Siapakah Ahlul Bait?

Siapakah Ahlul Bait?

Sejak masa lalu, terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya ahlul bait. Perbedaan pendapat berakar pada perbedaan pengertian dari istilah “Aali/ alu” dari kata Aali Muhamad. Demikian pula dengan pemahaman dari istilah ahlu, dari istilah ahlul bait. Secara harfiah kata Aali/alu berarti “keluarga”.

 

Jadi, jika dikatakan ahlul bait adalah alu/Aali Muhamad, berarti keluarga Muhamad. Kata keluarga di sini karena menjadi padanan istilah ahlul bait yang secara harfiah berarti “penghuni rumah”,  maka ada perbedaan pengertian. Apakah yang dimaksud dengan alu/Aali Muhamad (ahlul bait) itu terbatas pada nasab keturunan Muhamad Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam saja, atau juga mencakup anggota keluarga lainnya, seperti istri Nabi shalllahu'alaihi wa sallam?

 

Demikian pula dengan posisi menantu. Belum lagi, mencakup pengertian keluarga dalam pengertian ikatan persaudaraan atas nama iman yang membawa konsekuensi bahwa makna Alu/ Aali Muhamad, berarti semua umat Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Disinilah letak perbedaan pemahaman mengenai siapa sesungguhnya yang disebut ahlul bait.  

 

Persoalannya menjadi pelik ,mengingat–sebagaimana akan dijelaskan nanti, terminologi ahlul bait menjadi masalah politik. Khususnya, bagi mereka yang berkeyakinan mengenai warisan estafet kepemimpinan politik Muhamad shalllahu'alaihiwasallam sebagai penguasa kota Madinah, sebagai khalifah. Demikian pula dengan nilai keagungan, kehormatan dan bahkan “kesakralan” posisi dan esksistensi ahlul bait. Kepelikan serupa juga akan terjadi jika dilihat dari perspektif hukum, khususnya berkenaan dengan hukum waris (fiqh mawarits).

 

Para ahli fiqih, tidak semuanya sepakat dalam memberikan makna Aali. Dengan adanya perbedaan tersebut mereka juga berbeda dalam menentukan hukum. Imam Hanafi, Maliki dan Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Aali dan Ahli adalah sama arti atau maknanya. Hanya saja masing-masing di antara mereka memberi ketentuan yang berlainan.

 

Imam Hanafi, berpendapat bahwa Ahli Bait seseorang, Aali dan jenisnya adalah satu, yakni setiap orang yang mempunyai pertalian nasab. Baik kepada nenek moyangnya yang Muslim maupun non-Muslim. Ada pula, yang mensyaratkan Islamnya ayah atau datuk yang paling tinggi. Maka semua anak yang di nasabkan kepada ayah ini termasuk lelaki, wanita dan anak-anak adalah ahli keluarganya. Imam Malik, berpendapat lain lagi bahwa kata Aali adalah orang yang mendapat ‘asobah.

 

Dan setiap orang yang mendapat ‘asobah dan setiap wanita jika ia bergabung dengan lelaki maka ia menjadi ‘asobah. Imam Hanbali berpendapat bahwa Aali seseorang dan Ahli Baitnya, kaumnya, keturunan dan kerabatnya adalah sama maknanya. Adapun, Imam Syafi’i berpendapat, Aali seseorang adalah kerabat dan keluarga yang ditanggung nafkahnya, sedangkn Ahli Baitnya adalah kerabat dan istrinya.

 

Adapun, arti Aali dalam kalimat shalawat kepada Nabi shalllahu'alaihiwasallam dan arti kata ‘Ahlul-Bait’ dalam firman Allah Ta'aala (QS Al-Ahzab [33]:33), mempunyai pengertian khusus: “Keluarga/kerabat Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam”. Pendapat terbanyak dari ulama mengatakan, yang dimaksud di sini ialah kerabat beliau shalllahu'alaihiwasallam yang di haramkan kepada mereka menerima sedekah.  Ada lagi, yang mengatakan bahwa Aali (keluarga) Muhamad berarti semua umat Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Imam Malik dan Al-Azhari adalah orang yang cenderung dengan pendapat ini. Sedangkan, Baihaqi dan lain-lain menolak pendapat ini.  

 

Pendapat yang terbanyak mengenai Aali Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dalam kalimat shalawat ialah, Rasul shalllahu'alaihiwasallam dan keturunanya Termasuk di dalamnya, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib. Begitu juga yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam Harmalah yang dikutip dari Al-Azhari, Baihaqi dan lain-lain. Pendapat ini, juga dikemukakan oleh mayoritas sahabat-sahabat Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Mereka berdalil, hadis Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa beliau shalllahu'alaihiwasallam bersabda, “Sesungguhnya sedekah diharamkan kepada Muhamad dan juga kepada Ali Muhamad.” (HR.Muslim).

