Siapa kelompok Wahabi-Salafi dan bagaimana fahamnya?

 

Riwayat hidup singkat Muhamad Ibnu Abdul Wahab

Menurut riwayat, Muhamad bin Abdul Wahab ,imam dari golongan Wahabi-Salafi, lahir didesa  Ainiyah  di Nejdi, Hijaz (sekarang Arab Saudi)  tahun 1115 H wafat tahun 1206 H bertepatan tahun 1787M dalam usia 91 tahun (riwayat kapan lahir dan wafat beliau beragam).

 

Pada waktu itu Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah berada dibawah ke kuasaan syarif-syarif Makkah dan dibawah naungan kerajaan Turki Usmaniyah Muhamad Abdul Wahab belajar agama tingkat permulaan kepada ayahnya sendiri Syeikh Abdul Wahab, seorang ulama ahlus sunnah wal jamaah, yang bermazhab Hanbali.  Pada waktu remaja, dia pergi naik haji ke Makkah dan ke Madinah menziarahi pusara Nabi Muhamad shallahu'alaihiwasallam. Setelah mengerjakan haji, dia  kembali ke Nejdi. Dia melanjutkan perjalanannya, untuk tinggal di Makkah dan Madinah sebagai pelajar. Disini lah, dia mulai terpengaruh pada kitab-kitab Ibnu Taimiyah yang mengharamkan; tawasul, istighotsah, ziarah ke makam-makam walaupun ke makam Nabi dan para wali.

Dia juga  terpengaruh dengan ajaran Ibnu Taimiyah bahwa Allah berada diatas, Allah duduk bersela dan lain sebagainya. (lebih detail baca uraian berikut mengenai tajsim di site ini).

 

Dalam kitab Munjid halaman 568 ditulis,  "Wahabiyah adalah, sebagian dari Firqah Islamiyah didirikan oleh Muhamad bin Abdul Wahab (1702-1787 M). Lawannya menamakan Wahabiyah, tetapi pengikut-pengikutnya menamakan Al-Muwahidun. Dalam fikih, mereka berpegang kepada mazhab Hanbali yang disesuaikan dengan pendapat Ibnu Taimiyah”. Namun, para ulama Wahabi tidak marah kalau mereka diberi gelar ‘Wahabi’, bahkan ada sebuah kitab mereka yang berjudul, ‘Al-Hidayatus Suniyah wa Tuhfatul Wahabiyah an Nijdiyah’.

 

Nama ‘Wahabi’ atau ‘al-Wahabiyah’ sendiri kelihatannya di hubungkan kepada nama imamnya, Muhamad Abdal-Wahab, al-Najdi. Mereka menamakan pula kelompoknya ‘Salafi’ atau pengikut mazhab “Salafus Saleh” (pengikut kaum Salaf). Alasannya, mereka bercita-cita mengembalikan ajaran-ajaran tauhid dan  menjalankan kehidupan murni menurut Sunnah Rasul shallahu'alaihi wa sallam. Muhamad bin Abdul Wahab melihat ,menurut kacamata Ibnu Taimiyah, banyak sekali amal ibadat umat islam Madinah yang berlawanan dengan sunnah Rasulallah shallahu'alaihiwasallam.

 

Umpamanya, berbondong-bondong ke Madinah menziarahi makam Nabi shallahu'alaihiwasallam, makam Sayidina Hamzah di Uhud dan lain sebagainya. Menurutnya, semua ini ‘Bid’ah’. Yang paling tidak disenanginya, melihat seorang berziarah makam Nabi sambil berdoa menghadap pusara beliau shallahu'alaihiwasallam, bukan menghadap ke Ka’bah. Inipun  tidak lepas dari tuduhan ‘Syirik’.

 

Begitu pula, orang yang mengucapkan ‘Ya Rasulallah’ di hadapan pusara beliau shallahu'laihiwasallam, termasuk ’Syirik’. Karena kejengkelan melihat semua- nya ini, dia pulang kedesanya Ainiyah di Nejdi. Di desanya ini, ia mulai membuka pengajian dan langsung berfatwa  bahwa bepergian  ziarah ke pusara Nabi adalah  Maksiat. Penduduk desanya ini tidak terima fatwanya. Ia diusir oleh penguasa desanya bernama Usman bin Hamad bin Ma’mar, tanpa diberi ongkos. 

 

Usman bin Hamad memerintahkan kepada pengawalnya, agar dia dibunuh waktu diperjalanan (Kasfus Syubahat hal. 5). Akan tetapi, iradat Tuhan belum berlaku, ia tidak terbunuh. Dia kemudian pergi ke Basrah, Irak. Di Basrah, dia mengeluarkan fatwa-fatwa ganjil lagi, sehingga ia pun diusir  lagi dari Basrah. Dia ingin melanjutkan perjalanannya ke Bagdad dan Siria, tetapi tidak punya biaya. (Muqaddimah kitab Kasfus Syubahat, oleh Muhamad bin Abdul Wahab, hal.4).

 

Karenanya, dia pergi ke Hassa yang tidak jauh dari Basrah. Pada mulanya, dia berlindung pada penguasa Hassa ,Syeikh Abdullah bin Abdul Latif. Namun, akhirnya penguasa ini mengusirnya pula, karena tidak menyetujui fatwa-fatwanya. Kemana saja dia pergi, selalu diusir karena fatwa-fatwanya yang salah, berlawanan denga para ulama pada zamannya, termasuk saudaranya sendiri yang bernama Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab. 

 

Kemudian dia pindah lagi kesebuah negeri, Dur’iyah. Nama Raja Dur’iyah, Muhamad bin Sa’ud. Muhamad bin Abdul Wahab membutuhkan pertolongan seorang penguasa yang dapat melindunginya, karena dia selalu dikejar-kejar dan diusir oleh penguasa-penguasa negeri yang didiaminya. Adapun Muhamad bin Sa’ud membutuhkan pula seorang ulama, yang dapat menasihati rakyatnya dengan pelajaran-pelajaran agama, yang bisa mengokohkan kekuasaannya.

 

Dengan bantuan Raja Dur’iyah ini, Muhamad Abdul Wahab bebas mengembang -kan ajaran-ajarannya, muridnya bertambah banyak dan berkembang kedesa-desa sekitarnya. Pengaruh dan kekuasaan Wahabi-Sa’ud ini, tambah lama tambah kuat, sehingga dapat menyerbu Hijaz dan menduduki Makkah, Madinah, selama 10 tahun (1802-1812M). 

 

Dua tahun menduduki Makkah, mereka mengirim tiga orang putra Minangkabau–haji Miskin, haji Piobang dan haji Sumanik–yang bermukim di Makkah, untuk menyiarkan ajaran-ajaran Wahabi-Salafi di Minangkabau. Ketiga orang ini, bergabung dengan Tuanku Nan Renceh di Kamang Bukittinggi, untuk membangun gerakan yang bernama ‘Gerakan Paderi’, yang pada hakikat- nya adalah Gerakan Wahabi

Ketika Wahabi berkuasa di Makkah, meruntuhkan kubah-kubah di pekuburan Ma’la dan Baqi’, tetapi tidak sampai meruntuh kan Kubbatul Khudra, yaitu kubah hijau diatas makam Rasulallah shallahu'alaihiwasallam di Madinah.

 

Setelah 10 tahun di Makkah, mereka diusir oleh tentara Raja Mesir ,Muhamad Ali, dengan pimpinan anaknya, jendral Ibrahim Pasya dan diburu sampai ke Nejdi. Raja ketika itu ,Muhamad Sa’ud al Kabir,  ditangkap dan dibawa ke Mesir terus ke Istanbul dan dihukum mati disana. Raja Mesir waktu itu, dibawah naungan kerajaan Turki. Kerajaan Saudi hancur, pengikut-pengikutnya berserakan, bersembunyi kedesa- desa di Nejdi. Mereka ini, dapat menyerbu kembali kota Hijaz (sekarang Arab Saudi) dan menduduki Makkah, Madinah, dari tahun 1924 sampai sekarang.

 

Nama Raja yang menyerbu Makkah ,Abdul Aziz bin Abdurrahman Ali Faishal,  ayah dari raja Faisal yang berkuasa pada tahun 1972. Muhamad Abdul Wahab, mendapat julukan dari pengikut-pengikutnya sebagai seorang Muslih, seorang ‘Pemodernisasi agama’, dan seorang yang berfaham modern serta maju. Demikian riwayat hidup singkat pribadi Muhamad Abdul Wahab.

 

Konsep-konsep ajaran Muhamad bin Abdul Wahab

Dalam bidang ushuluddin harus menganut faham Ibnu Taimiyah;

Dalam bidang fikih harus memakai mazhab Hanbali, tetapi sering berlawanan dengan mazhabnya; Mazhab Syafi’i harus dibuang; Melarang keras umat Islam berdoa dengan tawasul; Melarang bepergian ziarah kubur, walaupun pada pusara Rasulallah shallahu'alaihiwasallam (Info: Adapun jamaah haji di-izinkan ke Madinah pada masa Wahabi berkuasa ini, menurut faham mereka  jamaah haji menziarahi masjid, bukan untuk menziarahi Rasulallah shallahu'alaihiwasallam, tetapi untuk sholat di masjid nabawi);

 

Menghancurkan tugu-tugu peringatan, termasuk gedung besar yang dibangun diatas tempat lahirnya Nabi shallahu'alaihiwasallam di Suq al leil, menghancurkan kubah-kubah kuburan. Semuanya ini, dianggap oleh mereka menjadikan orang musyrik; Melarang membaca qasidah, yang isinya memuji Nabi shallahu'alaihiwasallam dan menceriterakan riwayat hidup beliau shallahu'alaihiwasallam, seperti kitab Barzanji, kitab Burdah dan lain sebagainya;

Melarang umat Islam merayakan dan memperingati maulid Nabi shallahu'alaihiwasallam; Melarang membaca ‘sifat dua puluh’, yaitu kitab-kitab yang biasa dibaca di Indonesia, umpama ‘Kifayatul Awam’, ‘Sanusi’, ‘Juharatut Tauhid’, ‘Husnun Hamadiyah’ dan lain-lain yang serupa; Faham Asy’ari, yaitu faham kaum Ahlus sunnah wal jama’ah harus dibuang jauh-jauh; Dilarang membaca kitab ‘Dalailul Khairat’, ‘Burdah’ dan kitab-kitab wirid yang memuji Nabi Saw;

Tidak boleh melagukan lafazh AlQuran, umpamanya dengan lagu orang-orang Mesir, AlQuran harus dibaca lurus saja; Melarang membaca zikir bersama-sama. Melarang keras semua amalan-amalan tariqat, umpama Thariqat Naqsabandi, Qadiri, Syadzali, Saman dan lain-lain.

 

Riwayat hidup singkat Ibnu Taimiyah

Berikut, riwayat hidup singkat Ibnu Taimiyah ,imam Muhamad Ibnu Abdul Wahab dan kelompoknya, seorang ulama mazhab Hanbali, yang dalam beberapa karyanya juga memiliki kecenderungan berfaham tajsim, metode penafsiran kaum Mujassimah.

Nama lengkapnya Ibnu Taimiyah; Ahmad Taqiyuddin Abdul Abbas bin Syihabuddin. Famili ini dinamai Ibnu Taimiyah, karena asal perkataan Taimiyah adalah dari kakeknya, yang bernama Muhamad bin Al-Khadar. Beliau ketika naik haji ke Makkah, melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, istrinya melahirkan seorang anak wanita yang diberi nama Taimiyah, sehingga keturunannya dinamai keturunan Taimiyah. 

 

Ahmad Taqiyuddin yang kemudian masyhur dengan nama Ibnu Taimiyah lahir tanggal 10 Rabiul awal tahun 661 H ,didesa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia dari kecil belajar agama dari ayahnya Syihabuddin, seorang ulama pengikut mazhab imam Ahmad Hanbali. Setelah usia 7 tahun yaitu tahun 667 H, seluruh famili Ibnu Taimiyah mengungsi ke Damsyik, Syria,. karena khawatir desanya akan diserang oleh tentara Tartar, yang saat itu sudah menduduki kota Baqdad, Irak. Penduduk Damsyik ketika itu adalah campuran dari penganut mazhab Hanbali, Syafi’i dan mazhab Maliki. Ayahnya ,Syihabuddin, menggabungkan diri dengan sebuah madrasah/sekolah agama dari mazhab Hanbali dikota Damsyik. Anaknya ,Ibnu Taimiyah, dimasukkan juga di madrasah ini.

 

Disinilah awal mulanya Ibnu Taimiyah mendapat seluruh ilmunya dari perguruan mazhab Hanbali. Akhirnya Ibnu Taimiyah menjadi seorang ulama besar dalam mazhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu fikih tetapi juga dalam ushuluddin dan ilmu tauhid. Akan tetapi sayangnya, beliau ini terpengaruh dengan faham kaum ‘Mujassimah dan Musyabbihah’, yaitu sekelompok kaum yang mengatakan, Allah jallajalaaluh menyerupai manusia, punya tangan, kaki, wajah dan lain sebagainya. Didalam fikih, dia kadangkala berfatwa menurut pendapatnya sendiri, walaupun ia penganut mazhab Hanbali. Fatwa-fatwanya berlawanan dengan mazhab Hanbali yang murni.

 

Dalam ushul fikih, dia tetap menurut mazhab Hanbali, karena tidak mempunyai ushul fikih sendiri (baca kitab Ibnu Taimiyah oleh Dr.Muhamad Yusuf Musa, hal.168,169, 170). Kalau diteliti dalam kitab ‘Fatawi Ibnu Taimiyah’ (fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah) nyatalah bahwa beliau dalam fatwa fikih memang benar-benar memegang garis ushul fikih mazhab Hanbali  Dan dia tidak pernah mengatakan sudah menjadi Mujtahid mutlak yakni lepas dari mazhab Hanbali.

 

Faham Ibnu Taimiyah disebarluaskan oleh muridnya ,Ibnu Qayim al-Jauzi, pengarang kitab ‘Zadul Ma’ad (wafat 751H). Asal mulanya faham dan pelajaran mereka ini, tidak  mendapat sambutan baik di Syria maupun di Mesir, karena banyak yang berlawanan dengan fatwa ulama yang lazim dipakai saat itu. Akan tetapi, lama kelamaan–kira-kira 500 tahun kemudian–faham Ibnu Taimiyah disambut oleh Muhamad bin Abdul Wahab–imam gerakan Salafi/Wahabi di gurun pasir tanah Arab.

 

Pelajaran Ibnu Taimiyah, disambut juga di Mesir oleh Syeikh Muhamad Abduh lahir tahun 1849 M dan wafat tahun 1905M. Faham Ibnu Taimiyah ini, oleh Syeikh Muhamad Rasyid Redha (wafat 1935M), disiarkan keseluruh dunia ,termasuk Indonesia, via majalah ‘Al-Manar’, yang dipimpin oleh Muhamad Rasyid Redha sendiri.

 

Ibnu Bathuthah ,seorang pengembara abad ke 7 Hijriah, dari Tanjah,Tunisia, menerangkan dalam kitabnya ‘Rahlah Ibnu Bathuthah’ (pengembaraan Ibnu Bathuthah) jilid 1 hal. 57, sebagai berikut: “Ada dikota Damsyik, seorang ahli fikih yang terkenal bermazhab Hanbali, namanya Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Beliau banyak membicarakan soal-soal ilmu pengetahuan, tetapi sayang ‘fi’aqlihi syai-un’ (akalnya ada sedikit goncang).

 

Penduduk Damsyik menghormati orang itu. Pada suatu kali, dia mengajar sambil berdiri diatas mimbar masjid Damsyik yang besar itu. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa yang berlainan dari ahli fikih yang lain, sehingga ia akhirnya di adukan orang kepada Raja Nashir yang berkedudukan di Kairo (Damsyik ketika itu dibawah kekuasaan Kairo (Mesir-red).

Dia dibawa ke Kairo dan kepadanya di hadapkan beberapa tuduhan dalam suatu pengadilan. Jaksa penuntut saat itu namanya Syarafuddin Zawawi, seorang ahli hukum dalam mazhab Hanbali. Ibnu Taimiyah, tidak menjawab semua tuduhan yang diajukan kepadanya, tetapi jawabnya hanya ucapan ‘La ilaha illallah’ saja. Akhirnya, ia dipenjara beberapa tahun di Kairo. Setelah ditahan beberapa lama, ibunya memohon kepada Raja Nashir agar anaknya itu dibebaskan. Raja Nashir memperkenankan permohonan ibu ini, dan Ibnu Taimiyah di bebaskan, pulang ke Damsyik.

 

Akan tetapi–kata Ibnu Bathuthah–terjadi lagi hal yang serupa. Saya, saat itu sedang berada di Damsyik. Pada hari jum’at, Ibnu Taimiyah berkhutbah diatas mimbar masjid Damsyik. Diantara khutbahnya dikatakan, ‘Tuhan Allah turun kelangit dunia tiap-tiap malam, seperti turunnya saya ini, lalu ia turun dari mimbar’. Ketika itu, hadir seorang ulama mazhab lain, namanya Ibnu Zahra. Ahli fikih ini mendebat Ibnu Taimiyah, karena ia menyerupakan Tuhan dengan dirinya.

 

Namun,, beberapa orang murid Ibnu Taimiyah memukul Ibnu Zahra ini dan membawanya kepada hakim/qadhi Izzuddin bin Muslim yang bermazhab Hanbali. Qadhi Izzuddin menghukum Ibnu Zahra beberapa hari dalam penjara. Ahli-ahli fikih yang lain, yang bermazhab mazhab Syafi’i dan Maliki, memprotes hukuman Qadhi Izzuddin ini dan mengajukan perkaranya kepada Raja besar (Malikul Muluk) bernama Saifuddin Tankiz. Raja ini orang baik, kata Ibnu Bathuthah. Dia memerintah Raja Nashir di Kairo, supaya Ibnu Taimiyah dibawa ke pengadilan tinggi, karena fatwa Ibnu Taimiyah dalam agama banyak yang salah baik dalam fikih maupun dalam ushuluddin..

 

Diantara fatwanya yang salah itu–kata Ibnu Bathuthah–ialah talak tiga sekaligus, jatuh satu. Pengadilan tinggi memutuskan dia harus di penjara dalam benteng Damsyik dan wafat dalam penjara benteng Damsyik tanggal 27 syawal tahun 728H”. Demikianlah keterangan Ibnu Bathuthah seorang pengembara yang netral.

 

Adapun, dalam kitab yang berjudul Ibnu Taimiyah hal. 102, 103, 104 karangan Dr. Muhamad Yusuf Musa, keluaran Darut Tsaqafah Mesir–kitab yang banyak berpihak kepada Ibnu Taimiyah–terjemahan bebasnya secara singkat, mengatakan: “Bagaimanapun juga, ia dibawa ke mahkamah dan dituduh bahwa ia mempercayai Tuhan itu benar-benar duduk diatas Arsy, boleh ditunjuk dengan jari keatas, Tuhan berkata dengan huruf dan suara. 

 

Jaksa menuntut agar Ibnu Taimiyah dihukum mati. Setelah ketua pengadilan ,Ibnu Makhluf, bertanya kepada Ibnu Taimiyah tentang tuduhan itu, beliau memulai jawabannya dengan Alhamdulillah, dan salawat seperti berpidato. Dia dibentak, bahwa tempat itu bukan tempat untuk berpidato, tetapi langsung harus jawab, bagaimana? Ibnu Taimiyah bertanya, ‘Siapa ketua Pengadilan’? Dijawab: Ibnu Makhluf. Ibnu Taimiyah menjawab, ‘Engkau musuh saya, bagaimana bisa menghukum saya,’?

 

Kemudian Ibnu Taimiyah dihukum penjara. Setelah itu keluar siaran pemerintah, supaya sekalian rakyat yang terpengaruh dengan ajaran Ibnu Taimiyah, supaya kembali kepada kebenaran, kalau tidak akan diambil tindakan. Banyaklah ketika itu penganut mazhab Hanbali, yang menerima pengajian Ibnu Taimiyah di penjara, baik di Syam atau di Mesir. Setelah ia (Ibnu Taimiyah) ditahan setahun dan beberapa bulan, ia dibebaskan atas permohonan seorang raja Arab namanya Hisamuddin.

Setelah bebas, dia tidak pulang ke Damsyik tetapi tinggal di Mesir. Di Mesir, ia berfatwa mencela para ulama tasawuf.  Kemudian dia ditangkap lagi, diberi hukuman pulang ke Damsyik atau tinggal di Iskandariah atau penjara. Dia menerima penjara, karena tidak mau menerima syarat-syarat tersebut, tetapi murid-muridnya mendesak agar ia pulang ke Damsyik. Pada tahun 712 (Hijriah) ia kembali ke Damsyik, setelah meninggalkannya selama 7 tahun.

 

Di Damsyik dia berfatwa lagi yang ganjil-ganjil, diantaranya, Bersumpah dengan talak, tidak jatuh ketika sumpah itu dilanggar, tetapi wajib bayar kafarat sumpah saja.Talak tiga, sekaligus jatuh satu, Bepergian ziarah kemakam-makam, seperti makam Nabi Ibrahim di Madinatul Khalil, makam Nabi Muhamad shallahu'alaihiwasallam di Madinah, adalah perbuatan munkar. Kemudian pada tahun 726 H, ia ditangkap lagi atas perintah Sultan, dan dikurung dalam penjara benteng Damsyik. Banyak muridnya,diantaranya murid yang setia Syamsudin Muhamad bin Al Qayim al-Jauziah (Ibnu Qayim al-Jauzi, pengarang Zadul Ma’ad), ditangkap dan dikurung bersama-sama Ibnu Taimiyah. Wafatlah beliau (Ibnu Taimiyah) dalam penjara benteng Damsyik, 20 Dzulkaedah tahun 728 H”. Demikianlah, keterangan singkat doktor Muhamad Yusuf Musa. Keterangan ini, hampir sama dengan keterangan Ibnu Bathuthah.

    

Dalam kitab Daf’us Syubah man tasyabbaha wa tamarrad hal. 41 karangan mufti dan syeikhul Islam Taqiyuddin al Husaini ad-Dimsyaqi (wafat di Damsyik tahun 829H) mengatakan, yang artinya sebagai berikut: “Mengabarkan Abu Hasan Ali ad- Dimsyaqi, ia terima dari ayahnya bahwa ayahnya menghadiri majlis Ibnu Taimiyah di masjid Damsyik. Ibnu Taimiyah memberi pelajaran dihadapan umum. Ketika ia sampai kepada pembacaan ayat ‘Tuhan istawa diatas Arsy’, ia mengatakan, ‘Tuhan duduk bersela diatas Arsy seperti saya ini’. Saat itu, pendengar jadi ribut, karena Ibnu Taimiyah menyerupakan duduknya dengan duduknya Tuhan, sehingga dia dilempari dengan sandal, sepatu dan diturunkan dari kursi duduknya, ditampar dan dipukuli bersama-sama”. Demikianlah al-Husaini.

 

Dengan demikian dapat diyakini, sesuai dengan fakta-fakta sejarah, Ibnu Taimiyah banyak mengeluarkan fatwa yang perlu diluruskan, yg bertentangan dengan pendapat para ulama Islam lainnya, sehingga pada akhirnya beliau masuk penjara dua kali, satu di Mesir, kedua di Damsyik dan  wafat dalam penjara Damsyik tahun 728H.

 

Konsep-konsep ajaran Ibnu Taimiyah

  • Dalam Ushuluddin; Tuhan bersela diatas Arsy, seperti berselanya Ibnu Taimiyah; Tuhan sama besarnya dengan Arsy; Tuhan turun setiap akhir malam kelangit dunia, serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar; Tuhan bertubuh dan pindah-pindah tempat; Tuhan bicara dengan huruf dan suara; Para nabi tidak maksum (terjaga dari dosa); Bepergian ziarah kemakam-makam, seumpama makam para Nabi para Wali dan para Ulama adalah perbuatan maksiyat (munkar); Berdoa dengan bertawasul syirik; Istighatsah (mohon pertolongan) dengan Nabi syirik; Neraka akan lenyap bukan kekal; Mengingkari ijmak (kesepakatan para ulama) tidak kafir dan lain-lain.

 

  • Dalam ilmu fikih;Talak tiga, sekaligus jatuh satu; Talak ketika istri berkain kotor (haid) tidak jatuh; Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak boleh digadha; Orang junub boleh sembahyang sunah malam tanpa mandi lebih dahulu; Bersumpah dengan talak, tidak jatuh ketika sumpah itu dilanggar, tetapi wajib dibayar kafarat sumpah saja; Orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat; Boleh qashar (meringkas shalat) sembahyang dalam perjalanan, walaupun perjalanannya itu pendek; Boleh tayamum untuk sembahyang ,walaupun ada air, ketika dikhawatirkan akan habis waktu sembahyang kalau berwudu; Syarat si Wakif tidak diperdulikan; Talak diwaktu suci yang disetubuhi tidak jatuh; Wanita yang tidak bisa mandi wajib dirumah, dan sulit pergi mandi kekolam diluar rumah, boleh tayamum saja… dan lain lain.

 

  • Dalam ilmu Tasawuf; Tasawuf, dan amalan orang tasawuf misalnya tarikat-tarikat harus dibuang jauh-jauh, Para ulama tasawuf dikecam habis-habisan.

 

Tauhid dan Syirik versi Wahabi-Salafi

Kelompok Wahabi-Salafi, sering lebih mengutamakan metode tafsir tekstual/ dhohir teks dan cenderung mengharamkan takwil, mengutamakan makna literal dan meniadakan makna majazi atau kiasan. Pilihan metode tafsir seperti ini, sering membawa golongan ini terjerumus kepada penjasmanian (tajsim) dan penyerupaan (tasybih) Allah jallajalaaluh kepada makhluk-Nya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah jallajalaaluh harus diartikan sesuai dengan ke Mahasucian dan ke Maha agungan-Nya..

 

Pilihan metode tafsir literal ini, sering juga membawa konsekuensi kalangan Wahabi amat mudah membid‘ahkan dan mensyirikkan kalangan lain. Mereka yang biasa melakukan tawasul (berdoa pada Allah sambil menyertakan nama Rasulallah atau para wali dalam doa), tabaruk (memohon berkah), permohonan syafaat pada Rasulallah shallahu'alaihiwasallamdan, para wali Allah, adalah kelompok yang sering dituduh sebagai musyrik oleh kalangan Wahabi-Salafi.

 

Kelompok ini, juga melarang orang berkumpul untuk mengadakan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan sejarah Islam, seperti maulid Nabi Saw., Isra’-Mi’raj dan sebagainya, melarang majlis zikir seperti istighatsah, tahlil/ yasinan. Mereka pun dengan gigih melarang ziarah kubur, dan mengharamkan taklid kepada imam mazhab tertentu.

Sikap dan pandangan kelompok ini secara historis mirip dengan golongan al-Hasyawiyah. Sebuah kelompok yang berkembang pada masa awal zaman Islam yang terkenal sebagai penganjur tafsir literal.

 

Ahmad bin Yahya al-Yamani (w. 840H/ 1437M) mencatatkan, bahwa nama al-Hasyawiyah merujuk pada kelompok yang meriwayatkan hadis-hadis sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah,  sebagaimana sabda Nabi shallahu'alaihiwasallam, dan mereka menerimanya tanpa melakukan interpretasi. Kelompok ini juga mengklaim diri sebagai ashabul-hadis dan ahlus sunnah wal jama‘ah. Salah satu ciri terkuatnya adalah, kepercayaannya pada konsep pemaksaan (Allah berhubungan dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahwa wujud Allah adalah seperti makhluk-Nya), mempercayai bahwa Allah mempunyai bentuk, jasad dan anggota tubuh.

 

Al-Syahrastani (w.548H/1153M) menulis, terdapat sebuah kelompok ashabul-hadis, yang dikenal sebagai al-Hasyawiyyah, yang dengan jelas menunjukkan kepercayaan mereka tentang tasybih (yaitu Allah serupa makhluk-Nya, baca uraian selanjutnya mengenai tajsim/tasybih)...sehingga mereka sanggup mengatakan bahwa pada suatu ketika, kedua mata Allah menampakkan kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya, dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan)–yang mengakibatkan banjir Nabi Nuh a.s.–sehingga mata-Nya menjadi merah, dan Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. [Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.]   

 

Dari segi kebiasaannya mengkafirkan kelompok Muslim lain, kelompok ini mirip dan seakan-akan menjiplak kaum Khawarij. Sebuah sekte yang dalam sejarah Islam sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas pembunuhan khalifah Ali k.w. Kaum khawarij sedemikian mudah mengkafirkan, mensyirikkan, menyesatkan sesama kaum Muslim dengan alasan, kelompok itu tidak sependapat dengan fahamnya.

Kaum khawarij ini, dengan penuh konfrontatif mengkafirkan Amirul Mukminin Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. dan para sahabat Nabi shallahu'alaihiwasallam yang mendukungnya. Menghalalkan pembunuhan, perampasan harta kaum muslimin yang tidak serumpun,  segolongan atau semazhab dengan mereka. Sikap dan tindakan kaum khawarij, jelas mencerminkan penyelewengan akidah mereka, dan semua ulama ahlus sunnah menetapkan sebagai ahlul bid’ah dan dhalalah (sesat) berdasarkan dzawahirin-nash (makna harfiah nash).

