Sekelumit mengenai keluarga Rasulallah Saw, Abdul  Muthalib, Abu Thalib, Abdullah, dan Aminah

Abdul Muthalib,  Abu Thalib, Abdullah, dan Aminah.

Sebagian kelompok Muslimin ,khususnya kelompok Wahabi-Salafi dan pengikutnya, tidak akan berhenti dan secara gencar untuk menyebarkan versi hadis yang menyatakan, kekafiran orang tua Rasulallah Saw. dan paman beliau Saw. Abu Thalib. Mereka mencari semua riwayat untuk memperkuat argumennya dalam menjelekkan keluarga Rasulullah Saw. Padahal, riwayat-riwayat tersebut masih diperselisihkan kebenarannya oleh para sejarawan dan pakar shadis, baik secara aqli maupun naqli.

 

Hal yang demikian, sudah tentu akan menyedihkan Rasulallah Saw. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka siksa yang menghinakan. (QS.Al-Ahzab [33]:57). Tujuan kami mengutip masalah ini, mengajak berprilaku sopan dan berprasangka baik terhadap keluarga Rasulullah Saw. dan tidak mudah menuduh kafir kepada mereka.

Berikut, kami tulis riwayat Abdul Muthalib dengan peristiwa pasukan gajah, dan riwayat-riwayat tentang keimanan keluarga Rasulallah Saw.

 

Abdul Muthalib

Allah Swt. berfirman;      

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ . أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ . وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ . تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ . فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ .                                                                                              

"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia (Allah) telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." (QS. Al-Fiil [105]: 1-5)

 

Kisah singkat Pasukan Gajah dan Penyerangan Ka'bah

Pada saat Abdul Muthalib (kakek Rasulullah Saw.) menjadi pemimpin bangsa Quraisy, terjadi peristiwa pasukan Gajah, yang diabadikan Allah dalam Alquran surah al-Fiil. Berikut, kami nukil secara singkat, inti dari riwayat penyerangan Ka’bah dari As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hatim:

Seorang raja Yaman, keturunan Bani Kanisah di Shan’a (yaman utara) bernama Abrahah, berasal dari Habasyah (Ethiopia), penduduknya beragama Nasrani, yang telah menguasai Yaman. Ia, ingin agar ritual Haji di Arab, yang biasa dilakukan orang-orang Arab Makkah, dipindahkan ke Yaman. Dia bersumpah, akan memimpin seluruh bala tentaranya untuk menghancurkan Ka’bah.

 

Berangkatlah Abrahah dengan menunggang Gajah. Ketika Abrahah singgah di Al-Muhamis, dia mengirim pasukan berkuda yang dipimpin oleh Al-Aswad bin Maqshud untuk berangkat ke Makkah. Setibanya di Makkah, Al-Aswad disambut oleh penduduk Makkah. Dia merampas harta penduduk, termasuk 200 ekor onta milik Abdul Muthalib bin Hasyim yang berada di daerah Arik. Bangsa Quraisy, Kinanah, Huzail dan seluruh penduduk Makkah ingin untuk menyerang pasukan Abrahah, tetapi tidak mempunyai kekuatan untuk melawan mereka.

Lalu, Abrahah memerintahkan Hunathah al-Himyari, untuk mencari pemimpin dan pemuka penduduk kota Makkah, agar mengatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya sang Raja berpesan kepadamu, kami datang bukanlah untuk memerangi kalian, kami datang hanya untuk menghancurkan tempat ibadah kalian (Ka’bah). Jika kalian tidak menghalangi niat kami, kami tidak perlu menumpahkan darah kalian, dan jika pemimpin kalian tidak berniat menghalangi niatku, hendaklah ia mendatangiku’.

 

Kemudian Hunathah menanyakan, siapakah pemuka bangsa dan tokoh orang Quraisy? Akhirnya, mendapat jawaban, pemimpinnya adalah, Abdul Muthalib bin Hasyim. Dia mendatangi Abdul Muthalib, dan menyampaikan pesan Abrahah kepadanya.

Abdul Muthalib berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memeranginya, karena kami tidak mempunyai kekuatan untuk memeranginya. Ini adalah rumah Allah yang mulia, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim, jika Dia (Allah) menghalanginya, ini adalah rumah dan tanah haram-Nya. Dan jika Dia (Allah) membiarkan Abrahah menghancurkan Ka’bah, demi Allah, kami tidak mempunyai kekuatan untuk menahannya.”

 

Kemudian Hunathah berkata, “Berangkatlah bersamaku menuju pemimpin kami, sesungguhnya dia memerintah untuk membawamu kepadanya.” Mereka pergi bersama, setibanya di perkemahan Abrahah dan pasukannya bertemu Dzu Nafar, teman dekat Abdul Muthalib. Abdul Muthalib mendatangi Dzu Nafar dan berkata padanya, “Wahai Dzu Nafar, apakah kamu memiliki kekayaan yang bisa kamu berikan kepada kami?” Dzu-Nafar menjawab, “Tidaklah mungkin seorang yang tertawan memiliki kekayaan.

Bahkan, kami sendiri tidak merasa aman dari kematian, bisa jadi besok pagi ataupun sore hari nanti kami akan terbunuh. Akan tetapi, aku akan mengirim kamu ke Unais, pengurus ternak gajah. Aku akan memerintahkan padanya, agar menemui sang raja, agar sang raja akan memberikan sesuatu yang berharga untuk kamu. Dia bisa menyenangkan hatimu dan memberimu kedudukan tinggi di sisinya.”

 

Ketika bertemu dengan Unais, berkata Dzu Nafar kepada Unais, “Sesungguhnya ini (Abdul Muthalib) adalah pemimpin suku Quraisy, pemilik mata air Makkah (Zamzam) yang dengannya dia memberikan minuman kepada manusia di bumi dan binatang-binatang liar di pegunungan. Raja Abrahah, juga telah merampas onta miliknya yang berjumlah 200 ekor. Jika mau, kamu dapat mengambil manfaat darinya. Ambillah manfaat darinya, karena dia adalah teman dekatku.” Secara singkatnya, lalu Unais menemui Abrahah dan berceitera tentang pribadi Abdul Muthalib.

Ketika Abrahah berjumpa dengan Abdul Muthalib, dia pun menghargai-nya. Abrahah, tidak ingin ada orang Habasyah melihat Abdul Muthalib duduk di atas singgasana kerajaannya, tetapi Abrahah yang turun dari singgasananya dan duduk di permadani serta memerintahkan Abdul Muthalib duduk di sampingnya. Abrahah berkata kepada juru bicaranya, ‘Katakan kepadanya, apa yang ia perlukan?’ Lalu, juru bicara memberitahukan kepada Abrahah, jawaban Abdul Muthalib, ‘Keperluanku hanya agar raja mengembalikan 200 ekor onta yang dirampas’. 

 

Abrahah berkata, “Katakan kepadanya, ‘Awalnya di saat aku melihatmu, aku kagum kepadamu, selanjutnya aku jadi merendahkanmu ketika engkau menyampaikan keperluanmu. Mengapa engkau berbicara kepadaku tentang 200 ekor onta yang kurampas darimu? Dan engkau membiarkan rumah ibadahmu, milik agamamu dan agama nenek moyangmu yang akan kuhancurkan, mengapa engkau tidak berbicara  masalah hal ini?’” Abdul Muthalib menjawab, “Aku adalah pemilik onta-onta tersebut, sedangkan tempat ibadah itu ada pemilik-Nya (Allah), yang akan melindunginya.” Kemudian Abrahah berkata dengan angkuh, “Dia (Allah) tidak akan menghalangiku.” Abdul Muthalib menjawab, “Hal itu terserah padamu.”

 

Akhirnya, Abrahah mengembalikan onta-ontanya dan ia dipersilahkan kembali ke Quraisy. Setelah Abdul Muthalib mendapatkan kembali onta miliknya, dia pun pergi. Dia mengabar- kan kepada penduduk Quraisy dan menyarankan agar mereka mengungsi ke daerah perbukitan. Abrahah yang saat itu sudah berada di Mughamas, segera menyiapkan bala tentaranya untuk memasuki kota Makkah. Dia mendekati seekor gajah yang akan menjadi kendaraannya. Ia membawa segala sesuatu yang dibutuhkan.

