Tidak boleh mencari-cari ajaran keringanan dari ulama

Tidak boleh mencari-cari ajaran keringanan dari ulama

Setelah adanya keterangan tadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa ilmu hadis tidak dapat digeluti oleh sembarang orang, kecuali orang yang telah memenuhi kualifikasi sebagai seorang yang layak menyandang gelar al-muhaddis (ahli hadis) dan memperoleh pendidikan formal dalam bidang ilmu hadis dari universitas-universitas Islam terkemuka dan para masyaikh/guru yang memang  ahli dalam bidang ini.

 

Adapun, kelompok anti mazhab akan mencari-cari keringanan dari para ulama atau mencari ajaran Islam yang paling mudah dan paling ringan, serta cocok dengan keinginan hawa nafsunya dan tujuan pribadinya, tanpa didasarkan pada keterangan yang benar menurut syariat Islam, sehingga menjadi sesat jalannya.

 

Ada lagi, yang berpura-pura mengikuti pendapat para ulama tetapi kemudian berpindah-pindah dari satu mazhab ke mazhab lain atau dari satu pendapat ke pendapat lain untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya.

Mereka sering berdalil, suatu masalah dalam agama (yang mereka hadapi itu) masih belum disepakati para ulama, Karenanya, mereka tidak dapat disalahkan secara mutlak. Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya ini telah disindir dan dicela oleh Allah Swt. dalam beberapa firman-Nya dalam Surah Shad [38]:26, An-Nisa [4 ]:135, Al-A’raf [7]:176 Al-Jatsiyah [45]:18 dan ayat-ayat yang semakna.

 

Tidak mengikuti kehendak hawa nafsu termasuk inti dan pokok ajaran agama Islam. Sedangkan mencari-cari keringanan masalah agama tidak lain adalah mengikuti keinginan hawa nafsunya. Berikut, pendapat beberapa ulama yang berkaitan dengan masalah ini :

  • At-Tuhfatun Al-Hafidh Ibnu Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhlih II:112, meriwayatkan perkataan Sulaim At-Taimi, “Jika kamu mengambil rukhsah (keringanan) setiap orang alim maka terkumpullah padamu segala kejahatan (dosa).” Kemudian lanjutnya, “Ini kesepakatan (ijmak) dan (saya) tidak mengetahui ada orang yang menentangnya.”

 

  • Imam Nawawi, dalam kitab Syarh Al-Muhazdzab mengatakan, “Jika seseorang dibolehkan mengikuti mazhab apa saja yang dikehendakinya, akibatnya dia akan terus-menerus mengutiip semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap mazhab, demi memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharamkan (sesuatu masalah) dan yang menghalalkannya atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkannya terlepas dari ikatan taklif (beban).” Senada dengan pendapat Imam Nawawi disampaikan juga oleh Al-Hafidz Ibnu Al-Shalah dalam kitabnya  Adab Al-Mufti wa Al-Mustafti I: 46.

 

  • Al-Hafidh Ad-Dzahabi dalam Sayr A’lam Al-Nubala mengatakan, “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama) berbagai mazhab dan (mencari-cari) kekeliruan para mujtahid,  tipislah agamanya.” Seperti ini juga dikatakan oleh Al-Auzai dan lainnya,  “Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah dalam hal nikah mut’ah, orang-orang Kufah dalam hal nabidz (anggur), orang orang Medinah dalam hal ghina (lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam hal  ‘Ishmah (keterpeliharaan dari dosa) para khalifah maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada dirinya)”.

 

  • Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat-nya mengatakan, “...Sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan dari para ulama mazhab tanpa bersandar pada dalil syara’.”  Menurut Ibnu Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu merupakan kefasikan/kedurhakaan yang tidak halal (untuk dilakukan). Maksud Al-Syatibi kata-kata ‘tanpa bersandar pada dalil syara’ ialah, tanpa dalil syara’ yang benar dan dapat di pertanggung-jawabkan atau dalil yang muktabar. Jika tidak begitu maksud- nya maka ada orang yang meninggalkan shalat wajib dengan berdalil pada firman Allah Taáala, ‘Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat’. (QS Al-Ma’un [107] :4).