 

Ibnu Mardawih mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Mas’ab bin Sa’ad yang menuturkan sebagai berikut: “Pernah terjadi peristiwa, seorang dari kaum Khawarij menatap wajah Sa’ad bin Abi Waqqash (ayah Mas’ab) r.a. Beberapa saat kemudian orang Khawarij itu dengan galak berkata: ‘Inilah dia, salah seorang pemimpin kaum kafir’! Dengan sikap siaga Sa’ad menjawab; ‘Engkau bohong! Justru aku telah memerangi para pemimpin kaum kafir‘.

Orang khawarij yang lain berkata: ‘Engkau inilah termasuk orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya‘! Sa’ad menjawab: ‘Engkau bohong juga! Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, Tuhan mereka mengingkari perjumpaan dengan-Nya’! (yakni tidak percaya bahwa pada hari kiamat kelak akan di hadapkan kepada Allah jallajalaaluh). Riwayat ini dikemukakan juga oleh Al-Hafidz didalam Al-Fath.

 

Imam Thabrani meriwayatkan dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath bahwa Umarah bin Qardh mendengar suara azan lalu hendak menunaikan sholat berjamaah disana. Dia terkejut ketika tiba disana, ternyata berada ditengah kaum Khawarij sekte Azariqah. Mereka menegurnya: ‘Hai musuh Allah, apa maksudmu datang kemari’?! Umarah menjawab dengan tegas: ‘Kalian bukan kawan-kawanku’ ! Mereka menyahut: ‘Ya, engkau memang kawan setan dan engkau harus kami bunuh’.  Umarah berkata; ‘ Apakah engkau tidak senang melihatku seperti ketika Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dahulu melihatku’?

 

Mereka bertanya: ‘Apa yang menyenangkan beliau darimu’? ‘Umarah menjawab: ‘Aku datang kepada beliau shallahu'alaihiwasallam sebagai orang kafir, lalu aku mengikrarkan kesaksianku, bahwa tiada tuhan selain Allah dan beliau Saw. adalah benar-benar utusan Allah. Beliau shallahu'alaihiwasallam kemudian membiarkan aku pergi’. Akan tetapi sekte Azariqah tidak puas dengan jawaban Umarah seperti itu. Ia lalu diseret dan dibunuh”.  Peristiwa ini, dimuat juga dari sumber-sumber yang dapat dipercaya.

 

Tercatat dalam sejarah, kaum Wahabi-Salafi hendak menghancurkan Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhamad shallahu'alaihiwasallam dimakam kan. Mereka juga berupaya menggeser maqam Ibrahim. Bangunan itu ingin dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Sebelumnya, kaum Wahabi-Salafi sudah menggusur rumah Rasulallah shallahu'alaihiwasallam di Makkah dengan alasan yang sama. Padahal, di situlah Rasulallah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta Sayidah Khadijah wafat. Kelompok ini berpandangan bahwa mengonservasi situs-situs sejarah itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru.

 

Pengaruh mazhab Wahabi-Salafi di Arab Saudi memang sedemikian kental. Dr. Sami bin Muhsin Angawi, seorang arsitektur Muslim menyatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam klasik terancam dimusnahkan oleh kaum Wahabi-Salafi. Pada lokasi bangunan berumur 1400 tahun itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah. Bagian lokasi dan bangunan bersejarah akan segera diratakan untuk dibangun tempat parkir. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah sudah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir. Bahkan, sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada tahun 1932.

 

Hal itu berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis: “Pelestarian bangunan-bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala.” Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Rasulallahshallahu'alaihiwasallam. Semua jejak jerih payah Rasulallah itu habis oleh modernisasi ala Wahabi.

 

Namun anehnya, mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam, baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya, dengan dalih obyek wisata. Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Tidak diragukan lagi, ini merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari. Dr. Sami bin Muhsin Angawi mengungkapkan fakta itu lewat video wawancara yang tersebar di Youtube.

 

Dalam video berdurasi 8:23 menit itu, ia mengungkapkan bahwa ia telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari situs rumah Baginda Nabi shallahu'alaihiwasallam. Setelah berhasil, ia menyerahkan hasil penelitiannya kepada pihak berwenang. Respon pihak berwenang Arab Saudi ternyata jauh dari perkiraan pakar yang memiliki gelar Doktor arsitektur di London itu. Bukannya dijaga untuk dijadikan aset purbakala, situs temuannya malah mereka hancurkan.

 

Kaum Wahabi-Salafi juga tidak konsisten. Satu sisi mereka berupaya serius dan sistematis membumihanguskan situs sejarah Rasulallah shallahu'alaihi wa sallam. Mereka merobohkan peninggalan rumah baginda Nabi shallahu'alaihi wasallam dan mengubah tempat yang berkah itu menjadi WC umum. Mereka pun mengharamkan pelestarian segala bentuk peninggalan baginda Nabi shallahu 'alaihiwasallam. Tetapi, di sisi lain mereka malah mendirikan sebuah bangunan besar dan mentereng untuk mengabadikan sosok Syaikh Muhamad bin Saleh al-Utsaimin, salah seorang tokoh pentolan mereka.

 

Bangunan berdisain mirip buku itu dibubuhi tulisan “Yayasan Syaikh Muhamad bin Saleh al-Utsaimin.” Di dalam gedung mewah ini, terdapat benda-benda peninggalan Syaikh al-Utsaimin, seperti kaca mata, arloji dan pena. Benda-benda itu diletakkan pada etalase kaca dan masing-masing diberi keterangan semisal, “Pena terakhir yang dipakai Syaikh al-Utsaimin”.

 

Jauh sebelum itu, kaum Wahabi juga telah merobohkan masjid-masjid bersejarah, di antaranya Masjid Hudaybiyah (tempat Syajarah ar-Ridhwan), Masjid Salman Al-Farisi dan masjid di samping makam pamanda Nabi, Sayidina Hamzah bin Abdal Muttalib. Pada tanggal 13 Agustus 2002. Mereka pun membumi-hanguskan masjid cucu Nabi shallahu'alaihiwasallam, imam Ali Uraidhi dengan menggunakan dinamit dan membongkar makam beliau r.a.

 

Al-Allamah Syeikh Thahir Asy-Syafi'i, dalam kitabnya Al-Intisharu Lil Auliya Al-Abrar–yang menolak faham wahabi-salafi–mengatakan, “Adapun yang dinukil sebagian ulama yang  mengatakan, ‘dia (Muhamad bin Abdul Wahab) adalah semata-mata meluruskan perbuatan orang-orang Najd, berupa anjuran terhadap orang-orang Badui untuk menunaikan shalat jamaah, meninggalkan perkara-perkara keji dan merampok ditengah jalan, serta menyeru kemurnian tauhid’, semua itu tidak benar.

 

Di antara kekejaman dan kejahilan kaum wahabi/salafi adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam para sahabat Nabi shallahu'alaihiwasallam yang berada di Ma'la (Makkah ), di Baqi' dan Uhud (Madinah). Semuanya diruntuhkn, diratakan dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah tempat Nabi shallahu'alaihiwasallam dilahirkan ,di Suq al-Leil, diratakan dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta.

Karena gencarnya desakan kaum muslimin international kemudian dibangunkan lagi perpustakaan. Kaum wahabi, benar-benar golongan paling jahil di atas muka bumi ini. Tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam.”

 

Al-Alamah Sayid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin As-Sayid Abdullah Al-Haddad Ba’Alawi, dalam kitabnya Jalaa' uzh zhalaam firrarrdil Ladziiadhallal 'awaam–yang menolak faham wahabi– menyebutkan sejumlah hadis, diantaranya, hadis yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib r.a: "Akan keluar di abad ke- 12H nanti (Muhamad bin Abdul Wahab lahir 1115–H tepat abad 12H ) dilembah Bani Hanifah, seorang lelaki tingkahnya seperti pemberontak, senantiasa menjilat (kepada penguasa Sa'ud) dan menjatuhkan dalam kesusahan. Pada zaman kehidupannya, banyak kacau-balau, menghalalkan harta manusia yang diambil untuk berdagang, menghalalkan darah manusia, dibunuhnya manusia untuk kesombongan dan ini semua adalah fitnah, di dalamnya orang-orang yang hina dan rendah menjadi mulia (yaitu para petualang & penyamun digurun pasir), hawa nafsu mereka saling berlomba tidak ubahnya seperti berlombanya (maaf) anjing dengan pemiliknya".

 

As-Sayid Alwi dikitab yang sama menyebutkan, orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhamad bin Abdul Wahab dari Tamim. Karena itu, hadis tersebut mengandung suatu pengertian bahwa (Muhamad) Ibnu Abdul Wahab adalah orang yang datang dari ujung Tamim, dialah yang diterangkan hadis Nabi shallahu'alaihiwasallam, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Said Al-Khudri r.a bahwa Nabi shallahu'alaihiwasallam bersabda:

"Sesungguhnya diujung negeri ini ada kelompok kaum yang membaca Al-Quran, namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka membunuh pemeluk Islam dan mengundang berhala-berhala, seandainya aku  menjumpai mereka, tentulah aku akan membunuh mereka seperti di bunuhnya kaum 'Ad".

 

Dalam kitab Misykatul Mashabih disebutkan sebuah hadis: "Di akhir zaman nanti, akan ada suatu kaum yang akan membicarakan kamu tentang apa-apa yang belum pernah kamu mendengarnya, begitu pula (belum pernah) bapak-bapak kamu (mendengarnya), berhati-hatilah jangan sampai menyesatkan dan menfitnahmu". Allah Taáala telah menurunkan ayat Al-Quran berkaitan dengan Bani Tamim,(Muhamad bin Abdul Wahab ,termasuk bani Tamim, bin Sulaiman bin Ali bin Muhamad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi), 'Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu), ke banyakan mereka tidak mengerti' ". (QS . Al-Hujurat [49]:4). (Imam Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Juzay, al-Tashil [Beirut,1403] hal.702; Ibnu Hazm, Jamharat ansab al-Arab [Cairo,1382], 208, in the chapter on Tamim).

 

Sayid Alwi Al-Haddad melanjutkan,"Sebenarnya ayat yang diturunkan dalam kasus Bani Hanifah dan mencela Bani Tamim dan Wa'l itu banyak sekali, akan tetapi cukuplah sebagai bukti buat anda, kebanyakan orang-orang Khawarij itu dari mereka, demikian pula Muhamad bin Abdul Wahab dan tokoh pemecah belah umat, Abdul Aziz bin Muhamad bin Sa'ud adalah dari (suku) mereka".

 

Penentangan terhadap Muhamad bin Abdul Wahab

Para ulama mazhab Hanbali menentang ajaran atau paham Muhamad bin Abdul Wahab dan mengeluarkan hukum bahwa akidah dan ajaranya sesat dan batil. Tokoh pertama, yang mengumumkan penentangan kepada Muhamad Ibnu Abdul Wahab adalah ayahnya sendiri, Syaikh Abdul Wahab kemudian diikuti oleh saudara Ibnu Abdul Wahab, Syaikh Sulaiman. Kedua ulama ini penganut mazhab Hanbali. Syaikh Sulaiman menulis kitab khusus untuk menentang dan memerangi ajaran Wahabi. Kitab itu berjudul al-Shawa‘iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ala al-Wahabiyyah untuk menentang dan memeranginya. Selain dari ayah dan saudaranya, Muhamad Ibnu Abdul Wahab, juga mendapat tantangan dari sepupunya, Abdullah bin Husain.

 

Mufti Makkah Syaikh Zaini Dahlan mengatakan, “Syaikh Abdul Wahab—ayah Muhamad bin Abdul Wahab, adalah seorang yang saleh dan tokoh ahli ilmu. Begitu pula dengan saudaranya Syaikh Sulaiman. Keduanya, telah mengikuti pemikiran Muhamad Ibnu Abdul Wahab yang meragukan sejak Ibnu Abdul Wahab masih mengikuti pendidikan di Madinah. Sejak itu juga, keduanya telah mengkritik pendapat dan pandangan Muhamad bin Abdul Wahab dan memperingatkan orang ramai mengenai bahaya pemikiran Muhamad bin Abdul Wahab.”  (Zaini Dahlan, al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, hal.357). 

 

Dalam keterangan Syeikh Zaini Dahlan yang lain, dikatakan: “Ayah dan saudara -nya serta guru-gurunya, telah mengetahui tanda-tanda penyelewengan agama (ilhad) dalam diri (Muhamad Abdul Wahab)nya berdasarkan perkataan, perbuatan dan tentangan Muhamad terhadap banyak persoalan agama.” (Syeikh Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahabiyah, hal.4).

 

Abbas Mahmud al-Aqqad al-Masri mengatakan, “Orang yang paling kuat menentang Muhamad Abdul Wahab dalam soal tauhid adalah saudara-nya sendiri, Syaikh Sulaiman. Beliau tidak mengakui Muhamad Abdul Wahab mencapai kedudukan berijtihad dan berkemampuan memahami al-Kitab dan al-Sunnah. Sulaiman menekankan bahwa para imam terdahulu tidak pernah mengkafirkan kaum yang oleh Wahabi disebut sebagai ashab bid’ah (kelompok bid’ah). Karena itu,  tidak ada ketetapan yang mewajibkan agar mereka memisahkan diri, apalagi memeranginya karena alasan tersebut.”

 

Syaikh Sulaiman dalam kitabnya ‘ash-Shawa’iq al-Ilahiyah fi ar-Radd ala al-Wahabiyah’ menulis, ‘sejak zaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan kelompok yang aktif di majlis zikir, melakukan tawasul dan ziarah kubur. Tidak juga menilai bahwa mereka itu murtad atau memerintah untuk memerangi mereka. Belum pernah seorang pun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri yang harus diperangi, sebagaimana sering dikatakan Muhamad Abdul Wahab’.

 

Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab juga berkata untuk adiknya ini, “Hari ini, umat mendapat musibah dengan kehadiran orang yang mengklaim bahwa ia telah menisbahkan dirinya kepada Al-Quran dan Sunnah. Ia memang menggali ilmu dua sumber ajaran Islam itu. Namun, tidak menerima kepada macam-macam pendapat dan tafsir (para mufassirin).

Jika  ia diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada ahli ilmu, ia tidak akan melakukannya. Bahkan, ia mengharuskan seluruh manusia untuk menerima perkataan dan pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam pandangannya orang itu kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada satu pun sifat seorang ahli ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya perkataannya menipu orang orang yang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Ya Allah, berilah petunjuk orang yang sesat ini dan kembalikanlah dia kepada kebenaran.”

 

Apakah Syeikh Sulaiman ini sudah tobat ? 

Kelompok Wahabi-Salafi menyatakan, di akhir hayat Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab–kakak sekandung Muhamad bin Abdul Wahab–telah bertaubat dan menyesali segala yang telah di lakukannya sebagai penentang keras ajaran adiknya, Wahabisme.

Sebenarnya, penentangan yang dilakukan oleh Syeikh Sulaiman adalah nasehat kepada sang adik ,baik secara lisan maupun tertulis (risalah)

..Bukti-bukti konkrit yang kuat dan ilmiah telah beliau sampaikan kepada sang adik, namun ikhtiyar menerima kebenaran bukan terletak pada tangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab. 

 

Khairuddin az-Zarkali asal Syria bermazhab Wahabi-Salafi, dalam kitab al-A’lam jilid 3 hal.130 menyatakan, “Ada yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul-Wahab telah bertaubat atas penentangannya terhadap pemikiran adiknya, Muhamad bin Abdul-Wahab.” Namun sayangnya,, dalam buku ini az-Zarkali tidak berani memberi isyarat tentang kebenaran pernyataan taubatnya Syeikh Sulaiman, apalagi meyakininya dengan menyebut bukti-bukti konkrit. Hal itu, karena ketiadaan bukti yang konkrit serta otentik berkaitan dengan taubat Syeikh Sulaiman dalam penentangannya atas ajaran adiknya.

 

Ada lagi seorang penulis Wahabi lainnya ,Umar Ridho Kahalah asal Syria, pengarang kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” jilid 4 hal.269, yang menjelaskan tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab. Dalam kitab ini dan kitab “Idhoh al-Maknun” jilid 2 hal.72, menyebutkan juga karya Syeikh Sulaiman berjudul “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Mazhabal-Wahabiyah” (Petir-Petir Ilahi pada Mazhab Wahabisme).  

 

Dalam kitab Idhoh al-Maknun juga menyinggung kitab karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab lainnya yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab Muhamad bin Abdul Wahab” (Seruan Utama pada Mazhab Muhamad bin Abdul Wahab).

 

Surat panjang yang berjudul  “Fashlul Khitab min Kitab Rabbil Arbab, wa Hadis Rasulallah al-Malak al-Wahhab, wa kalaam Uli al-Albab fi Mazhab Muhamad bin Abdul Wahab” (Seruan Utama dari Kitab Penguasa dari segala penguasa–Allah jallajalaaluh– dan hadis utusan Maha Kuasa dan Maha Pemberi anugerah–Muhamad shallahu'alaihiwasallam–dan ungkapan pemilik akal sehat pada mazhab Muhamad bin Abdul Wahab), sudah beberapa kali dicetak di beberapa negara; di India pada tahun 1306 H, di Turki pada tahun 1399 H, di Mesir, Lebanon dan beberapa negara lainnya.        

 

Berikut, nama-nama dan judul kitab golongan Wahabi-Salafi kontemporer (tidak sezaman bahkan hidup jauh pasca Syeikh Sulaiman wafat), yang menulis dan mengarang-ngarang tentang taubatnya Syekh Sulaiman dari penentangan ajaran Wahabisme:  Ibnu Ghannam (Tarikh Nejed 1/143); Ibnu Bisyr (Unwan Majd hal. 25); Syaikh Mas’ud An-Nadawi (Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhlum 48-50); Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ta’liq Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab hal. 95); Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Abu Thami (Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab hal. 30); Syaikh Muhamad bin Sa’ad Asy Syuwa’ir (Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab Syaikh muftara ‘alaihi lihat majalah Buhuts Islamiyah edisi 60/1421H); Syaikh Nashir Abdul Karim Al-Aql (Islamiyah la Wahabiyah hal. 183); Syaikh Muhamad As-Sakakir (Al Imam Muhamad bin Abdul Wahab wa Manhajuhu fi Dakwah hal. 126); Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman Al-Huqail (Hayat Syaikh Muhamad bin Abdul Wahhab hal. 26. yang diberi kata pengantar oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh) dan lain-lain.

 

Padahal, kalau kita baca kitab Syeikh Sulaiman As-Shawa’iq al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahabiyah adalah merupakan surat teguran terhadap adiknya secara langsung. Adapun, kitab Syeikh Sulaiman yang berjudul Fashlul Khitab fi Mazhab Muhamad bin Abdul Wahab adalah surat yang ditujukan kepada Hasan bin ‘Idan, salah satu sahabat pendukung setia dan fanatik Muhamad bin Abdul Wahab. Dua karya yang berbeda dari Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab berfungsi sama yaitu, mengeritik ajaran Wahabisme, walaupun berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Kedua kitab tersebut memiliki argumentasi yang kuat dan ilmiah, baik dari Al-Quran, hadis maupun pendapat Salaf Saleh.

 

Pengakuan para ulama Wahabi-Salafi kontemporer yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman telah taubat, bahkan telah mengikuti dan menyokong ajaran adiknya (Wahabisme), adalah kebohongan yang di atas namakan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab. Semua itu, mereka lakukan tidak lain hanya untuk membersihkan pengaruh dan image negatif akibat pengingkaran kakak kandung pencetus Wahabisme.

Kenyataan yang ada, para pengikut Wahabi–khususnya para ulamanya yang berada di Saudi, Yaman dan Kuwait–sangat membenci Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab.

  

Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah

Dalam catatan sejarah, Muhamad Ibnu Abdul Wahab terkenal sebagai seorang yang amat mahir dalam bidang retorika. Kemahirannya ini mengakibatkan tidak sedikit orang menjulukinya sebagai “Syaikhul Islam”. Ajarannya yang paling terkenal adalah dibidang tauhid. Muhamad Ibnu Abdul Wahab membagi keyakinan tauhid menjadi dua macam: Tauhid Rububiyah dan Tauhid Ulu-hiyah. Bagi Muhamad Ibnu Abdul Wahab, tauhid rububiyah adalah hal yang diakui benar baik oleh kaum Muslim maupun non-Muslim. Adapun, tauhid uluhiyah dinilai Ibnu Abdul Wahab sebagai pembeda antara kekufuran dan keimanan.

 

Ibnu Abdul Wahab berkata, “Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini. Kaum Muslim harus tahu bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari keberadaan Allah Taáala sebagai Pencipta, Pemberi rezeki dan Pengatur.  Jika telah terbukti bagi anda orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya anda mengetahui bahwa perkataan anda, ‘Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah, tidaklah menjadikan diri anda seorang muslim sampai anda mengatakan: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah dengan mengikuti/disertai melaksanakan artinya’” (Muhamad bin Abdul Wahab, Fi Aqaid al-Islam, hal.38).

 

Tauhid Rububiyah

Kata ar-Rab dalam pandangan Wahabi diartikan sebagai Pencipta. Penerjemahan ar-Rab dengan “pencipta” adalah sesuatu yang tidak tepat. Arti kata ar-Rab, baik makna leksikal maupun dalam penggunaannya dalam Al-Quran, tidak keluar dari arti “Yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan”. Makna umum ini, sejalan dengan berbagai macam ekstensinya, seperti pendidikan, perbaikan, kekuasaan dan kepemilikan.

Coba perhatikan kutipan dua ayat Al-Quran berikut:

“Wahai manusia, sembahlah Rab-mu yang telah menciptakan kamu.” (QS Al Baqarah [2]: 21);  “Sebenarnya Rab kamu ialah Rab langit dan bumi yang telah menciptakannya” (QS Al-Anbiya [21]: 56).   

 

Jika kata ar-Rab berarti Pencipta, ayat-ayat  di atas tidak diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu atau kata yang telah menciptakannya. Karena jika tidak, berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita meletakkan kata al-Khaliq (Pencipta), sebagai ganti kata ar-Rabb pada kedua ayat di atas maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakan kamu dan kata yang telah menciptakannya. Sebaliknya, jika kita mengatakan arti kata ar-Rabb adalah Pengatur atau Pengelola maka disana tetap diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu dan kata yang telah menciptakannya.

 

Sehingga dengan demikian, makna atau arti ayat  pertama di atas, 'Sesungguh- nya Zat yang telah menciptakanmu,  Pengatur urusan kamu', sementara arti pada ayat kedua, “Sesungguhnya pencipta langit dan bumi, Penguasa dan Pengatur keduanya “.

Karena itu, perkataan Muhamad Ibnu Abdul Wahab yang berbunyi “Adapun tentang tauhid rububiyah, baik Muslim mau pun Kafir mengakuinya” adalah perkataan yang tidak tepat.

Al-Quran sendiri menyatakan,”Apakah aku akan mencari Rab selain Allah, padahal Dia adalah Rab bagi segala sesuatu” (QS Al-An’am [6]: 164). Firman Allah Ta'aala kepada Rasul-Nya ini tidak lain berarti agar beliau menyampaikan kepada kaumnya sebagai berikut: ‘Apakah engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rab, yang aku akui pengelolaan dan pengaturannya selain Allah, yang tidak ada pengatur selain-Nya sebagaimana engkau mengambil berhala berhalamu dan mengakui pengelolaan dan pengaturannya’.

 

Jika semua orang kafir mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya semata-mata milik Allah ,sebagaimana di katakan Muhamad bin Abdul Wahab, ayat diatas tidak mempunyai arti sama sekali dan tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rab selain Allah. Muhamad bin Abdul Wahab, menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyah tanpa melalui proses pengkajian. Akibatnya, kaum Wahabi begitu mudah mengkafirkan kaum non-Wahabi. Baik Al-Quran maupun Sunnah, tidak ada keterangan yang menyebutkan tentang adanya kaum musyrik beriman dengan tauhid rububiyah saja! Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa mereka itu bukanlah kaum beriman.

 

Ayat-ayat berikut–tentang keimanan kaum musyrikin–yang dikutip dalam kitab-kitab tafsir para ulama;

Surah al-Ankabut [29]:61,“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:” Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan” Tentu mereka akan menjawab:” Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).”

 

Al-Qurthubi berkata, maka betapakah mereka (dapat) di palingkan (dari jalan yang benar)’ maksudnya: Bagaimana mereka kafir dengan keesaan-Ku dan berbalik dari menyembah-Ku. Artinya: Sesungguhnya, mereka akan mengatakn jawaban itu dengan lisan mereka saja, ketika ditegakkan dalil-dalil atas mereka, sementara hakikatnya mereka tidak mengatakannya (tidak beriman).” [Tafsir al Jami’ Li Ahkam al Qur’an, 13/161.]

 

Surah Yunus [10]:31,“Katakanlah: ”Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang wafat dan mengeluarkan yang wafat dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada- Nya).”

 

Al-Qurthubi berkata,“..Maka mereka akan menjawab, Allah..” Sebab mereka meyakini, bahwa Sang pencipta adalah Allah . Atau mereka akan mengatakan Dia adalah, ‘Allah’, jika mereka mau berfikir dan bersikap obyektif.”[Ibid, 8/ 247].

Ibnu Athiyah berkata tentang ayat di atas, “Maka mereka akan menjawab, ’Allah’.” Tidak ada jalan bagi mereka, kecuali mengatakannya (tapi tidak beriman) dan mereka tidak dapat menentang dengan selainnya.[ Al Muharrar al Wajiz,9/38].

 

Imam al-Baidhawi berkata, Maka mereka akan menjawab, ’Allah’.” Sebab, mereka tidak dapat menentang dan membantah dalam masalah ini, mengingat begitu jelasnya bukti. [Anwar at tanzil,1/434. Keterangan serupa juga terdapat dalam tafsir Ruh al Ma’ani, jilid 7 juz 11, 161.]

 

Al-Gharnathi berkata tentang surah Yunus:31, “Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rezeki kepadamu..’.“ Ayat ini, berargumentasi atas kaum kafir dengan hujjah yang banyak lagi jelas, yang tiada jalan bagi mereka melainkan mengakui -nya.”[ At Tashil Li Ulum at tanzil,1/356.] 

 

Selain mereka, bisa kita temukan keterangan serupa dalam tafsir Fathu al-Qadir karya asy-Syaukani dan al-Jawahir al-Hisan karya ats-Tsa’alibi…, demikian juga keterangan mereka pada surah al Mu’minun [23]:84-92.

 

Ibnu Jarir at-Thabari, ketika menafsirkan surah al-Baqarah [2]:22, menukil dua pendapat, tentang siapa yang menjadi objek pembicaraan dalam firman Allah Swt, ”Karena itu, janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui” (bahwa tidak satupun dari para sekutu itu yang menciptakan kamu dan memberikan rezeki kepadamu).

Pendapat pertama, yang dimaksud adalah kaum Musyrik dan Ahlul Kitab. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Abbas r.a.

Pendapat kedua, Yang dimaksud hanya Ahlul Kitab. Ini pendapat, Mujahid dan dari generasi Salaf.

 

Selanjutnya Ibnu Jarir at-Thabari berkata, “Dalam hemat saya, yang mendorong Mujahid  menyandarkan objek pembicaraan hanya untuk Ahlul Kitab ,Taurat dan Injil, menganggap bangsa Arab tidak mengetahui bahwa Allah itu adalah Sang Pencipta, Pemberi Rezeki. Karena mereka mengingkari keesaan Tuhan dan mempersekutukanNya dalam penyembahan sesembahan lain. Ada juga, yang berpendapat demikian. Hanya saja, firman Allah Swt. dalam kitab-Nya, mereka itu mengakui ke Esaan Allah, tetapi mereka menyekutukan-Nya dalam penghambaan sesembahan-sesembahan lain.” [Tafsir Jami al Bayan, 1/164.]

 

Walaupun, at-Thabari  tidak memilih pendapat Mujahid, namun terbukti di kalangan ahli tafsir Salaf ada yang berpendapat seperti itu. Pengakuan mereka akan ke Mahapenciptaan dan ke Mahapengaturan Allah Ta'aala, tidak meniscayakan mereka mentauhidkan Allah dalam Rububiyah/Khaliqiyah, karena pada waktu yang sama mereka juga menyekutukan Allah dalam Rububiyah/Khaliqiyah! Mereka berkeyakinan, selain Allah sebagai Pencipta, Pengatur alam semesta dan sebagai Tuhan Akbar, ada pula tuhan-tuhan lain, yang memiliki kemandirian dalam menjalankan fungsi Rububiyah.

 

Berikut beberapa firman Allah Ta'aala yang menjelaskan keyakinan kaum Musyrik Arab, yang menyamakan sesembahan-sesembahan mereka dengan Allah jallajalaaluh:

“Dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat”, dan dikatakan kepada mereka:’Di manakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu selalu menyembah (nya), selain dari Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri? Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang orang yang sesat dan bala tentara iblis semuanya. Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka, demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.” (QS asy-Syuaraa  [26]:91- 98).