Dengan angkuh dia pun berdiri di atas gajah. Akan tetapi, manakala dia menggerakkan gajahnya ke arah Makkah, tiba-tiba gajah tersebut tidak mau beranjak seakan-akan kakinya terikat dan berlutut (menderum). Para ajudan Abrahah, mencoba memukul kepala gajah tersebut dengan beliung, tetapi tetap tidak mau bergerak. Mereka, mencoba memasukkan kayu di bawah lekuknya, tapi tetap gajah itu tidak berkutik. Anehnya, ketika gajah tersebut di arahkan ke Yaman dan lain tempat, ia mau beranjak. Mereka kembali berusaha membelokkan ke Makkah, tapi gajah berhenti dan tidak mau berjalan.

 

Tidak lama kemudian, tiba tiba dari arah laut datang burung-burung Ababil dan setiap ekor burung membawa tiga batu. Dua batu di kakinya dan satu batu lagi di paruhnya, laksana membawa kacang dan adas. Burung-burung tersebut, berterbangan di langit menuju Abrahah dan bala tentaranya. Batu-batu yang dibawa burung tersebut dihujamkan kebawah, siapa pun yang terkena batu tersebut pasti hancur binasa.

Bala tentara Abrahah berjatuhan terkena batu itu, tetapi tidak semua bala tentara Abrahah terkena batu-batu tersebut. Abrahah pun berusaha menyelamatkan diri, tetapi batu tersebut sempat mengenai jari-jari Abrahah, sehingga menimbulkan luka dan rontok satu persatu. Dari jari-jarinya, keluar darah dan nanah. Abrahah pulang ke Yaman dan menderita sakit yang teramat parah. Abrahah tak ubahnya seperti tengkorak burung dan akhirnya Abrahah pun mati.

 

Dalam kitab sejarah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hisyam, Ibnu Ishak menuturkan, ‘ketika menjelang serangan akan datang, Abdul Muthalib berdiri depan pintu Ka’bah dan dibantu oleh berapa orang Quraisy. Mereka, berdoa kepada Allah agar menurunkan pertolongan-Nya untuk menghalangi Abrahah dan pasukannya. Abdul-Muthalib sambil memegang pintu Ka’bah seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba hanya mampu melindungi kendaraannya, lindungilah rumah Engkau. Jangan Engkau biarkan pasukan salib dan agama mereka mengalahkan kekuatan-Mu esok hari.”

Kemudian, Abdul Muthalib membawa pintu Ka’bah dan berangkat bersama penduduk Quraisy menuju ke kawasan pegunungan. Dari sana, mereka mengawasi dan melihat apa yang akan dilakukan Abrahah, tatkala memasuki kota Makkah. Akan tetapi apa yang terjadi, Abrahah dan bala tentaranya binasa sebelum sampai di kota Makkah’.         

 

Sebagaimana yang telah dikemukakan, ketika Ka’bah akan diserang oleh pasukan Abrahah, Abdul Muthalib berdoa kepada Allah Swt  ,bukan kepada berhala Hubal dan lainnya, dan Allah Swt. mengabulkannya. Ini terbukti, Abdul Muthalib bukan musyrik penyembah berhala, tetapi seorang beriman kepada Allah. Swt.

Begitu pula,  apakah mungkin seorang penyembah berhala (musyrik) akan menamakan salah satu anaknya, Abdullah (hamba Allah)?!  Nama Abdullah ini, menunjukkan ayah dari anak ini seorang yang beriman kepada Allah, dan nama Abdullah ini, telah diabadikan dalam Al-Quran, sebagaimana firman-Nya dalam surah Maryam. Ketika masyarakat menuduh zina terhadap Siti Maryam, beliau menunjuk kepada bayinya (nabi Isa a.s.) dan atas kekuasaan Allah Swt., si bayi ini berkata, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah (Abdullah). Dia memberikan Al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi." (QS maryam [19]:30).

 

Keimanan keluarga Rasulallah Saw.

Berikut, beberapa riwayat menurut para pakar Islam,  tentang keimanan keluarga Rasulallah Saw. dan riwayat sebagian kaum muslimin yang menolak keimanan mereka:     

**Abdul Muthalib dan kedua oang tua Rasulallah Saw. hidup dalam masa Fatrah, suatu masa dimana terjadi kekosongan Nubuwah dan Risalah. Seperti orang-orang jahiliyah yang belum datang kepada mereka risalah kenabian, mereka masuk kategori ahlu fatrah, mereka termasuk ahli surga juga. (Prof. DR. Wahbah Zuhaili, tafsir Al-Munir,juz 8, hal.42).

 

Ahlul Fatrah itu, berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Isra [17]:15, ”Kami tidaklah mensiksa (suatu kaum) hingga kami mengutus (kepada mereka) seorang Rasul”. Sebagai bentuk keadilan Allah, akan mensiksa suatu kaum setelah jelas risalah datang kepada mereka, tetapi tidak di indahkannya. Dari ayat ini, dapat difahami bahwa keluarga nabi Saw. sebelum dirinya diangkat menjadi Nabi dan Rasul, adalah termasuk ahlu fatrah. Karena itu, mereka tidak tidak digolongkan kepada orang-orang musyrik atau kafir.

 

**Nabi Saw. pernah menjelaskan bahwa nasabnya adalah suci (ayah-ayahnya adalah keturunan manusia yang suci); ”Saya Muhamad bin Abdillah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizaar. Tidaklah terpisah manusia menjadi dua kelompok (nasab), kecuali saya berada diantara yang terbaik dari keduanya. Maka, saya lahir dari ayah–ibuku, dan tidaklah saya terkena ajaran jahiliyah dan saya terlahir dari pernikahan (yang sah). Tidaklah saya, dilahirkan dari orang yang jahat, sejak Adam sampai berakhir pada ayah dan ibuku. Maka, saya adalah pemilik nasab yang terbaik diantara kalian dan sebaik-baik nasab (dari pihak) ayah”. (Baihaqi dalam Dalailun Nubuwah dan Imam Hakim dari Anas r.a.). Hadis ini, diriwayatkan juga oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya juz 2,hal.404; Imam At-Thabari dalam tafsirnya juz 11, hal. 76.

 

**Rasulallah pernah bersabda; ”Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi orang-orang yang suci kedalam rahim-rahim wanita yang suci pula”. Firman Allah Swt.; Dan perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud”.(QS As-Syuaraa’ [26]: 219). Ibnu Abbas r.a. dalam menafsirkan firman Allah  diatas;

                       وَتَقَلُّبَكَ فِى السَّاجِدِيْنَ

Kata Ibnu Abbas,“Dia (Muhamad) berpndah-pindah dalam sulbi-sulbi para nabi sehingga dilahirkan oleh ibundanya. (Aminah)”. (HR. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduyah, dan Abu Nuaim dalam ad-Dalail). Demikian pula, disebutkan dalam ad-Durrul Mantsur jilid 5 hal. 98 dan lain-lain.

 

**Imam Fakhrurrozi menyatakan, semua orang tua para Nabi muslim, dengan berdalil,· 'Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badan kamu di antara orang-orang yang sujud’.(QS. surah As-Syuaraa’: 218-219). Sebagian ulama menafsiri ayat ini bahwa cahaya Nabi berpindah dari orang yang ahli sujud (mukmin) ke orang yang ahli sujud lainnya!

 

**Sabda Nabi Saw; ”Saya adalah Nabi yang tidak berdusta, saya adalah putra Abdul-Mutholib.” (HR.Bukhori no.2709, 2719, 2772, Sahih Muslim no.1776).

 

Riwayat-riwayat diatas dan kajian berikutnya ,bagi orang yang mau berpikir, membuktikan orang tua, kakek dan nenek Rasulallah Saw., bukan seorang musyrik penyembah berhala, tetapi seorang yang beriman kepada Allah Swt. yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. Rasulullah Saw. sendiri menyatakan, mereka.adalah orang-orang yang suci, bukan orang-orang musyrik. Karena orang musyrik itu najis, sebagaimana firman Allah Swt:

                       يَا أَيُّهَاالَّذِينَ آَ مَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ            

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang   musyrik itu najis”

 

**Nabi Muhamad Saw., adalah penghuni bumi yang paling baik nasabnya secara mutlak. Nasab beliau dari segi kemuliaan berada di puncaknya. Diantara musuh-musuh beliau, yang memberikan pengakuan akan indahnya nasab beliau, adalah Abu Sufyan (sebelum masuk islam). Ketika berhadapan dengan penguasa Romawi, dia berkata; ’Kaum yang paling mulia adalah kaumnya, kabilah yang paling mulia adalah kabilahnya dan marga yang paling mulia adalah marganya’. (Ibnu Qayim al Jauziyah, Zaadul Ma’ad,I/32).

