَ يَوْمِهِم هَذَا 

‘Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…’ (QS.al-A’raf [7]:51)–kata ‘melupakan’ diayat itu dengan ‘menelantarkan’

 

Ibnu Jarir berkata, “Dia berfirman, ‘maka pada hari ini (hari kiamat), Kami melupakan mereka’,(Yang dimaksud) ‘Kami membiarkan mereka dalam siksa.’.”’(Tafsir Ibnu Jarir, 8/201)  Disini, ibnu Jarir mentakwil kata melupakan dengan membiarkan. Ini adalah penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang zhahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil takwil tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas, Mujahid dan lain-lain–– radhiyallahu ’anhum.. 

 

Ibnu Abbas r.a. adalah seorang sahabat besar dan pakar tafsir Al-Qur’an, Mujahid adalah seorang tabi’in agung…Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf… 

Al-Baihaqi dalam manaqib Imam Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan dari Al-Hakim dari Abu Amr bin As-Sammak dari Hanbal, sesungguhnya Ahmad bin Hanbal telah mentakwil firman Allah Swt. dalam surah Al-Fajr [89]:22,

                            و جاء رَبُّكَ

‘Dan datanglah Tuhanmu...’ dengan ‘Sesungguhnya datang pahalanya‘. Al-Baihaqi berkata, ‘Sanad ini tidak ada debunya’. Ibnu Katsir menukil hal tersebut dalam tarikh-nya (Al-Bidayah wa An-nihayah 10/327).

 

Al-Baihaqi dalam managib Ahmad (Ta’liq Azzahid Al-Kautsari al Saifish Shoqil 120-121 karangan Imam As-Subki) berkata: “Dari Al-Hakim dari Abu Amr bin As-Sammak dari Hanbal bin Ishaq yang berkata, Saya dengar dari pamanku Abu Abdillah–yakni Ahmad–berkata, “Mereka hari itu–yakni pada hari debat dirumah Amirulmukminin–berargumen dan berkata padaku bahwa ‘Pada hari kiamat surah Al-Baqarah akan datang dan surah Tabarak akan datang’. Saya (Ahmad) berkata kepada mereka, hanya saja itu (yang dimaksud) adalah pahala. Allah yang Maha Tinggi berfirman, ‘Dan datanglah Tuhanmu’ (QSAl-Fajr:22). Hanya saja yang akan datang adalah kekuasaan- Nya …’ ”

 

Imam Malik, Az-Zarqoni (Syarh Az-Zarqoni  alaa Al-Muwatho 2/35 dan Syarah At-Tirmidzi 2/236) menukil dari Abu Bakar Al-Arabi, sesungguhnya dia berkomentar tentang hadis, ‘Tuhan kita turun’. Turun ini, kembali pada perbuatan-perbuatan-Nya bukan kepada Zat-Nya. Bahkan, itu adalah keterangan tentang malaikat-Nya yang turun dengan adanya perintah dan larangan-Nya. Turun disini adalah gambaran sifat malaikat yang diutus untuk suatu hal, yaitu dari tidak mengerjakan sesuatu kemudian mengerjakannya. Hal itu disebut turun dari satu martabat ke martabat yang lain. Ini adalah (ungkapan) bahasa Arab yang benar. 

 

Ibnu Hajar berkata tentang hadis–Tuhan kita turun–berkata, “(Arti) turun kembali kepada perbuatan-perbuatan-Nya bukan kepada Zat-Nya. Hal yang demikian itu adalah keterangan tentang malaikat-Nya yang turun dengan perintah dan laranganNya…dan seterusnya sampai akhir riwayat” (syarah al-Bukhori (fathul-bari 3:30). Perhatikan sebuah hadis qudsi berikut ini:

“Hai anak Adam, Aku sakit (مَرِضْتُ) tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] berkata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul Alamin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR Muslim 4/1990, hadis no.2569). 

 

Apakah boleh kita mengatakan; Allah sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita (makhluk-Nya)? Bolehkah kita meyakini ,menurut zhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan, jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? Pasti tidak boleh!

Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti si pembicara yaitu Allah Jallajalaaluh. Memang berdasarkan zhahir teks dalam hadis itu, Allah-lah yang sakit. Akan tetapi, zhahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus ditakwîl. Demikian pandangan setiap orang berakal dan sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan takwîl kepada kita.  

 

Imam Nawawi, dalam Syarah Muslim mengatakan, para ulama berkata, “Disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba, hal itu merupakan tasyrif––pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Sedangkan, kalimat engkau akan dapati Aku disisinya, para ulama berkata, maksudnya adalah engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku…“(Syarah Sahih Muslim, 6/126).