 

Secara keseluruhan, pendapat mengenai siapa sesungguhnya ahlul bait, dapat dikategorikan dalam enam kelompok pengertian:

Pengertian Pertama: yang dimaksud dengan Aali Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam ialah mereka yang oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam diharamkan menerima sedekah. Mengenai siapa mereka ini terdapat tiga macam pendapat di kalangan ulama;

 

a. Mereka itu adalah anak-cucu keturunan Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib. Pendapat ini sesuai dengan mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali. Demikian juga menurut Ibnul-Qayim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain.

b. Yang dimaksud Aali Muhamad shalllahu'alaihiwasallam ialah khusus anak cucu keturunan Bani Hasyim, pendapat ini termasuk dalam mazhab Hanafi. Sebenarnya pendapat ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal berdasarkan ta’rif (kesimpulan) Abul Qasim, sahabat Imam Malik bin Anas.

 

c. Aali Muhamad ialah mereka anak cucu keturunan Bani Hasyim dan kaum kerabat dekat mereka, baik menurut garis silsilah ke atas maupun ke bawah hingga anak cucu keturunan Ghalib. Kesimpulan seperti ini dikemukakan oleh Asyhab, seorang sahabat Imam Malik. Demikian juga menurut penulis kitab Al-Jawahir dan menurut Al-Lakhmi dalam kitab At-Tabashshur. Riwayat ini sebenarnya berasal dari Al-Ashba’, tetapi tidak disebut nama Al-Ashba’ sebagai salah satu sumbernya.

 

Pihak yang berpegang pada tiga macam pengertian  (a,b,c) tersebut sepakat menetapkan, Aali Muhamad shalllahu'alaihiwasallam diharamkan menerima sedekah. Mengenai ini, tidak ada perbedaan pendapat antara mereka, sebab nash mengenai itu berasal dari Rasulallah Saw. sendiri.

 

Dalil-dalil yang digunakan pengertian pertama diatas ini ialah:

a. Hadis yang diriwayatkan dalam sahih Bukhari, dari Abu Hurairah r.a. sebagai berikut: “Pada musim panen kurma datanglah beberapa orang kepada Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam membawa buah kurma hingga terkumpul banyak di rumah beliau shalllahu'alaihiwasallam. Tidak lama kemudian datang lah Hasan dan  Husain.

Ketika itu, mereka masih kanak-kanak. Kedua cucu Rasul shalllahu'alaihi wa sallam ini kemudian bermain-main dengan beberapa buah kurma. Hasan r.a. memasukkan buah kurma yang diambilnya ke dalam mulutnya, hendak di makan. Melihat itu, Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam cepat-cepat keluarkan buah kurma itu dari mulut cucunya sambil berkata: ‘Apakah engkau tidak mengerti bahwa keluarga (Ali) Muhamad tidak makan sedekah?’” Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dengan susunan kalimat, “Sedekah tidak dihalalkan bagi kami”.

 

b. Hadis sahih, dari Zaid bin Al-Arqam r.a., “Pada suatu hari Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam berkhutbah di depan kami, dekat sumber air bernama Khuma, terletak di antara Makkah dan Madinah. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah, mengingatkan dan memberi nasihat-nasihat kepada kami, beliau shalllahu'alaihiwasallam lalu menyatakan;

Amma ba’du, sesungguhnya aku adalah manusia. Tidak lama lagi, akan datang kepadaku utusan Allah (malaikat jibril) dan akan kuterima. Aku tinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah Kitabullah itu, dan berpeganglah teguh padanya.’ Kemudian beliau shalllahu'alaihiwasallam melanjutkan setelah berhenti sejenak; ‘dan ahlu-baitku…Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlu-bait aku’– beliau mengulangi tiga kali.”

 

Mendengar hadis dari Zaid tersebut, Hashin bin Sarbah bertanya, “Hai Zaid, siapakah ahlu-bait (keluarga) Beliau shalllahu'alaihiwasallam? Bukankah para ummul mukminin (istri-istri beliau) ahlu-bait beliau? Zaid menjawab, ‘Para istri beliau termasuk ahlubaitnya, tetapi orang-orang selain beliau shalllahu 'alaihiwasallam yang diharamkan menerima sedekah juga termasuk ahlubait beliau’. 

Hashin bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Zaid menjawab, ‘Mereka ialah keluarga Ali (bin Abi Thalib), keluarga Aqil (bin Abi Thalib), keluarga Jakfar (bin Abi Thalib) dan keluarga Al-Abbas (bin Abdul Muthalib)’. Hashin bertanya, ’Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah?’ Zaid menjawab, ‘Ya, itu telah menjadi ketentuan Rasulallah, karena beliau telah menyatakan bahwa sedekah tidak dihalalkan bagi Ali (ahlu-bait, keluarga) Muhamad’”.