 

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS Yusuf [12]:106). Tentang ayat ini, Ibnu Jauzi dalam tafsirnya menerangkan, mereka yang di maksud bukanlah Mukmin sejatinya,…ia berkata, “Jika dikatakan, ‘bagaimana Allah mensifati si musyrik itu dengan keimanan?’  Maka jawabnya, ‘Sesungguhnya yang dimaksud, bukanlah hakikat keimanan akan tetapi maknanya. Meskipun kebanyakan dari mereka menampakkan keimanan (hanya) dengan lisan-lisannya, mereka itu adalah orang-orang musyrik.” [ Zad al Masir, 4/227.]

 

Ibnu Athiyah, menukil dari Ibnu Abbas r.a.; “Ayat itu untuk Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), mereka beriman kepada Allah, kemudian mereka menyekutukan  Nya dari sisi kekafiran mereka kepada nabi-Nya. Atau dari sisi perkataan mereka Uzair itu anak Tuhan, Isa anak Tuhan…”[ Al Muharrar al Wajiz,9/386- 387].

 

Ibnu Abi Hatim, menukil dua riwayat tentang tafsir ayat diatas. Ayat ini, berbicara tentang syirik ashqar/kecil. Maksudnya ialah riya’. Ia berkata, “….Dari Zakariya Ibnu Zurarah, ayahku bercerita kepadaku, ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Abu Jakfar Muhamad Ibnu Ali tentang ayat: ‘Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutu- kan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).’ Abu Jakfar berkata, ‘Syirik dalam ketaatan. Seperti ucapan seorang, ‘Anda bukan karena Allah, tapi karena si fulan.’” [Tafsir Abu Hatim 7/ 2208].

 

Ibnu Jarir at-Thabari berkata, “Tentang takwil firman Allah, –– ‘Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali mereka berbuat kesyirikan’ (QS Yusuf:106), Allah berfirman, ‘Dan kebanyakan mereka (yang disifati oleh Allah dengan firmanNya, ‘Dan banyak sekali tanda-tanda [kekuasaan Allah] di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya’)––, mereka tidak mengakui bahwasanya Allah Pencipta, Pemberi rizki dan Pencipta segala sesuatu, melainkan mereka berbuat kesyirikan kepada Allah dalam peribadatan kepada patung-patung. Mereka menjadikan selain Allah, sebagai tandingan bagi Allah dan menyangka bahwa Allah memiliki anak. Maha tinggi Allah, dari apa yang mereka ucapkan. Dan para ahli tafsir berpendapat seperti pendapat kami ini.”[Tafsir At Thabari 13/372].

 

Imam at-Thabari sadar tentang kemusyrikan mereka dalam penyembahan, meskipun mereka beriman tentang pengesaan Allah dalam urusan penciptaan dan pengaturan, bukanlah sebab  satu2nya. Disamping itu, mereka mengklaim bahwa Allah punya anak––Maha Suci Allah dari anggapan itu. Ini adalah akidah terburuk kaum Musyrik Arab. Allah jallajalaaluh berfirman dalam surah Maryam [19]: 88-93, 'Dan mereka berkata, Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.'

 

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat, ‘karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak’, mengatakan bahwa  Allah berfirman, ‘Langit-langit dan bumi serta gunung-gunung dan seluruh makhluk selain manusia dan jin benar-benar terkejut karena kemusyrikan itu dan hampir-hampir musnah, akibatnya karena kemaha Agungan Allah.’”[Tafsir Ibnu Katsir,3/146.]

 

Memang ada ayat yang artinya, ‘dan jika engkau bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah, maka bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah )’? (al-Zukhruf:87) Namun, ayat berikutnya menjelaskan bahwa mereka bukan kaum yang beriman. Firman Allah jallajalaaluh: ‘Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhamad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman. Maka berpalinglah (hai Muhamad) dari mereka...sampai akhir ayat‘ (al-Zukhruf:88, 89).  

 

Beragam ayat yang berbicara tentang akidah kaum musyrik Arab, Allah memiliki anak, misalnya dalam Surah Al-Baqarah ayat 116; Surah Yunus ayat 68; Surah al-Kahfi; An-Najm dan lain lain.

 

Dalam surah an-Najm [53]:19-23 menyebutkan nama-nama tuhan sesembahan yang mereka yakini sebagai “putri-putri” Tuhan. Firman Allah jallajalaaluh “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan. Yang demikian itu, tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”

 

Asy-Syaukani  tentang ayat, Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan–berkata, ‘Bagaimana kalian menjadikan bagi Allah sesuatu yang kalian benci untuk diri kamu sendiri, yaitu anak-anak perempuan. Kalian menjadikan untuk kalian apa-apa yang kalian sukai, berupa anak-anak lelaki. Hal demikian, karena klaim mereka bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah.’ [Tafsir Fathu al Qadir, 5/131.]

 

Al-Qurthubi berkata, “Dan barang siapa membolehkan untuk menjadikan malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah, berarti ia menjadikan para malaikat itu serupa dengan Allah. Sebab anak itu sejenis dan serupa dengan bapaknya.” [Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran,15/122].

 

Keterangan serupa, dijelaskan oleh an-Nasafi dalam tafsirnya. Ia berkata, “Kemudian Allah menekankan kebohongan mereka, dengan firman-Nya, ‘Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya” [Tafsir an-Nasafi,2/142].

Keterangan serupa juga disampaikan oleh al Alusi dalam tafsir Ruh al Ma’ani, jilid X juz, 18/90.

 

Baik al-qur’an maupun sunnah tidak ada menyebut bahwa orang-orang Musyrik beriman dengan tauhid rububiyah saja! Sebaliknya al-quran mengatakan dengan jelas, bahwa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiyah? Telah diketahui oleh kaum muslimin dari zaman dahulu banyak orang kafir tidak mengakui wujudnya Tuhan, apalagi mentauhidkan-Nya!

 

Sebenarnya, masih banyak lagi yang perlu dicantumkan disini, tapi Insya Allah pendapat sebagian ulama yang telah kami kemukakan, cukup jelas bahwa kaum Musyrik Arab itu menyekutukan Allah tidak hanya dalam  Uluhiyah semata, tetapi mereka juga menyekutukan Allah dalam Rububiyah-Nya! Mereka ini meyakini ,selain Allah sebagai Tuhan, juga ada tuhan-tuhan selain Allah. 

Jika golongan Wahabi-Salafi, tidak sependapat dengan pakar tafsir diatas, adalah hak mereka. Akan tetapi, mereka tidak berhak menganggap pilihannya adalah satu-satunya tafsiran dalam ayat-ayat tersebut, apalagi memaksa orang lain menerima pilihannya itu!

 

Sesuatu hal yang aneh, jika dalam sebuah masalah golongan wahabi membanggakan tafsir Salaf seperti; Ibnu Abbas r.a, Mujahid, Qatadah atau Imam Malik, namun ketika para salaf ini berseberangan dengan golongan ini dalam sebuah masalah atau dalam memahami ayat-ayat/hadis-hadis sifat, nukilan-nukilan dari mereka tidak digubris, bahkan nama-nama mereka segera di kesampingkan!

    

Tauhid Uluhiyah

Pandangan Muhamad Abdul Wahab mengenai tauhid uluhiyah, ibadah semata-mata hanya untuk Allah jallajalaaluh dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan di utusnya para Nabi dan para Rasul. Kita semua tidak ada keraguan sedikitpun tentang pemahaman ini. Namun, disana terdapat kekaburan mengenai istilah. Karena didalam Al-Quran, Allah jallajalaaluh bukanlah berarti al-ma’bud.

 

Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid ibadah. Namun, tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah sepakat mengenai pemahamannya. Kaum Muslimin sepakat, akan wajIbnya menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah Swt. dan hanya semata-mata kepada-Nya kita beribadah. Namun, yang menjadi perselisihan, mengenai batasan pengertian ibadah. Dan ini, merupakan sesuatu yang paling penting didalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi tempat tergelincirnya kaki golongan muslimin yang melarang tawasul/tabaruk, takzim/penghormatan kepada para Rasul dan para sholihin, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Praktik tawasul, tabaruk dan takzim itu dalam pandangan Wahabi-Salafi sama dengan menyembah selain Allah, sebuah kemusyrikan.

 

Tauhid yang murni ialah, beribadah hanya semata-mata kepada Allah Taáala. Ini tidak akan ada artinya jika kita tidak mendefenisikan terlebih dahulu pengertian ibadah, sehingga kita mengetahui batas-batasnya. Karena itu, akan menjadi tolok ukur untuk membedakan seorang muwahid (yang bertauhid) dan seorang musyrik.

 

Kaum Salafi-Wahabi menganggap, seluruh ketundukan, perendahan diri dan penghormatan adalah ibadah. Muhamad Ibnu Abdul  Wahab berkata pada salah satu risalahnya:

 “...Barangsiapa yang menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat atau para Rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau menghilangkan bahaya, dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Berarti dia, telah berdusta dengan ucapannya, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’. Dia harus diminta bertaubat. Jika dia bertaubat, dia akan dibebaskan; namun jika tidak, dia harus dibunuh.

 

Jika orang musyrik ini berkata, ‘Saya tidak bermaksud darinya kecuali hanya untuk bertabaruk, dan saya tahu bahwa Allah-lah yang memberikan manfaat dan mendatangkan madharat.’ Katakanlah kepadanya, ‘Sesungguhnya Bani-Israilpun tidak menghendaki kecuali apa yang kamu kehendaki’. Sebagaimana yang telah Allah jallajalaaluh beritakan tentang mereka. Yaitu manakala mereka telah berhasil menyeberangi laut, mereka mendatangi sebuah kaum yang tengah menyembah berhala mereka.

Kemudian Bani Israil berkata, ‘Hai Musa, buatkan lah untuk kami seorang Tuhan, sebagaimana Tuhan-Tuhan yang mereka miliki’, kemudian Musa berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.’” (‘Aqa’id al-Islam, kumpulan surat-surat Muhamad bin Abdul Wahab, hal. 26).

 

Muhamad bin Abdul Wahab berkata dalam risalahnya yang lain: “Barangsiapa yang bertabaruk kepada batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah dengan tujuan untuk bertabaruk (mengambil barokah) kepada mereka, berarti dia telah menjadikannya sebagai Tuhan-Tuhan yang lain”. (‘Aqa’id al-Islam Muhamad bin Abdul Wahab, hal.26).

 

Dalam Risalah Arba’ah Qawa’id (hal.4), Muhamad Abdul Wahab menulis: ’Sesungguhnya orang-orang musyrik dari kalangan kaum Muslim lebih keras kemusyrikannya dibandingkan kaum musyrik di zaman dulu. Karena kaum musyrik zaman dahulu hanya menyekutukan Allah di saat lapang, sementara di saat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini, sebagaimana firman Allah Swt.: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”(QS Al Ankabut [29]: 65).

 

Siapakah kaum Musyrik dari kalangan kaum Muslim? Muhamad Ibnu Abdul Wahab menulis: “Setiap orang yang bertawasul kepada Rasulllah shallahu 'alaihiwasallam dan para Ahlul-Baitnya, atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik. Kemusyrikan mereka jauh lebih besar daripada kemusyrikan para penyembah Lata,‘Uzza, Mana dan Hubal.”

 

Muhamad Sultan al-Ma‘shumi ,seorang ulama Wahabi-Salafi, memandang kaum Muslim yang sedang menziarahi kuburan Rasulallah shallahu'alaihi wasallam untuk bertabaruk kepada Nabi shallahu'alaihiwasallam sebagai berikut: “Pada kunjungan saya yang ke empat ke kota Madinah, saya menyaksikan di  Nabawi di sisi kuburan Rasulallah shallahu'alaihiwasallam yang mulia, banyak sekali terdapat hal-hal yang bertentangan dengan iman.

Hal-hal yang menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan ibadah. Yakni kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap berlebihan, kebodohan, taklid buta dan ta’asub yang batil. Sebagian besar yang melakukan kemunkaran-kemunkaran ini, orang-orang asing yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat agama. Mereka telah menjadikan kuburan Rasulallah shallahu'alaihiwasallam sebagai berhala disebabkan cinta yang berlebihan.”(Al–Musyahadat al-Ma‘shumiyah Inda Qabr Khair al-Bariyyah, hal.15).  

 

Golongan Wahabi-Salafi, menganggap bahwa setiap bentuk ketundukan atau perendahan diri seorang pada sesuatu (Nabi Allah, para sholihin dan sebagainya), orang tersebut dianggap sebagai hamba sesuatu tersebut, di lain kata dia telah  menyembahnya dan menyekutukan Allah. Menurut golongan ini, bila seorang yang menempuh perjalanan yang jauh dengan tujuan untuk menziarahi Rasulallah shallahu'alaihiwasallam, sehingga dapat mencium dan menyentuh makamnya yang suci, dengan tujuan bertabaruk (baca bab Tabaruk), maka dia terhitung sebagai orang kafir dan orang musyrik.

 

Sudah jelas, bagi orang yang berpendidikan agama akan menolak tegas pikiran si Syekh Muhamad bin Abdul Wahab dan Muhamad Sultan al-Ma’shumi ini. Dengan omongannya itu, mereka tidak bisa membedakan antara ibadah dan takzim/ penghormatan. Baik menurut syariat maupun akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata ketundukkan (khudhu’) dan perendahan diri (tadzallul) sebagai ibadah. Kita melihat banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia didalam kehidupan sehari-harinya yang disertai dengan ketundukkan dan perendahan diri. Contohnya; ketundukkan seorang murid kepada gurunya,  ketundukkan seorang prajurit yang berdiri hormat dan sebagainya dihadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang berani mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu sebagai ibadah.

 

Allah Ta'aala telah memerintahkan kita untuk menampakkan diri kepada kedua orang tua ketundukkan dan perendahan. Sebagaimana firman-Nya: “Dan turunkanlah sayapmu (rendahkan lah dirimu) di hadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang”. Kata “penurunan sayap” disini, merupakan kiasan dari ketundukan yang tinggi. Bahkan, pedoman seorang muslim adalah, “Tunduk dan merendahkan diri di hadapan seorang Mukmin, serta congkak dan meninggikan diri dihadapan orang kafir”. Sebagaimana Allah jallajalaaluh berfirman, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir”.

 

Jika semua perendahan diri dikatakan sebagai ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil !

 

Banyak ayat ilahi, dengan jelas berbicara tentang hal ini, antara lain ayat yang menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam álaihissalaam. Sujud adalah merupakan peringkat tertinggi dari khudhu’ (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan  diri). Allah  jallajalaaluh berfirman: “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada  para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam’”.(QS. al-Baqarah: 34).

 

Jika sujud kepada selain Allah jallajalaaluh dan penampakan puncak ketundukkan, perendahan diri itu disebut ibadah, tentu para malaikat ,na’udzubillah, telah musyrik dan kafir. Banyak ahli tafsir menulis, makna sujud di ayat tersebut, sujud penghormatan (takzim) tinggi  terhadap Adam álaihissalaam, bukan sujud ibadah. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa kata ‘sujud’ didalam ayat ini, berarti makna hakiki yakni penyembahan. Seandainya arti sujud kepada Adam sebagai penyembahan maka tidak ada alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes.

Iblis memahami perintah Allah Swt. tersebut, sujud kepada diri Adam itu sendiri (sebagai takzim). Karena itu, dia protes dengan mengatakan,  ‘saya lebih baik/ utama darinya’ atau ‘Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?’. (QS. al-Isra: 61). Bagaimana mungkin seorang yang merasa dirinya lebih utama (sombong) harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama ?

 

Berikut, kami nukil dialog mengenai sujudnya Malaikat untuk Nabi Adam, ”Pada suatu hari seorang ulama Wahabi-Salafi ,pemimpin jama’ah Ansharus-Sunnah dikota Barbar kawasan utara Sudan, pernah memprotes seorang mazhab ahlus sunnah berkenaan dengan pembahasan ini. Dia (pemimpin jama’ah) mengatakan; ‘Sesungguhnya sujudnya malaikat kepada Adam di karenakan perintah Allah jallaajalaaluh’. Seorang ahlus sunnah bertanya padanya, ‘Jika demikian, berarti anda tetap bersikeras bahwa sujud tersebut termasuk kategori syirik, namun Allah jallaajalaaluh memerintahkannya’. Syekh ini menjawab: ‘Ya’.

 

Dia bertanya lagi kepadanya, ‘Apakah perintah Ilahi ini telah mengeluarkan sujudnya malaikat kepada Adam dari katagori syirik?’.Si Syekh menjawab, ‘Ya’.  Orang tersebut berkata, “Ini perkataan yang tidak berdasar, tidak akan diterima oleh orang yang bodoh sekalipun, apalagi oleh orang yang berilmu. Karena, perintah Ilahi tidak dapat mengubah esensi sesuatu. Sebagai contoh, esensi dari celaan dan caci maki ialah penghinaan. Jika Allah memerintahkan kita untuk mencela Fir’aun, perintah Ilahi ini tidak dapat mengubah esensi celaan menjadi pujian dan penghormatan bagi Fir’aun. Demikian juga sujud yang dikarenakn perintah Allah akan berubah (dari kemusyrikan) menjadi tauhid yang murni. Ini mustahil !

 

Dengan perkataan ini berarti anda telah menuduh para malaikat telah berbuat syirik, namun perbuatan syirik yang telah di izinkan dan di perintahkan oleh Allah jallaajalaaluh! ” Perkataan semacam ini, tidak mungkin dikatakan oleh seorang Muslim yang berakal sehat, dan jelas-jelas tertolak berdasarkan firman Allah jallaajalaaluh, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?’” (QS. al-A’raf (7):28). Dengan jawaban seorang tersebut, si Syekh ini tidak berkomentar lagi.

 

Al-Qur’an al-Karim juga telah memberitahukan kita akan sujudnya saudara-saudara Yusuf (QS. Yusuf [12]:100) dan juga ayahnya kepada dirinya. Sujud yang mereka lakukan ini bukan karena perintah Allah dan Allah Ta'aala tidak menyebutnya sebagai perbuatan syirik atau menuduh saudara-saudara Yusuf,  ayahnya telah melakukan perbuatan syirik. Jelas sudah, arti sujud diayat ini yaitu perbuatan yang menampakkan ketundukkan, perendahan diri dan pengagungan, jadi bukanlah ibadah.

 

Atas dasar ini pula, kita tidak bisa menuduh atau menjuluki seorang Muslim muwahhid (bertauhid) yang tunduk dan merendahkan diri dihadapan makam Rasulallah, para imam dan  para wali, sebagai orang musyrik yang menyembah kuburan. Karena, ketundukkan bukanlah berarti ibadah atau penyembahan! Bila perbuatan yang semacam ini dikatagorikan sebagai perbuatan ibadah kepada kuburan, kita juga harus konsekwen mengatakan, amal perbuatan kaum muslimin pada manasik haji–tawaf mengelilingi Ka’bah, melakukan sa’i antara shafa-marwa, mencium  batu hajar aswad dan lain sebagainya–termasuk ibadah dan perbuatan syirk. (Na’udzu billahi). Karena dilihat dari bentuk zahir/ lahir perbuatan-perbuatan ini tidak berbeda dengan perbuatan mengelilingi, mencium, menyentuh kuburan Rasulallah shallahu'alaihi wasallam dan  para waliyullah.

 

Terdapat kecenderungan kuat, bagi kaum Wahabi-Salafi definisi ibadah hanya berurusan dengan bentuk lahiriyahnya saja. Ketika mereka melihat seorang peziarah pusara Rasulallah dan menciumi pusaranya shallahu'alaihiwasallam atau makam para waliyullah, dengan serta merta terbayang di dalam benak mereka, seorang musyrik yang menciumi berhalanya. Lalu, dengan segera mereka memvonis, seorang Muslim yang menciumi kuburan sebagai seorang musyrik. Pikiran seperti itu adalah keliru. Jika semata-mata bentuk lahiriyah menjadi sandaran utama untuk menetapkan kesyirikan atau kekufuran, tentu kaum Wahabi pun harus mengkafirkan pula seluruh kaum Muslim yang mencium hajar aswad. Tentu kenyataannya tidak demikian! Kaum Muslim yang mencium hajar aswad, perbuatannya itu dihitung sebagai salah satu bentuk eskpresi tauhid murni.

 

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis:

Usamah bin Zaid r.a. telah membunuh seorang pimpinan laskar kafir yang telah terjatuh pedangnya. Si kafir kala itu dengan wajah tidak serius mengucap syahadat. Namun Usamah tetap menebas lehernya. Mendengar kejadian itu, Rasulallah shallahu'alaihiwasallam sedemikian murka. Lalu memanggil Usamah, seraya bersabda: “Apakah engkau membunuhnya padahal dia telah berucap la ilaha illallah?” Usamah r.a. menjawab: “Kafir itu hanya bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulallah.” Beliau shallahu'alaihiwasallam bangkit dari duduknya dengan wajah merah padam dan membentak Usamah: “Apakah engkau telah belah sanubarinya, hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan ini diulangi tiga kali)? … sampai akhir hadis. Wallahua’lam. Silahkan ikuti kajian berikutnya.

 

Tolok ukur Tauhid dan Syirik

Kelompok Salafi-Wahabi percaya bahwa Al-Quran dan Sunnah hanya bisa di artikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal, dan tidak ada arti majazi atau kiasan didalamnya. Pada kenyataannya, terdapat ayat Al-Quran yang mempunyai arti harfiah dan arti majazi, yang mana kata-kata Allah Subhaanahuu wata'aala harus di artikan sesuai dengannya. Jika kita, tidak dapat membedakan di antara keduanya, kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Quran.

Dengan adanya keyakinan seluruh kandungan Al-Quran dan Sunnah secara tekstual atau literal dan jauh dari makna majazi, akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah Subhaanahuwata'alaa (umpama Dia jallaajalaaluh mempunyai tangan, kaki, mata, kursi di Arsy untuk tempat dudukNya dan lain-lain seperti makhluk-Nya). Hal ini, telah membuat banyak fitnah di antara umat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari mazhab ahlus sunnah wal jamaah. Kelompok ini, hanya berjalan atas tiga komposisi yaitu; Syirik, Bid’ah dan Haram.

 

Mengartikan ayat-ayat Ilahi dan Sunnah secara tekstual, akan secara otomatis menolak atau menyembunyikan bagian dari Al-Quran maupun Sunnah yang berlawanan dengan keyakinan kaum Wahabi-Salafi. Mereka juga kadangkala kerepotan/kebingungan untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadis Rasulallah yang (kelihatannya) berlawanan, mencari jalan sedapat mungkin agar yang berlawanan ini sampai sesuai dengan keyakinannya.

 

Umpamanya, mereka berdalil dengan surah Al-Fatihah:5, ‘Hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu kami memohon pertolongan’ atau berdalil ayat-ayat berikut ini:

‘Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.’  (QS [50] : 16); ‘Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran’.(QS Al-Baqarah :186);

‘....maka janganlah kamu berdoa (menyembah) kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang’.  (QS[72]: 18);  ‘Hanya bagi Allah-lah (yang berhak mengabulkan) doa yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka’. (QS Ar Ra’ad :14);

 

Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at  selain Allah. Katakanlah; ‘Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?”. Katakanlah: ‘Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya lah kamu di kembalikan’ “.(QS Az-Zumar [39]: 43-44) dan ayat-ayat yang serupa.

 

Begitu pula mereka berdalil dengan hadis riwayat Imam Tirmudzi dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasullah  shallahu'alaihiwasallam bersabda:

     إذَا سَألْتَ فَاسْألِ اللهَ, وَإذَا اسْتَعَـنْتَ فَاسْتَتعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ أنَّ الاُمَّـةَ  لَو اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََـعُوْكَ بِشَيْئٍ  لَمْ  يَنْفَـَعُوكَ  إلاَّ بِشَـيْئٍ  قَدْ  كَتَبهُ اللهُ لَكَ, وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَليْـَكَ                                 

“Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah. Jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimu mereka tidak akan dapat mencelakakan kamu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu.”

 

Dengan berdalil ayat-ayat dan hadis diatas, dan mengenyampingkan ayat-ayat lainnya, golongan Wahabi-Salafi berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Allah-lah yang bisa dimohoni secara langsung. Dan telah Syirik jika berkeyakinan bahwa Allah mempunyai beberapa perantara antara Dia dan mahluk-Nya. Mereka berkata; Apakah Allah tuli–Na’udzubillah–sehingga Dia tidak bisa mendengar kita secara langsung? Apakah Dia buta sehingga Dia tidak bisa melihat kita?

 

Dengan memahami ayat-ayat dan hadis diatas secara tekstual, akibatnya mereka berani mensyrikkan orang yang minta tolong atau pelindung pada Rasulallah Saw. atau hamba-hamba Allah yang saleh. Padahal makna ayat-ayat dan hadis itu, manusia tidak boleh lupa bahwa sebab utama yang melindungi dan menolong manusia adalah Allah 

 

Bila kita tetap mempunyai faham seperti kaum Wahabi, pastilah akan kerepotan untuk memahami beberapa ayat Al-Quran dan hadis berikut, yang kelihatannya berlawanan dengan ayat-ayat diatas,

Sesungguhnya penolong kamu (Waliukum) adalah Allah, dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk/rukuk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah, itulah yang pasti menang”. (QS Al-Maidah [5]: 55-56);

 

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”.(QSAt-Tahrim [66]: 4);

”Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang lalim penduduk- nya dan berilah kami pelindung (waliyan) dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong (nashira) dari sisi Engkau”. (QS An-Nisaa [4]:75).

 

Sementara dalam hadis riwayat Imam Muslim dan lainnya,  Rasulallah shallahu 'alaihi wasallam bersabda:

               وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ             

'…Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya’.

Kalau kita baca ayat An-Nisa diatas, manakala Allah cukup sebagai Pelindung (waliyan) dan Penolong (Nasiran), mengapa orang memohon kepada Allah supaya orang lain (yang disisi-Nya) menjadi Pelindungnya dan Penolongnya?

 

Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah, ketika kita percaya bahwa Jibril 'alaihissalaam, orang beriman dan para malaikat sebagai Pelindung kita dan Penolong bersama-sama dengan Allah jallajalaaluh? Apakah Allah bukan satu-satunya Wali (penolong) karena disamping Dia, ada Penolong lainnya? Apakah tidak cukup hanyaa Allah sebagai penolong? Jika kita tetap memakai pengertian Syirik ,faham Wahabi, secara otomatis dengan membaca ayat-ayatNya telah membuat Allah sendiri Musyrik-na‘udzubillah-begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Quran.

 

Kaum Wahabi-Salafi mengatakan, “Tidak ada Perantara antara Allah dan hambaNya. Padahal, Allah jallaajalaaluh berfirman, ‘Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhamad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ ”.(QS An-Nisaa[4]:64).

 

Semua ahli tafsir (Mufassirin) termasuk golongan Salafi/ Wahabi setuju, ayat ini diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan yang kemudian mereka sadar atas kesalahannya dan ingin bertaubat. Mereka meminta ampun secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana kita memahami firman Allah dalam hal ini; 

 

Allah menolak untuk menerima permohonan ampun secara langsung, tapi Allah memerintahkan mereka untuk terlebih dahulu mendatangi Rasulallah Saw. dan kemudian beliau Saw. memintakan ampun kepada Allah jallaajalaaluh; Allah memerintahkan sahabat untuk bersikap seperti yang di perintahkan, menyertakan Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dalam permohonan ampun mereka, hanya setelah melakukan ini, mereka akan benar-benar mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.

 

Sebenarnya, terdapat sepuluh ayat dalam Al-Quran yang mana Allah Subhaanahuwata'alaa menyatakan bahwa hanya Dialah sebagai satu-satunya perantara. Dan terdapat tujuh ayat dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa Rasulallah, orang-orang saleh dan malaikat dapat menjadi perantara atas izin Allah.

 

Coba perhatikan ayat-ayat berikut ini ;

Allah jallaajalaaluh telah berfirman tentang sebab-sebab, sebagian menisbatkan langsung kepada-Nya dan ada kalanya menisbatkan kepada yang menjadi sebab -sebabnya secara langsung. Berikut ini adalah beberapa contoh firman Allah jallaajalaaluh;

“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” Ayat ini, menekankan bahwa rezeki berada ditangan Allah subhaanahuwata'aala. Pada ayat yang lain, “Berilah mereka rezeki (belanja) dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik,” Disini kita melihat rezeki dinisbatkan kepada manusia.

 

Allah menyatakan diri-Nya sebagai Penanam yang hakiki, sebagaimana firman Allah;

           اَفَرَءَيْتُمْ مَا تَحْرُثُوْنِ , ءَاَنْتُمْ تَزْرَعُوْنَهُ اَمْ نَحْنُ الزَّارِعُوْنَ 

“Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu tanam? Kamukah, yang menanamnya ataukah Kami yang menanamnya?” (QS. al-Waqi'ah [56]: 63–64). Namun, pada ayat yang lain, Allah menisbahkan sifat penanaman tersebut kepada manusia, sebagaimana firman-Nya, ...يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الكُفَّارَ... 

Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya.”(QS.Al-Fath [48]: 29).

 

Pada sebuah ayat, Allah jallaajalaaluh menyatakan diri-Nya sebagai pencabut nyawa, “Allah memegang jiwa (orang) ketika wafatnya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum wafat di waktu tidurnya.” (QS. Az-Zumar [39]:42).

Sementara pada ayat lain Allah menjelaskan, bahwa mencabut nyawa adalah tugas malaikat. Allah jallaajalaaluh berfirman: “Sehingga apabila datang kewafatan kepada salah seorang diantara kamu, dia di wafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (QS. al-An'am [6]:61). Atau firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang di wafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri… sampai akhir ayat.” (QS. an-Nisa’: [4]:97).

 

Pada sebuah ayat Allah jallaajalaaluh menyatakan, bahwa syafa’at hanya khusus milik Allah, sebagaimana firman-Nya, “Katakan lah, hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya" (QS. az-Zumar [39]:44). Sementara pada ayat lain, Allah memberitahukan tentang adanya para pemberi syafa’at selain Allah, sebagaimana firmanNya, “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka  sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya.” (QS. an-Najm [53]: 26). Ayat ini menyatakan bahwa hamba Allah jallaajalaaluh bisa memberi syafa’at setelah di-izinkan Allah.

Begitu juga telah diketahui oleh kaum muslimin bahwa Rasulallah shallahu 'alaihiwasallam telah diberi wewenang oleh Allah Swt. untuk memberi syafa’at kepada umatnya.

 

Pada sebuah ayat, Allah menyatakan bahwa pengetahuan tentang hal-hal yang gaib adalah khusus milik Allah,. firman-Nya;

            قُلْ لاَيَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالاَرْضِ الغَيْبَ الاَّ اللهُ          

"Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun dilangit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah.' " (QS. an-Naml [27]: 65).

Sementara pada ayat lain, Allah memilih para Rasul diantara hamba-hamba-Nya, untuk di perlihatkan kepada mereka hal-hal yang gaib. Allah jallaajalaaluh berfirman: 

          وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَي الغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رَسُوْلِهِ مَنْ يَشَاءُ

‘Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara para Rasul-Nya.’ (QS. Ali Imran [3]:179).

Sudah tentu, Rasulallah shallahu'alaihiwasallam berada pada urutan pertama dari para Rasul lainnya. Dan masih ada ayat-ayat lain yang serupa.

 

Begitu pula beberapa ayat, Allah jallaajalaaluh menyatakan, pengampunan bisa di mohonkan pula  melalui hamba-Nya,...:

“Karena itu maafkanlah  mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka” (Ali Imran [3] :159); ‘....maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ (An-Nur [24] : 62); 

“ ..., maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Mumtahanah [60]:12 ), dan ayat-ayat yang semakna (QS.Al-Munafiqun (63):5-6;  QS. Muhamad (47):19, dll.).

 

Allah jallaajalaaluh menyatakan, disamping Dia, Rasulallah shallahu'alaihi wasallam diberi izin memberi Karunia“Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, …sampai akhir ayat(At Taubah [9]:59). Atau ayat, “….kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka….”.(At-Taubah [9]:74).

 

Apakah kita telah syirik dengan mengatakan, Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dapat memberikan Karunia bersama dengan Allah?  Ayat-ayat seperti diatas, bertentangan langsung dengan faham golongan Wahabi-Salafi tentang Syirik, mereka berusaha menolak dan mengenyampingkannya, karena takut orang-orang akan  menjadi syirik!

 

Nah, secara sekilas, ayat-ayat yang telah kami kemukakan  terkesan bertentangan, namun sesungguhnya ayat-ayat di atas menguatkan pembahasan kita, hanya Allah jallaajalaaluh yang merdeka dalam melakukan segala sesuatu. Adapun, selain Allah dalam melakukan perbuatannya mereka semua bersandar dan berada di bawah naungan kekuasaan Allah. Allah jallaa jalaaluh telah meringkas pengertian ini dalam firman-Nya;

               وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar."(QS. al-Anfal [8]: 17)

 

Allah menyatakan, Rasulallah shallahu'alaihiwasallam yang telah melempar, dengan kata-kata ketika kamu melempar. Namun, pada saat yang sama Allah menyatakan diri-Nya sebagai Pelempar yang sesungguhnya, karena sesungguh- nya Rasulallah shallahu'alaihiwasallam tidak melempar, melainkan dengan kekuatan yang telah Allah berikan kepadanya. Sehingga dengan begitu, Rasulallah shallahu'alaihiwasallam adalah pelempar ikutan (bittaba’)Dengan demikian, kita dapat membagi perbuatan Allah kepada dua bagian: Pertama, Perbuatan tanpa perantara (kun fayakun). Kedua,  Perbuatan dengan perantara.

 

Berikut, ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah jallaajalaaluh; Karim, Rahim, Rouuf, dinisbatkan pula kepada  Rasul-Nya, ‘Sesungguhnya Al-Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia (Kariim)’  (Al-Haqqah [69]:40); “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang (Rouufun Rahiim) terhadap orang-orang mukmin”. (At-Taubah [9]:128 ).

 

Sifat Rouuf ,pada ayat diatas ini, yang hakiki/literal hanya bagi Alah Subhaanahuwata'alaa, namun sifat rouuf ini juga dinisbatkan hanya kepada junjungan kita Rasullah shallahu'alaihiwasallam tidak kepada para Rasul lainnya. Kata-kata Karim , Rouf, Rahiim dan sifat-sifat Allah yang lain (qawi, halim...) yang disebutkan di Al-Quran, ketika disifatkan kepada Allah jallaajalaaluh merupakan arti literal atau arti sebenarnya dan ketika disifatkan kepada para Rasul-Nya mengandung arti kiasan/majaz.

Apakah kita telah syirik dengan mengatakan bahwa Rasul shallahu'alaihiwasallam adalah  Rohim, Rouf? Sudah tentu  tidak!

 

Kaum Sunni membolehkan memohon kepada Allah melalui Rasul-Nya atau melalui orang yang saleh. Bagi kaum Sunni, bertawasul kepada Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dan kaum beriman bukanlah berarti permohonan kepada hamba-Nya. Itu hanya merupakan cara yang baik untuk sampai kepada Allah Subhaanahuwataáala. Tema ini, akan dibahas lebih jauh dalam bab Tawasul/Tabarruk di site ini. 

 

Kelompok Wahabi-Salafi membolehkan bertawasul kepada sebab-sebab yang alami dan menolak keras bertawasul kepada sebab-sebab gaib. Golongan ini, menjadikan sebab-sebab materi berarti tauhid yang sesungguhnya dan sebab-sebab gaib berarti syirik yang sebenarnya.

Sebenarnya tolok ukur tauhid dan syirik kembali kepada keyakinan manusia terhadap sebab-sebab ini. Jika seorang manusia meyakini, bahwa sebab-sebab ini mempunyai kemerdekaan yang terlepas dari kekuasaan Allah Taáala, maka keyakinannya ini syirik. Misalnya, seseorang meyakini obat tertentu dapat menyembuhkan sebuah penyakit, tanpa ada kaitan dengan kekuasaan Allah subhaanahuuwata'aala, perbuatan ini syirik, meskipun itu melalui sebab-sebab alami atau gaib.

 

Jika seseorang meyakini bahwa semua sebab tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah–baik dalam wujud maupun pengaruhnya–dan dia itu tidak lebih hanya merupakan makhluk Allah jallaajalaaluh yang menjalankan perintah dan kehendak Allah, keyakinan orang ini adalah tauhid yang sesungguhnya.

 

Golongan Pengingkar ini tidak siap dan menolak penggunaan ungkapan secara kiasan/majaz! Coba  perhatikan firman Allah subhaanahuuwata'aala,”... sungguh tuanku (Robbi) telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang lalim tiada akan beruntung’. (QS Yusuf (12):23).         

Kata Robbi dalam surah Yusuf ini, sebagai ungkapan majazi/kiasan dalam Al-Quran, karena jelas kata Robbi yang diucapkan oleh Nabi Yusuf 'alaihissalaam ditujukan kepada penguasa Mesir. Untuk lebih jelasnya, kita bisa baca ayat sebelumnya (QS Yusuf: 21) yang berkaitan dengan ayat 23 diatas. Semua Mufasirin (ahli tafsir) mempunyai penafsiran yang sama tentang ayat ini. Ayat ini, secara tidak langsung bertentangan dengan keyakinan golongan wahabi-salafi  mengenai Tauhid dan literalisme.

 

Maulana Maududi ,seorang ulama dari Pakistan, dalam kitab tafsirnya yang terkenal Tafhimul Quran, berusaha untuk merubah arti ayat tersebut supaya sesuai dengan keyakinannya dan ke yakinan teman-temannya golongan salafi. Dia menulis dalam bahasa Inggris, yang terjemahan bebasnya, “Pada umumnya para ahli tafsir (telah membuat kesalahan dan beranggapan) bahwa Yusuf menggunakan kata ‘robbi’ sebagai sebutan pada penguasa Mesir saat itu, bagaimana mungkin beliau 'alaihissalaam berhubungan intim (selingkuh) dengan isteri sang penguasa, yang tentunya hal ini bertentangan dengan loyalitasnya. Tetapi, tidaklah mungkin bagi para Rasul melakukan dosa demi orang lain daripada demi Allah. Dan juga tidak ada contoh didalam Al-Quran seorang Rasul yang menyebut selain Allah dengan sebutan ‘Robbi’ ”.

Pernyataan beliau ini tidak konsekwen, karena Al-Quran telah jelas dalam masalah ini dan hampir tidak satupun ahli tafsir mulai abad pertama hijriah hingga abad ini yang memahami ayat diatas seperti pendapat Maulana Maududi. 

 

Begitu pula dalam masalah tawasul, Maulana Maududi ini lebih extrim daripada golongan Salafi, Arab Saudi.  Beliau merubah arti firman Allah subhaanahuu wata'aala dalam Surah Thaha [20]:96, ‘Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, aku ambil segenggam dari jejak Rasul, lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku’.

Hampir semua hadis Rasulallah shallahu'alaihiwasallam menginformasikan, yang dimaksud dengan Rasul dalam ayat diatas, adalah malaikat Jibril álahis salaam. Semua ahli tafsir dari abad pertama tahun Hijriah hingga sekarang menerima yang adanya barokah dalam jejak Jibril álahissalaam. Pemerintah Arab Saudi menerbitkan Al-Quran dalam bahasa Urdu yang mengakui tentang barokah ini.  Maulana Maududi, berusaha keras merubah arti ayat dan menolak untuk menerima tentang barokah dalam ayat ini, karena bertentangan dengan keyakinannya!

 

Dengan meniadakan arti majaz dalam Al-Quran, kelompok Wahabi juga melontarkan kata-kata Syirik kepada para ulama–para penyair atau pengarang kitab-kitab: Diba’, Barzanji,  Burdah dan lain-lain–yang didalam bait-bait syairnya tertulis sifat-sifat  Allah subhaanahuuwata'aalaa (Pengampun, Penolong, Pengabul hajat dan sebagainya) yang ditujukan pada Rasulallah shallahu'alaihiwasallam .

Para penyair, pembaca serta pendengar syair itu tahu benar sebab utama yang memberi perlindungan, pertolongan adalah Allah jallaajalaaluh, sedangkan Malaikat, Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dan hamba-Nya yang saleh termasuk didalamnya atas izin-Nya.

 

Apakah kemampuan atau ketidak-mampuan merupakan tolok ukur Tauhid& Syirik? 

Mengkhususkan tema ini, kelompok wahabi-salafi mempunyai paham yang lain dalam masalah tauhid dan syirik dan ini persis sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.

Mereka menetapkan bahwa salah satu dari tolok ukur tauhid dan syirik adanya kemampuan atau ketidak-mampuan orang yang di minta pertolongan untuk merealisasikan kebutuhan yang diminta. Jika dia mampu tidak ada masalah, namun jika tidak mampu maka itu syirik. Sungguh ini merupakan kesalahan yang nyata. Masalah ini sama sekali tidak pengaruh dalam masalah tauhid dan syirik, melainkan hanya merupakan pembahasan tentang bermanfaat atau tidak bermanfaatnya permintaan.

 

Dengan pemahaman seperti ini, golongan Wahabi sering menghardik para peziarah Rasulallah dengan mengatakan, “Hai musyrik, Rasulallah tidak memberikan manfaat sedikit pun kepadamu.” Pikiran seperti ini, sangat naif sekali. Sebenarnya masalah manfaat atau tidak, tidak memberikan pengaruh didalam masalah tauhid dan syirik.

 

Pandangan Wahabi-Salafi ini, meneruskan pandangan Ibnul Qayim–murid Ibnu Taimiyah–yang mengatakan, “Salah satu di antara bentuk syirik, ialah meminta kebutuhan dari orang yang telah wafat, serta memohon pertolongan dan menghadap kepada mereka. Inilah asal mula syirik yang ada di alam ini. Karena sesungguhnya orang yang telah wafat telah terputus amal perbuatan- nya. Mereka tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya dan manfaat bagi dirinya.” (Mufid bin Abdul Wahab, Fath al-Majid, hal. 67).

 

Bagaimana mungkin permintaan sesuatu dari orang yang masih hidup di katakan tauhid, sementara permintaan sesuatu yang sama dari orang yang telah wafat dikatakan syirik? Seandainya benar, itu tidak lebih memiliki arti hanya menetapkan bahwa meminta dari orang yang wafat tidak bermanfaat, namun tidak bisa menetapkan bahwa perbuatan itu syirik.

 

Adapun, perkataan beliau yang berbunyi, ‘Orang yang telah wafat tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya atau manfaat bagi dirinya’, ini adalah merupakan perkataan umum, mencakup untuk semua manusia baik yang telah wafat maupun yang masih hidup. Karena seluruh makhluk ,baik yang hidup maupun yang wafat, tidak memiliki sedikitpun ke kuasaan atas dirinya dan hanya memiliki kekuasaan atas dirinya semata-mata dengan izin dan kehendak Allah subhaanahuuwata'aala.

 

Dengan adanya semua keterangan diatas, kelompok wahabi-salafi disatu sisi mereka mengatakan orang harus langsung minta pada Allah, disisi lain mereka mengatakan boleh memohon melalui hamba Allah selama mereka masih hidup serta mampu untuk menolongnya. Ini semua, taktik golongan wahabi-salafi sendiri, karena ini adalah cara paling aman bagi mereka untuk menghindari pertentangan yang ada pada paham atau keyakinan mereka.

 

Dengan adanya semua keterangan diatas, kita bisa ambil kesimpulan bahwa Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dan para sahabat bukan dari golongan Salafi /Wahabi, di sebabkan:

Para sahabat sering menjadikan Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dan hamba yang saleh sebagai perantara antara Allah dan mereka. Para sahabat sering memerlukan Nabi shallahu'alaihiwasallam untuk memohonkan perlindungan dan pengampunan dari Allah subhaanahuuwata'aala, walaupun Allah sendiri sanggup mendengar setiap ucapan dan panggilan para sahabat tersebut dan Dia juga lebih dekat di banding urat lehernya (para hamba-Nya). Rasulallah shallahu'alaihiwasallam tidak menolak permohonan para sahabat dan tidak bersabda kepada para sahabat: ‘Pergilah dan mintalah pada Allah secara langsung’!

 

Mengafirkan Kaum Muslimin Non-Wahabi

Kaum Wahabi-Salafi mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya pemilik ajaran tauhid. Mereka tidak mengakui konsep tauhid dari ulama lain. Bahkan, dengan tegas mereka mengkafirkannya. Beberapa kutipan dari karya Abdurrahman bin Muhamad bin Qasim al-Hanbali an-Najdi yang berjudul “Ad-Durar as-Saniyah” mungkin bisa sedikit membantu memahami klaim golongan ini. Di dalamnya diungkapkan mengenai sejumlah ungkapan Muhamad bin Abdul Wahab tentang klaim kekufuran konsep tauhid non-Wahabi. Bahkan, berulang kali menegaskan bahwa selain konsep tauhid mereka adalah hal batil yang harus diperangi.

 

Di sebuah kesempatan, Muhamad Ibnu Abdul Wahab mengungkapkan:

“…Dahulu, aku tidak memahami arti dari ungkapan la ilaha illallah. Kala itu, aku juga tidak memahami apa itu agama Islam. (Semua itu) sebelum datangnya anugerah kebaikan yang Allah berikan (kepadaku). Begitu pula para guru (ku), tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Atas dasar itu, setiap ulama ’al-Aridh’ yang mengaku memahami arti la ilaha illallah, atau mengerti makna agama Islam sebelum masa ini (yakni sebelum masa anugerah Allah kepada Muhamad bin Abdul Wahab, red) atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahui hal tersebut, maka ia telah melakukan kebohongan dan penipuan.” (Ad-Durar as-Saniyah, jilid 10 hal.51).

 

Ungkapan itu, menunjukkan Muhamad bin Abdul Wahab menafikan pemahaman ulama lain tentang konsep tauhid. Termasuk guru-gurunya sendiri dari mazhab Hanbali, apalagi dari mazhab lain. Dia menuduh para ulama lain sebagai tidak memahami konsep tauhid dan hanya menyebarkan ajaran yang batil.

 

Di kitab Ad-Durar Saniyah disebutkan; “Mereka (ulama Islam) tidak bisa membedakan antara agama Muhamad dan agama ‘Amr bin Lahyi’, yang di ciptakan untuk di-ikuti orang Arab. Bahkan menurut mereka, agama ‘Amr, adalah agama yang benar.” (Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal.51).  

 

Siapakah gerangan Amr bin Lahyi itu? Dalam kitab sejarah karya Ibnu Hisyam disebutkan, “Ia (Amr) adalah pribadi yang pertama kali pembawa ajaran penyembah berhala ke Makkah dan sekitarnya. Dahulu, ia pernah pergi ke Syam dan melihat masyarakat Syam menyembah berhala. Melihat hal itu, ia bertanya dan dijawab: ‘Berhala-berhala inilah, yang kami sembah. Setiap kali kami menginginkan hujan dan pertolongan, merekalah yang menganugerah-kannya kepada kami, dan memberi kami perlindungan’.

 

Kemudian Amr bin Lahyi berkata kepada mereka, ‘Apakah kalian tidak berkenan memberikan patung-patung itu kepada kami, dan akan kami bawa ke tanah Arab untuk kami sembah?’. Kemudian, ia mengambil patung terbesar ,Hubal, untuk dibawa ke kota Makkah, yang kemudian diletakkan di atas Ka’bah. Dia menyeru masyarakat sekitarnya, untuk menyembahnya” (Lihat: as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam jilid 1 hal.79).

 

Dengan demikian, Muhamad bin Abdul Wahab telah menyamakan para ulama Islam–selain kelompoknya–dengan Amr bin Lahyi, pembawa ajaran syirik dan mengajak para pengikutnya menyembah berhala. Siapapun yang memahami ajaran Tauhid ataupun pemahaman Islam yang berbeda dengan versi Muhamad Ibnu Abdul-Wahab dan pengikutnya, maka ia masih tergolong sesat karena tidak mendapat anugerah khusus Ilahi. Tidak lain karena, para ulama Islam–selain kaum Wahabi/Salafi–meyakini legalitas ajaran seperti Tabarruk, Tawassul…dan sebagainya (baca bab Tawassul/Tabarruk disite ini). 

 

Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syaikh Sulaiman bin Sahim—seorang tokoh mazhab Hanbali pada zamannya— Muhamad bin Abdul  Wahab menulis:

“Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan! ….Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini!… Engkau adalah seorang penentang yang sesat  dan dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Ad-Durar as-Saniyah, jilid 10 hal. 31).

 

Kepada Ahmad bin Abdul Karim ,seorang ulama yang banyak mengkritik ajaran Wahabi, Muhamad Abdul Wahab menulis surat: “Engkau telah menyesatkan Ibnu Ghonam dan beberapa orang lainnya. Engkau telah lepas dari millah (ajaran) Ibrahim. Mereka menjadi saksi atas dirimu bahwa engkau tergolong pengikut kaum musyrik” (Ad-Durar as-Saniyah, jilid 10 hal.64).

 

Kepada kritikus Wahabi lain, yakni Ibnu Isa, Muhamad Abdul Wahab menvonis sebagai sesat. Dia menyatakan; “(Firman Allah) Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”, Rasul dan para imam setelahnya, telah mengartikan ayat ini sebagai ‘Fikih’, dan itu telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi, itu termasuk kategori menuhankan selain Allah. Saya (Muhamad bin abdul wahab) tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini” (Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal.59). Dengan deimikian, dia menuduh sesat kaum fuqaha secara keseluruhan.

 

Abdul Wahab juga mengkafirkan Imam Fakhrur Razi, seorang ulama mazhab Syafi’i-Asy’ari, pengarang kitab Tafsir al-Kabir. Muhamad Abdul Wahab mengatakan: “Sesungguhnya al-Razi telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang”. (Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal.355). Penilaian ini diungkapkan karena dalam Tafsir al-Kabir, Al-Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian.

 

Muhamad Abdul Wahab mengklaim, bahwa kesesatan para pakar teologi itu merupakan konsensus (ijmak) para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti ad-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi. Padahal, jika meneliti tulisan ad-Dzahabi–yang kata Ibnu Abdul Wahab juga mengkafirkan para teolog–dalam kitabnya Siar A’lam an-Nubala, beliau banyak menjelaskan dan memperkenalkan beberapa tokoh teolog, tanpa ungkapan pengkafiran dan penyesatan. Kalau pun, misalnya, terdapat beberapa teolog yang menyimpang, bukan hal yang bijak jika menggeneralisir.

 

Jangan kita heran jika Muhamad bin Abdul Wahab mengkafirkan–serta diikuti para pengikutnya–para pakar teologi Ahlusunnah secara keseluruhan (Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 53). Jangankan terhadap orang yang berlainan mazhab–konon Muhamad bin Abdul Wahab yang mengaku sebagai penghidup ajaran dan metode (manhaj) Imam Ahmad bin Hanbal sesuai dengan pemahaman Ibnu Taimiyah–dengan sesama mazhabnya pun turut disesatkan. Berikut penyesatan pribadi-pribadi tersebut ;  Muhamad Abdul Wahab menyatakan, ”Adapun Ibnu Abdul Lathif, Ibnu ‘Afaliq dan Ibnu Mutlak adalah orang-orang yang pencela ajaran Tauhid..., namun Ibnu Fairuz dari semuanya lebih dekat dengan Islam” (Ad-Dur.ar as-Saniyah jilid 10 hal. 78).

 

Makna lebih dekat dengan ajaran Islam, berarti bukan Islam (baca:kafir). Padahal, Muhamad Abdul Wahab juga mengakui bahwa Ibnu Fairuz adalah pengikut dari mazhab Hanbali, penjunjung ajaran Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyim al-Jauziyah. Bahkan di halaman lain, Muhamad Abul Wahab berkaitan dengan Ibnu Fairuz mengatakan: “Dia telah kafir dengan kekafiran yang besar dan telah keluar dari millah (agama Islam)” (Ad-Dur.ar as-Saniyah jilid 10 hal. 63). 

         

Salah satu contoh yang cukup terkenal, adalah bagaimana Muhamad Ibnu Abd Wahab mengkafirkan Ibnu Arabi. Bagi Ibnu Abdul Wahab, Ibnu Arabi yang bermazhab Maliki itu lebih kafir dari Fir’aun. Muhamad Abdul Wahab juga memerintahkan (baca: mewajibkan) orang lain untuk mengkafirkan Ibnu Arabi. “Barang siapa tidak mengkafirkannya (Ibnu Arabi) maka ia pun tergolong orang yang kafir pula. Atau Barangsiapa yang meragukan kekafirannya (Ibnu Arabi) maka ia tergolong kafir juga,” tegas Ibnu Abdul Wahab (Ad-Durar as-Saniyah  jilid 10 hal.25)

 

Selain individu ulama, dalam kitab Ad-Durar as-Saniyah disebutkan, Muhamad Ibnu Abd Wahab pada zamannya juga mengkafirkan penduduk Makkah, Ihsa’, ‘Anzah, Dhufair, Uyainah dan Dar’iyah :

Pengkafiran Penduduk Makkah: Muhamad bin Abdul Wahab menyatakan, “Sesungguhnya agama yang dianut penduduk Makkah (pada zamannya .red) sebagaimana halnya agama yang karenanya Rasulullah diutus untuk memberi peringatan (Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal.86, jilid 9 hal. 291).

Pengkafiran Penduduk Ihsa’:  ”Sesungguhnya penduduk Ihsa’ di zaman(nya) adalah para penyembah berhala (baca: Musyrik)” (Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 113).

 

Pengkafiran Penduduk ‘Anzah dan Penduduk Dhufair: ”Mereka tidak meyakini hari akhir (kiamat)”. (Ad-Dur.ar as-Saniyah jilid 10 hal.113).

Pengkafiran Penduduk Uyainah dan Dar’iyah: Para ulama wilayah tersebut terkhusus Ibnu Sahim al-Hanbali beserta para pengikutnya telah dicela, dicaci dan dikafirkan. Dikarenakan penduduk dua wilayah itu (Uyainah dan Dar’iyah) bukan hanya tidak mau menerima doktrin ajaran sekte Muhamad bin Abdul Wahab, bahkan keras mengkritisinya. Atas dasar ini, Muhamad bin Abdul Wahab mengkafirkan semua penduduknya ,baik ulamanya hingga kaum awamnya. (Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 hal. 57).

 

Pengkafiran Penduduk Wasym:, Muhamad bin Abdul Wahab juga menvonis kafir terhadap semua penduduk Wasym, baik kalangan ulamanya hingga kaum awamnya. (Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal.77).

 

Argumen pengkafiran atas seluruh penduduk dan ulama di kawasan di atas adalah sama. Mereka semua, dalam tuduhan Muhamad bin Abdul  Wahab adalah para pelaku bid‘ah. Muhamad bin Abdul Wahab menyatakan: “Banyak dari penghuni zaman sekarang ini tidak mengenal Tuhan yang seharusnya disembah. Mereka tidaklah menyembah Allah, melainkan Hubal, Yaghus, Ya’uq, Nasr, Lata, Uzza dan Manat. Jika mereka memiliki pemahaman yang benar, niscaya akan mengetahui bahwa kedudukan benda-benda yang mereka sembah sekarang ini seperti manusia, pohon, batu, matahari, rembulan, Idris, Abu Hadidah, mereka mirip menyembah berhala. (Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 117).   

 

Di kitab yang sama jilid 1 hal. 120, disebutkan, ”Derajat kesyirikan kaum kafir Quraisy tidak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat sekarang ini”. Pada kesempatan lain dia juga mengatakan: ”Sewaktu masalah ini (tauhid dan syrik .red) telah engkau ketahui niscaya engkau akan mengetahui bahwa mayoritas masyarakat lebih dahsyat kekafiran dan kesyirikannya dari kaum musyrik yang telah diperangi oleh Nabi” (Ad-Durar as-Saniyah jilid 1hal.160). 

 

Muhamad bin Abdul  Wahab menyatakan, “Kami tidak mengkafirkan seorang pun melainkan sebagai dakwah kepada kebenaran. Kelompok itu telah memahami dalil kami sehingga argumen kami telah sampai kepadanya. Namun, jika mereka tetap sombong, menentangnya dan tetap bersikeras meyakini akidahnya, sebagaimana sekarang ini kebanyakan dari mereka telah kita perangi. Mereka telah dalam kesyirikan dan mendemonstrasikan perbuatan dosa besar dan hal-hal haram”. (Ad-Durar as Saniyah, jilid 1 hal. 234) .  

 

Muhamad bin Abdul  Wahab, amat mudah menjatuhkan vonis kafir, syirik dan bid‘ah kepada kaum non-Wahabi. Yang dimaksud dengan kaum musyrik pada akhirnya adalah kelompok yang mengingkari dakwah Wahabi. Mereka, adalah kelompok yang meyakini di hal-hal yang dinyatakan syirik dan kafir oleh Wahabisme seperti tabaruk, tawasul, dan ziarah kubur. Fatwa ini, hingga saat ini ditaklidi dan dilestarikan oleh pengikut Wahabisme-Salafisme, tidak terkecuali di Tanah Air. 

 

Setelah adanya riwayat diatas, lantas apakah layak Muhamad bin Abdul Wahab disebut ulama pewaris ahlak dan ilmu Nabi, apalagi pembaharu (mujaddid) sebagaimana yang diakui oleh kaum Wahabi-Salafi? Mungkinkan kelompok pengkafiran ini mampu mewakili ajaran suci Rasulallah shallahu'alaihiwasallam yang dinyatakan sebagai “Rahmatan lil Alaminin”?  

Kesan kaku, beku, terbatas dan tidak dapat beradaptasi pada setiap masa dan zaman, pada akhirnya menjadi sesuatu yang tipikal dari pengikut Wahabisme-Salafisme. Mereka terkesan tidak bersedia berdialog dan cenderung memaksakan pendapatnya. Siapa pun yang memiliki pendapat berbeda dengan Wahabisme, akhirnya akan kena vonis kafir, musyrik atau bid‘ah! Mari ikuti kajian berikutnya. 