 

  • Imam Al-Hafidh Taqiyuddin Al-Subki dalam Al-Fatawa I:147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan dari berbagai mazhab. Dia mengatakan, “Mereka menikmati (dirinya) dalam kondisi seperti itu. Mereka mengikuti hawa nafsunya dan bukan mengikuti agamanya.” Termasuk dalam kategori ini,  orang yang suka memilih pendapat yang paling cocok buat dirinya dan mengikuti dari satu mazhab yang sesuai dengan pilihannya.

 

Sebagian orang lagi membolehkan mencari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan pada hadis dari Siti Aisyah r.a yang menyatakan, “Setiap kali Rasulallah shallahu'alaihiwasallam dihadapkan kepada dua pilihan beliau selalu mengambil yang paling mudah diantara keduanya”. Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali !

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath Al-Bari VI:575 dalam syarah- nya mengatakan, ‘Dua perkara (dua pilihan pada hadis tersebut) yang berhubungan dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam hadis Aisyah): ‘Jika bukan perbuatan yang (mengandung) dosa’.

 

Allah Subhaanahuuwata'aala mewahyukan kepada Rasul-Nya, ‘Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini’. Disini sama sekali tidak disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat/pilihan suatu masalah agama atau mengambil yang paling mudah dan ringan saja. Rasulallah pernah bertamu pada seseorang. Lalu, seseorang ini berkata kepada Rasulallah shallahu'alaihi wasallam , ‘Apakah aku harus menyediakan cuka (makanan asam) atau daging’? Dalam keadaan seperti itu (urusan duniawi), Rasulallah shallahu'alaihi wasallam akan memilih dan mengatakan, ‘Berikanlah kepadaku yang paling mudah bagimu’. 

 

Kaum muslimin, tidak akan mengingkari samahat (keluwesan, kemudahan dan kelapangan) dalam syariat Islam. Yang dimaksud samahat dalam syariat Islam, keringanan yang diberikan oleh Alla subhaanahuuwata'aala, umpamanya:

a). Orang yang sakit diperbolehkan melakukan shalat dengan duduk, sambil berbaring atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya. 

 

b). Orang yang akan bersuci baik untuk menghilangkan hadas atau najis tidak mendapatkan air atau takut berbahaya jika menggunakan air, dia diberi keringanan untuk tayamum, sebagai ganti air. Dengan demikian, bukan berarti, seorang Muslim dengan dalil samahat dalam syariat,  lalu boleh mencari-cari yang paling mudah atau paling ringan dari sekian banyak pendapat ulama, bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun. 

 

Sudah tentu, kita harus menghargai pendapat para para mujtahid (yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid), yang dalam ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya, tetapi ingin mencari keridhaan Allah dan berkeinginan untuk memperoleh yang hak/benar. Dan pendapatnya itu jauh dari hal-hal yang syadz atau aneh, dengan kata lain tidak bertentangan dengan ijmak/kesepakatan kebanyakan ulama. 

Perlu juga kita ketahui bila setiap orang harus mengambil dalil langsung dari Al-Quran dan sunnah Rasul shallahu'alaihiwasallam tanpa mengikuti salah satu mazhab dari para imam empat, tanyalah pada diri kita masing-masing:

 

Apakah kita telah menghapal Al-Quran, mengerti ayat-ayat ahkam dan sebab-sebab turunnya ayat. Apakah ayat tersebut tergolong nasikh atau mansukh, muqayad atau muthalaq, mujmal atau mubayan, atau ayat tersebut umum atau khusus. Apakah kita memahami kedudukan setiap kalimat di dalam ayat dari segi nahu dan ‘irab, balaghah, dan bayannya, dari segi penggunaan kalimat Arab secara ‘uruf , hakikat, atau majaz-nya dan lain sebagainya? Begitu pula dengan hadis.

 

Juga harus mengetahui fatwa-fatwa ulama yang terdahulu, sehingga tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijmak ulama. Mengetahui sahih atau tidaknya hadis yang akan digunakan, meliputi pengetahuan tentang sanad, jarah, ta‘dil, tarikh islami dan ilmu musthalah hadis secara umum dan mendalam.

Nah, sekali lagi kita bertanya, sudahkah kita mempunyai syarat-syarat yang telah disebutkan di atas? Apakah kita bisa mengambil langsung dalil dari Al-Quran dan Hadis? Pikirkanlah.

Wallahu’alam

Silahkan ikuti kajian bab 4 berikutnya.

Maak jouw eigen website met JouwWeb