 

*Imam Muslim meriwayatkan nash yang serupa di atas ini, berasal dari sumber lain mengandung makna berlainan, yaitu sebagai berikut: “…Kami bertanya (kepada Zaid), ‘Apakah para istri beliau shalllahu'alaihiwasallam termasuk ahlu bait Rasulallah?’ Zaid menjawab, ‘Tidak, demi Allah! Sebab istri mungkin hanya untuk sementara waktu saja hidup bersama suami. Bila terjadi perceraian, istri akan kembali kepada orang tua atau sanak familinya. Ahlubait beliau, ialah orang-orang dari mana beliau berasal, dan kaum kerabat beliau shalllahu 'alaihi wasallam yang diharamkan menerima sedekah, seperti beliau shalllahu 'alaihi wasallam sendiri!’”.

 

*Imam Nawawi mengatakan, "Dua buah riwayat hadis di atas tampak berlawanan. Yang jelas, diketahui bahwa dalam kebanyakan riwayat yang di ketengahkan oleh (Imam) Muslim mengenai soal itu, Zaid bin Arqam mengatakan, 'Para istri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam bukan ahlubait beliau.' Oleh karena itu, riwayat hadis yang pertama di atas harus ditakwilkan, bahwa dimasukkannya para istri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam ke dalam lingkungan Ahlul Bait, karena mereka itu tinggal bersama Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam, dan diperlakukan oleh beliau sebagai keluarga.

 

Beliau shalllahu'alaihiwasallam memerintahkan supaya mereka itu dihormati dan di muliakan serta disebut sebagai ‘tsaqal’. Beliau mengingatkan juga supaya hak-hak mereka dipelihara dan dipenuhi. Atas dasar pentakwilan itu, para istri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam memang termasuk dalam lingkungan Ahlul Bait, tetapi mereka tidak termasuk orang-orang yang diharamkan menerima sedekah. Dengan demikian, hilanglah sifat berlawanan antara dua riwayat hadis yang disebutkan oleh Imam Muslim”.

 

c. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Az-Zuhri yang menerimanya dari Urwah dari Aisyah r.a. yang menuturkan:  “Pada suatu hari Fathimah r.a mengirim utusan kepada Abu Bakar As-Shiddiq r.a. untuk menanyakan warisan yang dapat diterima dari ayahnya (Rasulallah shalllahu 'alaihiwasallam). Abu Bakar menjawab, ia mendengar sendiri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah menyatakan, ‘Kami tidak mewariskan. Apa yang kami tinggal adalah sedekah. Keluarga Muhamad diharamkan menerima sedekah’ ”

 

Dengan demikian, jelaslah bahwa ahlu-bait Muhamad shalllahu'alaihiwasallam mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu, antara lain: Diharamkan menerima sedekah, tidak mewarisi harta Nabi (jika ada), mereka berhak menerima seperlima bagian dari harta ghanimah (rampasan perang), dan berhak menerima ucapan shalawat.

 

d. Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibnu Syahab memberitakan atas anjuran beberapa orang sahabat, al-Fadhl bin Al-Abbas pernah datang menghadap Nabi shalllahu'alaihiwasallam, minta kepada beliau agar dirinya diangkat sebagai petugas pengumpul zakat. Nabi  menjawab, “Sedekah bukan lain adalah kotoran, karenanya, tidak halal bagi Muhamad-shalllahu'alaihiwasallam-dan ahlu-bait Muhamad -shalllahu'alaihiwasallam-”.

 

e. Hadis riwayat Imam Muslim dalam Sahih-nya berasal dari Aisyah r.a. yang menuturkan, “Pada suatu hari, ketika Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam siap menyembelih seekor kambing, beliau bersabda: ‘Ya Allah, terimalah dari Muhamad, dari keluarga (ahlu bait) Muhamad dan dari umat Muhamad’, setelah itu barulah kambing di sembelih”.

Hadis ini, menunjukkan kedudukan yang berlainan antara ahlul bait Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dan umat Muhamad shalllahu'alaihiwasallam. Umat beliau adalah umum, sedangkn ahlu-bait beliau adalah khusus. Penafsiran kata Aali (ahlu-bait atau keluarga) Muhamad shalllahu'alaihiwasallam yang di ucapkan sendiri oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pasti lebih benar dan lebih utama dari  pada penafsiran orang lain.

 

Pengertian Kedua: Yang dimaksud Ahlul-Bait hanya untuk lima orang saja. Mereka ini, dengan berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik [r.a.] bahwa surah Al-Ahzab [33]:33, ‘Sesungguh- nya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dan kotoran (dosa) dari kalian, ahlul bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ ini turun hanya untuk lima orang saja yaitu: Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam, Amirul mukminin Ali k.w., Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain (r.a.).