 

Begitu pula, kita sering mendengar sebutan Ka’bah sebagai Baitullah (rumah Allah) atau sebutan untuk masjid. Inipun, tidak boleh kita artikan secara tekstual, tetapi yang dimaksud adalah Rumah yang dimuliakan Allah. Atau kata-kata Naqatallah dalam Al-Quran, tidak bisa diartikan secara tekstual (onta betina Allah), tapi makna yang dimaksud ialah Onta betina yang di muliakan Allah Subhaanahuuwata'aala.

 

Metode takwil juga dipakai oleh sejumlah tokoh tabi’in dan para pemuka Salaf Saleh; Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan. Dari sini tampak jelas, bahwa mentakwil ayat sifat adalah metode dan diamalkan para sahabat dan tabi’in.

Seorang ulama dari kelompok wahabi ,Syaikh Albani, mencela Imam Bukhari karena telah menafsirkan QS Al-Qashash [28]:88, “Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya” dengan “Segala sesuatu akan binasa kecuali Kekuasaan-Nya”. Kata Wajah-Nya pada  ayat itu ditakwil oleh Imam Bukhari dengan makna Kekuasaan-Nya. Albani berkata: “Takwil (Imam Bukhari) ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang yang beriman. (Fatawa Al-Bani, hal. 523). Dengan kata-kata ini, seakan-akan imam Bukhori tidak termasuk seorang muslim yang beriman. 

 

Anehnya lagi, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Saya tidak menemukan hingga saat ini, seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat.” Beliau juga mengatakan, “Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun dalam masalah sifat.”  Beliau mengaku telah merujuk seratus kitab tafsir.

Akan tetapi, nyatanya ada kalangan salaf yang berbeda pendapat. Di samping contoh yang telah dikemukakan di atas, kita ambil contoh pada riwayat Ath-Thabari. Mengenai tafsir Ath-Thabari Ibnu Taimiyah mengatakan, Didalamnya tidak terdapat bid’ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang tertuduh.” (Al-Muqaddi- mah fi Ushul at-Tafsir, hal.51).

 

Ibnu Taimiyah mengatakan–dalam kitab al-Fatawa al-Kabirah jilid 6, hal 322–bahwa ayat kursi termasuk salah satu ayat sifat terbesar. 

**Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas. Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi pada firman Allah Swt., ‘Kursi Allah meliputi langit dan bumi.’ Sebagian berpendapat, yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian, bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.” (Tafsir ath-Thabari,  jilid 3, hal. 7).  

 

**Contoh kedua, Ath-Thabari berkata, “Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna (takwil) firman Allah Subhaanahuuwata'aala

, ‘Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.’ Sebagian mereka, berpendapat bahwa maknanya adalah ‘Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.’ Mereka menolak makna ‘Dia Mahatinggi dari segi tempat.’ Mereka mengatakan, ‘Dia tidak ada di suatu tempat.’ Maknanya, bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah Swt. ada di sebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain.”. (Tafsir Thabari, jilid 3, hal. 9).  

 

Demikianlah pendapat kalangan salaf, yang tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah Swt., sementara Ibnu Taimiyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi, untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah Subhaanahuuwata'aala bersemayam di atas ‘Arsy”. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Dia (Allah) berada di atas langit.”(Al-Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyah, hal. 329- 332).

 

Syeikh Abdurrahman Ibnu Hasan Alu ,ulama Wahabi, dalam kitab Fathu al Majid Syarah Kitab at-Tauhid: 405, telah mengakui bahwa Ibnu Abbas dan murid-muridnya termasuk Salaf.

Jelaslah, dalam memahami ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat, metode takwil telah dilakukan oleh para Salaf. Di atas metode ini para ulama, seperti Imam al-Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jika ada yang menuduh sikap mentakwil adalah sikap menyimpang, berjalan diatas kesesatan faham Jahmiyah dan ber-ilhad (membelokkan) dalam ayat-ayat dan asma Allah–sebagaimana yang dituduhkan kaum Wahabi ,Ibnu Utsaimin dalam Syarah Aqidah al-Washithiyah: 58-63, dan kawan-kawannya–maka mereka benar-benar dalam kekeliruan yang nyata!

 

Al-Quran sendiri menyatakan bahwa di dalamnya ada ayat mutasyabihat dan ayat muhkamat. Sejumlah perkara seperti hukum waris dan sejumlah hukum syariat muamalat dijelaskan dengan kalimat konkret, tanpa kiasan. Akan berbeda jika mencakup persoalan gaib–seperti tentang Allah, rahasia langit, peralatan akhirat, surga, neraka dan lain-lain-, Al-Quran sering menggunakan kalimat metafora. Jika tidak ada perbedaan ini, tentulah gambaran mengenai Allah Subhanahuwata'aala, menjadi mirip dengan kondisi makhluk dan kemungkinan menyamakan Khalik dengan makhluk.

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya

Maak jouw eigen website met JouwWeb