 

Tajsim (penjasmanian) dan Tasybih (penyerupaan) Allah Subhaanahuuwata'aala dengan makhlukNya

Golongan wahabi-salafi melarang siapa pun yang setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat (kalimat perumpamaan atau kalimat samar) atau yang berkaitan dengan shifat, berarti ia telah melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Quran.. Bila ada kata-kata di Al-Quran dan hadis wajah Allah, tangan Allah dan sebagainya, harus diartikan juga sebagai wajah dan tangan Allah secara sesungguhnya, hanya kita tidak boleh membayangkan-Nya atau bertanya tentangnya..

 

Pemahaman seperti ini, sama dengan pandangan kelompok mujassimah. Bagi kaum Mujassimah, ayat-ayat Ilahi yang mutasyabihat dalam menerangkan keadaan diri-Nya, haruslah diartikan sebagaimana adanya. Tidak ada takwil untuk sejumlah ayat seperti: “Sesungguh nya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy…. sampai akhir ayat (QS Al-A’raf [7] 54); “.. kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah .“ (QS Albaqarah [2]:115);  “…Mereka melupakan Allah maka Allah pun melupakan  mereka” (QS At-Taubah [9]:67) dan ayat yang semakna antara lain, QS As-Shaad [38] : 75 ; QS Qaaf [50] :16 ; QS Al-Baqarah [2] :186, dll.

 

Dengan metode tafsir seperti itu, kaum Mujassimah berkonsekuensi menolak bahwa Allah Subhaanahuuwata'aala sudah qidam/berada sebelum Dia ciptakan semua makhluk-Nya.  Seandainya ada golongan yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di Arsy dalam arti sesungguhnya, kita bakal bertanya, di manakah Allah jallaajalaaluh bersemayam sebelum arsy, langit, tempat, ruang, arah, atas, bawah dan sebagainya, diciptakan?

Begitu pula, kita akan bertanya dimanakah Allah sesudah diciptakannya semua makhluk? Kaum Mujassimah mengatakan, pada sepertiga malam Allah berada dilangit pertama bukan di atas arsy. Padahal orang semua tahu bahwa waktu itu bergilir setiap saat. Jika di Indonesia tengah malam maka di Amerika adalah siang hari. Kita akan bertanya apakah Allah subhaanahuuwata'aala  berada di langit pertama setiap saat?

 

Telah diketahui, bahwa sifat Allah tetap tidak berubah. Sifat Allah tidak sama dengan makhluk. Orang yang mengatakan Tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah, yaitu sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah Subhaanahuu wata'aala . Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk di nisbahkan kepada Allah, itu ada lima; 

Wahdaniyah/Esa, Allah tidak terpisah-pisah yakni ada tuhan  dilangit, di Arsy, di sorga, ada tuhan di baitullah dan sebagainya.

Qidam, Ada sebelum semua mahluk ada (Allah Ada sebelum tempat dan arah ada);

Baqo/Kekal, Allah kekal, adapun langit dan alam semesta  akan hancur;

Mukhalafatu lil hawaditsi, berbeda dgn mahluk (Allah beda dengan mahluk, adapun yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/mahluk);

Qiyamuhu binafsihi, tidak memerlukan apapun (Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb.nya).

 

Kaum Mujassimah mengatakan “Allah punya tangan tetapi beda dengan tangan Mahluk”. Mereka ini mengatakan akan menerima secara zhahir dan yang zhahir itu berbeda dengan zhahirnya mahluk. Kita ingin bertanya, makna zhahir mana yang mereka katakan “menerima secara zhahir?”

 

Seorang pelajar di kota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra–yang suka mengesampingkan dan menyalahkan para ulama lain yang tidak sefaham dengannya–mendatangi seorang ulama yang berpendapat bahwa boleh melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat mutasyabihat. Umpama  ayat, yadullah fauqa aidiihim (tangan Allah diatas tangan mereka), tajri bi a’yunina ([kapal] itu berlayar dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan takwil berpendapat, kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan (bukan berarti tangan Allah Swt. secara hakiki), sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.           

 

Ulama tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat mutasyabihat, langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelaku takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Quran. Ulama yang membolehkan takwil dengan tenang memberi komentar, “Kalau  saya tidak boleh takwil, maka anda akan buta di akhirat.”

Ulama tunanetra itu bertanya, “Mengapa anda mengatakan demikian?” Ulama yang membolehkan takwil mejawab, “Bukankah Allah jallaajalaaluh berfirman, ‘Barang-siapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar. (QS. Al-Isra [17]:72). Kalau saya tidak dibolehkan takwil, buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata, tentunya nasib anda akan sangat menyedihkan di akhirat, karena di dunia ini anda buta (tunanetra). Karenanya, bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat di atas diartikan degan buta hati dan bukan arti sesungguhnya yaitu buta mata. Ulama tunanetra itu akhirnya terdiam, tidak memberi tanggapan apa-apa.”

 

Dalam kutipan berikut, ditunjukkan bahwa kaum Wahabi-Salafi cenderung sefaham dengan kaum Mujassimah. Mereka menyakini serta mempercayai makna zhahir hadis-hadis berikut secara hakiki, hanya manusia tidak boleh membayangkan Tuhannya:

 

Berkata Wahab bin Munabbih waktu ditanya oleh Jaad bin Dirham tentang Asma wa Shifat: 'Celaka engkau wahai Jaâd karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Jaâd, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa Dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kami pun tidak akan mengatakannya. Bertakwalah engkau kepada Allah!' (Aqidatus Salaf As-habul Hadis, hal.190) 

 

Abdullah Ibnu Ahmad rahimahullah meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Beliau berkata, “Rasulallah shallahu'alaihiwasallam telah bersabda, ’Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya’. Perawi berkata; ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?’ Rasulallah shallahu'alaihiwasallam menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Kita tidak kehilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan’“.(Kitab as-Sunnah, hal.54). 

 

Abdullah bin Ahmad berkata, “Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Said bin Jubair yang berkata, Sesungguh -nya mereka berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?’ Saya berkata kepada Said bin Jubair, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya.”(Kitab as-Sunnah, hal. 76). 

 

Abdullah bin Ahmad berkata, “Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi Ithaq yang berkata, ‘Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya ke batu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.’” (Kitab as-Sunnah, hal. 76). 

 

Mari kita baca lagi riwayat lainnya dibawah ini yang menetapkan keyakinan kaum Wahabi-Salafi bahwa Allah mempunyai jari, dan diantara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Beberapa hadis berikut difahami kaum Wahabi-Salafi secara tekstual-literal:

 

Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-Tauhid dengan bersanad dari Anas bin Malik r.a yang berkata: Rasulallah shallahu'alaihiwasallam telah bersabda, “Manakala Tuhannya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingkingnya itu, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung “  Humaid bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu akan menyampaikan hadis ini’? Dia menjawab, ‘Anas menyampaikan hadis ini kepada kami dari Rasulallah, lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan hadis ini?’  (Kitab at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal.65). Bagi kaum Wahabi-Salafi, hadis ini menunjukkan bahwa Allah  mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, di antara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemudian, mereka mengatakan bahwa jari kelingking itu mempunyai sendi..! 

 

Abdullah juga berkata, dengan bersanad dari Abu Hurairah, dari Rasulallah shallahu'alaihiwasallam yang bersabda, ”Sesungguhnya kekasaran kulit orang kafir panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa.” (Kitab at-Tauhid, hal.190). Dari hadis ini kaum Mujasiimah ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua tangan, juga kedua tangan Tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jika tidak, maka tidak mungkin kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang. 

 

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, “Rasulallah shallahu'alaihiwasallam telah bersabda, “Orang-orang kafir dilemparkan kedalam neraka. Lalu, neraka berkata, ‘Apakah masih ada tambahan lagi?, maka Allah pun meletakkan kaki-Nya kedalam neraka, sehingga neraka berkata, ‘Cukup, cukup’.” (Kitab at-Tauhid, hal.184). 

 

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulallah shallallahu 'alaihiwasallam yang bersabda; “Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah meletakkan kaki-Nya kedalamnya. Lalu, neraka pun berkata, ‘Cukup cukup.’ Ketika itulah neraka menjadi penuh”. (Kitab at-Tauhid, hal.184). Dari riwayat ini kaum Wahabi memahami bahwa Allah Subhaanahuwata'aala. mempunyai kaki. 

 

Ada riwayat lebih jauh lagi, dengan menetapkan keyakinan kaum ini bahwa Allah Swt. mempunyai nafas. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka’ab yang berkata, “Janganlah kamu melaknat angin, karena sesungguhnya angin berasal dari nafas Tuhan.” (Kitab as-Sunnah, hal.190). 

Kaum Wahabi-Salafi juga menetapkan bahkan menyerupakan suara Allah dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, “Jika Allah berkata-kata menyampaikan wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang hening.” (Kitab as-Sunnah, hal.71).

 

Kaum Mujassimah ini juga meyakini bahwa Allah subhaanahuuwata'aala duduk dan mempunyai bobot. Karena itu, terdengar suara derit kursi ketika Allah sedang duduk di atasnya. Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat. Jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari suara derit? Dasar argumen kaum Mujassimah ini didasarkan pada keterangan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadis dengan bersanad dari Umar r.a. yang berkata, “Jika Allah duduk di atas kursi, akan terdengar suara derit tidak ubahnya seperti suara deritnya koper besi.” (Kitab as-Sunnah, hal.79).

 

Beliau juga mengatakan, dengan bersanad kepada Abdullah Ibnu Khalifah, “Seorang wanita telah datang kepada Nabi shallallahu'alaihiwasallam lalu berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.’ Nabi shallallahu'alaihiwasallam bersabda, ‘Maha Agung Allah.’ Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam kembali bersabda, ‘Sungguh luas kursi-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai suara tidak ubahnya seperti suara derit pelana tatkala dinaiki’“.(Kitab as-Sunnah, hal. 81)  

 

Ada juga keterangan bahwa Allah subhaanahuuwata'aala dapat dilihat, mempunyai tangan yang dingin dan sebagainya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata: Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda, “Aku melihat Tuhanku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. Lalu Tuhanku berkata, ‘Ya Muhamad.’ Aku menjawab, ‘Aku datang memenuhi seruan-Mu.’ Tuhanku berkata lagi, ‘Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar’? Aku menjawab, ‘Aku tidak tahu, wahai Tuhanku.’ Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam melanjutkan sabdanya, ‘Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya di antara dua pundak-ku, sehingga aku dapat merasakan dinginnya tangan-Nya di antara kedua tetek-ku, maka akupun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat’”. (Kitab at-Tauhid, hal.217). 

 

Keyakinan Mujassimah kaum Wahabi-Salafi juga di   dasarkan sebuah riwayat yang lebih aneh lagi. Abdullah bin Ahmad juga berkata: “Sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khatab r.a mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas r.a, Abdullah bin Umar bertanya, ‘Apakah Muhamad telah melihat Tuhannya?’ Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban,  ‘Benar’. Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulallah shallallahu 'alaihiwasallam melihat Tuhannya?.

Abdullah bin Abbas mengirim surat jawaban, ‘Rasulallah shallallahu'alaihi wasallam melihat Tuhannya di sebuah taman yang hijau, dengan permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang laki-laki, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.’” (Kitab at-Tauhid, hal.194). 

 

Lebih aneh lagi, riwayat hadis yang diragukan kebenarannya, tapi dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah. Riwayat itu menyebutkan, Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam melihat Allah subhaanahuuwata'aala berupa seorang pemuda Amrad (yang belum tumbuh jenggot dan kumisnya). Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahabisme dengan jelas menyatakan sahih marfu. (kitab Bayan Talbis Al-Jahmiyyah jilid 7 hal. 290). Hadis ini, sudah jelas tidak bisa diterima kebenarannya. Di samping bertentangan dengan Al-Quran dan jelas sekali menunjukkan bahwa Allah adalah seorang mahluk. Na’udzubillah.

 

Para ulama Salaf bersepakat, barang siapa yang menyifati Allah secara hakiki dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir. Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al-Muhaddis as-Salaf ath-Thahawi (227–321 H) dalam kitab akidahnya yang terkenal: al-Aqidah at-Thahawiyah.

 

Semua riwayat hadis diatas, jelas menunjukkan tajsim atau tasybih Allah kepada makhluk-Nya. Orang yang mempercayai hadis-hadis itu, sudah pasti akan membayangkan Tuhannya–walau pun kaum mujassimah ini berkata tidak membayangkanNya–tentang bentuk jari kelingking Allah subhaanahuu wata'aala, kaki-Nya, wajah-Nya, berat-Nya, rambut-Nya dan lain sebagainya.

 

Umpama saja riwayat-riwayat diatas ini sahih, maka makna yang berkaitan dengan sifat Allah Subhaanahuuwata'aala tersebut, harus ditakwil yang sesuai dengan ke Mahasucian dan ke Mahaagungan-Nya. Atau tidak diartikan secara hakiki/ sebenarnya.

 

Marilah kita lihat diskusi mengenai seputar sifat-sifat Allah antara seorang mazhab sunnah (lebih mudahnya kita juluki si A) dengan salah seorang tokoh Wahabi/Salafi (kita juluki si B). Si A mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tersebut dalam hadis-hadis di atas ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan kesalahan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat. 

 

Si A (mazhab sunnah) bertanya pada si B (Wahabi): “Jika memang Allah subhaanahuuwata'aala mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkan-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.”   

 

Si B (mazhab Wahabi) menjawab: “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya (bentuk Allah), namun dia tidak di perkenan- kan memberitahukannya!!”  

Si A bertanya lagi: “Apa bedanya antara anda meletakkan sebuah berhala dihadapan anda dan kemudian anda menyembah nya dengan anda hanya membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?” 

 

Si B menjawab: “Ini adalah perkataan kelompok sesat semoga Allah memburukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seperti ini (mempunyai dua tangan, kaki dan lain-lain). Sehingga dengan demikian, mereka itu menyembah Tuhan yang tidak ada.” 

 

Si A ini berkata lagi: “Sesungguhnya Allah yang Maha benar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal, tidak dapat dicapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya di mana dan bagaimana, serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang telah menciptakan di mana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak dapat anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang dapat anda bayangkan adalah mahluk. Kami telah belajar dari para ulama keturunan Nabi shallallahu'alaihiwasallam. Mereka berkata, ‘Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meskipun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu mahluk seperti kamu.’ Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidakmampuan mengenal-Nya.”

 

Si B berkata dengan penuh emosi, “Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup! “ Demikianlah diskusi singkat ini.  

 

Kaum Wahabi-Salafi berusaha memberikan pembenaran terhadap hadis-hadis mengenai penjasmanian/tajsim dan tasybih/penyerupaan tersebut dengan alasan: “Tanpa bentuk (bi la kaif)”?! Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair, “Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya, namun mereka takut akan kecaman manusia maka oleh karena itu mereka pun menyembunyikannya dengan mengatakan tanpa bentuk (bi la kaif)”.

 

Seorang mazhab sunnah pernah berdiskusi dengan salah seorang dosennya di kampus tentang seputar masalah duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika si dosen terdesak dia mengemukakan alasan: “Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, ‘Arti duduk (al-istiwa) diketahui, tapi bentuk (al-kaif) duduknya tidak diketahui, dan pertanyaan tentangnya adalah bid‘ah.”

Si murid berkata kepadanya; “Anda tidak menambahkan apa-apa kecuali kesamaran, dan anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini.” Dosen ini berkata, “Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius.”  Si murid yang bermazhab sunnah tersebut mengatkan, “Jika arti duduk diketahui, tentu bentuknya pun diketahui juga. Sebaliknya, jika bentuk tidak di ketahui, duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang duduk adalah pengetahuan tentang bentuk itu sendiri. Akal tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena kedua-nya adalah satu.

 

Jika anda mengatakan si A duduk, ilmu anda tentang duduknya adalah tentang bentuk (kaifiyah) duduknya. Ketika anda mengatakan, duduk diketahui, ilmu anda tentang duduk itu adalah tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa anda mengetahui duduk, namun pada saat yang sama anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui bentuknya.” Kemudian si Dosen pun terdiam beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta izin untuk pergi.!!  

 

Nash-nash yang menyatakan sifat atau perbuatan Sang Pencipta tentunya harus dipahami dengan landasan dalil-dalil bahwa ruang, waktu, pikiran, dan kesadaran adalah makhluk Allah, sehingga harus dipahami bahwa Allah Taáala bukan makhluk, memahami makna “sifat atau perbuatan Allah” itu tentu dalam pengertian memahami sesuatu yang diluar batas ruang, waktu, dan kesadaran. Memahami ayat-ayat sifat itu sebagai bahasa majazi/kiasan adalah hal yang paling baik. Metode ini menghindari orang terjerumus ke dalam mujassimah.

 

Bukankah Allah Taáala sendiri telah berfirman: Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syura [42]:11); ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS  Al-An’am [6]:103);  “Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan” ( QS Ash-Shaffaat [37]: 159). Ayat-ayat inilah sebagai dalil yang kuat bahwa Allah subhaanahuuwata'aaala tidak bisa disamakan atau disifatkan secara hakiki seperti mahluk-Nya.

 

Lebih mudahnya kami beri contoh. Tatkala kita menyebutkan kata singa yaitu berupa kata tunggal, dengan serta merta terbayang di dalam benak kita seekor binatang buas yang hidup di hutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk tarkibi (susunan kata) yang tidak mengandung qarinah (petunjuk) yang memaling- kannya dari makna ifradi (tunggal). Seperti kalimat yang berbunyi, ‘Saya melihat seekor singa sedang memakan mangsanya di hutan’.

 

Kata Singa di sini maknanya adalah sama yaitu binatang buas. Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, ‘Saya melihat singa sedang menyetir mobil ’. Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada di dalam kalimat ini adalah arti kiasan, yaitu seorang laki-laki pemberani. Bukan berarti binatang buas. Inilah kebiasaan orang Arab di dalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata; ‘Dia menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari karena suara terompet perang yang dibunyikan’.  

 

Dari syair itu, kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah. Kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh dalam peperangan.  Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang merubah kalimat dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir perkataan.

 

Begitu juga susunan kata seperti, ‘Negeri ini berada di dalam genggaman tangan Raja’. Orang akan memahami yang dimaksud kalimat ini, ‘Negeri ini berada di bawah kekuasaan dan kehendak Raja’. Susunan kata ini tetap sesuai atau tetap diucapkan meskipun pada kenyataannya Raja tersebut buntung tangannya. Jadi kata ‘genggaman tangan’ dalam kalimat ini sebagai kata kiasan/majazi yang harus disesuaikan maknanya. 

 

Demikian juga halnya dengan ayat-ayat sifat Allah subhaanahuuwataáala (wajah-Nya, tangan-Nya, betis, turun, tertawa dan lain sebagainya) baik yang tertulis dalam Al-Quran maupun dalam hadis, walaupun zhahir teksnya tetap tertulis di dalam Al-Quran dan hadis, tetapi para sahabat dan ulama pakar menerangkan dan mensesuaikan maknanya dengan ke Maha Sucian dan keMaha Agungan-Nya atau diserahkan pe-makna-annya kepada Allah Subhaanahuuwata'aala, untuk menghindari orang terjerumus dalam mujassimah. Perhatikan uraian berikut sebagian tentang ayat dan hadis mutasyabihat yang ditakwil dari makna zahirnya teks.

 

Sebagian Ayat Al-Quran dan hadis mutasyabihat yang ditakwil

Para ahli tafsir mentakwil ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Quran, yang di sesuaikan dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya, untuk menjauhkan makna dari segi zahirnya, kepada makna yang lebih layak bagi Allah Subhaanahuwata'aala. Karena makna zahir nash al-Mutasyabihat tsb., jelas mempunyai unsur persamaan Allah dengan makhluk-Nya. Diantara sahabat besar yang berjalan diatas kaidah takwil, Sayiduna Ibnu Abbas r.a, anak paman Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam dan murid utama Sayidina Ali k.w.

 

Para ahli tafsir mengartikan makna ayat Allah: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi.“, kata Kursi dalam ayat ini berarti Ilmu. Jadi ayat ini diartikan sebagai berikut:Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”. Begitu juga firman-firman Allah subhaanahuwata'aala, seperti:  Wajah Allah berarti Dia Allah, Tangan Allah berarti Kekuasaan Allah, Mata Allah berarti Pengawasan Allah dan lain sebagainya. Takwil ini, jelas dilakukan para Salaf demi menjaga kesucian Allah Jallajalaaluh, sebuah upaya yang sering dituduh sebagai bid‘ah oleh kaum wahabi-salafi..

 

Firman Allah dalam surah Ali-Imran [3]:7, ‘Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalami’. Diriwayatkan oleh Mujtahid dari Ibnu Abbas yang berkata: ‘Saya termasuk dari orang yang mengetahui takwilnya’. (Ad-Durrul Manshur 2/152 dan Zadul Masir 1/354). Begitu pula doa Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam untuk Ibnu Abbas: ‘Ya Allah ajarkanlah kepadanya hikmah dan takwil Al-Quran’ (HR Ibnu Majah dalam Sunannya).

 

Al-Hafidh Ibnu Jauzi Al-Fagih Al-Hanbali dalam kitab Al-Majalis hal.13, antara lain berkata: “Dan bagaimana bisa di katakan sesungguhnya salaf tidak memakai takwil? Sesungguhnya Abdullah bin Abbas waktu menyediakan air wudu untuk Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam , beliau bersabda; ‘Siapa yang melakukan itu?’ Saya (bin Abbas) berkata; ‘Saya wahai Rasulallah’. Rasulallah bersabda:  ‘Ya Allah, pahamkanlah dia dalam agama dan ajarkan lah dia takwil’. Apabila takwil itu dilarang dalam agama, tidak mungkin Rasul shallallahu 'alaihiwasallam berdoa kepada Ibnu Abbas agar Allah Swt. mengajarinya ilmu takwil. Dengan demikian jelas,, orang yang tidak membolehkan takwil, adalah orang yang kurang mendalami ilmu agama, dan bertentangan dengan pendapat para salaf ”.

 

Ibnu Abbas r.a. mentakwil ayat: يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ

“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.Al-Qalam [68]:42) dengan, “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).” Disini kata سَاقٍ (betis) ditakwil dengan makna  شِدَّةٌ (kegentingan). Takwil ayat di atas ini, telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bari, 13:428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29:38. Dia mengawali tafsirnya dengan mengatakan,“Berkata sekelompok sahabat dan tabi’in dari para ahli takwil, makna (takwil)nya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari dimana disingkap (diangkat) perkara yang genting.” Takwil ini, juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said Ibnu Jubair, Qatadah dan lain-lain. 

 

Ibnu Hajar dalam syarah Bukhori (fathul bari 13:428) berkata, “Adapun (masalah) betis, Ibnu Abbas dalam firman Allah yang Maha Tinggi ‘Pada hari betis disingkapkan’ berkata, ‘Karena dahsyatnya urusan (waktu itu) bangsa Arab berkata, peperangan berkecamuk diatas betis. Bila peperangan itu dahsyat,….Kawan-kawanmu telah mengadakan pemukulan (ke) leher-leher dan peperangan berkecamuk diatas betis (dengan dahsyat)’”.

 

Al-Muhallab berkata, ‘Penyingkapan betis untuk orang-orang beriman, adalah rahmat dan untuk selain mereka adalah siksa’.

Al-Khothobi dalam Asma wash Shifat karangan al-Baihaqi hal. 345, berkata, “Kebanyakan para guru besar merasa segan untuk mendalami tentang arti betis. Arti perkataan Ibnu Abbas, ‘sesungguhnya Allah menyingkap kekuasaan-Nya, karenanya tampak kedahsyatan.’”

 

Ibnu Abbas r.a. juga mentakwil beberapa ayat berikut:

               وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَّ إِنَّا لَمُوْسٍعُوْنَ                      

‘Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.’(QS Ad-Dzariyat [51]: 47). Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah, telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jamak dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamus al Muhith dan Taj al Arus,10/417). Ibnu Abbas r.a. mentakwil arti kata tangan dalam ayat Ad-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ artinya dengan kekuatan. Demikian yang diriwayatkan al-Hafizh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27.

 

Ibnu Abbas r.a. mentakwil –firman Allah Taáala,

               فَاليَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوْا لِقَاءَ يَوْمِهِم هَذَا 

‘Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…’ (QS.al-A’raf [7]:51)–kata ‘melupakan’ diayat itu dengan ‘menelantarkan’

 

Ibnu Jarir berkata, “Dia berfirman, ‘maka pada hari ini (hari kiamat), Kami melupakan mereka’,(Yang dimaksud) ‘Kami membiarkan mereka dalam siksa.’.”’(Tafsir Ibnu Jarir, 8/201)  Disini, ibnu Jarir mentakwil kata melupakan dengan membiarkan. Ini adalah penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang zhahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil takwil tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas, Mujahid dan lain-lain–– radhiyallahu ’anhum.. 

 

Ibnu Abbas r.a. adalah seorang sahabat besar dan pakar tafsir Al-Qur’an, Mujahid adalah seorang tabi’in agung…Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf… 

Al-Baihaqi dalam manaqib Imam Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan dari Al-Hakim dari Abu Amr bin As-Sammak dari Hanbal, sesungguhnya Ahmad bin Hanbal telah mentakwil firman Allah Swt. dalam surah Al-Fajr [89]:22,

                            و جاء رَبُّكَ

‘Dan datanglah Tuhanmu...’ dengan ‘Sesungguhnya datang pahalanya‘. Al-Baihaqi berkata, ‘Sanad ini tidak ada debunya’. Ibnu Katsir menukil hal tersebut dalam tarikh-nya (Al-Bidayah wa An-nihayah 10/327).

 

Al-Baihaqi dalam managib Ahmad (Ta’liq Azzahid Al-Kautsari al Saifish Shoqil 120-121 karangan Imam As-Subki) berkata: “Dari Al-Hakim dari Abu Amr bin As-Sammak dari Hanbal bin Ishaq yang berkata, Saya dengar dari pamanku Abu Abdillah–yakni Ahmad–berkata, “Mereka hari itu–yakni pada hari debat dirumah Amirulmukminin–berargumen dan berkata padaku bahwa ‘Pada hari kiamat surah Al-Baqarah akan datang dan surah Tabarak akan datang’. Saya (Ahmad) berkata kepada mereka, hanya saja itu (yang dimaksud) adalah pahala. Allah yang Maha Tinggi berfirman, ‘Dan datanglah Tuhanmu’ (QSAl-Fajr:22). Hanya saja yang akan datang adalah kekuasaan- Nya …’ ”

 

Imam Malik, Az-Zarqoni (Syarh Az-Zarqoni  alaa Al-Muwatho 2/35 dan Syarah At-Tirmidzi 2/236) menukil dari Abu Bakar Al-Arabi, sesungguhnya dia berkomentar tentang hadis, ‘Tuhan kita turun’. Turun ini, kembali pada perbuatan-perbuatan-Nya bukan kepada Zat-Nya. Bahkan, itu adalah keterangan tentang malaikat-Nya yang turun dengan adanya perintah dan larangan-Nya. Turun disini adalah gambaran sifat malaikat yang diutus untuk suatu hal, yaitu dari tidak mengerjakan sesuatu kemudian mengerjakannya. Hal itu disebut turun dari satu martabat ke martabat yang lain. Ini adalah (ungkapan) bahasa Arab yang benar. 

 

Ibnu Hajar berkata tentang hadis–Tuhan kita turun–berkata, “(Arti) turun kembali kepada perbuatan-perbuatan-Nya bukan kepada Zat-Nya. Hal yang demikian itu adalah keterangan tentang malaikat-Nya yang turun dengan perintah dan laranganNya…dan seterusnya sampai akhir riwayat” (syarah al-Bukhori (fathul-bari 3:30). Perhatikan sebuah hadis qudsi berikut ini:

“Hai anak Adam, Aku sakit (مَرِضْتُ) tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] berkata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul Alamin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR Muslim 4/1990, hadis no.2569). 

 

Apakah boleh kita mengatakan; Allah sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita (makhluk-Nya)? Bolehkah kita meyakini ,menurut zhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan, jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? Pasti tidak boleh!

Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti si pembicara yaitu Allah Jallajalaaluh. Memang berdasarkan zhahir teks dalam hadis itu, Allah-lah yang sakit. Akan tetapi, zhahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus ditakwîl. Demikian pandangan setiap orang berakal dan sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan takwîl kepada kita.  

 

Imam Nawawi, dalam Syarah Muslim mengatakan, para ulama berkata, “Disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba, hal itu merupakan tasyrif––pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Sedangkan, kalimat engkau akan dapati Aku disisinya, para ulama berkata, maksudnya adalah engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku…“(Syarah Sahih Muslim, 6/126).

 

Begitu pula, kita sering mendengar sebutan Ka’bah sebagai Baitullah (rumah Allah) atau sebutan untuk masjid. Inipun, tidak boleh kita artikan secara tekstual, tetapi yang dimaksud adalah Rumah yang dimuliakan Allah. Atau kata-kata Naqatallah dalam Al-Quran, tidak bisa diartikan secara tekstual (onta betina Allah), tapi makna yang dimaksud ialah Onta betina yang di muliakan Allah Subhaanahuuwata'aala.