 

Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam juga telah bersabda seraya tunjuk kepada Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain: ‘Ya Allah mereka ini Ahli Baitku, hilangkan lah noda kotoran (ar-rijsa) dari  mereka  dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.

 

Hadis-hadis yang semakna di atas, silahkan rujuk:

Sahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul Bait Nabi,  jilid 2, hal.368, cet. Isa Al-Halabi, jilid 15 hal.194

Syarah An-Nawawi,  cet. Mesir;

Sahih At-Tirmidzi, jilid 5, hal.30, hadis ke 3258; hal. 328 hadis ke 3875, cet. Darul Fikr.;

Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.25, cet. Darul Ma’arif, Mesir 

Musnad Ahmad jilid 3, hal.259 dan 285; jilid 4, hal.107; jilid 6 hal.292, 296, 298, 304 dan 306 , cet. Mesir.

Mustadrak Al-Hakim, jld.3, hal.133, 146, 147, 158, jilid 2, hal.416  

Tafsir At-Thabari jilid 22 hal.6, 7 dan 8, cet.Al-Halabi Mesir

Tafsir Al-Qurthubi jilid 14, hal. 182, cet. Kairo

 

Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, hal.483, 494 dan 495, cet. Mesir

Tafsir Al-Munir Lima’alim At-Tanzil, oleh Imam Nawawi Al-Jawi, jilid 2 hal.183

Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh At-Thabarani jilid 1, hal. 65 dan 135

Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i hal.4, cet. At-Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir; cet.Beirut hal.8,cet.Al-Haidariyah hal. 49

Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam Tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i jilid 1, hal. 185;

Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i, hal.45, 373-375

Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, hal. 12, 20; jilid 3 hal.413; jilid 5 hal. 521, 589  

Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi jilid 5, hal.198, 199

Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an jilid 4 hal. 240, cet.Mathba’ Al-Masyhad Al-Husaini, Mesir

Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, hal.107, 108, 228, 229, 230, 244, 260 dan 294, cet.Istanbul ; cet.Al-Haidariyah hal.124, 125, 135, 196, 229, 269, 271, 272, 352 dan 353.

 

Sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri r.a. yang menuturkan bahwasanya Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menegaskan, “Ayat itu (QS Al-Ahzab [33]:33) turun mengenai lima orang: Aku sendiri, Ali (bin Abi Thalib r.a), (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain”.

Atas dasar penegasan beliau itu, yang di maksud ahlul-bait adalah lima orang keluarga nubuwwah tersebut. Kebenaran tersebut diperkuat oleh sebuah hadis sahih lainnya yang di ketengahkan oleh banyak ulama hadis, yaitu hadis Al-Kisa.” (hadis Al-Kisa’, silahkan baca kajian selanjutnya).

 

Pengertian ketiga: Yang dimaksud dengan Aali Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam adalah anak-cucu keturunan beliau shalllahu'alaihiwasallam dan khusus -nya para istri beliau shalllahu'alaihiwasallam. Hal itu, di kemukakan oleh Ibnu Abdul-Bir dalam At-Tamhid.

Dalam kitab ini, ia menguraikan sebuah hadis berasal dari Hamid As-Saidi yang menuturkan: “Ada sementara golongan yang menggunakan hadis sebagai dalil /hujjah, bahwa Aali Muhamad shalllahu'alaihiwasallam ialah para istri dan anak cucu keturunan (dzurriyah) beliau shalllahu'alaihiwasallam.

Hal ini, didasarkan pada pernyataan Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dalam hadis Malik yang berasal dari Nu’aim Al-Mujmar, dan dalam hadis lain yang tidak di kemukakan oleh Imam Malik. Yaitu sebuah hadis; ‘Ya Allah, limpahkan lah shalawat kepada Muhamad, kepada para istri dan anak cucu keturunanku’”.

 

Selanjutnya mereka berpendapat, kata Aali, ahlul-bait dan ahlu mempunyai arti yang sama. Keluarga dan anak cucu keturunan seseorang adalah sama artinya, yaitu para istri dan anak cucu keturunannya. Mereka juga mengajukan dalil- dalil lain sebagai berikut:

 

a. Ibnu Abdul-Bir menunjuk kepada hadis Ibnu Hamid As-Sa’idi sebagai berikut “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad, kepada istri-istrinya dan kepada anak-cucu keturunannya.” Sedangkan dalam hadis yang lain terdapat susunan kalimat: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad dan kepada Ali (ahlu-bait) Muhamad.” Maksud hadis yang terakhir ini, menyimpulkan makna hadis yang pertama.