 

Keimanan orang tua Rasulallah Saw.

Berikut, beberapa riwayat lagi yang menunjukan bahwa keluarga Rasulalah Saw. ,khususnya kedua orang tua beliau, termasuk orang-orang beriman, bukan orang musyrik atau kafir.

**Sabda Nabi Saw. kepada Sa’ad bin Abi Waqash di peperangan Uhud, ketika beliau Saw. melihat seorang kafir membakar seorang muslim, Rasulullah Saw. bersabda kepada Sa’ad, ‘Panahlah dia, jaminan keselamatanmu adalah Ayah dan ibuku!’ Sa’ad berkata dengan gembira, ’Rasulullah Saw. mengumpulkan aku dengan nama ayah dan ibunya!’ “(HR Bukhori, Bab. Manaqib Zubair bin Awam hadis no.3442, no.3446, Bab. Manaqib Sa’ad bin Abi Waqash Al-Zuhri).

Apa mungkin Sa’ad berbahagia disatukan dengan orang tua  Rasulallah  Saw, jika keduanya sebagai orang musyrik/kafir, masuk neraka?

 

**Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wafa’ ,terjemahan, hal.74; Abdurrahman bin Auf berkata, ”Ketika Rasulullah Saw. dilahirkan, ada jin yang berbicara di bukit Abu Qubais di daerah ‘Ujun––pada mulanya tempat itu adalah sebuah kuburan dan orang-orang Quraisy merusakkan pakaian mereka di daerah itu. Jin itu berkata dengan syair; ‘Aku bersumpah tidak seorang pun dari golongan manusia yang telah melahirkan Muhamad selain ia (Aminah). Seorang wanita dari suku Zuhrah, yang memiliki sifat-sifat terpuji dan selamat dari kecelaan para suku-suku, bahkan mereka memujinya. Wanita itu, telah melahirkan manusia terbaik yaitu Ahmad. Orang yang terbaik itu dimuliakan, serta orang tuanya pun dimuliakan juga’”.

Begitu juga, riwayat-riwayat yang telah dikemukakan, antara lain; ‘Aku (Rasul Saw.) selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi orang-orang yang suci, kedalam rahim-rahim wanita yang suci pula. (silahkan rujuk halaman sebelumnya).

 

Dalil-dalil golongan Pengingkar

Berikut, beberapa dalil kelompok muslimin yang berpegang teguh atas kekafiran keluarga Rasulallah Saw. dan jawabannya:

Hadis riwayat Imam Muslim dari Hammad, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah, ‘Ya, Rasulullah, dimana keberadaan ayahku’?, Rasulallah menjawab, ‘dia dineraka’.  Ketika orang tersebut hendak pergi, Rasulallah Saw. memanggil -nya seraya bersabda, ‘sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka’ “!

 

Imam Suyuthi menerangkan, Hammad perawi hadis itu diragukan oleh para ahli hadis dan hanya Imam Muslim yang meriwayatkannya. Padahal, ada riwayat lain yang lebih kuat dari hadis diatas, seperti riwayat Ma’mar dari Anas, al-Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqash berikut ini; “Sesungguhnya A’robi berkata kepada Rasulallah Saw; ‘Dimana ayahku’? Rasulullah Saw. menjawab, ‘Dia di neraka’. A’robi bertanya kembali, ‘dimana Ayahmu’? Rasulallah Saw. menjawab; ‘Sekiranya kamu melewati kuburan orang kafir, berilah kabar gembira dengan neraka“. Hadis ini, tanpa menyebut ayah Nabi di neraka. Ma’mar dan Baihaqi disepakati oleh ahli hadis lebih kuat dari Hammad, sehingga riwayat Ma’mar dan Baihaqi harus didahulukan dari riwayat Hammad! Keterangan selengkap-nya mengenai orang tua Nabi Saw. lihat kitab Masaliku al-hunafa fi waalidai al-Musthafa karya Imam Suyuthi.

 

Golongan pengingkar mengajukan dalil lagi dengan hadis yang serupa diatas, ‘Demi Allah, bagaimana keadaan orang tuaku’? Kemudian turun ayat yang berbunyi: ’Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhamad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka’.(Al-Baqarah [2]:119)!

 

Ayat ini tidak tepat untuk dijadikan dalil. Ayat itu turun bukan untuk kedua orang tua Nabi Saw., karena ayat sebelum dan sesudahnya menceritakan ahli kitab (yahudi). Menurut para Mufasirin, surah Al-Baqarah termasuk surah Madaniyah (turun di Madinah), kecuali ayat 281 dari surah Al-Baqarah turun di Makkah pada peristiwa haji Wada’. Sedangkan ayat yang telah di kemukakansurah Al-Isra [19]:15, ‘Allah Swt. tidak akan mensiksa sebelum Dia mengutus seorang Rasul’, dan sabda Nabi Saw., ‘Aku (Muhamad Saw) selalu berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju rahim-rahim perempuan yang suci pula’–jelas membuktikan bahwa orang tua dan kakek-nenek moyang Nabi Saw. orang-orang yang beriman. Begitu juga, orang yang hidup dan wafat pada masa fatrah (kekosongan dari seorang Nubuwah dan Risalah), dengan keadilan Allah Swt. mereka tidak akan disiksa atau masuk neraka.

 

Mereka berdalil lagi, Ibnu Katsir dalam kitab Mukhtashor li Ali as Shobuni, juz 2, hal.173, meriwayatkan, “Rasulallah Saw. suatu ketika berziarah ke kuburan dan menangis tersedu-sedu. Sayidina Umar bertanya tentang sebab tangis beliau. Beliau Saw. menjawab, ‘Aku menangis di kubur ibuku, Aminah. Aku memohon kepada Allah kiranya beliau diampuni, tetapi Allah tidak memperkenankan dan turun kepadaku firman-Nya (At-Taubah 113-114). Aku sedih dan kasihan kepada ibuku, dan itulah yang menjadikan aku menangis’ ”(HR.Ibnu Hibbah, Abi Alatim dan Al Hakim melalui Ibnu Mas’ud)!

 

Hadis ini dinilai dhoif/lemah oleh pakar hadis antara lain Ad-Dzahabi, karena dalam renteten perawinya terdapat nama Ayub yang berstatus lemah (lihat Quraish Shihab, tafsir Al Misbah ,jilid 5, hal. 735). Pakar tafsir lainnya, Wahbah Zuhaili mengomentari hadis tersebut sebagai berikut; ’Itu jauh dari fakta, sebab orang tua Rasul hidup di masa fatrah, sehingga tidak tepat hadis tentang tangisan nabi Saw. dipusara ibunya sebagai sebab turunnya ayat [At-taubah 113] tersebut’. [lihat tafsir Al-Munir ,juz 6,hal 64].

 

Golongan Pengingkar berdalil lagi beberapa hadis yang senada diatas, namun redaksinya berbeda, umpama yang diriwayatkan ,Ahmad, Muslim, Abu Dawud dari jalur Abu Hurairah dan juga hadis, ‘Inna Abi wa abaka finnar’ (Sesungguh- nya ayahku dan ayahmu di neraka), riwayat imam Muslim!

 

Bila mereka tetap bersikeras menerima kesahihan hadis-hadis tentang kekafiran orang tua Rasulallah Saw., ada beberapa hal yang membatalkannya, antara lain:

*Hadis tersebut secara manthuq (tekstual) tidak menyebut kekafiran atau kemusyrikan ibu Nabi secara tegas dan jelas. Sehingga kurang tepat, dengan ketidak jelasan manthuq hadis tersebut, langsung menyatakan kemusyrikan orang tua Nabi Saw.

*Hadis yang menyatakan bahwa Rasulallah menangis di pusara ibunya di kota Makkah, menurut Ibnu Sa’ad berita itu tidak benar. Sebab pusara ibu Nabi itu bukan di Makkah, tapi di Abwa [suatu wilayah yang masih masuk kota Madinah]. (Al Wafa’, Ibnu Al Jauzi, terjemahan hal.96; lihat juga Zaadul Ma’ad jilid I, hal. 36, dalil tempat wafatnya ibunda Nabi Saw).