 

Metode takwil juga dipakai oleh sejumlah tokoh tabi’in dan para pemuka Salaf Saleh; Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan. Dari sini tampak jelas, bahwa mentakwil ayat sifat adalah metode dan diamalkan para sahabat dan tabi’in.

Seorang ulama dari kelompok wahabi ,Syaikh Albani, mencela Imam Bukhari karena telah menafsirkan QS Al-Qashash [28]:88, “Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya” dengan “Segala sesuatu akan binasa kecuali Kekuasaan-Nya”. Kata Wajah-Nya pada  ayat itu ditakwil oleh Imam Bukhari dengan makna Kekuasaan-Nya. Albani berkata: “Takwil (Imam Bukhari) ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang yang beriman. (Fatawa Al-Bani, hal. 523). Dengan kata-kata ini, seakan-akan imam Bukhori tidak termasuk seorang muslim yang beriman. 

 

Anehnya lagi, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Saya tidak menemukan hingga saat ini, seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat.” Beliau juga mengatakan, “Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun dalam masalah sifat.”  Beliau mengaku telah merujuk seratus kitab tafsir.

Akan tetapi, nyatanya ada kalangan salaf yang berbeda pendapat. Di samping contoh yang telah dikemukakan di atas, kita ambil contoh pada riwayat Ath-Thabari. Mengenai tafsir Ath-Thabari Ibnu Taimiyah mengatakan, Didalamnya tidak terdapat bid’ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang tertuduh.” (Al-Muqaddi- mah fi Ushul at-Tafsir, hal.51).

 

Ibnu Taimiyah mengatakan–dalam kitab al-Fatawa al-Kabirah jilid 6, hal 322–bahwa ayat kursi termasuk salah satu ayat sifat terbesar. 

**Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas. Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi pada firman Allah Taáala, ‘Kursi Allah meliputi langit dan bumi.’ Sebagian berpendapat, yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian, bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.” (Tafsir ath-Thabari,  jilid 3, hal. 7).  

 

**Contoh kedua, Ath-Thabari berkata, “Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna (takwil) firman Allah Subhaanahuuwata'aala

, ‘Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.’ Sebagian mereka, berpendapat bahwa maknanya adalah ‘Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.’ Mereka menolak makna ‘Dia Mahatinggi dari segi tempat.’ Mereka mengatakan, ‘Dia tidak ada di suatu tempat.’ Maknanya, bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah Taáala ada di sebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain.”. (Tafsir Thabari, jilid 3, hal. 9).  

 

Demikianlah pendapat kalangan salaf, yang tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah Taáala, sementara Ibnu Taimiyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi, untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah Subhaanahuuwata'aala bersemayam di atas ‘Arsy”. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Dia (Allah) berada di atas langit.”(Al-Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyah, hal. 329- 332).

 

Syeikh Abdurrahman Ibnu Hasan Alu ,ulama Wahabi, dalam kitab Fathu al Majid Syarah Kitab at-Tauhid: 405, telah mengakui bahwa Ibnu Abbas dan murid-muridnya termasuk Salaf.

Jelaslah, dalam memahami ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat, metode takwil telah dilakukan oleh para Salaf. Di atas metode ini para ulama, seperti Imam al-Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jika ada yang menuduh sikap mentakwil adalah sikap menyimpang, berjalan diatas kesesatan faham Jahmiyah dan ber-ilhad (membelokkan) dalam ayat-ayat dan asma Allah–sebagaimana yang dituduhkan kaum Wahabi ,Ibnu Utsaimin dalam Syarah Aqidah al-Washithiyah: 58-63, dan kawan-kawannya–maka mereka benar-benar dalam kekeliruan yang nyata!

 

Al-Quran sendiri menyatakan bahwa di dalamnya ada ayat mutasyabihat dan ayat muhkamat. Sejumlah perkara seperti hukum waris dan sejumlah hukum syariat muamalat dijelaskan dengan kalimat konkret, tanpa kiasan. Akan berbeda jika mencakup persoalan gaib–seperti tentang Allah, rahasia langit, peralatan akhirat, surga, neraka dan lain-lain-, Al-Quran sering menggunakan kalimat metafora. Jika tidak ada perbedaan ini, tentulah gambaran mengenai Allah Subhanahuwata'aala, menjadi mirip dengan kondisi makhluk dan kemungkinan menyamakan Khalik dengan makhluk.

 

Pengajuan dalil kaum Mujassimah dan jawabannya

Berikut beberapa argumen dari kelompok wahabi-salafi, tentang ayat-ayat yang membuktikan bahwa Allah, itu berada/bertempat diatas;

Firman Allah Taáala,‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.’(QS.Thaha [20];5).

 

Kelompok Mujassimah ini mengartikan kata Istawa diayat ini, dengan arti sebenarnya, yakni Allah bersemayam di atas Arsy-Nya!

Pemaknaan seperti itu, jelas meniscayakan Allah bertempat di Arsy dan tidak ada ditempat lain! Ditegaskan bahwa  Istiwa dan ke Maha Tinggian Allah itu dengan al-Qahr (kekuasaan dan penguasaan) atas sekalian hamba dan makhluk ciptaan-Nya, bukan dengan ketinggian fisikal seperti yang biasa kita saksikan pada makhluk-Nya. Pemaknaan yang benar ini, sebagaimana firman Nya, ”Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS.Al An’am [6]; 18, 61)

 

Sebagaimana yang telah kami kemukakan, Imam al-Baihaqi dalam kitabnya  al Asma wa ash-Shifat, hal.506, mengatakan, “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam ,: ‘Engkau ad-Dhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al-Batin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu’ (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya, berarti Dia tidak bertempat”.

 

Kaum mujassimah berdalil lagi, “…..Kepada-Nyalah naik (yash’adu) perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikan-Nya…” (QS.Fathir [35];10). Mereka mengatakan, ayat ini juga membuktikan  Allah berada diatas!

Ayat ini sama sekali tidak seperti apa yang mereka katakan. Ayat itu adalah ungkapan yang menunjukkan kerelaan atas keyakinan yang benar, dan diterimanya amal kebajikan hamba.

 

Mufassir Abu Hayan al-Andalusi dalam tafsir al-Bahru al-Muhith 7/303 menerangkan, ”Naiknya perkataan-perkataan yang baik kepada-Nya adalah, kata kiasan/majazi pada pelaku/fa’il dan para al-usamma ilahi (Allah). Karena Dia Subhaanahuwata'aala tidak berada di sebuah sisi/arah tertentu dan karena al-kalim adalah ucapan yang tidak dapat disifati dengan naik. Naik itu terjadi pada benda. Ungkapan itu, menunjukkan arti diterima dan sempurna, seperti ucapan, ‘Meninggi mata kakinya dan urusannya’.

Orang-orang Arab mengatakan (mengartikan), ‘Mereka mengangkat perkara- nya kepada Hakim.’ dan ‘Perkara ini diangkat kepadanya.’ Pada ucapan ini, tidak ada ketinggian fisikal ke tempat tertentu, tetapi berarti keagungan, kemuliaan dan ketinggian maknawi bukan ketinggian hissi (material). Penafsiran ini, telah didukung oleh Salaf Saleh, seperti Malik Ibnu Sa’ad, Hasan al-Bashri, Qatadah dan Mujahid. Mereka semua menerangkan maknanya adalah,  di terimanya amal perbuatan yang didasarkan atas keyakinan yang benar dan niat yang tulus (tafsir Ibnu Jarir, 22:120-121 dan ad- Durr al Mantsur, 5:462-463).

 

Kelompok Wahabi-Salafi  berdalil lagi dengan firman Allah, ”Malaikat-malaikat dan Jibril naik (Ta’ruju) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al Ma’arij [70]; 4). Kaum Mujassimah memahami makna ayat ini bahwa para Malaikat itu naik keatas menemui Allah Taáala yang sedang bertempat diatas! Ini paham yang tidak benar.

Para malaikat bukan naik menuju Alah subhaanahuwata'aala di atas,  tetapi Malaikat pergi ke tempat yang Allah telah siapkan untuk mereka yaitu langit. Karena langit adalah tempat kebaikan dan kemurahan Allah. Keterangan ini sesuai dengan tafsir yang dipilih oleh Imam al Qurthubi dalam tafsirnya,18:218.

 

Begitu juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, dalam kitab Fathul Bari menegaskan, ”Al-Baihaqi berkata: Naiknya perkataan yang baik dan sedekah yang baik, adalah ungkapan lain dari diterimanya amal itu. Dan naiknya malaikat, adalah ke tempat-tempat mereka di langit.”.

 

Kelompok Mujassimah mengandalkan ayat berikut ini, sebagai dalil yang ampuh bahwa Allah bersemayam diatas, karenanya mengangkat Nabi Isa 'alaihis salaam kepada-Nya keatas langit. Firman-Nya, “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan engkau kepada akhir ajalmu, dan mengangkat engkau kepada-Ku (Waraafi’uka ilaiya).. sampai  akhir ayat” (QS.Al-Imran[3];55).

 

Ini pemahaman yang salah. Sebagaimana kita ketahui dalam hadis riwayat Imam Bukhari & Muslim tentang mi’raj nabi Muhamad shallallahu'alaihi wa sallam yang berjumpa  Nabi Isa 'alaihissalaam di langit ke dua dan para Nabi lainnya 'alaihimussalaam berada dilangit pertama, ketiga dan sebagainya. Dengan demikian, makna ayat diatas ialah, ‘Allah mengangkat nabi Isa ke tempat yang telah disediakan untuknya, sehingga kaum yahudi yang hendak membunuh Isa itu tidak dapat sampai kepadanya’.

 

Jadi, bukan berarti Allah mengangkat nabi Isa, ketempat bersemayam-Nya. Bukan pula berarti, nabi Isa sekarang sedang berada di sisi-Nya, duduk di samping-Nya, seperti yang di bayangkan kaum Mujassimah! 

 

Begitu pula halnya, dengan firman Allah, “Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami, dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (QS.Al-Furqan [25];46).

Firman-Nya, ‘kepada Kami ‘ sama sekali tidak dimaksud bahwa bayang-bayang itu pada malam hari ditarik Allah subhaanahuwata'aala kepada tempat bersemayam-Nya!

Imam Asy-Syaukani mengatakan, ”Dan makna ‘kepada Kami’ adalah, bahwa kesudahannya kepada-Nya, sebagaimana awal kejadiannya dari-Nya pula.” (Fathul Qadir,4/ 80).

 

Kaum mujassimah, sering mengandalkan juga surah Al-Mulk [67]:17), ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit (مَنْ فِى السَّمَاء) bahwa Dia akan mengirimkan badai yang  berbatu..”. Mereka berkata, ‘Ini jelas bahwa Allah Swt. bersemayam dilangit’!

 

Ayat ini, bukan berarti Allah bersemayam dilangit. Makna ayat di atas adalah, “Apakah kamu merasa aman terhadap Zat Yang Maha Agung, Pemilik hal pengaturan/rububiyah dan kekuasaan, bahwa Dia akan mengirimkan badai batu yang membinasakan kamu”. Ayat ini, bisa juga yang dimaksud adalah malaikat Jibril 'alaihissalaam atau malaikat khusus yang dikirim Allah untuk menurunkan azab-Nya.

 

Karena tempat para malaikat itu di langit, seperti yang disebutkan dalam hadis Bukhari dan Muslim, ”Para malaikat malam dan  malaikat siang silih berganti di tengah-tengah kalian, mereka berkumpul pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Kemudian mereka yang telah bermalam dengan kalian naik (kelangit), lalu Tuhan bertanya kepada mereka–padahal Dia Maha Mengetahui– “Bagai-mana kalian tinggalkan hamba-hambaKu?”Mereka menjawab, ”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang, mereka dalam keadaan shalat.”

 

Mengenai ayat-ayat yang menyebut ‘Man Fis Samai’ (مَنْ فِى السَّمَاء), Abu Hayan berkata, “Kalimat Zat yang berada di langit, adalah bentuk majaz/kiasan. Dan telah dipaparkan bukti bahwa Allah tidak berlokasi di arah/sudut tertentu. Penggunaan bentuk majazi ini bahwa ke Maha-Rajaan-Nya berada di langit. Karena kalimat فِى السَّمَاء adalah shilah/penghubung dari kata: مَنْ, padanya terdapat kata ganti yang terkait dengan ‘amil di dalamnya, yaitu kata, استقرَّ.  Makna ayat tersebut adalah, ‘Zat Yang malakut/ ke Maha-Rajaan-Nya berada di langit’. Disini adalah mudhaf yang sengaja tidak disebutkan.

 

Memang ke Maha-Rajaan Allah itu dimana-mana, tetapi disebutnya langit secara khusus, karena ia adalah tempat tinggal para malaikat. Di sana (langit) juga ada Arsy, Kursi Allah dan Lauh  Mahfud. Darisanalah ketetapan Allah, kitab-kitab suci-Nya, larangan dan perintah-Nya diturunkan. Atau mungkin penyebutan (Allah dilangit) itu berdasarkan apa yang diyakini kaum Kafir, karena mereka ini adalah kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sehingga makna (Allah dilangit) adalah, ‘Apakah kalian merasa aman dari Tuhan, yang kamu (orang kafir) anggap dan yakini berada di atas langit?’ Dia adalah Zat yang Maha Tinggi dari berada di sebuah tempat…” (lebih lengkap baca tafsir al Bahru al Muhith, 10:226).

 

Imam Nidzamuddin an-Nisaburi berkata, makna ayat yang menyebut Man Fis Samai, “Apakah kalian merasa aman terhadap Zat (yang kalian anggap berada) di langit?”, menurut pendapat sekelompok Ahli Tafsir (yang dimaksud ialah), “Apakah kalian merasa aman dari Tuhan Yang ke Maha-Rajaan-Nya, Sulthan-Nya atau Ke Maha-Perkasaan-Nya berada di langit?”. Sebab kebiasaan telah berlaku, diturunkannya azab/siksa dari arah langit. Dan ada pendapat lain yang mengatakan, maksud kalimat, مَنْ فِى السَّمَاء (yang berada di langit) adalah, malaikat Jibril.” (lihat keterangan beliau dalam tafsir Gharaib Al-Quran [dicetak bersama tafsir at-Thabari, 29:9]).

 

Imam Nawawi ,yang sudah terkenal pribadi dan ilmunya, dalam syarah Muslim berkata: “Al-Qodi Iyadh berkata,’Tidak ada perbedaan diantara orang-orang islam semuanya, ahli fiqih, ahli hadis, ahli tauhid, ahli pikir dan pengikut mereka bahwa yang dapat diambil dari yang zhohir dalam penyebutan Allah Subhaanahuwata'aala dilangit seperti firmanNya dalam surah Al-Mulk [67];16, ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) dilangit?’ dan dalil lainnya, bukan lah atas zhohir (teks)nya, akan tetapi menurut mereka, adalah takwil. Yakni takwil secara global atau takwil secara terperinci.’ ”  (Syarah Sahih Muslim 5:24).

 

Begitu pula makna yang serupa dari para ahli tafsir, seperti Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam Tafsir Ar-Rozi 30/99, Abu Hayan Al-Andalusi dalam Al-Bahru Muhith 10/226, Abu as-Suud dalam Tafsir Abi As-Suud 9/7, Al-Qurthubi dalam Al-Jami’u li Ahkamil Qur’an 18/215 dan lain-lain.

 

Al-Qurthubi menjelaskan (mengenai tafsir ayat al-mulk:16), Abdullah bin Abbas (sahabat Nabi ) berkata, “Apakah kamu merasa aman terhadap siksa Allah yang dilangit jika kamu bermaksiat kepadaNya. Kemudian dia (bin Abbas) berkata; ‘Dan dikatakan, adalah isyarat kepada para malaikat. Ada yang mengatakan kepada Jibril dan dia (Jibril) adalah malaikat yang diserahi untuk siksa. Saya mengatakan, ada kemungkinan artinya adalah, ‘apakah kamu merasa aman terhadap pencipta yang di langit untuk menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sebagaimana menjungkir balikkan bumi bersama Qarun.’

 

Dalil-dalil  hadis, menurut pandangan kaum mujassimah 

Selain riwayat-riwayat yang telah dikemukakan, golongan mujassimah menyebutkan hadis-hadis berikut yang mereka andalkan, dalam membuktikan bahwa Allah Subhaanahuwataáala berada di atas langit:

 

Nabi shallallahu'alaihiwasallam bersabda,

           أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً                                                     

“Tidaklah kalian mepercayai aku, padahal, aku ini kepercayaan yang berada di atas langit (Allah). Datang kepadaku kabar langit pagi dan sore.” (HR.Imam Bukhari [8/67/4351] dan Muslim [2/742/ 1064] dari riwayat Umarah bin al-Qa’qa’). Redaksi hadis ini, telah diselisihi oleh Said bin Masruq ats-Tsauri ,ayah Sufyan at-Tsauri.

 

Riwayat Said at-Tsauri, “Apakah Allah mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi, sedangkan kalian tidak mempercayai aku?” Dalam riwayat Said ini, tidak terdapat redaksi مَنْ فِى السَّمَاء  Hadis ini di riwayatkan Imam Bukhari dalam Sahih-nya [6/376/ 3344], Imam Muslim [2/741/1064].

Begitu pula yang diriwayatkan Imam an-Nasai dalam as-Sunan as-Shughra [5/87/2578], Abu Daud [4/243/4764], Imam Ahmad dalam Musnad-nya[ 3/67/ 73] dan masih banyak lainnya.

 

Dalam Sahih Bukhari dan Muslim terdapat banyak redaksi periwayatan hadis serupa diatas yang tersebar di beberapa tempat, akan tetapi tidak memuat kata, مَنْ فِى السَّمَاء .Karenanya, hadis itu selalu dikesampingkan (tidak pernah mereka gubris) oleh kelompok mujassimah.

Coba perhatikan lagi hadis di bawah ini tanpa memuat kata Man Fis Sama,

            فَمن يُطيعُ اللهَ إذا عصيْتُهُ، فَيَأْمَنُنِي على أهلِ الأرضِ ولا تَأْمَنُونِى؟   

“Siapakah yang mentaati Allah jika aku (Nabi Muhamad) menentangnya? Dia (Allah) mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi sedangkan kalian tidak mempercayaiku?!”

 

Setiap ayat/hadis yang menyebut kata  مَنْ فِى السَّمَاء maka yang dimaksud dalam bahasa orang-orang Arab (yang Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka) adalah, makna majazi/kiasan yang berarti keagungan, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material).

 

Seorang pujangga Arab klasik bersyair:

               علونا السماءَ مَجْدنا وجدودُنا*** و إِنَّا لنبغِي فوق ذلك مظهرا       

Kami menaiki langit, kejayaan dan moyang kami*** dan kami menginginkan kemenangan di atas itu. 

Jelas sekali, yang dimaksud menaiki langit bukan langit fisik di atas kita itu, akan tetapi maknanya kemuliaan dan keagungan. Demikianlah yang dimaksud dalam setiap nash dengan redaksi,  مَنْ فِى السَّمَاء (andai ia sahih tentunya). Hal demikian, mengharuskan kita mensucikan Allah subhaanahuwata'aala dari sifat-sifat hakiki pada makhluk-Nya umpama, bersemayam, bersentuhan dan bertempat di atas langit atau di atas bumi/bertempat pada makhluk-Nya.

 

Mengenai hadis yang menggunakan redaksi Allah berada di atas langit, imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid,  “Al-Kirmani berkata, ‘makna  zahirnya مَنْ فِى السَّمَاء jelas bukan yang di maksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat. Akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya, sebagai isyarat akan ketinggian Zat dan sifat-Nya. Dan seperti inilah, para ulama lainnya menjawab/menerangkan setiap kata didalam nash yang menyebut kata fauqiyah/atas dan semisalnya.’” 

 

Hadis lain yang diandalkan golongan mujassimah, “Orang-orang yang penyayang, disayangi oleh ar-Rahmaan. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya akan menyayaingimu yang ada di langit .” (HR. At-Turmudzi dan disahihkan oleh Al-Albani).

Hadis diatas ini dha’if dan munkar!  Ia telah diriwayatkan oleh Abu Daud [4/285] hadis no.4941 dan at-Turmudzi [4/324] hadis no.1924 dan lainnya, seperti al-Hakim. Dalam sanad hadis ini, terdapat seorang perawi bernama Abu Qabus. Ia tidak dikenal identitasnya, majhul! Tidak meriwayatkan hadis darinya, kecuali Malik bin Dinar. Ad-Dzahabi berkata, “Ia tidak dikenal, la yu’raf!”. Sementara Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib [12:223], Imam Bukhari dalam kitabnya Al-Kabir telah menyebutnya dalam daftar perawi lemah...

 

Ketika menerangkan hadis di atas, al-Mubarakfuri berkata, “Ada yang berkata, yang dimaksud (menyayangi yang ada dilangit....dalam hadis itu) adalah penghuni langit, yaitu para Malaikat. Mereka (para malaikat) itu memohonkan ampunan bagi kaum Mukminin. Allah berfirman, ‘(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhan-nya, dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.’ (QS. Ghafir [40];7)”.

 

Penafsiran terakhir ini, didukung oleh banyak hadis sahih antara lain, Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam bersabda: “Tidak akan di rahmati Allah, orang yang tidak merahmati/berbelas-kasih kepada manusia.” (HR. Bukhari, Kitab at-Tauhid, bab kedua, Qaulullah Tabaraka wa ta’ala, ‘Qulid’u Allah au ud’ur Rahman 13/358 hadis no. 7376. Lihat juga Fathu al Bari,28/130-131).

 

Begitu pula redaksi hadis, “Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam mencium al Hasan bin Ali dan saat itu al-Aqra bin Habis duduk di samping beliau. Lalu al-Aqra’ berkata, ‘Aku punya sepuluh putra, tetapi aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka’. Lalu, Rasulullah memandangnya kemudian bersabda: ‘Barangsiapa tidak merahmati, ia tidak akan dirahmati.’” (HR.Bukhari dalam Kitabul Adab,10/438 hadis no. 60131). 

 

Berdoa tangan menengadah keatas, apakah Allah berada diatas?

Selanjutnya kaum Mujassimah mengatakan, dalam beberapa hadis disunnahkan seorang yang berdoa mengangkat tangan dan menengadahkannya kearah atas. Kaum mujassimah berkata, ini bukti bahwa Allah Subhaanahuuwata'aala berada diatas!

Ini pemahaman yang salah. Para ulama Islam berikut ini–selain kelompok Mujassimah, Musyabihah–menerangkan arah atas  adalah kiblat berdoa, Ka’bah adalah kiblat Shalat:

 

  • Imam Abu Manshur Al-Maturidi (W. 333H) berkata, “Adapun mengangkat tangan ke arah langit saat berdoa, ia murni karena tuntutan ibadah (dalam syariat). Allah berhak memperhamba hamba-hamba-Nya dengan apa saja yang Dia kehendaki dan mengarahkan mereka ke arah mana saja yang dikehendaki-Nya.                                                                                                                    Jika ada orang yang menganggap bahwa diangkatnya pandangan ke arah langit karena Allah di arah itu berarti ia seperti orang yang menganggap Allah berada di arah bawah (perut) bumi karena ia meletakkan dahinya di saat sujud, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Atau seperti orang yang menganggap bahwa Allah itu berada di sisi barat atau timur karena ia menghadap Allah di saat shalat (kearah barat atau timur), atau Allah berada di sisi Makkah, karenanya, ia haji menuju kota Makah.”(Kitab at Tauhid:75-76)

 

  • Imam Ghazali berkata, “Adapun mengangkat tangan ketika memohon/ berdoa ke arah langit karena ia adalah kiblat doa. Di dalamnya juga terdapat isyarat bahwa Zat yang kita berdoa kepadanya adalah menyandang sifat Kemahaagungan dan Kemahaperkasaan dan sebagai peringatan bahwa menuju arah atas adalah sebagai sifat keagungan dan ketinggian. Karena sesungguhnya, Dia (Allah) diatas segala sesuatu dengan penguasaan dan penaklukan.” [Ihya Ulumid Din,1/107, Dar al Ma’rifah. Lebanon.]

 

  • Imam Sayid Muhamad al-Husaini az-Zabidi–pensyarah kitab al-Ihya’–menerangkan perkataan Imam Ghazali ini, “Adapun, mengangkat tangan ketika memohon/berdoa ke arah langit, itu dikarenakan ia adalah kiblat doa. (sebagaimana Ka’bah adalah kiblah Shalat). Ia (seorang mushalli) menghadap Allah dengan dada dan wajahnya. Sedangkan Zat yang kita tuju itu (Allah), Maha suci dari bertempat di Ka’bah atau di langit.”

 

  • An-Nasafi telah menyinggung masalah ini, ia berkata, “Dan mengangkat tangan dan wajah (ke arah atas) saat berdoa adalah murni ta’abud/arahan agama, persis seperti menghadap Ka’bah ketika shalat. Jadi langit adalah kiblat doa sedangkan Ka’bah adalah kiblat shalat. Di dalamnya terdapat isyarat bahwa Zat yang kita berdoa kepadanya adalah menyandang sifat Kemaha-agungan dan Kemaha-perkasaan dan sebagai peringatan menuju arah atas adalah sebagai sifat keagungan dan ketinggian. Oleh karena, Dia (Allah) di atas segala sesuatu dengan penguasaan dan penaklukan. (dan yang menunjukkan hal itu adalah) firman Allah Taáala,                                                                                            وَ هُوَ الْقاهِرُ فَوْقَ عِبادِهِ

‘Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.’ (QS.Al-An’am [6];18). Penyebutan status ubudiyah (kehambaan) ketika menyebutkan pihak yang Allah di atasnya, menguatkan asumsi penafsiran bahwa yang dimaksud adalah, penguasaan dan penaklukan. Dan penulis (Imam Ghazali) telah menyebutkan dengan panjang lebar dalam kitab al-Iqtishad, rahasia mengapa menghadap ke arah atas, dalam berdoa. [lihat Ithaf as Sadah al Muttaqin Bi Syarhi Ihya’i Ulumid Din,2/170. Dar al Kotob al Ilmiyah. Beirut-Lebanon].

 

Dalam kesempatan lain, beliau juga menegaskan: “Jika ada yang berkata, ‘Apabila Allah Zat Yang maha Hak itu tidak berada di lokasi/arah tertentu, lalu apa arti (gunanya) mengangkat tangan ke arah langit di saat berdoa?’ Maka jawabnya dari dua sisi–seperti disebutkan at-Thurthusyi [nama lengkapnya Abu Bakar Muhamad bin al Walid al Andalusi al Maliki (w.520H)]

Pertama, Ia murni sebagai penghambaan (sesuai perintah semata) seperti menghadap Ka’bah dalam shalat, menempelkan dahi ketika sujud, dengan tetap meyakini prinsip Kemahasucian Allah dari bertempat di Ka’bah atau di tempat Sujud. Maka langit itu sebagai kiblat doa.

-Kedua, Langit itu adalah tempat turunnya rizki, wahyu, rahmat dan keberkahan... [Ibid.5/244].

 

  • Imam an-Nawawi juga menegaskan hal itu dalam syarah  Sahih Muslim, “Sesungguhnya langit adalah kiblat untuk para pendoa sedangkan Ka’bah adalah kiblat untuk orang-orang yang shalat.”[Syarah Muslim,5/24]. Keterangan serupa, disampaikan pula oleh para ulama di antaranya, al Hafidz Ibnu Hajar dalam syarah Sahih Bukharinya.
  • Mulla Ali al-Qari berkata, “Langit adalah kiblat doa, dengan arti dia adalah tempat turunnya rahmat dan ia adalah sebab berbagai nikmat. Dan ia (doa itu) penyebab dicegahnya beragam bencana…. dan Syeikh Abu Mu’in an-Nasafi menyebutkan dalam kitab at-Tamhid-nya bahwa para muhaqiqin telah menegaskan, diangkatnya tangan saat berdoa adalah murni perintah agama.” [Syarah al Fiqhi al Akbar:199.]

 

  • Allamah al-Bayadhi al-Hanafi berkata, “Diangkatnya tangan di saat berdoa ke arah langit, bukan karena Allah Ta’ala berada di atas langit tertinggi. Akan tetapi, karena ia adalah kiblat doa, dari arah (arah atas) itulah kebaikan dinanti-nanti dan keberkahan diharap turun, sesuai dengan firman Allah,

                          وَ فِي السَّماءِ رِزْقُكُمْ وَ ما تُوعَدُونَ

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS.Adz Dzariyat [51];22).

 

Disamping adanya isyarat sifat Kemaha Agungan dan Keperkasaan yang Dia sandang, Dia berada diatas makhluk-Nya dengan penaklukan dan penguasaan.”[ Isyarat al Maram:198].

 

Kelompok Mujassimah berdalil lagi bahwa penghuni Jannah/Surga akan melihat Wajah Rabb-nya, kemudian menyebutkan riwayat, ‘kelak penduduk surga akan melihat Tuhan dengan mata telanjang, sebagaimana mereka dahulu di dunia melihat bulan yang tidak terhalang oleh awan’. Kata mereka, ini juga sebagai bukti bahwa Allah berada di atas sana!