 

b. Hadis Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Abu Hurairah r.a. menuturkan,  Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah menyatakan dalam doanya: “Ya Allah, anugerahilah Ali (keluarga) Muhamad rezeki berupa makanan sehari-hari.” Doa beliau shalllahu'alaihi wa sallam ini, benar-benar terkabul dan ternyata tidak meliputi semua anak cucu keturunan Bani Hasyim dan anak cucu keturunan Bani Abdul Muthalib. Di antara mereka itu, hingga sekarang banyak yang menjadi hartawan dan mendapat rezeki lebih dari sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Lain halnya, para istri Nabi dan anak-cucu keturunan Nabi shalllahu'alaihiwasallam yang hanya beroleh rezeki sekedar cukup untuk makan sehari-hari.

 

c. Terdapat sebuah riwayat yang menuturkan, istri Rasulallah shalllahu'alaihi wasallam, Aisyah r.a., pernah menerima hadiah kekayaan cukup besar dari seorang penduduk. Akan tetapi, begitu menerimanya seketika itu juga dibagikan kepada kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, hingga habis semuanya. Melihat kenyataan itu pelayannya tercengang, lalu berkata, “Seumpama ibu tinggalkan barang satu dirham tentu kita dapat membeli daging.” Aisyah r.a menjawab, “Seumpama engkau tadi mengingat kan, itu tentu kulakukan.”

 

d. Hadis sahih dari Aisyah r.a. yang pernah terus terang mengatakan: ”Aali (keluarga) Muhamad shalllahu'alaihiwasallam tidak pernah kenyang makan roti gandum berturut- turut selama tiga hari.” Demikianlah keadaannya hingga saat beliau pulang keharibaan Allah Ta'aala. Dari hadis ini, golongan faham ketiga menarik suatu pengertian, anak cucu keturunan Al-Abbas dan anak-cucu keturunan Abdul-Muthalib tidak termasuk di dalam makna ucapan Aisyah r.a. yakni tidak termasuk Aali (keluarga) Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

 

Mereka ini menegaskan, istri seseorang adalah keluarganya dan tidak diragukan lagi bahwa para Ummul Mukminin (para istri Rasulallah) adalah keluarga beliau shalllahu'alaihiwasallam. Mereka juga menegaskan, para istri Nabi shalllahu 'alaihiwasallam adalah yang diharamkan di nikahi pria lain sepeninggal Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

 

Mereka adalah istri-istri beliau shalllahu'alaihiwasallam di dunia dan akhirat. Karena hubungan khusus mereka dengan Nabi shalllahu'alaihiwasallam inilah, para istri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam termasuk juga ahlul bait Nabi shalllahu'alaihiwasallam. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, para istri Nabi shalllahu'alaihiwasallamtermasuk orang-orang yang diharamkan menerima sedekah karena sedekah adalah kotoran dari harta orang lain.

 

Allah Ta'aala telah memelihara kemuliaan dan keagungan Nabi dan Rasul-Nya beserta segenap anggota keluarga beliau dari setiap kotoran yang diberikan kepada mereka sebagai sedekah. Hadis-hadis tersebut di atas ,menurut faham ketiga, menunjukkan bahwa para isteri Nabi Saw. berhak menerima shalawat.

 

Selanjutnya mereka berkata, Alangkah anehnya, bila Rasulallah-shalllahu 'alaihi wasallam-telah berdoa; ‘Ya Allah, anugerahi keluarga Muhamad rezeki berupa makanan sehari-hari’; ‘Ya Allah terimalah (sembelihan) ini dari Muhamad, dari keluarga Muhamad dan dari umat Muhamad’; ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhamad, kepada isteri-isteri Muhamad dan kepada anak cucu keturunan Muhamad’; Tetapi bersamaan dengan semuanya ini, ada orang yang berani menyimpulkan bahwa para isteri Nabi-shalllahu 'alaihiwasallam-tidak termasuk dalam ucapan beliau-shalllahu'alaihiwasallam  ‘Sedekah tidak halal bagi Muhamad dan Ali (keluarga) Muhamad’. Padahal jelas, sedekah itu merupakan kotoran. Demikian, menurut paham ketiga!

 

Ada pihak lain yang menyanggah paham ketiga ini, dengan mengatakan,“Jika para isteri Nabi diharamkan menerima sedekah, tentu mawali (budak-budak asuhan) mereka diharamkan juga menerima sedekah”. Sanggahan ini, sangat lemah, karena tidak bisa disamakan antara para isteri Nabi shalllahu'alaihi wa sallam dan mawali mereka! Pengharaman menerima sedekah bagi para isteri Nabi shalllahu'alaihiwasallam sama sekali bukan karena pribadi mereka masing -masing, melainkan semata-mata karena terbawa oleh pengharaman sedekh bagi Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Mereka sebelum menjadi isteri Nabi shalllahu'alaihiwasallam, halal menerima sedekah.