 

*Hadis-hadis tersebut, termasuk juga hadis ‘Inna Abi wa abaka finnar’ (Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka) riwayat imam Muslim, di batalkan (mansukh) oleh surah Al-Isra [19]:15, ’Dan Kami tidak mensiksa (suatu kaum)….sampai akhir ayat.’ (rujuklah kitab Masaalikul Hunafa Fii Hayaati Abawayil Musthofa, karya Imam As Suyuthi,hal.68), dan ayah bunda Nabi Saw. hidup sebelum ada risalah nubuwah, karena itu mereka termasuk ahlu fatrah yang terbebas dari syari’at Rasulallah Saw. Begitu juga, hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nash hadis lain, yang telah di kemukakan, ‘Nabi lahir dari nasab yang suci’.

 

*Al-Qadhi Abu Bakar Al A’rabi berkata, “Orang yang mengatakan orang tua Nabi Saw. dineraka, mereka di laknat oleh Allah Swt, sebagaimana FirmanNya, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka azab yang menghinakan.’ (QS.Al-Ahzab [33]:57). Berkata Al-Qadhi, Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi Saw. ketika dikatakan, ayahnya atau orang tuanya berada di neraka, sabda Nabi Saw.,‘Janganlah kalian menyakiti yang hidup, karena sebab orang yang telah wafat.’ (Masalikul Hunafa Fii Hayati Abawayil Musthofa, hal.75 lil Imam Suyuthi).

 

*Kata Abi (Ayah ku) dalam hadis, ‘Inna Abi wa abaka finnar’ ,kalau sekiranya hadis ini sahih, tidak harus berarti ayah kandung, tapi bisa berarti paman. Jadi sabda Rasulallah Saw. ‘ayahku’ bisa berarti paman aku (Abu Lahab). Dalam al-Quran, sering kata-kata Abun, yang dimaksud adalah bukan ayah kandung. Misalnya, Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah:133,”...Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka (anak-anak Ya’qub) menjawab; ’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’” 

Ayah Ya’qub adalah Ishak, bukan Ibrahim atau Ismail. Namun, Allah menyebutkan Ibrahim dan Ismail sebagai Aabaaika (ayah-ayah engkau) dari Ya’qub, yakni kakek atau paman dari Ya’qub.

 

*Begitu juga, nama ayah nabi Ibrahim bukan Azar, yang mati kafir.  Sebagian ulama menyatakan, dia bukan ayah kandung Nabi Ibrahim tetapi dia adalah bapak asuhnya dan juga pamannya. Sedangkan, untuk penyebutan orang tua kandung, biasanya Al-quran menggunakan kata Walid.,

 

*Ibnu Katsir pun menyatakan, “Ibrahim adalah putra Tarakh. Ketika Tarakh berusia 75 tahun, Ibrahim dilahirkan.” (al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 139). Begitu pula At-Thabari dalam kitab tafsirnya, ketika meriwayatkan garis keturunan Nabi Ibrahim dalam kumpulan sejarahnya. Ia pun menyatakan, Azar bukan ayah kandung Nabi Ibrahim a.s. (Tarikh at-Thabari, jilid 2, hal. 119; Tafsir atThabari, Ibnu Jarir Thabari, jilid 7, ha1.158).       

 

Doa Nabi Ibrahim untuk kedua orang tuanya; “Robbanagh fir lii wa li wa lidayya wa lil mukminina yauma yaguumul hisab” (Ya Tuhan Kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan orang-orang yang beriman, pada hari ketika hari kebangkitan akan datang.” (QS. Ibrahim [14]:41). Ayat ini menunjukkan bahwa ayah kandung Ibrahim bukan seorang musyrik. 

 

Diantara para Ulama yang berpendapat bahwa orang tua Nabi Saw. bukan kafir atau musyrik antara lain; Hujjatul Islam Imam Syafi’i dan sebagian besar ulama mazhab Syafi’iyah; Al-hafidh Al Muhaddis Imam Qurtubi; Al-hafidh Imam As-Sakhawi; Al-hafidh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi mengarang sebuah kitab khusus tentang keselamatan ayah bunda Nabi Saw.; Al-hafidh Ibnu Syahin; Al-hafidh Imam Abubakar Al-Baghdadi; Al-hafidh Imam At-Thabari; Al-hafidh Imam Ad-Daruquthni dan lainnya. Wallahu’alam.

 

Dengan keterangan singkat diatas, membuktikan banyak para pakar Islam yang menyatakan keimanan orang tua, kakek Rasulallah Saw., mereka bukan orang-orang musyrik, penyembah berhala. Apa manfaatnya menyatakan mereka kafir, padahal terdapat juga para pakar Islam atas keimanan orang tua beliau Saw.? Hati-hati, jangan mudah mengkafirkan seseorang, yang riwayatnya masih banyak diperselisihkan. Karena itu, bisa menjadikan diri kita sendiri kafir karena menuduh orang beriman sebagai orang kafir?   Silahkan ikuti kajian berikutnya.

 

Abu Thalib

Berikut, beberapa riwayat lagi mengenai keluarga Rasulallah Saw, khususnya paman Rasulallah Saw., Abu Thalib. Sejumlah sejarawan dan kelompok Muslimin ,khususnya kaum Wahabi dan pengikutnya, tidak akan berhenti dan secara gencar untuk menyebarkan versi hadis-hadis yang didalamnya tercantum firman Allah Swt., tentang kekafiran Abu Thalib ini. Beberapa dalil golongan pengingkar, antara lain:  

 

**Hadis dari Said bin Musayab, dari bapaknya katanya; ”Ketika Abu Thalib hampir wafat, Rasulullah Saw. mengunjunginya. Ditempat Abu Thalib sudah hadir Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayah bin Mughirah. Kemudian Rasullah Saw. bersabda, ‘Wahai paman, ucapkanlah La ilaha illallah, sebuah kalimat yang aku akan menjadi saksi bagi paman nanti dihadapan Allah’.

Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayah berkata, ‘Hai Abu Thalib, bencikah anda kepada agama Abdul Muthalib’? Rasulullah Saw. terus menerus mengulang-ulang ucapannya itu. Akhirnya, Abu Thalib mengatakan, ‘Dia tetap memegang agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan laa ilaha illallah’. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, ’Demi Allah, Aku akan mohonkan ampun bagi paman, selama aku tidak dilarang melakukannya”. Lalu, turun surah al-Qashas:56. (HR. Bukhori dan Muslim, Mukhtashor Ibnu Katsir ,juz 3,hal.19 oleh DR. Ali Asho-bunni).

 

**Firman Allah Swt.; ’Mereka melarang (orang lain) mendengarkannya (AlQuran) dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan  mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari. (QS. al-An’am [6]:26).

Sufyan At-Tsauri, meriwayatkan hadis dari Habib bin Tsabit dari seseorang (tidak disebut namanya) yang menyatakan, Ibnu Abbas berkata, “Ayat (diatas) ini, turun ditujukan untuk Abu Thalib, karena ia selalu melindungi Nabi Muhamad dari orang-orang kafir, tetapi tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Tabaqat Ibnu Sa’ad, jilid 2, hal. 105; Tarikh atThabari jilid 7, hal. 100; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 172; Tafsir al-Kasyaf, jilid 1, hal. 448; Tafsir, Qurthubi, jilid 6, hal. 406, dan lain lain).

 

**Imam Bukhari dalam Sahih-nya menulis, “Ketika menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah mendekatinya. Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah telah berada di sana. Rasulullah bersabda, “Wahai paman, katakanlah, ‘Tiada yang patut disembah kecuali Allah, sehingga aku dapat membelamu dengannya di hadapan Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah berkata, “Wahai Abu Thalib! Apakah engkau akan mengulang kembali ucapan agama Abdul Muthalib?” Lalu Nabi bersabda, “Aku akan tetap memohonkan (kepada Allah) ampunan bagimu, meski aku dilarang melakukannya.” Lalu, turunlah surah at-Taubah ayat 113, “Tiadalah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang yang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka, orang-orang yang musyrik itu penghuni Jahanam.”’.

 

**Imam Bukhori meriwayatkan hadis serupa diatas, dari Musayab: “Ketika Abu Thalib menjelang ajalnya, nabi Muhamad menemuinya dan melihat ada Abu Umayah bin Mughirah. Nabi Muhamad bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah tiada yang patut disembah kecuali Allah, kalimat yang aku jadikan pembelaan bagimu di hadapan Allah!” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan meninggalkan agama nenek moyangmu, Abdul Muthalib?”

Nabi Muhamad terus memintanya untuk mengucap kalimat syahadat, sedangkan dua orang tadi mengulang-ulang kalimat mereka, hingga Abu Thalib mengatakan, kepada mereka terakhir kali, ‘Aku mengikuti agama Abdul Muthalib dan menolak untuk mengatakan ‘tiada yang patut disembah kecuali Allah.’ Nabi berkata, “Demi Allah, aku akan tetap memohonkan ampunan Allah bagimu, meskipun dilarang (Allah)!” Lalu, Allah menurunkan ayat 113 (surah at-Taubah), “Tiada patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman…sampai akhir ayat” Kemudian Allah menurunkan ayat khusus bagi Abu Thalib, “Sesungguhnya Engkau (Muhamad) tidak dapat memberi petunjuk orang yang engkau kehendaki, tetapi Allah yang memberi petunjuk orang-orang yang Ia kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).

 

Jawaban:

Riwayat-riwayat diatas, tidak tepat sebagai bukti dan dalil atas kekafiran Abu Thalib, alasannya  sebagai berikut:

**Ayat At-Taubah [9]:113 tersebut, termasuk Madaniyah (Ayat yang turun di Madinah), sedangkan Abu Thalib wafat di Makkah dua tahun sebelum hijrah, jadi tidak cocok dengan faktanya dan tidak dapat dibuat dalil (lihat,Tafsir Al-Munir,,juz 6,hal.61).

Ayat at-Taubah:113 hanya perintah kepada Nabi Muhamad secara umum, bukan keprihatinan untuk sesuatu yang tidak dilakukan Nabi. Apabila kita melihat ayat selanjutnya (114) yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang memohonkan ampun untuk pamannya, Azar [nama ayahnya adalah Tarakh. silahkan baca halaman sebelumnya], sebelum beliau mengetahui bahwa pamannya ini adalah musuh Allah. Quran menyebutkan, “…Apabila telah jelas baginya bahwa ia (Azar) adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya.....” (QS. at-Taubah : 114)

 

**Begitu pula, surah at-Taubah ini, turun pada tahun 9 Hijriah. Surah ini diturunkan pada peristiwa peperangan Tabuk, yaitu pada bulan Rajab 9 H. Nabi Muhamad Saw. telah memerintahkan Abu Bakar r.a. untuk mengumumkan bagian pertama surah ini, pada musim haji di tahun itu, ketika Nabi mengutusnya sebagai Amirul Hajj. Lalu, beliau Saw. mengutus Imam Ali untuk mengambil alih tugas Abu Bakar dan mengumumkannya, Nabi Saw., bersabda, ‘Tiada seorangpun yang membawa surah ini kepada mereka, kecuali salah satu dari Ahlulbaitku’.( Sahih at-Turmudzi, jilid 2, hal. 183, jilid 5, hal. 275, 283; Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, jiiid 1, hal. 3,151, jilid 3, hal. 212, 283; Fadhail as-Sahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 526, hadis 946; Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 51; Khasaish al-Awiya, Nasa’i, hal. 20; Fadhail al-Khamsah, jilid 2, hal. 343; Siratun Nabi, Syibli Numani, jilid 2, hal. 239.)

 

**Adapun, ayat Al-An’am:26, jelas ditujukan orang yang masih hidup. Di ayat itu disebutkan, Mereka melarang (orang lain) mendengarkannya (AlQuran) dan mereka sendiri menjauhkan diri dari padanya.. Orang yang telah wafat, tidak dapat melarang seseorang untuk mendengarkan Al-Quran, dan diapun tidak dapat melakukannya. Karena itu,  ayat tersebut tidak tepat ditujukan kepada Abu Thalib, yang telah wafat.

 

**Begitu juga, hadis dan ayat tersebut tidak menyebut secara manthuq (tekstual) yang jelas, tentang kekafiran Abu Thalib, sehingga masih ada peluang bagi kita untuk bersangka baik dengan beliau. Dan itu jauh lebih selamat dan aman bagi kita.

 

**Hadis dari Habib bin Tsabit diatas, rangkaian perawinya putus setelah Habib bin Tsabit. Sufyan dan lainnya tidak menyebut nama orang yang meriwayatkan dari Habib, hanya mengatakan ia (Habib) meriwayatkan dari seseorang, yang mendengar dari Ibnu Abbas. Menurut Ibnu Hibban, ”Habib adalah seorang ‘penipu’, ia telah menyalin hadis yang benar-benar mutlak tidak dapat diterima”. Ibnu Khuzaimah berpendapat, “Habib adalah seorang ‘penipu’”. Ad-Dzahabi menulis tentang hadis itu, “riwayat yang dibuat Sufyan, itu palsu”.(Mizan al-Itidal, Dzahabi, jilid 1, hal. 396.). Karena itu, hadis dari Habib ini tidak dapat dijadikan dalil untuk mengkafirkan Abu Thalib.

 

**Justru ada hadis dengan redaksi lain, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah, Rasulallah Saw. bersabda kepada pamannya; “’Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaaha illallah, niscaya aku akan bersaksi untukmu disisi Allah pada hari Kiamat’. Abu Thalib menjawab, ‘Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata, ’Tidak ada yang mendorong mengucapkannya, kecuali karena kesedihannya menghadapi maut, niscaya aku mengucapkannya untukmu’. Lalu, turunlah firman Allah surah Al-Qashash:56 itu”. (DR.Wahbah Zuhaili, juz 10, hal. 498, Tafsir Ibnu Katsir, Mukhtashor, Ali as-Shobuni, juz 3,hal 19)’.

 

**Begitu pula, al-Zajjaj berkata; ‘”Telah sepakat umat islam, ayat 56 dari al-Qashash itu turun terkait pada Abu Thalib, pada saat menjelang kematiannya beliau berkata (kepada orang-orang Quraisy): ‘Wahai masyarakat Bani Abdi Manaf, taat lah kalian dan benarkan (shoddiquhu) oleh kalian ajaran Muhamad, kalian akan sukses dan mendapatkan petunjuk’.

Nabi Saw. bersabda, ‘Wahai pamanku, engkau menasehati mereka dan engkau meninggalkan dirimu’? Berkata Abu Thalib: ’Maka apa yang kamu inginkan wahai keponakanku?’. Bersabda Nabi Saw: ‘Aku menginginkan darimu hanya satu kalimat saja, agar di akhir hidupmu ini di dunia hendaknya dengan berkata laa ilaaha illallah, dengan kalimat itu aku akan bersaksi di sisi Allah Swt {kelak dikemudian hari}’.

Berkata Abu Thalib: ’Wahai keponakanku, sungguh saya tahu kalau [ajaran]mu benar, namun saya enggan dikatakan [kalau mengucapkan kalimat tersebut] sebagai kesedihan saja dalam menghadapi kematian. Kalau seandainya, [setelah mengucapkan kalimat tersebut] tidak terjadi pada dirimu dan bagi ayahmu penghinaan dan celaan pasca kematianku, sungguh aku akan mengatakan itu dihadapanmu, ketika aku berpisah [mati], ketika aku lihat besarnya rasa cintamu dan nasehatmu. Namun, sepertinya aku akan wafat di atas agama Abdul Muthollib, Hasyim dan Abdi Manaf’”. [Tafsir Al Munir, Wahbah juz 10 ,hal 499-500].

 

**Riwayat hadis dari Imam Bukhari pada bab Kematian; “Sekembalinya dari gunung, Nabi Muhamad hampir tidak pernah melewatkan hari-harinya dalam kedamaian setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat. Beliau mengunjungi Abu Thalib terakhir kalinya, saat sedang menjelang ajal. Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah telah berada di sana. Nabi meminta Abu Thalib untuk mengucap dua kalimat syahadat, sehingga beliau akan memberi kesaksian tentang keimanannya di hadapan Allah. Abu Jahal dan Ibnu Umayah bertengkar dengan Abu Thalib dan bertanya apakah ia akan berpaling dari agamanya Abdul Muthalib.

Pada akhirnya, Abu Thalib berkata, ia akan mati dalam agama Abdul Muthalib. Kemudian, ia berpaling kepada Nabi Muhamad dan berkata, ia akan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi takut kalau-kalau ada orang Quraisy menuduhnya takut mati. Nabi Muhamad bersabda, beliau akan berdoa kepada Allah baginya, hingga Allah memberi perlindungan”.(kalimat terakhir diambil dari Sahih Muslim dan bukan dari Bukhari).

 

**(Tiga hadis terakhir diatas ini), jelas keengganan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat dihadapan khlayak, bukan karena tidak beriman dengan kalimat tersebut, tetapi agar terhindar dari celaan orang Quraisy yang akan menganggapnya masuk Islam, saat menjelang wafatnya. Padahal, hakekatnya sebelumnya beliau telah menerima keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Memang benar, seorang harus mengucapkan kalimat syahadat untuk menjadi seorang Muslim, tetapi ia tidak harus melakukannya di depan khalayak, umpama saat ia sendiri atau bersama seorang saja. Apalagi, bila ia takut dianiaya atau jika dengan menyembunyikan keimanannya, ia dapat berjuang lebih baik. Inilah yang disebut Taqiyah (membela diri dengan menyembunyikan keimanannya).

 

Kata at-taqiyah itu diamhil dari kata al-wiqayah (perlindungan) dari kejahatan. Pengertiannya dalam AI-Quran dan sunah adalah, menampakkan (sikap) kekafiran dan menyembunyikan keimanan, atau memperlihatkan yang batil dan menyembunyikan yang benar. Taqiyah berlawanan dengan kemunafikan, seperti halnya keimanan berlawanan dengan kekafiran.

Kemunafikan adalah menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran, serta memperlihatkan yang benar dan menyembunyikan yang batil. Karena ada kontradiksi di antara arti kedua kata tersebut, maka taqiyah tidak dapat dipandang sebagai cabang dari kemunafikan.

AI-Hafizh bin Majah berkata: AI-Ita’ artinya al-i’tha’. Yaitu, mereka menampakkan persetujuan pada keinginan orang-orang musyrik itu sebagai sikap taqiyah. Taqiyah dalam hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Swt., “… kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan. ”(QS. an-Nahl [16]: 106).

 

Menurut para Mufassirin ayat diatas itu turun kepada sekelompok kaum muslim antara lain, sahabat Ammar bin Yasir yang saat itu dipaksa untuk menjadi kafir dan kedua orang tuanya dibunuh karena mereka tidak menampakkan sikap kekafiran. Sedangkan, Ammar menampakkan (seakan-akan kafir) kepada mereka dan menurut apa yang orang kafir kehendaki dengan lisannya secara terpaksa, karenanya mereka membebaskannya. Kemudian Ammar memberitahukan hal itu kepada Rasulallah Saw., dan berita itu telah tersebar di tengah kaum Muslim bahwa Ammar telah menjadi kafir. Akan tetapi, Rasulallah Saw menjawab, “Sama sekali tidak, Ammar telah dipenuhi keimanan...”

 

**Riwayat hadis Imam Bukhori dari Musayab r.a. yang menyebutkan dua ayat ,at-taubah dan al-qashash, turun berturut-turut itu, bertolak belakang atau berlawanan dengan hadis yang disebutkan imam Bukhari dalam Sahihnya dari Bara, “Surah terakhir yang turun adalah surah at-Taubah…” (Sahih al-Bukhari, Kitab Tafsir ,versi bahasa Inggris, jilid 6, hal. 102, hadis 129). Sumber hadis lainnya, menegaskan, ‘surah at-Taubah adalah surah yang terakhir turun dan merupakan surah Madaniyah’, (Tafsir al-Kusyaf, jilid 2, hal. 49; Tafsir Qurthubi, jilid 8, haI. 273; Tafsir al-Itqan, jilid l, hal. 18; Tafsir Syaukani, jilid 3, hal. 316).

Adapun surah al-Qashash [28]: 56) itu, turun di Makkah kira-kira 10 tahun sebelum surah at-Taubah (turun di Madinah). Jelas sudah, dua ayat ini tidak turun berturut-turut dan Surah Al- Qashash:56 itu pada zahirnya tidak menunjukkan tentang kekafiran Abu Thalib. Seolah-olah ayat tersebut, menginfokan kepada Nabi Saw. bahwa hidayah pamannya itu adalah urusan Allah Swt.

 

**Riwayat Imam Bukhari yang perawi terakhirnya adalah Musayab, tidak tepat untuk dijadikan dalil atas kekafiran Abu Thalib menjelang wafatnya. Musayab baru masuk Islam setelah tumbangnya kota Makkah, dan ia tidak berada di tempat kejadian saat menjelang kewafatan Abu Thalib. Karena itu, Al-Aini dalam Tafsir-nya menyatakan, hadis ini Mursal.

 

**Abbas bin Abdul Muthalib, menjelang kewafatan Abu Thalib, mendekatkan telinganya ke bibir Abu Thalib dan berkata, “ia telah mengucapkan kalimat (kalimat syahadat) yang kau minta, ya Rasulallah.” (Ibnu Hisyam,edisi Kairo, hal. 146., riwayat serupa dalam Tarikh Abu Fida, jilid l, hal.120, Baihaqi dalam Dalail Nubuwah, jilid 2, hal.101, Sibli Numani dalam Siratun Nabi jilid 1, hal. 219-220).

Dengan demikian, pernyataan syahadatnya sebelum beliau wafat, dicatat pula oleh para sejarawan, khususnya mazhab  ahlus Sunnah.

 

**Meskipun menyembunyikan keimanannya, seringkali Abu Thalib ,sebelum beliau wafat, mengungkapkan keimanannya dan  ke islamannya, lebih dari satu peristiwa. Menjelang ajalnya, Abu Thalib berkata kepada Bani Hasyim:

“Aku perintahkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada Muhamad. Ia, adalah orang yang paling terpercaya di antara suku Quraisy dan paling benar di kalangan bangsa Arab. Ia, membawa ayat yang diterima oleh hati dan disangkal oleh bibir karena takut permusuhan. Demi Allah, barangsiapa yang mengikuti petunjuk- nya ia akan mendapat kebahagiaan di masa datang. Dan kalian Bani Hasyim, masuklah kepada seruan Muhamad dan percayailah dia. Kalian akan berhasil dan diberi petunjuk yang benar. Sesungguhnya ia adalah petunjuk ke jalan yang benar.” (al-Muhabil Bunya, jilid 1, hal. 72; Tarikh al-Khantis, jilid 1, hal. 339; Balughul Adab, jilid 1, hal. 327; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, hal. 375; Sunni al-Muthalib, jilid 5; Uruzul Anaf, jilid 1, hal. 259; Tabaqat Ibnu Sa’d, jilid l, hal. 123).

 

Jelas sudah, keimanan dan keislaman Abu Thalib ini telah  dibuktikan ,baik dalam kitab tarikh/sejarah para pakar Islam maupun riwayat yang telah dikemukakan disini atau kitab lainnya. Silahkan ikuti kajian berikutnya.

 

Pernikahan Nabi Muhamad Saw.

Berikut, beberapa riwayat yang berkaitan dengan pernikahan  Rasulallah Saw. dengan sayidah Khotijah r.a. dan Pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah Saw:

 

**Abu Thalib berkata kepada para lelaki Quraisy yang hadir pada pernikahan Nabi Muhamad Saw:

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kami keturunan Ibrahim dan keturunan Ismail. La (Allah) menganugrahi kita Rumah Suc (Ka’bah) dan tempat berhaji. la menjadikan kita tinggal di tempat yang suci (haram), tempat segala sesuatu tumbuh. la menjadikan kami penengah dalam urusan lelaki dan menganugrahi kami negeri tempat kami bernaung”.

Kemudian ia melanjutkan, “Sekiranya Muhamad, putra saudaraku Abdullah bin Abdul Muthalib, disandingkan dengan lelaki di kalangan bangsa Arab, ia akan mengagungkannya. Tidak ada seorangpun yang sebanding dengannya. la tidak tertandingi oleh lelaki manapun, meskipun kekayaannya sedikit. Kekayaan hanya kepemilikan sementara, dan penjaga yang tak dapat dipercaya. Ia, telah mengungkapkan niatnya kepada Khadijah, demikian pula dengan Khadijah, ia telah menunjukkan niatnya kepadanya. Karena setiap pengantin harus memberikan mahar, sekarang ataupun di masa nanti, maharnya akan aku beri dari kekayaanku sendiri”. (Sirah al-Halabiyah, jilid 1, hal. 139.)

 

**Sikap Abu Thalib terhadap kemenakannya, Nabi Muhamad Saw., jasa-jasanya terhadap penyebaran Islam dan pernyataan keislamannya banyak diriwayatkan para pakar Islam. Sejarah Islam telah mencatat, bagaimana suku Quraisy sering memberikan peringatan, mengancam kepada Abu Thalib untuk menghentikan kemenakannya dalam menyebarkan  agama Islam, yang bertentangan dengan agama nenek moyang mereka.

Namun, Abu Thalib tidak menekan kemenakannya untuk menghentikan syiarnya mengenai Islam. Dia hanya memberitahu tentang peringatan suku Quraisy dan dengan lembut berkata kepada Rasulallah Saw., “Selamatkanlah aku dan dirimu, wahai kemenakanku, dan janganlah engkau bebani aku dengan sesuatu, yang tidak dapat aku pikul!” Nabi Muhamad Saw. menolak peringatan tersebut dan mengatakan pada pamannya, ‘aku tidak akan mengubah pesan pemilik semesta alam’.

Abu Thalib langsung mengubah sikapnya, dan memutuskan untuk bergabung dengan Nabi Muhamad hingga akhir hayatnya. Pernyataan Abu Thalib kepada Nabi Muhamad Saw., “Kembalilah kemenakanku, lanjutkanlah, katakanlah semua yang engkau sukai. Aku, tidak akan pernah meninggalkanmu setiap saat.” (Sirah Nabi Muhamad, Ibnu Hisyam, jilid 1, hal. 266; Tabaqat Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 186, Tarikh at-Thabari, jilid 2, hal. 218; Diwan Abu Thalib, hal. 24; Syarh Ibnu al-Hadid, jilid 3, hal. 306; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 258; Tarikh, Abu Fida, jilid l, hal. 117; as-Sirah al-Halabiyyah, jilid 1, hal. 306).

 

**Pada suatu peristiwa, Abu Thalib berkata, “Aku meyakini, agama Muhamad adalah agama yang paling benar dari semua agama, yang ada di alam semesta.” (Khazanatal Adab, Khatib Baghdadi, jilid 1, ,hal. 261; Tarikh Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 42; Syarh, Ibnu Hadid, jilid 3, hal. 306; Tarikh, Abu Fida, jilid l, hal. 120; Fathul Bari (syarah Sahih al-Bukhari), jilid 7, hal. 153; al-Ishabah, jilid 4, hal. 116; As-Sirah al-Halabiyyah, jilid l, hal. 305; Talba tul Thalib, hal. 5.). Jelas, peristiwa tersebut, pernyataan yang membuktikan keimanan dan keislaman Abu Thalib.

 

**Suku Quraisy rencana akan membunuh Nabi Muhamad Saw. dan keluarganya. Mereka membuat sebuah perjanjian agar tidak ada seorangpun yang memiliki ikatan perkawinan dengan Bani Hasyim atau melakukan transaksi jual-beli dengan mereka. Dan tidak ada orang yang boleh berhubungan dengan mereka atau memberi persediaan makanan, hingga mereka semua binasa. Perjanjian ini, digantungkan di pintu Ka’bah. Dalam keadaan seperti ini, memaksa Abu Thalib beserta seluruh keluarganya, mengungsi ke sebuah gunung yang dikenal dengan ’Syi’ib Abi Thalib’.

 

Bani Hasyim benar-benar diasingkan dari seluruh penduduk kota. Bentengpun dikepung oleh suku Quraisy untuk menambah penderitaan mereka dan untuk mencegah kemungkinan mendapat persediaan makanan. Akhirnya, kelompok Abu Thalib kelaparan, karena tidak mendapat makanan. Di bawah pengawasan suku Quraisy yang sangat ketat, Abu Thalib merasa takut kalau-kalau ada serangan di malam hari. Karena itu, dia senantiasa menjaga keamanan kemenakannya dan sering berganti ruang tidur, sebagai tindakan pencegahan bila ada serangan mendadak.

 

Menjelang tahun ketiga dari pengasingan tersebut, Nabi Muhamad memberitahu pamannya ,Abu Thalib, Allah telah menunjukkan ketidakridhaan-Nya pada perjanjian tersebut, dan mengirim cacing-cacing untuk melumat setiap kata yang tertulis di dokumen yang tergantung di pintu Ka’bah, kecuali nama-Nya (Allah).

 

Abu Thalib mempercayai kemenakannya sebagai penerima wahyu dari langit, tanpa ragu pergi menemui orang-orang Quraisy dan mengatakan kepada mereka apa yang telah diceritakan Muhamad Saw. kepadanya. Percakapannya Abu Thalib dicatat para pakar sejarah, antara lain:

“Muhamad telah memberitahu kami dan sebagai bukti kepada kalian aku ingin bertanya, ‘Apabila (dia) benar, aku meminta kalian untuk memikirkan kembali dari pada menyengsarakan Muhamad atau munguji kesabaran kami. Percayalah kepada kami, kami lebih suka mempertaruhkan nyawa kami daripada menyerahkan Muhamad kepada kalian. Dan jika Muhamad terbukti salah dalam ucapannya, kami akan menyerahkan Muhamad kepada kalian, tanpa syarat. Kalian bebas memperlakukannya, membunuhnya atau membiarkannya tetap hidup”.

 

Mendengar tawaran Abu Thalib tersebut, suku Quraisy sepakat untuk memeriksa dokumen tersebut, dan mereka terkejut ketika melihat dokumen itu telah dimakan ulat, hanya nama Allah saja, yang masih tertulis di sana. Namun, mereka berkata, hal itu adalah sihir Muhamad. Abu Thalib marah kepada suku Quraisy, dan mendesak mereka agar menyatakan, ‘dokumen tersebut digugurkan dan pelarangan itu dihapus’. Lalu, dia (Abu Thalib) menggenggam ujung kain Kabah dan mengangkat tangan satunya ke atas, lalu berdoa, Ya Allah! Bantulah kami menghadapi orang-orang yang telah menganiaya kami…!” (Tabaqat Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 183; Sirah Ibnu Hisyam, jilid l, hal. 399 dan 404; Awiwanui Ikbar, Qutaibah, jilid 2, hal. 151; Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal. 22; al-Istiab, jilid 2, hal. 57; Khazantul Ihbab, Khatib Baghdadi, jilid 1, hal. 252; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 84; al-Khasais al-Kubra, jilid 1, hal. 151; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, hal. 286).

 

Syair-syair Abu Thalib

**Ketika Nabi Muhamad Saw. masih kecil, di saat hujan jarang turun, Abu Thalib membawanya ke Ka’bah. la berdiri dengan punggung menyentuh dinding Ka’bah, sambil mengangkat Nabi Muhamad Saw. dan memangkunya. Dia, menjadikan Nabi sebagai perantara dalam doanya kepada Allah, untuk meminta hujan. Nabi Muhamad juga berdoa bersamanya dengan wajah menghadap ke atas. Belum lagi selesai doa tersebut, awan hitam muncul di langit dan hujan turun dengan deras. Peristiwa ini, disebutkan dalam syair yang disusun oleh Abu Thalib untuk Nabi Muhamad Saw.: “Tidakkah kalian lihat? Kami, mengetahui bahwa Muhamad adalah seorang Nabi, sebagaimana Musa. Dia telah diramalkan pada kitab-kitab sebelumnya. Wajahnya yang memancarkan cahaya merupakan perantara turunnya hujan. Dia adalah mata air bagi para yatim piatu dan pelindung para janda”. (Syarah al-Bukhari, Qastalani, jilid 2, hal. 227; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, ha1.125).

 

**Syair lain, yang membuktikan keimanan dan keislaman Abu Thalib adalah:

Untuk mengagungkannya, la memberi nama dari diri-Nya sendiri, Seseorang yang Agung dinamakan Muhamad. Tiada keraguan bahwa Allah telah menunjuk Muhamad sebagai seorang Rasul. Karena itu, makna Ahmad adalah, pribadi yang paling agung diseluruh alam semesta”.(Dalail Nubuwah, Abu Nu’aim, jilid 1, hal. 6; Tarikh Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 275; Syarh Ibnu al-Hadid, jilid 3, hal. 315; Tarikh Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 266; Tarikh Khamis, jilid 1, hal. 254).

 

**Abu Thalib adalah seorang lelaki yang beragama kuat dan menyakini kebenaran Nabi Muhamad Saw. la hidup selama 11 tahun dalam membantu kesulitan yang dihadapi Nabi Muhamad Saw. Ketika Abu Thalib wafat, suku Quraisy membuat Rasulallah Saw. lebih menderita. Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadis, “ketika seseorang dari suku Quraisy melempar kotoran ke kepala Nabi, beliau pulang ke rumah. Pada saat itu, Nabi berkata, ‘Suku Quraisy tidak pernah memperlakukanku seperti ini, ketika Abu Thalib masih hidup, karena mereka adalah pengecut’!” (Tarikh at-Thabari, jilid 2, hal. 229; Tarikh Ibnu Asakir, jilid 1, hal. 284; Mustadrak Hakim, jilid, 2, hal. 622; Tarikh Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 122; al-Faiq, Zamakhsyari, jilid 2, hal. 213; Tarikh al-Kharnis, jilid l, hal. 253; as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, hal. 375; Fathul Bari, jilid 7, hal. 153 dan 154; Sirah Ibnu Hisyam, jilid 2, hal. 58.)

 

**Diriwayatkan pula, Nabi Muhamad Saw. berdiri di hadapan makam Abu Thalib dan berkata, “Engkau telah berlaku sangat baik kepada saudaramu. Semoga engkau mendapatkan balasan, wahai pamanku!” (Dalail Nubuwah, Baihaqi, jilid 2, hal.101; Ibid, jilid 2, hal. 103; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 13, hal.196; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 125; al-Ishabah, jilid 4, ha1.116; Tadzkirat Sibt, hal. 2; Tarikh Yaqubi, jilid 2, hal. 26.). Dan masih banyak lagi riwayat tentang keimanan Abu Thalib yang tidak tercantum di site ini.

Dari riwayat-riwayat yang telah kami kemukakan, bagi orang yang mau berpikir, menunjukkan bahwa Abdul Muthalib adalah pengikut agama Nabi Ibrahim a.s. yang saleh. Tidak layak jika kita gembar gembor, menuduh Abdul Muthalib, Abu Thalib dan orang tua Rasulallah Saw. itu musyrik/kafir. Begitu pula, dari riwayat-riwayat tersebut menunjukan Nabi Saw. adalah manusia tersuci, yang telah disiapkan kelahirannya dari rahim yang suci pula,yaitu Aminah r.a.

 

Komentar-komentar lain, mengenai Abu Thalib

Ada orang yang bertanya; ”Apakah Abu Thalib mengucapkan Tuhanku? Sepanjang yang saya baca, Abu Thalib sering menyebutkan, ‘Tuhannya Muhamad’ dan nampaknya ia beriman kepada Tuhan itu, tetapi ia tidak pernah mengatakan ‘Tuhanku’. Hal tersebut, berarti dia tidak pernah mengucapkan secara terang-terangan keyakinan kepada Islam”.

 

Jawabannya,

“Menurut beberapa riwayat, beliau telah mengucapkan kalimat syahadat sejak awal mula Islam, tetapi tidak di hadapan khalayak. Bukti eksplisitnya tidak ditemukan dalam sejarah, karena sejarah ditulis berdasarkan berita dari masyarakat, bukan dari seseorang. Akan tetapi, ada bukti implisit ,baik dalam sejarah maupun riwayat yang telah dikemukakan, memberi keyakinan bahwa beliau sudah lama beriman dan menjadi Muslim.

Satu hal saja, yang dapat dijadikan bukti ke islamannya, ia berkata kepada orang kafir, Aku bersumpah dengan Tuhannya Muhamad!  Apakah ada dalam sejarah, seorang yang kafir bersumpah dengan nama Tuhan yang tidak ia yakini dan bertolak belakang dengan keyakinannya? Ketika seseorang bersumpah, ia bersumpah demi sesuatu yang penting baginya. Bila tidak demikian halnya, akan membuat sumpahnya atau pernyataanya tidak akan dipercaya lagi oleh orang lain.

 

Orang Nasrani, ia akan bersumpah dengan menggunakan kitab Injil, bila selain Nasrani akan bersumpah dengan kitab sucinya masing-masing. Dengan sumpahnya ini, akan meyakinkan orang lain atau para hakim di pengadilan, yang bersangkutan dengannya.

Perhatikan, Suku Quraisy memiliki banyak tuhan pada saat itu (seperti Hubal dan Uzza). Mengapa Abu Thalib meninggalkan mereka semua dan bersumpah dengan Tuhan yang tidak ia yakini?

Mungkin ada lagi yang berkata, Abu Thalib membela mati-matian kepada Rasulallah Saw, karena keponakannya sendiri. Abu Lahab juga paman Rasulallah Saw., tetapi dia tetap kafir dan memusuhi beliau Saw!

 

Kesimpulan singkat:

Riwayat tentang keimanan dan keislaman Abu Thalib telah dijelaskan para sejarawan Islam dan ahli hadis, sebagaimana yang telah dikemukakan. Begitu juga ayat at-taubah 113 dan al-Qashash:56 itu mencakup secara umum dan dapat mencakup siapapun dan kapanpun. 

Seumpama saja, saat itu Abu thalib memeluk islam secara terang-terangan, seperti yang dilakukan oleh sayidina Hamzah dan sayidina Abbas, tentu beliau tidak akan dapat memberi perlindungan dan pembelaan kepada Rasulallah Saw. Karena kaum musyrikin quraisy pasti memandangnya sebagai musuh, bukan sebagai pemimpin masyarakat Makkah, yang harus dihormati dan disegani.

Jika demikian, tentu ia tidak mempunyai lagi kewibawaan untuk mengumpulkan atau menekan perlawanan mereka terhadap Rasulullah Saw, dan tidak dapat membentengi dakwah beliau. Memang, pada lahirnya Abu Thalib nampak seagama dengan mereka (Tagiyah), tetapi apa yang ada di dalam batinnya tentu hanya Allah yang tahu. Tagiyah ini dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu (baca halaman sebelumnya)  Karena itu, jangan ceroboh menuduhnya kafir atau musyrik!!

 

**Sayid Muhamad Rasyid dalam Tafsir Al Manar menguraikan pendapat sementara ulama tentang hadis Nabi Saw. yang menyatakan: ”Seandainya Fathimah putri Muhamad mencuri  niscaya pasti kupotong tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim dari  Aisyah r.a). Menurutnya, ada ulama yang enggan menyebut Fathimah dalam riwayat ini, dan menggantinya dengan kata Fulanah (si A), atas pertimbangan, bahwa perasaan Nabi akan tersinggung bila orang lain menyebut nama putri beliau sebagai contoh untuk sesuatu yang buruk”.

 

Umpama saja, semua ulama sepakat atas kekafiran Abu Thalib, kita tidak perlu memperuncing, memperbesar dan gembar gembor sana sini untuk menceriterakan riwayat kekafiran Abu Thalib. Kita akan bertanya dan harus dijawab secara konsekwen, “Bagaimana perasaan seorang ulama, bila ada paman atau orang tuanya yang kafir? Kemudian, masyarakat muslimin gembar gembor sana sini menceriterakan kekafiran famili ulama ini, apakah ulama tersebut tidak bertambah sedih mendengarnya?” Sudah tentu, sedih bagi orang yang mau berpikir.

 

Demi menjaga perasaan Rasulallah Saw. dan mengingat jasa-jasa Abu Thalib kepada Nabi Saw, hendaknya persoalan itu tidak dibahas secara panjang lebar dan tidak ada manfaatnya. Ingat firman Allah Swt.,  “Sesungguhnya  orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka siksa yang menghinakan”. (QS.Al-Ahzab [33]:57). Wallahua’lam.

 

Dari keterangan singkat di site ini, membuktikan banyak para pakar Islam yang menyatakan keimanan orang tua, kakek dan paman Rasulallah Saw, Abu Thalib. Mereka bukan orang-orang musyrik, penyembah berhala. Apa manfaatnya menyatakan mereka kafir dan hati-hati jangan mudah mengkafirkan seseorang, yang riwayatnya masih banyak diperselisihkan. Karena itu, bisa menjadikan diri kita sendiri kafir karena menuduh orang beriman sebagai orang kafir?  

 

Semoga semua yang tercantum di site yang sederhana ini, bisa memberi manfaat bagi diri dan keluarga kami khususnya serta semua muslimin umumnya. Amin

Sudah tentu, sebagai manusia yang penuh kekurangan, tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, karenanya kami mohon pada Allah Swt. untuk sudi mengampuni diri kami bila ada kesalahan dan kekhilafan dalam site ini. 

”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahwafatlah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Bi Haqqi Muhamad Wa Ali Muhamad, kabulkanlah ya Allah doa kami. 

 

Wa ma taufiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib.

 

Hamba yang lemah                                                     

A.Shihabuddin

 

 

'