Memang benar kebanyakan ulama Ahlusunnah menerima hadis tentang Ru’yah (dapat dilihatnya Allah kelak di akhirat), tetapi mereka menolak jika di katakan bahwa Allah itu dilihat pada suatu tempat. Maha Suci Allah dari berada di sebuah sudut/tempat, dan Maha Suci Allah dari Kaifiyah!

 

  • Perhatikan keterangan para ulama, yang dirangkum oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqallani dalam Fathu al Bari-nya, ketika ia mensyarahi hadis yang dibawakan oleh kelompok Mujassimah tersebut. Al-Hafidz Ibnu Hajar dengan tegas mengatakan, “Prinsip dasar akidah bahwa Allah Maha Suci dari al-Jihah wa al kaifiyah, Maha Suci dari bertempat/berlokasi di sebuah arah/ lokasi/tempat tertentu dan Maha Suci dari penetapan cara/bagaimana dilihatnya Allah Taáala! Lebih lengkap, baca keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari, 28/204/ Kitabut-Tauhid, Bab Qaulillah Ta’ala, Wajuhun yaumaidzin Nadzirah.

Diterimanya riwayat tentang dapat dilihatnya Wajah Allah di surga atau di alam akhirat, sama sekali tidak dengan serta merta membenarkan akidah kaum Mujassimah bahwa Allah berada di atas. Sebab para ulama telah berselisih pendapat tentang esensi dan hakikat melihat Allah yang dimaksud dalam hadis dan ayat tersebut!

 

Kelompok Mujassimah menyebutkan argumen lagi, sebuah riwayat, ‘Allah turun kelangit dunia setiap sepertiga malam yang terakhir’. Mereka berkata riwayat ini mutawatir. Ini jelas, menunjukkan bahwa Allah Ta'ala berada diatas!

 

Ketahuilah, hadis-hadis yang redaksinya menyebutkan bahwa Allah Ta'aala turun ke langit dunia, zhahir teks/redaksinya bukan yang dimaksud! Maha suci Allah dari pensifatan seperti itu! Pemaknaan yang benar tentang hadis-hadis Nuzul/turun ialah Malaikat pesuruh Allah Ta'aala yang turun untuk menyerukan kepada penghuni langit dunia di waktu sahur/menjelang shubuh. Pengertian ini, telah didukung oleh beberapa hadis sahih berikut ini:

 

  • Hadis riwayat Imam Nasa’i dalam as-Sunan al Kubra,6/124 dengan sanad shahih dan ia juga dimuat dalam Amalu al yaum wa al Lailah:30 hadis nomer.482 dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah, bahwa keduanya berkata, “Rasulallah shallahu'alaihiwasallam, bersabda,

إنَّ اللهَ عز و جل يُمْهِل حتَّى يمضِيَ شطر الليل الأَول ثم يأمر منادِيًا يُنادي يقول: هل مِنْ داعٍ فيستجاب له؟ هل مِنْ  مستغفِر  يُغْفَرُ  لهُ ؟ هل مِنْ سائلٍ يعطَى؟                                                              

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberi tangguh sampai berlalu pertengahan pertama malam, kemudian Dia memerintah penyeru (malaikat) agar menyerukan: ‘Adakah orang yang mau berdoa, lalu di-ijabahkan untuknya? Adakah orang yang memohon ampunan, lalu ia diampuni? Adakah orang yang meminta, lalu ia diberi?”

 

  • Hadis riwayat Usman bin Abil Ash ats-Tsaqafi, ia berkata, Rasulallah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda,

 تُفتَحُ أبوابُ السماءِ نِصفَ الليلِ فينادي منادٍ: هل مِنْ  داعٍ  فيستجاب  له؟ هل مِنْ  سائلٍ فيُعطى ؟ هل مِنْ مكروبٍ فيُفرج  عنه؟ فلا يبقى مسلِمٌ يدعو بدعوةٍ إلا استجاب الله عز و جل إلا زانية تسعى بفرجِها أو عشارا.  

Pintu-pintu langit dibuka di pertengahan malam, lalu penyeru (malaikat) menyerukan, ‘Adakah orang yang mau berdoa, lalu di-ijabahkan untuknya? Adakah orang yang meminta, lalu ia diberi? Adakah seorang yang ditimpa bencana, lalu ia dibebaskan dari- nya? Maka tiada seorang Muslim berdoa dengan doa tertentu, melainkan Allah kabulkan untuknya, kecuali seorang wanita pezina yang menjual kehormatannya, atau seorang As-syara.”

 

Arti As-syara, seorang yang kerjanya memeras/menekan seper-sepuluh dari harta orang, atau tukang peras suruan penguasa. [Lihat Lisanul Arab,6/261]. Hadis diatas sahih, diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya,4/22, 217, Al-Bazzar dalam Kasyfu al Astar, 4/44, Ath-Thabarani dalam Mu’jam-nya 9/51. 

 

Berikut, keterangan dua tokoh ulama Ahlusunnah–yang sering dibenci dan diserang oleh Kaum Wahabi Salafi–karena sikap dua tokoh ulama ini dengan tegas menyatakan kesalahan kaum Mujassimah/Musyabbihah. Mereka adalah Muhyiddin an-Nawawi dalam syarah Sahih Muslim dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqallani dalam Fathu al Bari Bi Syarhi Sahihal Bukhari.

 

  • Keterangan Imam An-Nawawi, Sabda Nabi shallallahu'alaihiwasallam ;

                 ينزلُ ربُّنا كلَّ ليلةٍ  إلى سماء الدنيا          

Tuhan kita turun setiap malam ke langit dunia….”, lalu (Allah) berfirman, ‘Adakah orang yang menyeru-Ku, Aku akan kabulkkan untuknya.’

Hadis ini termasuk hadis-hadis Shifat. Mengenai hadis ini ada dua aliran/ pendapat ulama yang terkenal, kesimpulannya adalah sebagai berikut:

Aliran Pertama, adalah mazhab Jumhur Salaf dan sebagian Ahli Kalam, bahwa hadis-hadis seperti itu harus di-imani bahwa ia adalah hak/benar sesuai dengan makna yang pantas bagi Allah. Jelas, bahwa zhahir maknanya yang berlaku pada kita bukanlah yang dimaksud. Mereka (aliran pertama) tidak melibatkan diri dalam menakwilkannya, tetap meyakini Kemahasucian Allah dari sifat-sifat makhluk dan Maha Suci dari berpindah, bergerak dan seluruh sifat makhluk(Nya).

 

Aliran Kedua, yaitu mazhab kebanyakan Ahli Kalam dan sekelompok Salaf, adalah mazhab yang telah dinukil dari (Imam) Malik, al-Auzai. Hadis-hadis itu, harus ditakwil dengan makna yang pantas, sesuai dengan masing-masing teksnya dalam hadis-hadis tersebut. Atas dasar itu, mereka menakwilkan hadis ini (hadis nuzul) dengan dua takwil:

Pertama, adalah takwil Malik bin Anas dan ulama lainnya. Hadis itu maknanya adalah: Turunnya Rahmat dan Perintah serta (turunnya) Malaikat Allah. Seperti dikatakan, ‘Si Sultan melakukan ini dan itu.’ Adapun, yang melakukannya adalah, pendukung dan pengikutnya.

 

Kedua, kalimat itu adalah isti’arah/kata pinjam. Maksudnya adalah, menunjukkan bahwa Allah memberikan perhatian-Nya kepada para pendoa, dengan mengkabulkan dan berlemah lembut kepadanya. Allahu A’lam. [Syarah Sahih Muslim”, Imam Nawawi, 6/36-37.]

 

  • Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqallani, ketika menerangkan hadis no. 1145 pada Bab ad Du’a wa ash Shalah Min Akhiril Lail/Doa dan Shalat di waktu akhir malam,

                  ينزلُ ربُّنا كلَّ ليلةٍ  إلى سماء الدنيا                 

“Tuhan kita turun setiap malam ke langit dunia”.

 

Ibnu Hajar berkata, ‘Arah itu adalah arah atas. Sementara, jumhur ulama menentangnya.Karena pendapat itu, menyebabkan kepada keyakinan bahwa Allah berlokasi, Maha Suci Allah  dari berlokasi.

Selanjutnya Ibnu Hajar menyimpulkan, “Al Hasil, intinya bahwa ia ditakwilkan dengan dua makna: (pertama), makna turun di sini adalah turunnya perintah atau malaikat Allah atas perintah-Nya. Atau (kedua) adalah kata isti’arah dengan makna kelemah-lembutan Allah kepada para pendoa, dengan mengkabulkan doa mereka dan semisalnya.

 

Abu Bakar bin Faurak telah meriwayatkan bahwa sebagian masyaikh/guru besar hadis telah membaca kata:  ينزلُ dengan dhammah huruf pertamanya: يُنزل (yang artinya, menurunkan), maksudnya (Allah) menurunkan malaikat. Bacaan ini, dikuatkan oleh riwayat an-Nasa’i…dan hadis Usman bin Abi al-Ash… (kemudian beliau menyebutkan dua hadis yang telah dikemukakan sebelumnya).”

 

  • Ibnu Hajar mengutip keterangan Imam al-Baidhawi, “Karena.” telah tetap berdasarkan dalil-dalil yang nyata, bahwa Allah Maha Suci dari bersifat Jism (tubuh) dan berlokasi, maka mustahil bagi Allah Turun, dengan arti berpindah dari sebuah tempat ke tempat lain, yang lebih rendah. Jadi maknanya adalah turunnya rahmat Allah.…“ [Fathu al-Bari,6/36-37]

 

Kesimpulan singkat

Kelompok Wahabi-Salafi, membanggakan penafsiran kaum Musyabbihah/ Mujassimah terhadap riwayat-riawayat di atas dan membelakangi pemahaman jumhur ulama Islam!

 

Dari keterangan-keterangan semua itu dapat kita simpulkan, anggapan mujassimah bahwa Allah itu berada di arah atas adalah pendapat yang ditentang oleh jumhur pakar ulama Islam! Disamping yang telah dikemukakan tadi, masih banyak lagi hadis Shifat yang tidak tercantum disini, yang ditakwil maknanya oleh para pakar hadis (antara lain Imam Bukhori, Muslim dan lainnya) sesuai dengan sifat Kemahasucian dan Kemahaagungan Allah Subhaanahuwata'aala.

 

Umpama, dalam riwayat ada kata,  و جاء رَبُّك  arti secara bahasa, ‘Dan datanglah Tuhamu’, tapi ditakwil oleh para pakar hadis, جاء ثوابُهُ artinya: ‘Datang pahala-Nya’. Dan kata  الضحك  atau يَضْحَك  artinya secara bahasa tertawa, tapi ditakwil oleh para pakar berarti  Rahmat  dan ada yang mengartikan Kerelaan, Kebaikan balasan

 

Tertawa yang di alami manusia adalah dengan membuka mulut dan tentunya makna ini mustahil disamakan dengan  Allah Taáala. Akan tetapi, golongan Mujasimah dan mereka yang tertipu oleh syubhat kaum Mujasimah ini lebih tertarik mengemukakan hadis-hadis dengan redaksi yang mendukung pandangan Tajsim yang mereka yakini, walaupun mereka enggan disebut sebagai Pewaris Mazhab Mujassimah.  

 

Di sini,  kita juga harus mencermati dan memahami dengan benar, perkataan para imam seperti Imam Syafi’i dan para imam lainnya, yang selalu dinukil oleh golongan Mujassimah. Apakah para imam itu, menghendaki makna seperti golongan Mujassimah terjemahkan? Apakah jika para imam itu tidak melakukan takwil, berarti mereka memaknainya seperti yang golongan Mujassimah terjemahkan? Disinilah letak masalahnya! 

 

Para Ulama dalam menyikapi ayat-ayat/hadis-hadis sifat mempunyai beberapa tiga pendapat/aliran:

  • Golongan ulama mentafwidh artinya, tidak berkomentar apapun. Mereka tidak memberikan arti apapun tentangnya, tetapi menyerahkan pemaknaannya kepada Allah Taáala. Artinya, mereka tidak mau melibatkan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya itu! Gologan ulama ini tidak memiliki aliran, tetapi mereka ini tidak berarti menta’thil (menafikan) dari penyifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabihah belaka!
  • Golongan ulama yang menakwilkannya dengan penakwilan tertentu, yaitu memberikan penafsiran yang sesuai dengan ke-Maha-sucian dan ke-Maha-agungan Allah Taáala, ini dibolehkan.

 

  • Golongan lainnya lagi, mengartikan kata-kata sifat itu secara literal. Kata Yanzilu diartikan turun secara literal;  Yadun diartikan tangan secara literal; dhohika diartikan tertawa secara literal dan begitu seterusnya. Ini semua, menjurus kepada tajsim dan tasybih Allah Taáala kepada Makhluk-Nya. Karena secara bahasa dhahika itu tertawa dan ini artinya jelas dalam kamus-kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Kata yanzilu secara bahasa artinya turun dan ini meniscayakan adanya perpindahan dan perpindahan itu meniscayakan adanya gerak dan gerak itu adalah konsekuensi dari sifat benda, itu jelas sekali! Kalau kata yanzilu tanpa perpindahan dan gerak, namanya bukan yanzilu. Itu berarti, memaknai kata itu bukan dengan makna bahasa sesungguhnya!          

 

Sebagaimana yang telah dikemukakan tadi, kelompok Mujassimah untuk menetapkan kesucian Allah Ta'aala mereka mengatakan, Allah mempunyai jasmani namun tanpa bentuk, Allah  mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk dan sebagainya!  Ini semua adalah keyakinan yang tidak benar!  

 

Marilah kita renungkan sebagian isi khutbah Amirul Mukminin Imam Ali Bin Abi Thalib k.w. yang ditukil dari Kitab Nahjul Balaghah di bawah  ini. Imam Ali sedemikian indah menjelaskan mengenai sifat Allah Taáala:

Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tidak terlukiskan oleh pembicara. Tidak terhitung nikmat-Nya oleh para penghitung. Hak-Nya akan pengabdian tidak akan terpenuhi oleh para pengupaya. Tidak dapat dicapai Dia oleh ketinggian intelek dan tidak pula terselami oleh pemahaman yang bagaimanapun dalam nya. Ia, yang sifat-Nya tiada terbatasi lukisan, pujian yang tepat tidaklah maujud (Maha ada). Sang waktu tidaklah dapat memberi batas, dan tidak kurun yang mengikat-Nya. 

 

Pangkal agama adalah ma’rifat-Nya, dan kesempurnaan ma’rifat-Nya adalah membenarkan-Nya dan kesempurnaan iman kepada keesaan-Nya adalah ikhlas kepada-Nya, dan ke sempurnaan ikhlas kepada-Nya, adalah menafikan sifat yang di berikan kepada-Nya, karena setiap sifat membuktikan bahwa ia bukanlah yang disifati dan setiap yang disifati membuktikan bahwa Ia bukanlah sifat.  

 

Dan barangsiapa menyifatkan Allah yang Maha Suci, ia telah memberikan pasangan kepada-Nya. Dan barangsiapa memberi pasangan kepada-Nya ia telah menggandakan-Nya. Dan barangsiapa menggandakan-Nya, ia telah membagi-bagi-Nya. Dan barangsiapa membagi-Nya, ia telah berlaku jahil kepada-Nya. Dan barangsiapa berlaku jahil kepada-Nya berarti ia telah menunjuk-Nya. Dan barangsiapa menunjukkan-Nya, berarti telah memberi batas kepada-Nya. 

 

Dan barangsiapa membatasi-Nya, berarti memberi jumlah kepada-Nya. Dan barangsiapa berkata, ‘Di dalam apa Dia berada’ berarti ia telah menyisipkan-Nya, dan barangsiapa berkata, ‘Di atas apa Dia berada’ maka sungguh Ia lepas dari hal tersebut.  

Dia maujud, Maha ada, tetapi tidak muncul dari proses kejadian. Ia ada, tetapi tidak dari tiada. Ia bersama segala sesuatu, tapi tidak berdampingan. Dan Ia tidak bersama segala sesuatu, tanpa saling berpisahan. Ia bertindak, tetapi tidak berarti ia bergerak dan menggunakan alat. Ia Maha Melihat tapi tidak tergantung makhluk untuk dilihat. Ia Maha Esa dan tiada sesuatupun yang menemaninya, dan tidak merasa sepi karena ketiadaan”. 

                                 
Albani: Tokoh Wahabisme Modern

Di era modern, kaum Wahabi-Salafi sangat bangga dengan kehadiran Syaikh Muhamad Nashiruddin Albani. Tokoh ini lahir di kota Ashkodera, negara Albania pada tahun 1914 M. Albani digelari kaum Wahabi sebagai Imam Muhaddisin (Imam para ahli hadis), karena ilmunya tentang hadis bagaikan samudera tanpa bertepi. Bahkan, kaum Wahabi menyatakan, kepakaran Albani dalam ilmu hadis sederajat dengan Imam Bukhari, pada zamannya. Karenanya, semua hadis bila telah disahihkan atau di lemahkan olehnya, sudah pasti lebih mendekati kebenaran. 

 

Sayangnya, derajat kepakaran hadis Albani bukan tanpa cela. Syaikh Hasan Ali Assegaf ,seorang ulama Yordania, menilai terlalu banyak kontradiksi dan tashih hadis dari Albani. Inkonsistensi Albani dalam catatan Assegaf terlalu banyak. Ia mencatat, tashih hadis Albani tidaklah konsisten. Inkonsistensi itu terjadi pada tashih atas 1.200 hadis lebih. Syaikh Hasan secara khusus menulis hal ini dalam sebuah kitab berjudul: Tanaqudhat Albani al-Wadhihah fîma waqa’a fi tashihi al-Ahadis wa tadh‘ifiha min akhtha’ wa ghalath (Kontradiksi Albani yang nyata, terhadap pensahihan hadis-hadis dan pendhaifannya yang salah dan keliru). Jumlah kesalahan ini, bukan sedikit jika dikaitkan dengan gelar Imamul Muhaddisin atau Al-Mujaddid (pembaru dalam Islam) yang disandangkan oleh para pengikutnya.

 

Albani sendiri, sebenarnya secara tidak langsung pernah mengakui kecerobohannya dalam menilai hadis. Ini dapat terlihat dengan jelas dalam kitab Taraju’ul al-All amah al-Albani fima Nashsha ‘alaih Tashhihan wa Tadh’afan (ralat Albani atas penjelasannya mengenai penilaian sahih dan dha’if). Dalam kitab ini, Albani mengaku secara terus terang kesalahannya dalam menilai sahih dan dha’if suatu hadis yang pernah ia tulis. Dalam kitab ini, Albani meralat penilaiannya hanya 621 hadis yang sebenarnya sahih tetapi ia nilai dha’if dan sebaliknya.

 

Kelompok Wahabi, tetap meyakini tidak ada kontradiksi atau kesalahan dalam hadis yang dikemukakan oleh Albani tersebut, tapi lebih merupakan ralat, koreksi atau rujukan. Alasan ini, baik oleh ulama maupun awam, tidak bisa diterima secara aqli (akal) maupun naqli (menurut nash). Seorang yang dijuluki Imam Muhaddisin atau Al-Mujaddid, seharusnya tidak gegabah dalam menentukan suatu hadis sahih, dha’if, terputus atau selainnya. Sehingga tidak memerlukan ralat yang begitu banyak pada kitabnya yang lain.

 

Karenanya, hadis yang ditentukan oleh Syeikh ini dan pengikut-pengikutnya sebagai lemah, palsu atau selainnya, tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, harus diteliti dan di periksa lagi oleh ulama mazhab lainnya. 

Golongan salafi/wahabi ini bukan hanya tidak mau menerima keritikan para ulama yang tidak sependapat dengan ulama mereka, malah justru sebaliknya mengecam pribadi para ulama ini sebagai orang yang bodoh, golongan zindik, sesat, tidak mengerti bahasa Arab, dan lain sebagainya. Mereka juga mengatakan, kontradiksi tentang hadis Nabi shallahu'alaihiwasallam atau perubahan pendapat, juga terjadi pada empat imam mazhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hanbali) atau ulama lainnya.

 

Padahal, kalau kita teliti perubahan pendapat para imam empat mazhab atau ulama lainnya ini, biasanya berkaitan dengan pendapat atau ijtihad mereka sendiri. Misalnya, di salah satu kitab, mereka membolehkan suatu masalah, sedangkan pada kitabnya yang lain memakruhkan atau mengharamkan masalah yang sama atau sebaliknya. Perubahan pendapat ulama ini, tidak ada sangkut pautnya dengan hadis yang mereka kemukakan. Seandainya ditemukan kontradiksi yang berkaitan dengan hadis antara satu kitab mereka dan yang lain, kontradiksi ini tidak akan melebihi 10 hadis, bukan ratusan seperti yang di ketemukan pada pendapat Albani. 

 

Syaikh Albani, sering menyalahkan ulama lainnya. Ia sering mendudukkan dirinya sebagai sumber yang tidak pernah dikalah kan. Dia selalu meniru kata-kata ulama pakar dalam menyelidiki suatu hadis yaitu  Lam aqif ala sanadih artinya saya tidak akan berhenti hanya pada rantaian sanadnya atau kata-kata yang serupa.

 

Ulama dari Yordania ,Syeikh Saggaf, dalam kitabnya secara terperinci memberikan penilaian bahwa di satu halaman kitab Albani menulis, hadis ini lemah tetapi dihalaman atau dikitab lainnya mengatakan hadis yang sama itu sahih atau hasan. Begitu juga dengan inkosistensi tentang penilaian para perawi hadis. Di satu kitab atau halaman mengatakan bahwa perawi ini tidak bisa dipercaya, namun dihalaman atau di kitab lain, perawi yang sama dinilai dapat dipercaya dan baik. Begitu juga Albani di satu halaman atau kitabnya memuji-muji seorang perawi, namun di bagian lain ia mencela perawi yang sama.

 

Berikut, sebagian saja pilihan/seleksi kesalahan isi kitab Albani yang dipaparkan Syeikh Saqqaf, yang kami kutip, dan kami terjemahkan serta susun dari versi bahasa Inggris yang berjudul ‘Al-Albani’s Weakening of Some of Imam Bukhari and Muslim’s Ahadit. Kitab asli bahasa Arabnya berjudul ‘Tanaqadat al-Albani al-Wadihat….’ (Kontradiksi yang nyata/jelas pada Al-Albani…) karya Syeikh Saqqaf, Amman, Jordania. Beberapa contoh   diantaranya :

Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim”, hadis ini oleh Albani dianggap lemah dalam penelitiannya dari Mishkat Al-Masabih, 1/434. Katanya, Perawi hadis ini bisa dipercaya, tetapi terputus sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Daud. Akan tetapi, Albani dalam Irwa Al-Ghalil 3/54 nomor 592 mengatakan hadis ini sahih.

 

Hadis, Mahmud ibn Lubaid berkata, “Rasulallah-shallahu'alaihiwasallam-di beritahu mengenai seorang yang telah mencerai isterinya 3x dalam satu waktu. Karenanya, beliau-shallahu'alaihiwasallam-berdiri dengan marah dan bersabda, ‘Apakah dia bermain-main dengan Kitabullah, sedangkan aku masih berada dilingkungan engkau?’ Berdiri seorang dan berkata, ‘Wahai Rasulallah, apakah  dia tidak saya bunuh saja ?’ (HR.Al-Nisa’i).

Albani menyatakan hadis ini lemah menurut penyelidikannya dari kitab ‘Mishkat Al-Masabih 2/981 cet.ke 3, Beirut 1405 H. de Maktab Al-Islami‘ yang menyebutkan,  “Perawinya bisa dipercaya tapi isnadnya terputus atau tidak komplit, karena dia tidak mendengar langsung dari ayahnya”. Albani berkata berlawanan dengan dirinya sendiri dalam kitab Ghayatul Maram Takhreej Ahadith Al-Halal wal-Haram no. 261 hal. 164, cet. Ke 3  Maktab Al-Islami, 1405 H, mengatakan bahwa hadis itu Sahih !

 

Hadis dari Abdullah ibn Amr r.a., “Sholat Jumat wajib bagi orang yang sudah mendengar panggilan (azan)” (HR.Abu Daud). Al-Albani menyatakan hadis ini hasan dalam ‘Irwa Al-Ghalil 3/58’  dan dia berlawanan dengan perkataannya yang menyatakan hadis ini lemah dalam Mishkatul Masabih 1/434 no. 1375 !

Syeikh Albani dalam  Syarh Al-Aqidah at-Thahawiyah karya Syeikh Ibnu Abi Al-Izz Al-Hanafi rhm. hal. 27-28 cet. ke 8 Maktab Al-Islami berkata, “Hadis-hadis sahih yang dikumpulkan  Bukhari dan Muslim, kesahihannya bukan karena diriwayatkan oleh mereka, tapi karena hadis-hadis itu sendiri sahih.” Tetapi, Albani telah nyata berlawanan dengan omongannya sendiri, karena sering melemahkan hadis dari dua syeikh tersebut.

 

Hadis diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam bersabda, Allah Taáala berfirman, “Aku musuh dari tiga orang pada hari kebangkitan; a) Orang yang mengadakan  perjanjian atas nama-Ku, tetapi dia sendiri melakukan pengkhianatn atasnya.b) Orang yang menjual orang merdeka sebagai budak dan makan harta hasil penjualan tersebut. c).Orang yang mengambil buruh untuk dikerjakan dan bekerja penuh untuk dia, tapi dia tidak mau membayar gajinya”.(HR. Bukhari no.2114 dalam versi bahasa Arab atau dalam versi bahasa Inggris  3/430 hal. 236). Al-Albani dalam Dha’if Al-jami’ wa Ziyadatuh 4/111 nr. 4054. melemahkan hadis ini.

 

Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan Nasai dari Abu Darda r.a., “Siapa yang membaca 10 surah terakhir dari surah Al-Kahfi, akan dilindungi dari kejahatan Dajjal.” Hadis ini oleh Al-Albani dalam Dha’if Al-jami’ wa Ziyadatuh, 5/233 no. 5772 di nyatakan lemah. Walaupun hadis ini, juga dikutip oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin 2/1021 (dalam versi Inggris).  Dalam riwayat Muslim, hadis ini tertulis menghafal 10 surah terakhir Al-Kahfi, bukan membaca sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albani, ini adalah kesalahan yang nyata.

 

Hadis, “orang yang dimuliakan disisi Allah pada hari pembalasan (kiamat) ialah yang tidak membuka rahasia antara dia dan isterinya.” (Muslim nr.124 dan 1437). Al-Albani dalam Dhaeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 2/192 no. 1986 menyatakan bahwa hadis ini lemah. Walaupun hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Abi Sayed.

 

Hadis: “Bila seorang bangun malam (untuk sholat), maka mulailah sholat dengan dua raka’at ringan” (Muslim no. 768). Al-Albani dalam Daeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 1/213 no. 718 menyatakan bahwa hadis ini lemah. Walaupun hadis ini di riwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah. Dan masih banyak riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang dilemahkannya.

 

Albani sering mengatakan, dia tidak menemukan sanadnya atau dia tidak menemukannya. Misalnya, hadis dari Ibnu Mas’ud r.a, “Al-Quran diturunkan dalam tujuh (macam) bahasa, setiap ayat ada yang jelas dan yang kurang jelas, dan setiap larangan itu jelas...” Albani dalam Misykat al-Masabih, 1/80 no. 238 menyatakan, menurut penyelidikannya dalam Syarh as-Sunnah banyak hadis dengan kata-kata, ‘diceriterakan/diriwayatkan’. Ketika, dia menyelidiki ‘Bab Masalah Ilmu dan Keutamaan Al-Quran’ tidak menemukan hadis itu. 

 

Syeikh Seggaf berkata, “Bila dia benar-benar tertarik menemukan hadis ini,  dianjurkan untuk melihat dalam bab yang berjudul,  Al-Khusama fi Al-Quran van Sharh-us-Sunnah (1/262).  Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Sahih-nya no. 74; Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 5403; Tahawi dalam Syarh Al-Musykil Al-Athar 4/172, Bazzar dalam Kasy Al-Asrar 3/90, Haitami telah menyatakan dalam Majmu’ Al-Zawaid 7/152 dan dia merujuk kepada Bazzar, Abu Ya’la dan Thabrani dalam Al-Ausat yang berkata bahwa semua perawinya bisa dipercaya”.

 

Albani sering menyalahkan para pakar Islam dalam menilai hadis. Misalnya Al-Albani mengeritik Imam Al-Muhaddis Abu al-Fadl Abdullah Ibnu Al-Siddiq Al-Ghimari rahimahullah, ketika meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a dalam kitabnya Al-Kanz Al-Thameen yang bertalian dengan perawi Abu Maimuna, “Sebarkan salam, beri makan orang-orang miskin..” Setelah merujuk hadis ini dari Imam Ahmad dan lain-lain, Al-Albani dalam Silsilah Al-Dha’ifa, 3/492 berkata, “Bahwa sanadnya lemah. Daruqutni juga berkata, ‘Qatada dari Abu Maimuna dari Abu Hurairah tidak dikenal dan itu harus dikesampingkan.’ ” 

 

Al-Albani berkata pada halaman yang sama, “Pemberitahuan, pukulan bagi Suyuthi dan Munawi, ketika mereka menemukan hadis ini, dan saya juga telah menunjukkan dalam referensi yang lalu no. 571 bahwa Al-Ghimari telah salah menyebutkan (hadis) itu dalam Al-Kanz.”