 

Pengertian keempat.  Pihak ini berkata, yang dimaksud Ahlul-Bait adalah hanya para istri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam saja, karena mulai dari ayat 28 sampai akhir ayat 34 surah Al-Ahzab berkaitan dengan para istri Nabi shalllahu 'alaihi wa sallam. Jadi bagaimana mungkin di tengah-tengah terselip persoalan lain? Tidaklah pada tempatnya, jika para Ummul Mukminin hendak dikeluarkan dari pengertian Aali Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam.

 

Penafsiran faham keempat ini, dibantah oleh para ulama tafsir lainnya. Mereka menjawab, 'Kalau yang dimaksud ahlul-bait hanya para istri Nabi shalllahu 'alaihiwasallam saja, tentu dalam ayat itu tidak menggunakan dhamir (kata ganti nama) Kum (kalian lelaki dan wanita) melainkan menggunakan dhamir ‘Kunna’ (kalian wanita)'?

Menurut pihak faham keempat ini, ‘Digunakannya dhamir Kum, karena ayat itu menunjuk kepada ‘Ahlu’. Menurut tata bahasa Arab kata ahlu adalah mudzakkar (menunjukkan lelaki), bukan muannats (menunjukkan wanita). Karena itulah Al-Quran menggunakan dhamir Kum tidak menggunakan dhamir Kunna!

 

Namun, Jumhurul-ulama  berpendapat, yang dimaksud dengan kata ahlul-bait dalam surah Al-Ahzab: 33 ialah dua pihak sekaligus yaitu Lima orang (yang tersebut di atas) dan para istri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam. Ibnu Athiyah misalnya berkata, “Para Ummahatul-Mukminin (para istri Nabi shalllahu'alaihiwasallam) tidak berada diluar pengertian ahlul-bait. Sebab, kata ahlul-bait lazim berarti semua anggota keluarga, dan istri-istri adalah termasuk anggota keluarga”.

An-Nafsi menegaskan, firman Allah yang menggunakan dhamir Kum mengandung petunjuk, bahwa para Ummahatul-Mukminin termasuk dalam pengertian kata ahlul-bait. Sebab dhamir kum berlaku bagi lelaki dan wanita bersama-sama. Demikian pula pendapat Zamakhsyari, Al-Baidhawi dan Abus-Saud.

 

Imam Fakhrur-Razi menyatakan, ”Dikalangan para ahli tafsir memang terjadi perbedaan pendapat mengenai arti kata ahlul-bait. Oleh karena itu, lebih baik di katakan, mereka itu terdiri dari para Ummahatul-Mukminin, putri beliau -shalllahu'alaihiwasallam- (Siti Fathimah r.a) bersama suaminya (Imam Ali bin Abi Thalib k.w.) dan dua orang cucu beliau shalllahu'alaihiwasallam (Al-Hasan dan Al-Husain-radhiyallahu ‘anhuma). Ali bin Abi Thalib, termasuk ahlul-bait karena ia menjadi suami putri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dan selalu bersama beliau”.

 

Pengertian kelima: Aali Muhamad shalllahu'alaihiwasallam ialah semua pengikut Muhamadshalllahu'alaihiwasallam hingga hari terakhir kelak (hari kiamat). Hal ini, dikemukakan oleh Ibnu Abdul-Bir dan sebagian ulama. Orang yang pertama-tama mengemukakan pendapat tersebut ialah Jabir bin Abdullah r.a. Dialah yang disebut oleh Al-Baihaqi dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri.

Beberapa ulama sahabat Imam Syafi’i pun menetapkan penafsiran seperti itu, sebagaimana dikemukakan oleh At-Thabari yang dibenarkan oleh Syaikh Muhyiddin An-Nawawi dalam Syarh Muslim dan dibenarkan oleh Al-Azhari.

 

Golongan faham kelima ini mengatakan, Keluarga Nabi dan Rasulallah yang diagungkan dan di taati ialah semua orang yang mengikuti dan mentaati agama beliau shalllahu'alaihiwasallam. Termasuk ahlul bait adalah, mereka yang mematuhi perintah, larangan, petunjuk dan tuntunan beliau shalllahu'alaihi wa sallam. Mereka itulah keluarga (Ali) beliau-shalllahu'alaihiwasallam, tidak pandang apakah mereka itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau atau tidak.

 

Mereka juga mengatakan bahwa kata Aali dapat berarti pengikut, kata kerja ya-‘u- lu (fi’il mudhari’) yang berasal dari kata kerja a-la (fi’il madhi) dapat bermakna kembali (yakni kembali kepada yang di-ikutinya sebagai pemimpin). Para pengikut tentu kembali kepada yang di-ikuti, sebab yang di-ikuti itu di pandang sebagai pemimpin dan tempat bernaung.

 

Dengan pengertian itulah Allah Ta'aala berfirman “…kecuali Ali (keluarga) Luth, mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing”. Yang dimaksud Ali Luth ialah, para pengikut Nabi Luth 'alihissalaam dan yang beriman kepada beliau, baik dari kaum kerabat Luth sendiri maupun dari kaumnya yang lain. Demikian pula firman Allah Ta'aala: “…Masukkanlah Ali (keluarga) Fir’aun ke dalam siksa yang berat”. Yang dimaksud dengan Ali Fir’aun adalah para pengikut Fir’aun.

 

Pemahaman seperti ini ,menurut faham kelima, sesuai dengan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Watsilah bin Al-Ashqa’ sebagaimana diketahui oleh para ahli hadis, Watsilah adalah seorang dari kabilah Bani Laits bin Bakr bin Abdimanaf, ia bukan kerabat dekat Nabi shalllahu'alaihiwasallam melainkan hanya pengikt beliau shalllahu'alaihiwasallam yang menuturkan sebagai berikut;

 

"Bahwasanya Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pada suatu hari memanggil dua orang cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain–radhiyallahu‘anhuma. Dua-dua nya beliau dudukkan di atas pangkuan beliau, kemudian minta agar Fathimah Az-Zahra r.a. bersama suaminya (Imam Ali bin Abi Thalib k.w.) mendekat.

Setelah semuanya berkumpul beliau lalu menyelimutkan sehelai kain lebar pada mereka berempat seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka ini lah keluarga Aku (ahlî)’. Watsilah kemudian bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah aku termasuk keluarga anda? ’Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menjawab, ‘Engkau termasuk keluarga keluarga ku (ahlî)’ ".

 

Menurut para ulama hadis, dalil pengertian pihak kelima ini sangat lemah, alasan-alasan kelemahannya, antara lain sebagai berikut:

a). Apakah benar Watsilah yang meriwayatkan atau yang menjadi sumber riwayat hadis tersebut? Sebab terdapat sumber riwayat yang lebih dapat di percayai kebenarannya, yaitu hadis Al-Kisa’ (baca uraian selanjutnya mengenai hadis ini) yang bunyi kalimatnya (nash hadisnya) sama dengan hadis dari Watsilah di atas ini, hanya nama Ummu Salamah r.a. berubah menjadi Watsilah. Begitu juga hadis yang di tuturkan oleh istri Rasulallah shalllahu'alaihi wa sallam Ummu Salamah r.a. ini kejadiannya (waktu Nabi shalllahu'alaihi wa sallam menyelimuti dirinya dan keluarganya) berada dirumah Ummu Salamah r.a. sendiri.

 

b). Begitu juga, golongan yang berpegang pada faham kelima ini, bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang menuturkan bahwa keluarga (Aali) Muhamad shalllahu'alaihiwasallam haram untuk menerima sedekah. Bila yang dimaksud Aali Muhamad, ialah semua pengikut Muhamad shalllahu'alaihiwasallam niscaya sedekah atau zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka. Padahal, banyak para sahabat yang menerima zakat.

 

c). Hadis riwayat Imam Muslim, waktu Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam menyembelih seekor kambing, beliau shalllahu'alaihiwasallam berdoa: ‘Ya Allah, terimalah (korban) dari Muhamad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhamad dan dari umat Muhamad’, setelah itu barulah kambing itu disembelih. Hadis riwayat imam Muslim ini, menunjukkan kedudukan yang jelas berlainan antara ahlu-bait Muhamad shalllahu'alaihiwasallam dan umat Muhamad shalllahu'alaihi wa sallam. Umat beliau shalllahu'alaihiwasallam adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau shalllahu'alaihiwasallam adalah mempunyai makna yang khusus. Penafsiran kata aal Muhamad shalllahu'alaihiwasallam yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pasti lebih benar dan lebih utama dari pada penafsiran orang lain.  

 

Pengertian keenam: Pendapat golongan ini, hampir sama dengan pengertian golongan kelima di atas. Hanya saja, golongan ini menambahkan, yang di maksud dengan ahlul bait adalah umat Muhamad yang bertakwa. Pendapat demikian itu, diketengahkan oleh Al-Qadhi Husain dan Ar-Raghib bersama jama'ahnya.

Mereka ini berdalil kepada sebuah hadis yang dituturkan Jakfar bin Ilyas dan di katakan berasal dari Anas bin Malik sebagai berikut:

"Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam pernah ditanya oleh seseorang tentang siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan kata Ali Muhamad shalllahu'alaihi wasallam? Beliau shalllahu'alaihiwasallam menjawab, ‘Semua orang yang bertakwa’. Beliau lalu mengucapkan firman Allah Ta'aala, ‘Sesungguhnya para waliyullah itu tidak mengkhawatirkan sesuatu dan tidak pula mereka itu merasa sedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa’ . (QS Yunus [10]: 62-63).”