 

Syeikh Seggaf berkata, “Sebenarnya justru Al-Albani yang terkena pukulan, sebab sangat bertentangan dengan perkataan- nya dalam  Irwa Al-Ghalil, 3/238 yang menggunakan sanad yang sama. Dia (Albani) berkata,  ‘Diklasifikasikan oleh Ahmad (2/295), al-Hakim...dari Qatada dari Abu Maimuna dan orang mempercayainya sebagaimana yang disebutkan didalam kitab Al-Taqrib dan Hakim berkata bahwa sanadnya sahih dan Ad-Dzahabi sepakat dengan Hakim.”

 

Albani, memuji seseorang di salah satu kitabnya, dan mengecilkan orang tersebut dikitab yang lain. Dia memuji Syeikh Habib al-Rahman al-Azami dalam Sahih al-Targhib wa Tarhib hal. 63, “Saya ingin agar engkau mengetahui., yang dikomentari oleh ulama yang terkenal dan terhormat Syeikh Habib al-Rahman al-Azami.” Dan pada halaman yang sama dia (Albani) mengatakan, “Dan apa yang membuat saya lebih senang dalam hal ini bahwa kajian serta hasil penelitian ini ditanggapi (dengan baik--pen.) oleh yang terhormat Syeikh Habib al-Rahman al-Azami.” Akan tetapi, dalam Adabuz-Zufaaf (Akhlak Perkawinan dan Pernikahan), hal. 8 dia berkata, “...Salah satu musuh sunnah, hadis dan tauhid yang cukup terkenal adalah Syaikh Habib al-Rahman al-Azami...karena sikap pengecutnya dan kekurangan ilmunya...”.

 

Mengenai Umar Ibn Ali Al-Muqaddami, Albani telah melemahkan dia dalam Sahihah 1/371, dia berkata, “Dia (Umar ibn Ali)) sendiri sebenarnya adalah terpercaya, tetapi dia sebagai Pemalsu yang sangat jelek, yang membuatnya tidak terpercaya...”  Al-Albani membuat kontradiksi baru lagi dalam Sahihah 2/259 mengatakan, bila ada sanad yang menyebut Umar Ibn Ali maka bisa di percayainya. Al-Albani berkata, “Dinilai oleh Hakim yang berkata, Sahih isnadnya (rantaian perawinya) dan Ad-Dhahabi mengakuinya juga dan ini yang mereka (berdua) katakan (hadis sahih--pen)“.

 

Inilah sebagian kecil yang kami nukil kesalahan Albani, yang ditulis oleh Syeikh Seggaf.  Bagi para pembaca, yang ingin membaca seluruh isi kitab Syeikh Seggaf ini dan berminat untuk memiliki kitab aslinya, bisa menulis surat ke alamat: IMAM AL-NAWAWI HOUSE Postbus 925393 AMMAN, Jordan.

 

Fatwa-fatwa Albani yang berlawanan dengan para salaf

Al-Albani fatwanya sering berlawanan dengan para salaf dan pakar Islam. Al-Albani dan  kelompoknya–sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya–mengartikan penyerupaan Allah Ta'aala secara zhohir teks dan tidak boleh di takwil, misalnya, firman Allah dan hadis mutasyabihat yang menyebutkan betis, kaki, ketawa, turun, dilangit dan sebagainya.  

 

Al-Albani berkata, “Kami sungguh meyakini kebanyakan juru takwil bukanlah orang kafir yang pura-pura beriman, akan tetapi sesungguhnya mereka (juru takwil) benar-benar mengutarakan perkataan orang-orang kafir yang pura-pura beriman. Lebih lanjut dia berkata, ‘Takwil adalah puncak (pemikiran) mazhab yang mengingkari sifat-sifat Tuhan.’” (Fatawa Al-albani hal.522-523, Muktashorul Uluwwi hal. 23 dan berikutnya). .

 

Golongan anti takwil ada lagi yang berkata, “Mentakwil itu boleh secara global, kecuali apa yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifatNya, maka tidak ada penakwilannya.”

Padahal, metode takwil sudah dilakukan oleh sahabat senior Abdullah bin Abbas r.a, dan diriwayatkan para pakar Islam (baca uraian sebelumnya). Kelompok wahabi-salafi sering berlawanan dengan paham para sahabat, salaf dan kholaf. Sudah tentu ada ulama-ulama yang memuji Syekh Albani ini, tapi mereka semuanya semazhab dan serumpun. 

 

Mengenai Tawasul, Albani lebih extrem lagi, dia mengatakan; “Saya katakan kepada mereka yang bertawasul dengan wali dan orang saleh bahwa saya tidak segan sama sekali menamakan dan menghukum mereka sebagai Sesat dari kebenaran. Tidak ada masalah untuk menghukum mereka sebagai sesat dari kebenaran dan ini sejalan dengan firman Allah kepada nabi Muhamad sebagai sesat dari kebenaran, sebelum turunnya wahyu Ad-Dhuha  [93] :7.” (Fatawa Al-Albani hal.432).

 

Al-Albani menafsirkan surah Ad-Dhuha:7 bahwa Rasulallah shallallahu'alaihi wasallam yang sesat, padahal tidak ada para mufassirin yang menafsirkan seperti Imam mazhab wahabi-salafi ini. Para Mufasirin tidak menisbatkan kata Dhollan diayat ini, kepada Rasul shallallahu'alaihiwasallam, sebagai seorang yang sesat. Nabi Muhamad shallallahu'alaihiwasallam tidak pernah sesat dari kebenaran baik sebelum masa kenabian mau pun sesudahnya. Para mufassirin menafsirkan bahwa beliau shallallahu'alaihiwasallam ketika itu belum mengetahui kandungan isi Al-Quran dan kitab lainnya, kemudian diberi petunjuk dan jalan keluar oleh Allah Ta'aala. Beginipun pula, menurut tafsiran Imam Qurtubi.

 

Dalam Al-quran dan terjemahannya, dikeluarkan oleh Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Dept. Agama RI th.1979/1980 di terjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, diartikan sebagai beikut: “Dan Dia mendapati kamu (Muhamad) sebagai seorang yang bingung (kebingungan untuk mendapatkan kebenaran, yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah Ta'aala menurunkan wahyu [petunjuk] kepada Muhamad shallallahu'alaihiwasallam), lalu Dia memberikan petunjuk”. 

Jelas, kata Dollan pada ayat Ad-Dhuha:7 itu, bukan diartikan bahwa junjungan kita Muhamad shallallahu'alaihiwasallam sebagai orang yang sesat!

 

Al-Albani mengatakan, “Tawasul dengan zat Nabi dan menjadikan istighotsah (minta bantuan) kepada selain Allah adalah Syirik!’ (At-Tawasul  hal.25, hal.70 dan 74).

Padahal, imam Bukhori dalam sahihnya–kitab zakat bab barangsiapa meminta-minta kepada manusia untuk memperbanyak harta–meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar bahwa  Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Sesungguh- nya matahari kelak pada hari kiamat dekat, sehingga keringat sampai separuh telinga. Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, mereka beristighotsah kepada Adam…kemudian kepada Musa…. kemudian kepada Muhamad”   

 

Tawasul dan Istighotsah artinya sama, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Al-Lughowi (ahli bahasa) Taqiyudin As-Subki. Imam as-Suyuti berkata, tentang pribadi As-Subki: Sungguh dia adalah Hafiz mujtahid Lughowi, Faqih (ahli fiqih) ushuli (ahli usuluddin) ahli nahwu dan ahli tauhid.

 

Hadis syafa’at diriwayatkan oleh imam Bukhori dengan dua lafaz. Lafaz yang pertama ialah yang tersebut diatas dari Ibnu Umar dan yang kedua, dari Anas bin Malik dengan Lafaz istisyfaa’ (permohonan syafaat) dan konteksnya ialah, Fasyfa’ lanaa ‘inda Rabbana. (Berilah kami syafaat disisi Tuhan kita). 

Dari dua riwayat diatas ini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya istighotsah itu adalah tawasul dan tawasul itu adalah istighotsah!

 

Al-Albani juga mengingkari pemberian nama Izroil—malaikat Pencabut nyawa. Dia berkata; ‘Sesungguhnya pemberian nama malaikat kewafatan dengan Izroil sebagaimana tersebar di kalangan manusia, itu tidak ada sumber asalnya. Itu termasuk dari Israiliat (ceritera-ceritera bohong yang dibuat oleh Bani Israel)’. Al-Albani menyalahi ijmak para pakar islam berikut ini;

 

Al-Hafiz Ibnu Jauzi Al-Hanbali–dalam sebagian karyanya–menyebut malaikat kewafatan itu namanya Izroil (Ismail bin Katsir Al-Qurasyi dalam tafsirnya jilid 3 hal.458 mengatakan, malaikat kewafatan dalam atsar dikenal dengan nama Izroil).

Al-Qodhi Iyadh dalam kitab Asy-Syifa 2/303 telah menukil ijmak para ulama bahwa nama malaikat kewafatan adalah Izroil.

 

Sebenarnya dalil ijmak ini saja sudah cukup untuk menjawab kesalahan Al-Albani. Sabda Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam dari Abu Mas’ud Al-Badri, “Dan kamu harus berjamaah (menerima ijmak), karena sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan umat ini bersepakat atas kesesatan.” (Muwafa qotul Khobar Al-Khobaru 1/115). Hadis yang senada juga disampaikan oleh Rasulallah shallallahu 'alaihiwasallam , “Umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan”.

 

Al-Albani mengutip beberapa riwayat hadis dan mengatakan orang harus membaca salam kepada Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam dalam tasyahud, “Assalamu alan Nabi” (Salam sejahtera semoga di limpahkan atas Nabi), sebagai ganti, “Assalamu alaika ayuhan Nabiyyu warahmatullahi wa barakatuh” (Salam sejahtera, rahmat dan berkah Allah semoga tetap tercurahkan atasmu wahai Nabi). Alasannya, waktu Nabi masih hidup boleh mengatakan, assalamu alaika.. tetapi setelah wafatnya beliau, harus mengucapkan Assalamu alan Nabi. … 

   

Padahal, kalau kita membaca tulisan para Salaf dan pakar hadis, ucapan salam kepada Nabi shallallahu'alaihiwasallam dalam tasyahud adalah Assalamu alaika ayyuhan nabiyyu.…..baik beliau masih hidup maupun setelah wafatnya. Kholifah Abubakar, Umar bin Khatab dan Ibnu Zubair mengajarkan kepada segenap manusia diatas mimbar setelah kewafatan Nabi shallahu'alaihiwasallam, at-Tasyahud dengan lafal yang masyhur, yang didalamnya terdapat lafal ‘Assalaamu ‘alaika ayuhan Nabiyyu warahmatullahi wa barakatuh”.(lihat Ath-Thohawi dalam syarh Ma’aani Al-Aatsar 1/264, Al-Baihaqi dalam sunannya 2/142 dan Malik dalam Al-Muwattha kitab shalat bab tasyahud dalam shalat).

 

Begitu juga kita bisa  baca kitab-kitab figih para pakar hadis, lebih mudahnya baca kitab fiqih empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali [r.a]) oleh Allamah  Syeikh Muhamad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Dkitab ini ditulis bahwa bacaan salam  dalam tasyahud, Assalamu  alaika ayyuhan Nabiyyu….! 

 

Nama para ulama pengeritik Al-Albani

  • Murid Abdul Aziz bin Baz ,Muhamad bin Saleh al-Utsaimin, (ulama  kelompok Wahabi)–dalam kitabnya Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah hal. 638 cet. Riyadh Dar al-Tsurayya, 2003–menyatakan, “Ada seorang laki-laki dewasa ini (yang dimaksud Albani), yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali, mengatakan, ‘bahwa azan Jum'at yang pertama adalah bid‘ah, karena tidak dikenal pada masa Rasul dan kita harus membatasi pada azan kedua saja.’                                                                                                                                Kita katakan pada laki-laki tersebut, ‘sesungguhnya sunnahnya Usman r.a, sunnah yang harus di ikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul-shallahu 'alaihi wasallam-dan tidak ditentang oleh seorang pun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih memiliki ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (Albani). Usman r.a. termasuk Khulafaur Rasyidin, yang memperoleh pentunjuk dan diperintahkan  oleh Rasullah untuk di ikuti”.

 

  • Kritik lain datang dari sarjana ahli hadis asal India, Habib al-Rahman al-A‘zami. Ia secara khusus menulis kitab berjudul, Al-Bani Shudhudhuh wa Akhta’uh (Kekhilafan dan Kesalahan Albani) dalam empat jilid.
  • Sarjana Syria, bernama Muhamad Said Ramadan al-Buuti, rahimahullah. Kritiknya kepada Albani dia sampaikan dalam dua kitab klasiknya yang berjudul, al-Lamadhhabiyya Akhtaru Bid‘atin Tuhad-didu al-Syari‘ah  al-Islamiyah dan al-Salafiya Marhalatun Zamaniyatun.

 

  • Sarjana hadis dari Marokko ,Abdallah ibn Muhamad ibn al-Siddiq al-Ghumari, kitab-kitabnya berjudul,  Irgham al-Mubtadi al-Ghabi bi Jawaz al-Tawassul bi al-Nabi fi al-Radd ala al-Albani al-Wabi,  al-Qawl al-Muqni fi al-Radd ala al-Albani al-Mubtadi dan Itqan al-Sun‘a fi Tahqiq Ma‘na al-Bid‘a.
  • Sarjana hadis dari Syria ,Abdal-Fattah Abu Ghudda, judul kitabnya Radd ala Abatil wa Iftira’at Nasir al-Albani wa Sahibihi Sabiqan Zuhayr al-Shawish wa Mu’azirihima.

 

  • Sarjana hadis dari Mesir ,Muhamad Awwama,  kitabnya berjudul  Adab al-Ikhtilaf.
  • Sarjana Mesir ,Mahmud Said Mamduh, kitab-kitabnya berjudul, Wusul al-Tahani bi Ithbat Sunniyyat al-Subha wa al-Radd ala al-Albani dan Tanbih al-Muslim ila Ta‘addi al-Albani ala Shohih Muslim.
  • Sarjana hadis dari Saudi Arabia ,Ismail ibn Muhamad al-Ansar, kitab-kitabnya berjudul, Ta‘aqqubat ala Silsilat al-Ahadith al-Da‘ifa wa al-Mawdu‘a li al-Albani, Tashih Sholat al-Tarawih Ishrina Rak‘atan wa al-Radd ‘ala al-Albani fi Tad‘ifih dan Ibahat al-Tahalli bi al-Dhahab al-Muhallaq li al-Nisa’ wa al-Radd ‘ala al-Albani fi Tahrimih.

 

  • Sarjana Syria Badr al-Din Hasan Diab bukunya berjudul Anwar al-Masabih ‘ala Zulumat al-Albani fi Sholat al-Tarawih.
  • Direktur dari Pensubsidian Keagamaan di Dubai ,Isa ibn Abdallah ibn Mani al-Himyari, kitab-kitabnya yang berjudul, al-I‘lam bi Istihbab Shadd al-Rihal li Ziyarati Qabri Khayr al-Anam dan al-Bid‘a Al-Hasana Aslun Min Usul al-Tashri.

 

  • Menteri Agama dan Subsidi dari Arab Emiraat ,Sheikh Muhamad ibn Ahmad al-Khazraji, menulis artikel al-Albani Tatar- rufatuh.
  • Sarjana dari Syria ,Firas Muhamad Walid Ways, dalam edisinya yang berjudul  Ibn al-Mulaqqin’s Sunniyyat al-Jumu‘a al-Qabliyya.
  • Sarjana Syria ,Samer Islambuli, judul kitabnya  al-Ahad, al-Ijma‘, al-Naskh.

 

  • Sarjana Jordania ,As‘ad Salim Tayyim, judul kitabnya Bayan Awham al-Albani fi Tahqiqihi li Kitab Fadl al-Sholat ‘ala al-Nabi.
  • Sarjana Jordania ,Hasan Ali al-Saqqaf, menulis dua jilid yang berjudul Tanaqudat al-Albani al-Wadiha fi ma Waqa‘a fi Tashih al-Ahadith wa Tad‘ifiha min Akhta’ wa Ghaltat dan tulisan-tulisannya yang lain ialah; Ihtijaj al-Kha’ib bi ‘Ibarat man Idda‘a al-Ijma‘ fa Huwa Kadhib, al-Qawl al-Thabtu fi Siyami Yawmal-Sabt, al-Lajif al-Dhu‘af  li al-Mutala‘ib bi Ahkam al-I‘tikaf, Shohih Sifat Sholat al-Nabi Sallallahu ‘alayhi wa Sallam, I‘lam al-Kha’id bi Tahrim al-Qur’an ‘ala al-Junub wa al-Ha’id, Talqih al-Fuhum al-‘Aliya dan Shohih Sharh al-‘Aqida al-Tahawiyya.  Dan masih banyak lagi lainnya.

 

Fatwa beberapa tokoh Wahabi-Salafi lainnya yang berlawanan dengan  para salaf:

Dalam kitab Halaqat Mamnu’ah karangan Hisyam al-Aqqad ,ulama Wahabi-Salafi, disebutkan bahwa mengucap zikir Laillaha ilallah sebanyak seribu kali adalah sesat dan musyrik (padahal dalam Al-Quran surah al-Ahzab [33]:41 Allah berfirman;“Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” Zikir Lailaha illallah ini diriwayatkan pula dalam beberapa hadis Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam sebagai zikir yang utama.

 

Dalam kitab karangan Abdullah Ibnu Zaid ,ulama Wahabi-Salafi, yang berjudul al-Iman bi al-Anbiyai Jumlatan (beriman kepada semua Nabi) disebutkan, “Adam 'alaihissalaam bukanlah Nabi dan juga bukan Rasulallah”.

Ungkapan ini juga menyalahi pendapat para salaf saleh. Firman Allah Ta' aala ‘Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imron atas seluruh alam. Walaupun ayat ini secara zhohir tidak menyebut sebagai Nabi, namun pensejajaran nama Adam 'alaihissalaam dengan para Nabi itu menunjukan tentang kenabian beliau.

 

Imam Bukhori dalam kitab sahihnya ‘Alhadis Al-Anbiya’ telah menggolongkan Adam 'alaihissalaam termasuk para Nabi. Begitu juga riwayat Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhamad shallallahu'alaihiwasallam disebutkan disana bertemu para Nabi yang berada diatas langit dan nabi Adam termasuk didalamnya.    

 

Ibnu Baz–ulama senior Wahabi-Salafi–mengatakan, mengucapkan  kalimat Shadaqallahul-adzim (maha Benar Allah dengan segala firman-Nya) setelah selesai membaca AlQuran, adalah bid’ah dan haram hukumnya! Padahal, Islam justru menganggap baik mengucapkan kalimat itu karena mengandung pujian kepada Allah dan sesuai dengan firman Allah Ta'aala dalam  surah Ali-Imran [3]: 95, “Katakanlah shadaqallahu (Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya") Masih banyak lagi fatwa-fatwa yang aneh dari kelompok Wahabi, yang berlawanan dengan para Salaf Saleh,  

 

Siapakah yang layak menyandang gelar ahli hadis?

Setelah kita menyimak sebagian kecil penyimpangan, kesalahan yang dilakukan dengan sengaja atau tidak oleh Syeikh Al-Albani, bisa ditarik kesimpulan bahwa ilmu hadis tidak dapat digeluti oleh sembarang orang, kecuali  orang yang telah memenuhi kualifikasi sebagai seorang yang layak untuk menyandang gelar Al-Muhaddis (Ahli Hadis). Yaitu, orang yang memperoleh pendidikan formal dalam bidang ilmu hadis dari universitas-universitas Islam yang terkemuka dan para Masyaikh, yang memang ahli dalam bidang ini.

 

Orang yang layak menyandang gelar Al-Muhaddis, seperti yang diungkapkan para ulama berikut ini:

  • Al-Hafidh Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu juz 2 hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibnu Laila. Dia berkata, “Seorang tidak dianggap memahami hadis, bila ia tidak mengetahui mana hadis yang harus diambil dan mana yang harus ditinggalkan”. 
  • Perhatikan peringatan Al-Hafidh Ibnu Abdil Barr berikut ini: “Dikatakan oleh Al-Qodhi Mundzir bahwa Ibnu Abdil Barr mencela dua golongan. Pertama, golongan yang tenggelam dalam ra’yu dan berpaling dari Sunnah. Kedua, golongan yang sombong yang berlagak pintar padahal bodoh“. (menyampaikan hadis, tetapi tidak mengetahui isinya --pent) (Dirangkum dari Jami’ Bayan Al-Ilm juz II hal. 171).

 

  • Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2 hal.427, Ibnu Wahab berkata, “Kalau saja Allah tidak menyelamatkan Aku melalui Malik dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadis dan itu membingungkanku. Lalu, aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, mereka berkata, Ambillah ini dan tinggalkan itu.’”
  • Imam Malik berpesan kepada  kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais), “Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadis) serta mempelajarinya?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadis ini, Allah menjadikannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajarilah lebih dalam.” Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanad-nya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz II hal.28.

 

  • Al-Khatib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II hal. 15-19, suatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzni, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzni berkata, “Perhatikan hadis yang kalian kumpulkan. Tuntutlah Ilmu dari para fuqaha agar kalian menjadi ahli fiqh.”
  • Imam Sakhowi, ‘siapakah Ahli Hadis itu sebenarnya’, “Menurut sebagian Imam hadis, yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah, orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafalkan dan mengadakan perjalanan (rihlah) keberbagai tempat untuk mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadis) dan mengkomentari cabang dari kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Jika demikian, (syarat-syarat ini terpenuhi--pen) maka tidak di ingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis. Akan tetapi, jika ia sudah mengenakan imamah pada kepalanya, berkumpul dengan para penguasa pada masanya, menghalalkan (dirinya memakai--pen) perhiasan lu’lu’ (permata-pen) dan marjan, memakai pakaian yang berlebihan (pakaian berwarna-warni -pen) dan hanya mempelajari hadis  Al-Ifki wa Al-Butan, dia telah merusak harga dirinya.                                                                                                                                                Bahkan, ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddis bahkan, ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya, ia telah memakan sesuatu yang haram dan jjka ia menghalalkannya, maka ia telah keluar dari agama Islam”. (Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1 hal. 40-41).

 

  • Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadis yang bermazhab Hanafi, menukil pendapat Ibnu Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibnu Abidin dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam kitabnya ‘Daf Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam’, hal. 15: “Kita melihat pada masa kita banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan, padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi, ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadis (kutub As-Sittah) dan ia menemukan satu hadis yang bertentangan dengan mazhab Abu Hanifah, lalu berkata buanglah mazhab Abu Hanifah ke dinding, dan ambil hadis Rasulallah shallallahu'alaihiwasallam Padahal hadis ini, telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanadnya lebih kuat atau sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamal- kannya, dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini, diserahkan secara mutlak kepadanya, ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang “.

 

  • Syeikh Ibnu Al-Qayim Al-Jauziyah berkata dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata, “Jika seseorang memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi Saw., perbedaan sahabat dan tabi’in, ia tidak boleh mengamalkan dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya pada ahli ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak dapat di amalkan sehingga orang tersebut dapat mengamalkan dengan benar”. (I’lamu Al-Muwaqqi’in juz I hal. 44).

 

  • Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz I hal. 66, penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, antara lain:

a). Umar bin Khatab berkata diatas mimbar, “Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan yang diamalkan.” b). Imam Malik berkata, “Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadis-hadis. Kemudian disampaikan kepada mereka, hadis dari orang lain dan mereka menjawab, ‘Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini, tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini.’“

 

c). Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya, “Telah sampai kepadaku hadis begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Dia menjawab: ‘Saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamalannya tidak seperti itu’“

d). Ibn Abi zanad, “Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hukum-hukum yang diamalkan agar beliau dapat menetapkannya. Sedang hadis yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walau pun diriwayatkan dari para perawi yang terpercaya”. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.

 

e). Al-Hafidh Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ‘ala Kholaf’ hal.9, berkata, “Para Imam dan Fuqoha Ahli hadis sesungguhnya mengikuti hadis sahih jika hadis itu di amalkan dikalangan para sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, tidak boleh diamalkan. Karenanya, tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan.”

 

Para ulama Salaf ,panutan umat, sudah memperingatkan kita akan kelompok orang seperti mereka ini. Sebagaimana hadis baginda Nabi shallahu'alaihi wa sallam, “Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan, pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur di dustakan,  para pengkhianat dipercaya, orang-orang yang amanah dianggap khianat dan para Ruwaibidhoh. Ada yang bertanya: ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’? Beliau shallahu 'alaihiwasallam menjawab, ‘Orang bodoh pandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak’ “. (HR. Al-Hakim jilid 4 hal. 512 No. 8439, ia menyatakan hadis ini sahih, Ibn Majah jilid 2 hal. 1339 no. 4036,  Ahmad jilid 2 hal. 219, 338 No.7899, 8440, Abi Ya’la jilid 6 hal. 378 no. 3715, Ath-Thabrani jilid 18 hal. 67  No. 123, Al-Haitsami jilid 7 hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id). 

 

Kita akan bertanya-tanya, “Apakah tidak terlalu berlebihan atau bahkan termasuk Ghuluw, menyamakan Syeikh Al-Albani dengan imam Bukhari, imam Muslim, imam Abu Dawud dan sahabat-sahabat mereka? Ditambah lagi dengan munculnya sikap arogan, dimana dengan mudahnya menyalahkan bahkan membodoh-bodohkan para Ulama selain mazhabnya?” Sehingga bukan Sunnah Nabi yang dibela dan ditegakkan tetapi sebaliknya yang muncul adalah fitnah dan kekacauan yang timbul dari karya-karyanya.

 

Berpuluh-puluh kitab para ulama berbagai mazhab yang membantah ajaran golongan ini. Allamah Muhsin Amin telah membantah keyakinan-keyakinan Wahabi-Salafi melalui syairnya yang panjang, terdiri dari 546 bait. Silahkan, rujuk kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi atba ‘i Muhammad bin Abdul Wahhab. Begitu juga, para pembaca bisa mencari dan membaca di website dalam bahasa Indonesia,, bahasa Inggris dan bahasa Arab yang menyangkal dan menjawab paham atau pendapat para ulama wahabi-salafi.

 

Telah dikemukakan, kita dibolehkan mengeritik/meluruskan paham atau keyakinan suatu golongan muslimin yang sudah jelas dilarang oleh agama dan disepakati para ulama bermacam-macam mazhab. Umpamanya; minum khamar, berjudi, menghalalkan makanan yang sudah jelas haram, menyekutukan Alah Taáala, menyerupakan/tasybih dan tajsim/penjasmanian Allah Ta'aala dengan makhluk-Nya secara hakiki, tidak mempercayai adanya Malaikat, membolehkan orang meninggalkan sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya. Ini semua sudah jelas bertentangan dengan ajaran syariat Islam! Jadi bukan mengkafirkan, mensesatkan dan sebagainya amalan kaum muslimin yang hukumnya masih diperselisihkan oleh para pakar Islam.

 

Sudah tentu, kita tidak jujur kalau mengatakan, semua paham golongan salafi/wahabi ini salah dan disangkal para ulama lain mazhabnya. Ada juga pendapat mereka mengenai syariat Islam yang sepaham dengan mazhab ahlus sunnah wal jamaah. Yang sering disangkal, tidak lain pendapatnya mengenai tajsim dan tasybih Allah Subhaanahuwata'aala dengan makhluk-Nya. Oleh karenanya, jelas bertentangan dengan firman-firman Allah dan sunnah Rasul shallallahu'alaihiwasallam.

Begitu juga yang sering disangkal para ulama yaitu, pendapat mereka yang membid’ahkan sesat, sampai-sampai berani mensyirikkan tawasul, tabarruk pada pribadi seseorang, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, kumpulan zikir dan lain sebagainya (baca keterangan tersendiri mengenai bab-babnya disite ini).

 

Kami cantumkan dan nukil sebagian judul kitab dan nama para ulama–yang mengeritik akidah atau keyakinan ulama golongan wahabi/salafi dan pengikutnya–bukan ingin mencari kesalahan lawan atau ingin membongkar rahasia kekurangannya, tetapi yang kami sesalkan dan sayangkan, golongan wahabi/salafi ini sangat fanatik kepada ulama kelompoknya sendiri. Karenanya, sering mensesatkan, mencela, mengkafirkan para ulama atau muslimin selain mazhabnya. Mereka merasa yang paling pandai, paling murni dalam menjalankan syari’at Islam!

Semoga Allah Subhaanahuwata'aala memberi hidayah kepada semua kaum muslimin dan mengampunkan dosa-dosa, muslimin baik yang masih hidup mau pun yang telah wafat. Aamiin.

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian pada bab 3 berikutnya

 

 

 

 

 

'