 

Akan tetapi, Imam Thabrani meragukan kebenaran hadis tersebut. Sebab menurut Jakfar, hadis itu didapatnya dari Nuaim bin Hammad, didengar oleh seorang bernama Nuh bin Abi Maryam yang menurut dia berasal dari Yahya bin Said Al-Anshari, yang mendengarnya dari Anas bin Malik.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thabrani, tidak ada yang meriwayatkan hadis seperti itu selain Nuh bin Abi Maryam. Hadis semakna berasal dari Nuaim. Imam Baihaqi mengetengahkan hadis ini dari Abdullah bin Ahmad bin Yunus, dari Nafi’ bin Hurmuz, oleh para ulama ahli hadis dipandang sebagai hadis yang tidak dapat diterima sebagai dalil, karena dua orang tersebut terkenal sebagai Pembohong.

 

Alasan lain yang dikemukakan oleh pihak penganut faham keenam ini ialah, firman Allah Ta'aala yang ditujukan kepada Nabi Nuh álaihissalaam mengenai nasib anak lelakinya di saat banjir melanda bumi, “Hai Nuh, sesungguhnya dia (anak nabi Nuh itu) tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan keselamatan- nya). Perbuatan (dan sikap tingkah lakunya) bukanlah perbuatan baik.” (QS. Hud [11]: 46). Selanjutnya, golongan ini berkata, “Karena anak lelaki Nabi Nuh álaihissalaam itu menyekutukan Allah (berbuat syirik), dia dikeluarkan dari lingkungan keluarga (Aali) Nabi Nuh 'alaihissalaam. Dengan demikian, jelaslah ,kata golongan keenam ini, Ali Muhamad shalllahu'alaihiwasallam adalah para pengikut beliau shalllahu'alaihiwasallam yang bertakwa. 

 

Menghadapi masalah tersebut, Imam Syafi’i membantah  dalil di atas, dengan mengatakan, “Yang dimaksud dengan kalimat ‘sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (ahlimu)’ dalam ayat tersebut  ialah, anak lelaki Nabi Nuh 'alaihis salaam itu tidak termasuk orang-orang yang harus diangkut dalam bahtera, yakni orang-orang yang hendak diselamatkan dari bencana banjir besar. Karena, sebelum ayat itu Allah Ta'aala telah memerintahkan Nabi Nuh 'alaihis salaam sebagai berikut: ‘Angkut lah di dalamnya (bahtera) dua dari tiap pasang (jodoh) hewan dan (angkutlah juga) keluargamu kecuali yang terkena keputusan Allah (untuk dibinasakan).’ (QS.Hud [11]:40). Dengan demikian, anak lelaki Nuh álaihissalaam termasuk orang-orang yang tidak dijamin keselamatannya.”

 

Ibnul-Qayim mengatakan, “Kalimat ayat itu sendiri, telah menunjukkan ke benaran jawaban Imam Syafi’i, karena ayat tersebut menyatakan lebih lanjut ‘dan barangsiapa yang beriman’ (QS. Hud [11]:40).

Kalimat ini, menunjuk kepada orang-orang beriman diluar keluarga Nabi Nuh 'alaihissalaam. Kalimat ‘dan barangsiapa yang beriman’ berdiri sendiri di samping kalimat ‘keluargamu (ahlaka) dan dua dari tiap pasang hewan’. Dengan demikian, kata ahlaka dalam ayat tersebut tidak mencakup pengertian pengikut yang beriman dan bertakwa”. 

 

Demikianlah, sebagian pengertian ulama ahli tafsir mengenai makna Ali Muhamad dan kalimat Ahlul-Bait dalam QS.Al-Ahzab [33]: 33. Kita bisa menarik garis besar bahwa golongan yang berpegang pada faham kelima dan keenam merupakan kelompok yang sangat lemah. Pendapat mereka bertentangan dng hadis-hadis sahih yang riwayatnya lebih banyak dan bisa lebih dipercaya.

 

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai masuk atau tidaknya para istri Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dalam pengertian Ahlu-Bait shalllahu 'alaihiwasallam, yang sudah pasti dari segi kesahihan sanad hadis, disepakati oleh ahli hadis bahwa Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah Az-Zahra beserta kedua putranya Al-Hasan dan Al- Husain–radhiyallahu‘anhum–sebagai ahlul–bait Rasulallah shalllahu'alaihiwasallam dikenal dengn sebutan Hadis Al-Kisa. Hal ini, telah dengan bulat di benarkan oleh semua ulama Salaf dan Khalaf. Mereka inilah, yang dimaksud dengan ahlul bait yang tertera dalam surah Al-Ahzab [33]:33.

Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya